Tampilkan postingan dengan label Hening. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hening. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Oktober 2022

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Perjalanan lintas masa mereka yang menggunakan jentera anti tesis ruang waktu, membawa ke sebuah daerah yang dulu masuk ke area pusat peradaban Liyangan. Belum sampai sana sebenarnya, tepatnya di Papringan.

Lokus yang menjadi laboratorium hidup untuk kearifan budaya yang bersifat holistik dan menjadi etalase cara hidup arif bijaksana yang waskita terhadap berbagai piweling dan pertanda dari alam.

Pendekatan pemenuhan kebutuhan yang berkepedulian dan kapasitas untuk menjadi pengendali keinginan tanpa mengeksploitasi, apalagi manipulasi, secara berlebihan dan tak beretika ketika berinteraksi dengan alam.

Alam takambang menjadi guru bukanlah sekedar pameo ataupun peribahasa bersayap yang terbang membumbung tinggi seperti Alap Alap. Ia justru menjadi Lumbricus yang membumi dan bersanggama langsung dengan kenyataan, tetapi mampu mewarisi ilmu visi Alap Alap sebagaimana yang dimiliki oleh Bala Sanggrama pengawal Raden Wijaya raja pertama Majapahit yang keturunan Jawa Sunda. Ayahnya dalam beberapa manuskrip dikenal sebagai Rakyan Jayadarma yang berasal dari Sunda Galuh, dan Ibunya adalah Dyah Lembu Tak keturunan Ken Arok pendiri Singhasari.

Kakawin Negarakertagama, Pararaton, dan prasasti Kudadu menjelaskan tentang asal usul dan sepak terjang Raden Wijaya dalam mendirikan Emporium Majapahit, yang kelak dikenal dengan doktrin penyatuan Nusantara.

Kembali kepada Papringan dan beberapa daerah yang dengan kesadaran penuh mulai belajar untuk mengenali kembali kearifan terdahulu yang antara lain maujud dalam tradisi yang diwariskan sebagai pesan kebudayaan yang menjadi pengingat dan perekat dari generasi berikutnya yang heterogen. 

Pesan ini antara lain maujud dalam sebentuk craftmanship dan kecerdasan natural yang dapat memanfaatkan segenap potensi alam dengan cara yang sederhana, tepat guna, dan tidak mendorong terjadinya dampak ikutan yang tidak diharapkan seperti limbah dan kerakusan yang senantiasa menjadi bagian dari konteks potensi komoditas.

Papringan dengan tokoh penggerak seperti Mas Singgih yang ahli pemanfaatan bambu, dapat menjadi contoh tentang kebersahajaan cara hidup yang justru dapat mengalir sejalan dengan arus semesta yang menubuh dalam berbagai fenomena alam yang penuh dengan tanda.

Papringan atau perbambuan yang menjadi jenama sebuah pasar dengan produk dan cara bertransaksi unik, bukanlah semata sebuah jenama belaka, ia adalah laboratorium tentang nilai.

Pasar yang berlokasi di dusun Ngadiprono, desa Ngadimulyo, kecamatan Kedu yang di masa lalu masuk dalam wilayah Bagelen, ini adalah sebuah media interaksi nilai yang dapat menjadi media kontemplasi terhadap pola interaksi kita dengan alam selama ini.

Jika bangsa Jepang memiliki shokunin waza, maka bangsa Indonesia dengan berbekal warisan berupa capaian budaya dan cendekia yang sedemikian luar biasa pada zamannya, tentulah juga memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengelola segenap potensi intelijensia dan ketrampilan dalam mengelola sumber daya yang tersedia dalam ruang hidupnya.

Semangat inilah yang semestinya jangan sampai mengalami kondisi pati obor, alias tercerabut dari tradisi cendekia bangsa yang meski maju dalam tatanan masyarakat dunia, tetapi juga semestinya dapat menyumbang konsep dan karya adiluhung melalui sebentuk karya dan model hidup welas wasis waskita yang cerdas bernas sekaligus ikhlas. πŸ™πŸΏπŸ’•

Sumber gambar:

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Aja mung dadi wong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya wong sing ugi bisa lan pinter rumangsa.

Peka terhadap kondisi, sadar berkenyataan, bersikap dan berbuat dengan olahan kejernihan pikiran yang menghasilkan kesejukan dalam kebersamaan.

Karena pada dasarnya manusia itu hanya memanen apa yang telah dikerjakan, dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan. Segenap peristiwa dalam kehidupan sesungguhnya adalah pelajaran yang mau kita terima dan kerjakan PR nya, atau mau kita abaikan. 

Lucunya rangkaian dari peristiwa yang merupakan kurikulum pendidikan kemanusiaan itu, konten dan objektifnya kita tentukan sendiri. Karena hidup ini adalah Learning Management System atau LMS dengan Personal and Community Learning Objective yang turut kita kembangkan berdasarkan pilihan sikap dan kedalaman cara berpikir, juga sekhusyu' apa kita berzikir.

Bukankah menungsa mung ngunduh wohing pakarti?

Pakarti dalam kinerja, karya, dan olah rasa, teutama dalam hubungan antar sesama makhluk ciptaan Tuhan di semesta. Tidak eksploitatif manipulatif secara abusif, juga pandai menata dan mengelola titipan yang telah diamanahkan sebagai khalifah yang wajib menghadirkan rahmah.

Sepi ing pamrih, rame ing gawe, banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli.

Presensi yang menghadirkan kehangatan, dan bukan ancaman. Kehadiran yang membahagiakan, bukan yang membahayakan.

Untuk menyelami dan menghirup atmosfer ilmu itu, bisa singgah di Papringan.

Sahabat saya bersama kroninya yang ahli dalam soal konservasi berbagai warisan budaya arsitektur heritage, sedang melakukan tour de central Java yang berpusar di sekitar pegunungan sakral bangsa Medang. Ungaran, Telomoyo, Sindoro, Sumbing, minus Merapi dan Merbabu.

Mereka berkelana dan memanja indera dengan sajian romansa eklektika yang dipenuhi dengan berbagai kisah nostalgia tentang masa jaya sebuah peradaban yang pernah hadir di Nusa Jawa.

Nusa silang budaya kata Denys Lombard, sejarawan yang bukunya tentang sejarah Nusantara laris manis tanjung kimpul. Bahkan melebihi karya-karya ilmiah populer cendekiawan kita sendiri. Tak apa tentunya, karena ilmu kan bersifat egaliter, universal, dan bebas kepemilikan. 

Tersedia banyak tanda bagi mereka yang punya niat belajar dan berkenan membaca dan menyimak isinya tanpa terjebak sebatas menghafal jenama dan pariwaranya saja.

Dalam parikan Jawa sifat bangga akan bungkus dan kosong saat ditanya soal isi kerap disampaikan sebagai pengingat bagi para generasi penerus, wa bil khusus, generasi yang sudah teramat banyak difasilitasi teknologi.

Kecepatan dan intensitas informasi yang ditandai dengan tingginya volume transmisi, seperti rumus Claude Shannon ya, membuat prosesor analitik kita tak sempat mengendapkan data, apalagi mengurainya menjadi ekstrak ilmu yang dapat dipertautkan secara silogisme untuk merajut makna yang sebenarnya terwakili dalam berbagai bentukan pesan semiotika.

Budaya kulit atau lapis superfisial yang terwakili oleh status ataupun feed serta mikro blog yang hanya berkisar sekitar 160 karakter, telah membuat kita mengukur setiap fenomena melalui "baju" yang dikenakannya saja.

Kembali kepada duo Hasti dan Hesti yang berasal dari dunia yang berbeda, Holland (yang bukan bakery) dan Tahura Bandung, rupanya mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Yang satu punya ilmu terkait konservasi dan pemuliaan situs atau artefak bersejarah, satunya lagi punya jejaring di berbagai kalangan untuk bisa memberi akses petualangan time traveling mereka.


Sumber gambar: