Minggu, 30 Oktober 2022

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Aja mung dadi wong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya wong sing ugi bisa lan pinter rumangsa.

Peka terhadap kondisi, sadar berkenyataan, bersikap dan berbuat dengan olahan kejernihan pikiran yang menghasilkan kesejukan dalam kebersamaan.

Karena pada dasarnya manusia itu hanya memanen apa yang telah dikerjakan, dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan. Segenap peristiwa dalam kehidupan sesungguhnya adalah pelajaran yang mau kita terima dan kerjakan PR nya, atau mau kita abaikan. 

Lucunya rangkaian dari peristiwa yang merupakan kurikulum pendidikan kemanusiaan itu, konten dan objektifnya kita tentukan sendiri. Karena hidup ini adalah Learning Management System atau LMS dengan Personal and Community Learning Objective yang turut kita kembangkan berdasarkan pilihan sikap dan kedalaman cara berpikir, juga sekhusyu' apa kita berzikir.

Bukankah menungsa mung ngunduh wohing pakarti?

Pakarti dalam kinerja, karya, dan olah rasa, teutama dalam hubungan antar sesama makhluk ciptaan Tuhan di semesta. Tidak eksploitatif manipulatif secara abusif, juga pandai menata dan mengelola titipan yang telah diamanahkan sebagai khalifah yang wajib menghadirkan rahmah.

Sepi ing pamrih, rame ing gawe, banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli.

Presensi yang menghadirkan kehangatan, dan bukan ancaman. Kehadiran yang membahagiakan, bukan yang membahayakan.

Untuk menyelami dan menghirup atmosfer ilmu itu, bisa singgah di Papringan.

Sahabat saya bersama kroninya yang ahli dalam soal konservasi berbagai warisan budaya arsitektur heritage, sedang melakukan tour de central Java yang berpusar di sekitar pegunungan sakral bangsa Medang. Ungaran, Telomoyo, Sindoro, Sumbing, minus Merapi dan Merbabu.

Mereka berkelana dan memanja indera dengan sajian romansa eklektika yang dipenuhi dengan berbagai kisah nostalgia tentang masa jaya sebuah peradaban yang pernah hadir di Nusa Jawa.

Nusa silang budaya kata Denys Lombard, sejarawan yang bukunya tentang sejarah Nusantara laris manis tanjung kimpul. Bahkan melebihi karya-karya ilmiah populer cendekiawan kita sendiri. Tak apa tentunya, karena ilmu kan bersifat egaliter, universal, dan bebas kepemilikan. 

Tersedia banyak tanda bagi mereka yang punya niat belajar dan berkenan membaca dan menyimak isinya tanpa terjebak sebatas menghafal jenama dan pariwaranya saja.

Dalam parikan Jawa sifat bangga akan bungkus dan kosong saat ditanya soal isi kerap disampaikan sebagai pengingat bagi para generasi penerus, wa bil khusus, generasi yang sudah teramat banyak difasilitasi teknologi.

Kecepatan dan intensitas informasi yang ditandai dengan tingginya volume transmisi, seperti rumus Claude Shannon ya, membuat prosesor analitik kita tak sempat mengendapkan data, apalagi mengurainya menjadi ekstrak ilmu yang dapat dipertautkan secara silogisme untuk merajut makna yang sebenarnya terwakili dalam berbagai bentukan pesan semiotika.

Budaya kulit atau lapis superfisial yang terwakili oleh status ataupun feed serta mikro blog yang hanya berkisar sekitar 160 karakter, telah membuat kita mengukur setiap fenomena melalui "baju" yang dikenakannya saja.

Kembali kepada duo Hasti dan Hesti yang berasal dari dunia yang berbeda, Holland (yang bukan bakery) dan Tahura Bandung, rupanya mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Yang satu punya ilmu terkait konservasi dan pemuliaan situs atau artefak bersejarah, satunya lagi punya jejaring di berbagai kalangan untuk bisa memberi akses petualangan time traveling mereka.


Sumber gambar:

Share:

0 komentar:

Posting Komentar