Sabtu, 17 Agustus 2024

Bula Buli dan Teori Imitasi



Oleh Duddy Fachrudin 

“Bula buli bula buli… muak kali aku dengernya… nggak kuat sekolah ya nggak usah daftar…” begitu kata seorang Internis, merespon berita dan fenomena mengenai bullying dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Komentar di story instagramnya itu pun viral dan kalau dipikir-pikir kalimat tersebut termasuk bullying kategori verbal… Mungkin, ya. Atau mungkin, bukan.

Ingatan saya melintas ke masa lalu. Saat masih duduk (dan juga pastinya berdiri) di bangku Sekolah Dasar. Kami saling bersaut memanggil nama satu sama lain dengan nama orangtua kami. Tidak setiap kali, tapi ya kadang-kadang… apakah itu juga termasuk bully?

Jadi apa sebenarnya bullying atau dalam bahasa Indonesia disebut perundungan?

Kamus Cambridge menyatakan perundungan adalah the behavior of person who hurts or frightens someone smaller or less powerful, often forcing that person to do something they do not want to do. Sementara American Psychological Association Association menyatakan perundungan sebagai a form of aggressive behavior in which someone intentionally and repeatedly causes another person injury or discomfort

Dari dua definisi ini setidaknya ada beberapa kata kunci mengenai bullying, yaitu perilaku yang menyakiti/ mengancam atau agresif, ditujukan kepada orang orang yang “less powerful” atau bahasa lain kurang memiliki kuasa/junior/lemah atau dilakukan oleh orang yang punya “power”, dan menghasilkan cedera atau ketidaknyamanan pada orang yang dilakukan perundungan. Perundungan sendiri bentuknya bisa berupa kekerasan fisik, emosional, seksual, verbal, dan pengabaian.

Maka kembali lagi pada kalimat “Bula buli bula buli… muak kali aku dengernya… nggak kuat sekolah ya nggak usah daftar…”, apakah itu termasuk:

Perilaku menyakiti atau agresif: ya. Karena kalimat tersebut diungkapkan di saat momen seorang residen PPDS meninggal dikarenakan faktor (salah satunya) tekanan dan perundungan saat menjalani program pendidikan.

Ditujukan kepada orang yang “less powerful”: secara umum ditujukan kepada netizen, dimana dilakukan oleh seorang yang memiliki gelar tinggi. Bisa ya.

Menghasilkan ketidaknyamanan: ya bagi sebagian besar netizen yang membacanya.

Kesimpulannya, kalimat “Bula buli bula buli… muak kali aku dengernya… nggak kuat sekolah ya nggak usah daftar…” termasuk perilaku perundungan. Bentuknya verbal.

Bagaimana kalimat “Bula buli bula buli…” bisa muncul. Mari kita sedikit belajar pada seorang jenius yang mengembangkan Social Learning Theory (SLT). Orang tersebut bernama Albert Bandura.

Pada SLT, perilaku individu tidak semena-mena hadir begitu saja, melainkan dipelajari dari orang lain. Teori ini berkembang dari eksperimen “Bobo Doll”, dimana seorang anak diberikan tayangan mengenai orang dewasa yang sedang memukul “bobo doll”. Setelah melihat video itu, sang anak diminta masuk ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya terdapat boneka bobo. Apa yang kemudian terjadi? Sang anak melakukan aktivitas persis yang dilakukan orang dewasa, yaitu memukul “bobo doll”.

Social Learning Theory disebut juga teori Modeling atau Imitating, karena orang lebih mudah belajar dengan meniru atau mengamati orang lain. Konsep ini dinamakan vicarious learning. Terdapat interaksi antara individu, perilaku, dan lingkungan, membentuk resiprokal triadik dalam sistem sosial. Manusia yang menciptakan sistem tersebut sekaligus produk darinya. Dan itu semua terjadi karena adanya model atau subjek yang ditiru.

Perundungan sistemik yang kronis, misal dalam suatu program pendidikan sulit dihilangkan karena hal itu berhubungan dengan kultur atau budaya pada sistem pendidikan tersebut. Maka narasi “harus kuat” dan “tahan banting” karena pekerjaanya nanti berat dan penuh tekanan seolah menjadi suatu kewajaran. Belum lagi bumbu-bumbu melakukan “pekerjaan ekstra” yang dianggap latihan supaya menjadi pribadi yang lebih kuat. Padahal mungkin pekerjaan "ekstra" itu tidak ada sangkut pautnya dengan perkuliahan yang sedang ditempuh. Dan semua ini diulang-ulang, berpuluh-puluh tahun. Ingat dalam SLT, manusia pencipta sekaligus produk dari sistem sosial.

Maka, Solusi dari masalah ini jika dikembalikan menurut konsep Bandura, ialah menciptakan sistem sosial baru. Diawali dengan seorang figur yang memberikan keteladanan, bagaimana mendidik secara humanis, mengembangkan kompetensi komunikasi yang empatis, dan menjalani profesi mulia seperti halnya dokter dengan tulus ikhlas layaknya filantropis. Para residen yang belajar kepadanya melalui observational learning kelak akan memproses pengalaman serta interaksi selama pembelajaran dalam aspek kognitifnya.

Bahkan mereka yang mencontoh model tersebut tidak hanya dapat mempelajari dan mengembangkan perilaku persis seperti figur yang dicontoh, melainkan pula menyelesaikan beragam masalah psikologis yang sebelumnya sudah dimilikinya, seperti kecemasan, kebingungan (krisis) akan kehidupan, dan ketidakmatangan dalam berpikir serta bertindak.

Pada akhirnya tulisan bula buli ini menghantarkan pada ayat Al-Qur’an yang berbunyi: Laqad kāna lakum fī rasụlillāhi uswatun ḥasanatul limang kāna yarjullāha wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā. (Al-Ahzab: 21)

Dan tentu saja: Iqra` (bacalah, simaklah, lihatlah, perhatikanlah, pelajarilah) bismi rabbikallażī khalaq. (Al-‘Alaq)

Sumber gambar: https://dads4kids.org.au/imitating-dad/

Kamis, 15 Agustus 2024

Hidup Senang Mati Tenang: Merdeka dari Penderitaan Psikologis



Oleh Duddy Fachrudin 

Berita hari ini berseliweran di lini masa. Tentang seorang residen Program Profesi Dokter Spesialis (PPDS) yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak biasa. Asumsi bermunculan mengembara berusaha mencari sebabnya? Depresi, perundungan, ataukah karena faktor sakit yang dideritanya?

Tentu kita tidak perlu terlalu jauh untuk memikirkannya, karena beragam faktor berkontribusi atas hadirnya suatu masalah atau perilaku tertentu. Tidak ada faktor tunggal, bisa jadi karena ketiganya, bahkan mungkin pada saat investigasi ditemukan variabel lain yang menentukan. 

Di titik ini, yang perlu dilakukan oleh kita ialah mengambil jeda dan mempelajari jiwa ini, karena mungkin kita juga memiliki keinginan untuk bunuh diri?

Ramainya pemberitaan mengenai bunuh diri memang semakin menjadi-jadi. Isu kesehatan mental dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini menyadarkan kepada setiap individu untuk merawat serta menata jiwanya. Di satu sisi, kita juga tidak menoleransi segala bentuk kekerasan yang dapat memicu ketidaknyamanan dan menggerus keseimbangan mental kita. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita, manusia yang acapkali rapuh saat mengarungi kehidupan ini?

Pertama, kita perlu kembali mengenali diri ini. Apa saja lintasan-lintasan rasa dan pikiran yang sering menghampiri? Apakah ia mengganggu dan membuat kita tidak berdaya?

Kedua, jika memang hal itu mengganggu kita akui dan terima. Tidak perlu menolaknya atau menghindarinya (experiential avoidance). Karena semakin menghindarinya justru lintasan rasa dan pikiran yang mengganggu itu semakin kuat muncul. Penderitaan psikologis bermula saat kita menolak dan menghindari ketidaknyamanan rasa dan pikiran tersebut.

Ketiga, setelah diterima dan dihadapi hal yang mengganggu tersebut, maka kita perlu membuat jarak. Ya, menerima bukan berarti melekatkan pikiran dan perasaan yang mengganggu tersebut pada diri kita. Justru di sinilah kita mengembangkan cognitive defusion, menanggalkan atau melepaskan kemelekatan itu. Caranya bisa dengan melatih diri kita dengan mindful breathing, sitting, body scanning, walking, dan mengembangkan sikap mindfulness, seperti sabar, tidak menilai, menerima, melepaskan, terbuka, dan sebagainya.

Keempat, mengembangkan value atau nilai, yaitu sesuatu yang penting dalam hidup kita. Nilai itu yang akan menjadi guide kita menuju kehidupan yang bermakna. Nilai hidup dapat berhubungan dengan kehidupan personal, interpersonal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Misalnya value yang kita kembangkan berkaitan dengan pekerjaan adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, mendengarkan mereka di saat mereka kesusahan.

Kelima, melangkah bersama value. Ciptakan tujuan-tujuan kecil, dimana bahan bakar dari goal tersebut adalah value. Sebagai contoh, nilainya adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, kemudian kita tentukan goal, yaitu menciptakan suatu konten edukatif yang bermakna dan bermanfaat untuk orang yang menyimaknya.

Keenam, fokus pada kehidupan berbasis value yang bermakna yang sudah kita ciptakan.

Ketujuh, teruslah berlatih untuk mengembangkan hidup yang berkesadaran, karena dalam menjalani hidup itu sendiri, niscaya akan berjumpa dengan pelbagai stimulus, baik dari dunia internal, yang berisi pikiran, perasaan, kenangan atau memori yang berkelindan, dorongan-dorongan, dan lain-lain, serta dari luar diri individu (eksternal) yang berpotensi memicu hadirnya stres yang kemudian membuat larut (kembali) ke dalam masalah di masa lalu yang sebenarnya sudah berusaha kita lepaskan.

Berlatih mindfulness

Terakhir, jika memang kita berada pada suatu sistem yang membuat diri kita semakin terpapar stres yang berlebihan, maka berhenti dan memilih opsi untuk keluar dari lingkungan yang semakin menjerat pada permasalahan psikologis adalah tindakan yang bijaksana. Menerima bukan hanya bertahan, tapi juga mengambil keputusan yang tepat untuk keberlanjutan hidup kita.  

Pada akhirnya, merdeka dari penderitaan psikologis ini adalah ikhtiar dan belajar secara sadar, dan fondasinya tiada lain adalah kemampuan menggunakan nalar sehingga pelayaran kehidupan menjadi berbinar karena pendar-pendar cahaya yang menuntun pada sebuah reservoar indah dimana kapal yang kita tumpangi akhirnya menurunkan dan menautkan jangkar.

Sumber gambar:

Selasa, 30 Juli 2024

Forest Therapy: Sebuah Ikhtiar Untuk Pulih Melalui Energi Hutan

Oleh Duddy Fachrudin & Andry "Sting" Edwin Dahlan 

Aku bersandar di sini untuk terpapar 
Olehmu mentari yang memancar, 
juga pinus-pinus yang menghampar 
Menghantarkan molekular minyak atsiri ke dalam tubuh 
Untuk segera pulih serta bertumbuh

Aktivitas forest therapy

Maka sejenak saja meluangkan waktu mengunjungi sahabat, yaitu hutan-hutan yang lebat, lalu memeluknya dengan hangat. Begitulah forest therapy mengajarkan kepada kami, manusia yang penuh dengan dialektika untuk belajar secara sadar serta berikhtiar merawat diri dari berbagai inflamasi melalui energi hutan yang penuh cinta kasih. 

Salah satu bentuk terapi hutan yaitu forest bathing yang intinya melakukan aktivitas di hutan dengan sadar atau mindful. Meditasi di hutan dengan melibatkan indera dan "menyatu", serta menyelaraskan diri dengan hutan. Itulah forest bathing. Kalau di Jepang dilabeli Shinrin-yoku.

Sakit pada tubuh terkait dengan respon inflamasi, yaitu respon biologis dari sistem imun yang dipicu oleh berbagai faktor, yaitu patogen, sel yang rusak dan senyawa beracun. Mediator inflamasi seperti Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) perlu dikendalikan sehingga respon inflamasi tidak semakin berlebih dan kerusakan jaringan dapat dicegah.

Penelitian menunjukkan individu yang menjalani forest bathing memiliki kadar IL-6 dan TNF-α yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu stres oksidatif menurun akibat pengaruh senyawa terpen yang ada pada pohon.

Senyawa terpen, seperti limonene dan pinene menurunkan jumlah pelepasan berbagai sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, IL-1, dan TNF-α serta menginhibisi aktivitas faktor transkripsi yang berperan dalam inflamasi, yaitu Nuclear Factor kappaB (NF-κB). Terpen secara umum mengurangi aktivitas katalitik enzim yang terlibat dalam pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan memiliki efek antioksidan yang kuat.

Maka seperti kata Hippocrates, "nature itself is the best physician". Dokter terbaik, tiada lain alam (yang di dalamnya terdapat hutan) itu sendiri yang diciptakan Tuhan sebagai anugerah kepada manusia. 

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Kamis, 12 Oktober 2023

Strategi QIKI Agar Pikiran Jernih dan Tercegah dari Bunuh Diri



Oleh Tauhid Nur Azhar

Kerap dalam hidup kita terjebak dalam pusar keluh kesah yang menyedot kita ke dalam umbalan kekecewaan tak berujung.

Rasa tak puas, cemas, khawatir terhadap masa depan, berkelindan dengan kekesalan akan pengalaman yang telah dijalankan. Semua berkemuncak dalam sebait kemarahan yang dilisankan, ataupun meletup dalam letusan vulkanis yang masif dan emosional, hingga meninggalkan lubang kaldera yang teramat besar di hati dan jiwa kita.


Hati dan jiwa yang terluka, akan menjadi danau penampung air mata sebagaimana danau Toba menampung jutaan metrik ton air di bekas letusan kawah purbanya.

Dapat pula lelehan magma kecewa itu mengalir secara efusif dan keluar dalam bentuk tekanan solfatara. Merembes dan merasuki begitu banyak aspek kehidupan dan menggerus rasa syukur secara terstruktur, meski kita tak dapat mengidentifikasi dan mengukur dampak yang terjadi.


Tapi tentulah apapun jenis letusan dan letupan perasaan yang kita analogikan dengan erupsi gunung api; bisa meledak hebat seperti tipe letusan Plinian, ataupun yang mengeluarkan materi piroklastik seperti ada tipe Hawaiian, tetap saja rasa marah dan kecewa itu pada mulanya akan menghanguskan.

Meski pada tahap berikutnya jadilah ia pupuk yang menumbuhkan benih-benih pembelajaran yang akan berakar kokoh untuk menopang pokok-pokok pengetahuan agar mampu menghasilkan tajuk-tajuk makrifat kesadaran.

Dan apabila tajuk kesadaran itu merindang, maka kesejukan pikir pun akan datang. Berdendang riang, berbagi suara dengan lantun zikir yang membulir dalam sebentuk embun bening peradaban yang dibangun dari pemahaman akan hakikat keberadaan dan esensi kehadiran (presensi).

Dalam hening jiwa yang berkesadaran, kesiur lirih, tipis, dan subtil dari setiap helai kebahagiaan, telah mampu membangkitkan generator rasa syukur yang dikonstruksi oleh mekanisme tafakur dalam perjalanan hidup yang semangat bertadabbur.

Pada saat kita gagal menata hati dan terjerembab dalam jurang merutuki yang menggelincirkan kita dalam pusaran keluh kesah tadi, maka situasi hati akan terus terdistorsi, dan bahkan terdestruksi. Keluh kesah, kecewa, dan rasa kufur akan bersama mengubur rasa syukur dan menimbuninya dengan torehan kepedihan yang amat menyakitkan.

Hidup tak lagi indah, putus asa dan rasa lelah lahir bathin akan melanda, bahkan di penghujung hari kadang terbersit keinginan untuk bunuh diri. 

Bukankah hasrat dan syahwat untuk mengejar nikmat secara terkendali adalah fitrah bagi kita yang hidup untuk berkompetisi dan berprestasi? Fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam menimba kebajikan dari sumur pengalaman yang dipenuhi dengan air pelajaran, untuk menghasilkan bertangkup-tangkup kebaikan.

Ketika gairah hidup surut, dan segenap semangat untuk mengaktualisasi diri bermuara pada apatisme dan rasa sepi, maka dalam panduan diagnosis ICD-10, ada kemungkinan kita telah memasuki fase depresi. Adapun depresi itu sendiri terdiri dari beberapa kategori, sebagaimana penjelasan berikut ini;

1. Depresi Mayor

Depresi ini diartikan sebagai jenis depresi yang membuat penderitanya merasa sedih dan putus asa sepanjang waktu. Gejala bisa berlangsung berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Terlepas dari berapa lama gejala berlangsung, depresi berat dapat mengganggu aktivitas dan kualitas hidup penderitanya. berikut ini gejala dari depresi mayor:

• Suasana hati yang murung dan suram
• Kehilangan minat terhadap hobi atau aktivitas lain yang sebelumnya disukai
• Perubahan berat badan
• Gangguan tidur
• Sering merasa lelah dan kurang berenergi
• Selalu merasa bersalah dan tidak berguna
• Sulit berkonsentrasi
• Kecenderungan untuk bunuh diri

2. Depresi Persisten

Depresi persisten atau distimia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi depresi yang bersifat kronis. Gejala yang ditimbulkan sama dengan depresi pada umumnya, namun depresi jenis ini berlangsung lama bahkan hingga bertahun-tahun. Seseorang dapat disebut menderita depresi persisten apabila ia merasakan gejala depresi yang menetap selama setidaknya 2 bulan secara terus menerus dan hilang timbul dalam waktu 2 tahun.

3. Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat drastis. Seseorang yang memiliki gangguan bipolar bisa merasa sangat senang dan berenergi di suatu waktu, namun tiba-tiba menjadi sedih dan depresi. Pada saat berada dalam fase senang dan berenergi (mania atau hipomania), penderita bipolar akan mengalami beberapa gejala berikut ini:

• Optimis dan tidak bisa diam
• Sangat berenergi dan lebih bersemangat
• Percaya diri yang berlebihan
• Susah tidur atau merasa tidak perlu tidur
• Nafsu makan meningkat
• Banyak pikiran

Setelah berada dalam fase mania atau hipomania untuk beberapa waktu, orang yang memiliki gangguan bipolar biasanya akan masuk ke fase mood yang normal, lalu kemudian masuk ke fase depresi. Perubahan mood ini bisa terjadi dalam waktu hitungan jam, hari, atau berminggu-minggu.

4. Depresi Psikotik

Depresi psikotik ditandai dengan gejala depresi berat yang disertai adanya halusinasi atau gangguan psikotik. Penderita depresi jenis ini akan mengalami gejala depresi dan halusinasi, yaitu melihat atau mendengar sesuatu yang sebetulnya tidak nyata.

Tipe depresi ini lebih banyak terjadi pada orang tua. Meski begitu, orang yang masih muda pun bisa saja mengalaminya. Selain usia lanjut, riwayat trauma psikologis yang berat di masa kecil juga dikatakan dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami depresi psikotik.

Pada wanita sebagai makhluk Tuhan yang hebat dan unik, kondisi overthinking yang terjadi menjadi lebih kompleks dengan kehadiran sistem hormonal yang spesial, hingga dikenal pula kasus-kasus depresi pasca persalinan atau postpartum depression dan premenstrual dysphoric disorder (PMDD) dimana keduanya maujud dalam berbagai bentuk perubahan perilaku temporer yang dapat berdampak signifikan pada yang bersangkutan.

Faktor pemantik terjadinya depresi sebenarnya cukup beragam, mulai dari adanya pengaruh dari aspek genetik, seperti adanya dinamika ekspresi dari gen MTHFR, pola pengasuhan, pajanan budaya, juga pengembangan kapasitas resiliensi yang amat banyak dipengaruhi oleh pola pendidikan dan model interaksi di keluarga dan masyarakat.

Tetapi intinya, depresi dapat terjadi pada siapa saja yang mendapat tekanan multi dimensi hingga mengalami kondisi kronis kejiwaan yang tak sepenuhnya tertangani. Kesadaran akan peran tempat bersandar yang melabuh segenap nalar memberikan kita peluang untuk merasakan aliran energi tak berkadar yang dapat menebar dan menyebar hingga menumbuhkan pondasi kekuatan iman yang berakar.

Maka primary skill untuk menata rasa syukur dan mengelola potensi kufur akan bermuara pada pembeda nikmat dan azab yang akan mewarnai perjalanan kita sebagai manusia (QS Ibrahim ayat 7)

Akankah kita terbenam semakin dalam di dunia yang perlahan mengelam? Ataukah kita akan menjelma menjadi si penyelam yang menyelami samudera masalah dengan menikmati, bahkan menemukan banyak mutiara hikmah yang kelak menjadi aset kekayaan jiwa dan hati di kemudian hari?

Barangkali secara teori, mereka yang selalu mengkomparasi diri dengan lian akan menghasilkan semangat berkompetisi untuk meningkatkan raihan prestasi yang berkorelasi dengan terjadinya peningkatan kompetensi. 

Di sisi lain, dapat terjadi disrupsi yang menghadirkan kegalauan dan kekecewaan berkepanjangan. Misal dengan menyesali bentuk tubuh yang telah dikaruniakan, keluarga yang telah diberikan, ataupun berbagai kondisi yang masuk dalam circle of concern-nya Stephen Covey, terjadi di luar kuasa diri untuk mengendali. 

Kita marah karena mampu mengidentifikasi hal yang tak semestinya terjadi, dan semakin marah atau kecewa karena tak mampu dan kuasa mengubahnya sesuai dengan keinginan diri. Kita seolah dipaksa untuk menerima kondisi karena keterbatasan daya kendali.

Maka mungkin formula QIKI dapat kita coba hayati, dan jika memungkinkan kita terapkan dalam keseharian. Adapun QIKI adalah Qana'ah, Ikhlas, Kanyaah, dan Istiqomah.

Qana'ah secara definisi adalah sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Orang yang memiliki sifat qana'ah memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang melekat pada dirinya adalah kehendak Allah SWT.

Jika dilambari dengan keikhlasan dan kanyaah yang dalam bahasa Sundanya memiliki makna yang amat mendalam; cinta yang merawat dan memelihara. Cinta yang menumbuhkan sebagaimana kasih sayang seorang Ibu pada anaknya. Cinta seperti matahari yang senantiasa sabar menyinari tanpa pernah berharap kembali. Cinta yang menautkan hati dalam getar frekuensi yang memudahkan kita untuk saling berbagi secara konsisten atau istiqomah, karena semua yang melekat hidup dan diri ini semata adalah amanah yang dititipkan Allah.

Maka layaknya sebuah pendakian menuju Puncak Indrapasta yang membutuhkan bekal perjalanan, QIKI merupakan sarana yang dapat dilatih oleh manusia dalam mengarungi kehidupan ini agar senantiasa sehat secara mental dan juga hati. Bukankah saat ini kesehatan mental adalah universal human right?

Sumber gambar:

Selasa, 04 April 2023

Kuliah Kerja Nyata, Desa Wangunharja, dan Hidup Damai Bersajahaja



Oleh Duddy Fachrudin 

Saya masih ingat ketika 1 dekade lalu ditawari untuk tinggal di sebuah desa nun jauh di selatan Kota Yogyakarta oleh ayah sahabat saya setelah saya diterima melanjutkan sekolah S-2 di Program Profesi Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM). Jarak antara rumah dengan kampus sekitar 45 menit. Suatu variabel yang dipertimbangkan untuk menolak tawaran tersebut. Namun setelah mengambil jeda sejenak, saya menerimanya.

Alasannya sederhana, ingin merasakan sensasi yang berbeda sekaligus menjalani "Kuliah Kerja Nyata" (KKN) yang ketika kuliah S-1 tidak ada mata kuliahnya. Thus, saya akhirnya tinggal di sebuah rumah di desa bernama Wukirsari yang tepat di sebelahnya terdapat Masjid yang dibangun sejak abad 17 dan Komplek Pemakaman Giriloyo. Di dalam komplek tersebut terdapat makam keluarga Sultan Agung dan Sultan Cirebon, Syekh Abdul Karim.

Kehidupan desa tentunya berbeda dengan kota. Kota yang megah dan menawarkan pernak-pernik materi memikat mata, namun nampak manusianya begitu terburu-buru memburu sesuatu. Di desa, seolah waktu melambat mengajak untuk duduk bersama-sama dengan segala kehangatan dan kedamaian yang ada di dalamnya.

Selama 4 tahun "KKN" di Desa Wukirsari justru bukan saya yang memberi, tapi kehidupan desa itulah yang berbagi. Orang-orang begitu ramah dan saling bergotong royong, kesederhanaan, dan cinta. Ada makna berbekas yang tersimpan erat dalam kenangan mengingatkan tentang damainya kehidupan.

Kuliah Kerja Nyata sejatinya berbaur dengan masyarakat. Menyatu dan merasakan kehidupan yang sebenarnya. Dalam era yang semakin mekanik dan robotik, KKN merupakan literasi menjadi manusia yang sangat dibutuhkan dimana individu saling belajar dalam interaksi kolektif serta kolaboratif.

Maka dalam KKN ada semangat membangun yang anggun dalam upaya mewujudkan cita-cita yang tiada lain raharja atau sejahtera. Dua kata, yaitu membangun kesejahteraan dapat disingkat menjadi bangunharja atau wangunharja. Dan kata Wangunharja sendiri digunakan sebagai nama salah satu desa di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Tempat kami menjalani KKN, sebagai mahasiswa Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.

Wangunharja tidak seterkenal saudaranya, Bakung yang identik dengan es tape ketannya. Atau juga dengan Sitiwinangun dengan kerajinan gerabahnya. Namun begitu, Wangunharja tetap spesial karena kebersahajaannya.

Permasalahan yang muncul di masyarakat disikapi tanpa kepanikan dan berlebihan. Seperti halnya stunting yang tidak terkecuali menjadi bagian masalah kesehatan di desa ini. Perangkat desa, posyandu, dan posbindu turun rembuk mengatasi masalah ini. Kami ikut membantu sesuai daya dan kapasitas sebagai mahasiswa yang hanya memiliki secuil ilmu dan keterampilan melalui edukasi stunting dan simulasi hidup sehat di Sekolah Dasar (SD).

Edukasi, simulasi, ditambah dengan Jumsi (Jumat Bersih), dan PoPi (Posko Pintar) adalah rangkaian kecil pengabdian yang semoga menjadi manfaat. Justru sebagai individu yang haus akan ilmu, kami justru mendapatkan sesuatu yang tidak ternilai harganya selama KKN ini. Dan hal itu bernama kebersamaan, kesederhanaan, dan kebersahajaan, yang akhirnya maujud pada kedamaian.

Sumber gambar: 
Dokumentasi KKN