Selasa, 04 April 2023

Kuliah Kerja Nyata, Desa Wangunharja, dan Hidup Damai Bersajahaja



Oleh Duddy Fachrudin 

Saya masih ingat ketika 1 dekade lalu ditawari untuk tinggal di sebuah desa nun jauh di selatan Kota Yogyakarta oleh ayah sahabat saya setelah saya diterima melanjutkan sekolah S-2 di Program Profesi Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM). Jarak antara rumah dengan kampus sekitar 45 menit. Suatu variabel yang dipertimbangkan untuk menolak tawaran tersebut. Namun setelah mengambil jeda sejenak, saya menerimanya.

Alasannya sederhana, ingin merasakan sensasi yang berbeda sekaligus menjalani "Kuliah Kerja Nyata" (KKN) yang ketika kuliah S-1 tidak ada mata kuliahnya. Thus, saya akhirnya tinggal di sebuah rumah di desa bernama Wukirsari yang tepat di sebelahnya terdapat Masjid yang dibangun sejak abad 17 dan Komplek Pemakaman Giriloyo. Di dalam komplek tersebut terdapat makam keluarga Sultan Agung dan Sultan Cirebon, Syekh Abdul Karim.

Kehidupan desa tentunya berbeda dengan kota. Kota yang megah dan menawarkan pernak-pernik materi memikat mata, namun nampak manusianya begitu terburu-buru memburu sesuatu. Di desa, seolah waktu melambat mengajak untuk duduk bersama-sama dengan segala kehangatan dan kedamaian yang ada di dalamnya.

Selama 4 tahun "KKN" di Desa Wukirsari justru bukan saya yang memberi, tapi kehidupan desa itulah yang berbagi. Orang-orang begitu ramah dan saling bergotong royong, kesederhanaan, dan cinta. Ada makna berbekas yang tersimpan erat dalam kenangan mengingatkan tentang damainya kehidupan.

Kuliah Kerja Nyata sejatinya berbaur dengan masyarakat. Menyatu dan merasakan kehidupan yang sebenarnya. Dalam era yang semakin mekanik dan robotik, KKN merupakan literasi menjadi manusia yang sangat dibutuhkan dimana individu saling belajar dalam interaksi kolektif serta kolaboratif.

Maka dalam KKN ada semangat membangun yang anggun dalam upaya mewujudkan cita-cita yang tiada lain raharja atau sejahtera. Dua kata, yaitu membangun kesejahteraan dapat disingkat menjadi bangunharja atau wangunharja. Dan kata Wangunharja sendiri digunakan sebagai nama salah satu desa di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Tempat kami menjalani KKN, sebagai mahasiswa Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.

Wangunharja tidak seterkenal saudaranya, Bakung yang identik dengan es tape ketannya. Atau juga dengan Sitiwinangun dengan kerajinan gerabahnya. Namun begitu, Wangunharja tetap spesial karena kebersahajaannya.

Permasalahan yang muncul di masyarakat disikapi tanpa kepanikan dan berlebihan. Seperti halnya stunting yang tidak terkecuali menjadi bagian masalah kesehatan di desa ini. Perangkat desa, posyandu, dan posbindu turun rembuk mengatasi masalah ini. Kami ikut membantu sesuai daya dan kapasitas sebagai mahasiswa yang hanya memiliki secuil ilmu dan keterampilan melalui edukasi stunting dan simulasi hidup sehat di Sekolah Dasar (SD).

Edukasi, simulasi, ditambah dengan Jumsi (Jumat Bersih), dan PoPi (Posko Pintar) adalah rangkaian kecil pengabdian yang semoga menjadi manfaat. Justru sebagai individu yang haus akan ilmu, kami justru mendapatkan sesuatu yang tidak ternilai harganya selama KKN ini. Dan hal itu bernama kebersamaan, kesederhanaan, dan kebersahajaan, yang akhirnya maujud pada kedamaian.

Sumber gambar: 
Dokumentasi KKN

Rabu, 30 November 2022

Buku Mindfulness: Agar Layangan Tak Jadi Putus




Oleh Duddy Fachrudin

“Saya kecewa pada orangtua saya… karena mereka melahirkan saya.”

Bayangkan jika anak Anda berkata seperti itu, bagaimana reaksi Anda sebagai orangtua? Kesal, kecewa, marah, bingung, atau merasa bersalah?

Tapi nyatanya, kata-kata tersebut diucapkan seorang anak dengan kesungguhan hati dan kemantapan rasa.

Ialah Zain yang bertutur dengan jujur bagaimana kecewanya dirinya memiliki orangtua yang jauh dari cinta dan kasih sayang. Yang didapatkan dari orangtuanya adalah realita bahwa adiknya dijual oleh orangtuanya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Pikiran dan perasaanya berkecamuk. Mengamuk tiada henti menuntut tanggung jawab ayah ibunya yang semestinya hadir secara sadar sebagai orangtua yang ringan peluk.

Dengan usia masih 12 tahun, Zain meninggalkan rumah, kedua orangtuanya dan juga saudara-saudaranya, lalu menyambung hidup di jalanan.

Kisah Zain dalam Film Capernaum yang memenangkan berbagai ajang festival film internasional dan menjadi nominasi OSCAR tersebut suatu bentuk ketidaksiapan, kelalaian, hingga kekerasan orangtua terhadap anak.

World Health Organization (WHO) sendiri memaparkan bentuk kekerasan pada anak tidak hanya fisik, tapi juga seksual, emosional, eksploitasi, serta penelantaran. Sementara pelaku kekerasan paling banyak justru dilakukan oleh orangtua atau pengasuh anak (caregiver).

Kekerasan berdampak pada cedera fisik, trauma psikologis, kerusakan sistem saraf, kemampuan individu dalam mengatasi sebuah masalah, munculnya perilaku-perilaku yang tidak sehat, hingga tentu saja kematian.

Masih terngiang peristiwa pembacokan seorang anak SD di Depok oleh ayahnya di suatu pagi. Berawal dari cekcok dengan istrinya terkait pelunasan hutang dan keinginan sang istri untuk bercerai, kekerasan itu terjadi. Bukan hanya kepada istrinya, tapi juga anaknya yang mengakibatkan meninggalnya sang anak. Pagi yang semestinya ceria berubah menjadi kelabu.

Kekerasan, disfungsi keluarga, perceraian, dan perselingkuhan merupakan permasalahan yang kerapkali hadir pada individu dan kelompok dalam suatu naungan bernama keluarga atau pasangan yang telah menikah.

Kok bisa? Bukankah pernikahan adalah jalan menuju sakinah? Bahkan setiap ada yang menikah, orang-orang berdoa:

“Semoga Sakinah, Mawaddah, Warahmah.”

Nyatanya, tidak semua pernikahan maujud sesuai harapan yang telah dihaturkan.

Maka di sinilah kita perlu tafakkur sekaligus tadabbur mengenai Ar-Rum ayat 21:

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untuk mu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (warahmah). Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.

Mawaddah dan Warahmah sebenarnya bekal yang sudah Allah siapkan menuju Sakinah. Artinya, Sakinah, ketenangan atau ketenteraman perlu diupayakan oleh manusianya sendiri melalui Mawaddah dan Warrahmah yang sudah ada dan disadari oleh manusia.

Maka doa semestinya:

“Melalui Mawaddah dan Warahmah, semoga engkau berdua menjadi dan istiqomah mewujudkan Sakinah.”

Sayangnya, acapkali manusila lupa atau alpa tidak menyadari hadirnya kasih sayang dan cinta yang senantiasa dihadirkan Allah Swt. Sehingga yang memenuhi ruang hatinya adalah rasa kecewa, kesal, dan amarah dalam menjalani biduk keluarga.

“Agar Layangan Tak Jadi Putus” mengajak agar setiap individu yang ada dalam keluarga, khususnya ayah dan bunda atau siapapun yang akan menikah untuk kembali ke “rumah” menyadari dan menerima Mawaddah dan Warahmah.

Saat kita menyadari keberadannya (cinta), maka berikutnya adalah mengelola dan menghadirkannya (kembali) dalam bentuk niat, pikiran, perasaan, hingga perilaku. Pada akhirnya, dengan rahmat, keberadaan kita dalam keluarga menjadi manfaat. Khoirunnas anfauhum linnas.

Melalui cinta pula, kita ikhlas menanam atau menandur untuk hari esok, Wal tandhur nafsum maa qaddamat ligad.

Suatu saat orangtua yang “menandur” kebaikan-kebaikan dan cinta melalui interaksi dan pengasuhan di dalam keluarga akan memanen hasilnya. Kapan? Entah. Tapi kelak, itu akan terjadi, seizin Allah Swt. tentunya.

Buku sederhana ini tidak membahas teori-teori. Buku ini hanyalah kumpulan hikmah-hikmah dari mindful couple dan mindful parenting yang mungkin genting untuk dipraktikkan sedikit demi sedikit agar pelayaran kehidupan pernikahan dan keluarga menjadi tidak mudah terombang-ambing apalagi terpelanting akan ganasnya badai. Dan yang juga tak kalah penting, supaya kita semua dapat berlabuh di Laguna Sakinah.

Ar-rahmaan, ‘allamal qur’aan. 

Download Buku Mindfulness: Agar Layangan Tak Jadi Putus di sini

Kamis, 17 November 2022

Strategi Self-Care dengan Acceptance and Commitment Therapy



Oleh Susan Rahmayani 

Bahagia. Sebagian besar orang mencarinya, menemukannya. Lalu selamanya manusia ingin dalam kondisi tersebut. 

Namun sayangnya, perjalanan kehidupan menyadarkan dan mengajarkan bahwa kenyataanya kita tidak selalu bahagia. Ada beragam rasa lain yang menghampiri seperti sakit dan kecewa, kehilangan, kematian, kegagalan, maupun kesedihan.

Seperti pagi ini yang mendapati kenyataan bahwa saya dinyatakan tidak lulus dalam ujian akhir sebuah pelatihan.

Sedih, kesal, malu menyatu... padahal beberapa menit sebelumnya merasa bersyukur karena bangun pagi lalu melaksanakan sholat dan rutinitas lainnya seperti menyiapkan sarapan untuk keluarga, dan sebagainya.

Berat rasanya menjalani hari. 

Akhirnya saya memilih menepi sejenak, mengijinkan dan menerima semua kerumunan rasa dan pikiran untuk diamati dan disadari. Setelah kondisi jiwa lebih tenang, berbagai respon terbaik siap dipilih. 

Daripada terus terjerat (hooked) dalam kecamuk rasa, saya memilih untuk menuliskan ini. Ya, tulisan ini, yang tidak sekedar untuk mengalirkan emosi, tapi juga sebagai pengganti ketidaklulusan ujian akhir pelatihan tersebut.

Itulah salah satu contoh dari merawat diri (self-care) dengan Acceptance and Commitment Therapy (ACT).

Penerimaan itu bukan asal pasrah nrimo begitu saja tapi merangkul merima apa yang ditawarkan kehidupan. Mengizinkan dan membuka diri sepenuhnya terhadap realita yang ada kemudian dikuti dengan komitmen melakukan tindak lanjut berdasarkan nilai yang dipilih secara konsisten. 

Sederhananya ACT adalah berikut ini:

Acceptance: menerima pikiran, ingatan dan emosi hal yang tidak diinginkan, seperti rasa malu, rasa bersalah, rasa kesal dan lainnya. Tidak menolak pikiran dan rasa yang tidak diinginkan melainkan berlatih mindfulness atau berkesadaran mengobservasi pikiran dan perasaan apa adanya.

Choose a valued direction: memilih nilai / value yang akan diikuti. Menyadari mempunyai pilihan arah hidup diawali dengan identifikasi dan fokus pada value yang diinginkan. Berlatih menerima inner world, menerima apa yang datang dan apa yang menemani dalam perjalanan.

Take action: mengambil langkah tindakan yang telah dipilih. Berlatih melaksanakan komitmen pada apa yang telah dipilih sehingga dapat menjalani sesuai dengan value-nya.

Terdapat enam core dalam ACT yang perlu terus-menerus dilatih. Empat elemen terkait mindfulness (acceptance, cognitive defusion, flexible attention, dan self as context), sementara dua lagi, yaitu perilaku (value dan committed action). Berikut penjelasannya:

1) Acceptance, berlatih menerima pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan/ buruk tanpa berusaha untuk mengubahnya. Agar terbangun kemampuan ‘rela’ menerima, menghadapi pikiran, perasaan dan pengalaman yang sebelumnya dihindari.

2) Cognitive Defusion, dengan berpikir cara baru agar saat menghadapi masalah berdampak lebih sedikit pada diri. Berlatih meredakan pikiran tanpa berusaha menghilangkannya dengan menjaga jarak dari pikiran tersebut sehingga tidak termelekati.

3) Flexible attention, berlatih menjalani kehidupan di saat ini dan di sini apa adanya agar dapat lebih fleksibel dan konsisten pada value yang dimiliki. Dengan mengembangkan kesadaran saat ini artinya memberi ruang untuk perasaan negatif alih-alih mencoba menekan atau mendorongnya.

4) Self as context, berlatih melihat atau mengobservasi diri apa adanya tanpa menghakimi atau menilai benar/ salah dengan mindful pada diri apa adanya. Bahwa manusia bukanlah isi pikiran atau perasaannya, melainkan kesadaran yang mengalami pikiran dan perasaan tersebut.

5) Value, mengidentifikasi nilai-nilai penting sebagai panduan agar dapat diterapkan saat mengambil keputusan atau tindakan. 

6) Committed Action, berlatih komitmen melalui tindakan berdasarkan value yang ada dan mengarahkannya pada tujuan-tujuan hidup yang bermakna. Berkomitmen melakukan tindakan dengan sepenuh hati dan tanggung jawab diri.

Pendekatan ini membantu membebaskan diri dari rasa pikiran yang membelenggu dan sekaligus menuntun untuk menerima dan mengobservasi dengan penuh kesadaran pikiran tersebut tanpa larut ke dalamnya. 

Mari peduli pada kesehatan mental kita dengan mengupayakan merawat diri (self-care) dengan baik, memberinya pupuk cinta melalui Acceptance and Commitment Therapy.

Sumber gambar:

Selasa, 15 November 2022

Menualah, Lalu Menjelma Menjadi Cinta



Oleh Tauhid Nur Azhar

Menua dan menuai adalah tindak selaras yang datang mendaras, untuk menguji sikap ikhlas. Kita tumbuh dengan memeras setiap pengalaman yang diizinkan Allah untuk senantiasa membekas.

Karena kenangan adalah pembelajaran yang berperan untuk membentuk kepribadian dan turut menentukan seperti apa bentuk metamorfosa kita yang dipahat oleh kehidupan.

Sedih dan gembira, juga marah dan suka cita, bersama harapan dan kekecewaan adalah cara semesta menjabarkan makna ke dalam sebentuk rasa yang kelak mengemban nama sebagai manusia.

Maka kita kerap tertatih dan letih, hingga akhirnya terlatih, dan menjadi pribadi yang terjebak dalam rintih pedih, ataupun dalam lelah yang membelasah.

Meski saat amanah telah mampu disyukuri sebagai rahmah, kita akan menjelma menjadi sosok Khalifah. Sosok teduh tempat banyak jiwa bernaung, dimana gaung rindu pada yang Maha Agung senantiasa berdengung.

Maka menua adalah menuai segenap rasa yang telah kita labeli dengan makna, alih-alih hanya menjadi sekedar tanda, ia dapat menjelma menjadi cinta.

Cinta pada dunia yang digerus dan dihapus oleh waktu. Atau cinta pada yang Maha Mencinta, tanpa perlu berharap perlakuan setara.

Cinta nan sederhana. Cinta yang hanya punya jujur sebagai modalnya. Cinta yang tak berkelindan dengan kecewa. Yang tak marah saat didera rasa tak berbalas, bahkan tak berpunya.

Karena cinta saat menua adalah menuai tanda dalam perjalanan kelana jiwa, bahkan bagi mereka yang merasa tak pernah kemana-mana.

Sumber gambar:

Mindfulness dan Penyesuaian Diri pada Masa Purna Karya


Oleh M. Grace B. Marlessy 

Menua, bagi sebagian orang merupakan proses yang tidak begitu mudah dijalani. 

Di dunia kerja, mereka yang telah sampai pada usia purna karya seringkali perlu berjuang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang tak terhindari. Sebenarnya perubahan tersebut memang tidak sepenuhnya buruk. Ada pula hal-hal yang justru dirasakan lebih menyenangkan setelah mengalaminya. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa proses ini kerap dipandang dan disikapi sebagai sebuah pengalaman yang negatif, setidaknya pada masa-masa transisi awal.

Banyak aspek kehidupan yang terpengaruh ketika seseorang memasuki masa purna karya. Mulai dari berubahnya rutinitas sehari-hari, berkurangnya produktivitas, hilangnya status, kekuasaan, maupun lingkungan sosial yang semula dimiliki, penghasilan menurun, dan sebagainya. 

Perubahan tersebut bisa menimbulkan beragam perasaan dan suasana hati. Dapat pula berkontribusi pada munculnya kecemasan, depresi, masalah konsep diri, kesepian, bahkan memicu krisis eksistensial bila orang tersebut tidak berhasil menemukan strategi coping yang efektif.

Hal itu dapat terjadi pada siapa pun yang menjalaninya, tak terbatas pada kelompok lanjut usia saja. Tiap orang dapat mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian diri pada masa ini, tak peduli berapa pun usianya saat mulai memasuki purna karya. 

Setiap negara memang menetapkan batas usia berbeda untuk mengakhiri masa kerja. Ada yang menentukan mulai usia 49 tahun, 56 tahun, bahkan 65 tahun, bervariasi dari tahap perkembangan dewasa madya hingga lanjut usia. Di beberapa negara, jenis kelamin dan jenjang jabatan juga menjadi faktor penentu batas usia ini.

Meskipun demikian, pada dasarnya perubahan yang dialami dalam konteks purna karya adalah perubahan besar yang sama. Dalam konsep hirarki kebutuhan dari Maslow, maka masa ini dapat menjadi ancaman terhadap hampir semua kebutuhan seseorang (fisiologis, rasa aman, cinta/ belongingness, dan harga diri). Bisa pula berlanjut hingga akhir hidup seseorang.

Pada tulisan ini, batasan masa purna karya merujuk pada Retirement Phase menurut pembagian Robert Atchley. Fase ini terdiri dari 4 (empat) tahap, yakni:

1. Honeymoon, saat seseorang bersemangat menikmati kebebasan dari rutinitas kerjanya, karena ia tak lagi terikat dan dapat melakukan apapun yang diinginkan.

2. Kemudian menyusul tahap Disenchantment/ Disappointment, saat ia mulai ragu atau mempertanyakan keadaannya sekarang. Tahap ini sering ditandai dengan kekecewaan, kecemasan, depresi, dan berbagai pikiran serta perasaan negatif. Bila kemudian ia mampu melewatinya dengan baik, maka ia pun mencapai tahap ketiga.

3. Reorientation menjadi titik balik sewaktu seseorang dapat bangkit, menemukan arah dan makna hidup yang baru.

4. Setelah itu barulah hadir tahap berikutnya, yakni Retirement Routine/ Stability, saat ia menjalani hidup sesuai misi atau tujuan terakhirnya.

Sebagian orang, terutama yang telah mempersiapkan diri dengan baik, biasanya lebih mudah menerima dan menyelaraskan diri dengan realitas baru tersebut. Dengan demikian, jika pun mereka mengalami saat-saat yang cukup berat dalam prosesnya, maka hal itu dapat diatasi cukup cepat. 

Memang, menerima adalah jenis respon pertama dan yang paling sehat dalam menyikapi situasi ini.

Sebaliknya, ada pula orang-orang yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan masa purna karya. Mereka menampilkan dua jenis respon yang berbeda, yaitu: terpaksa menerima, atau menolak (Biya & Suarya, 2016). Jumlah mereka tidak sedikit (Finansialku, 2016). 

Mereka inilah yang sering kali terjerumus cukup lama dalam berbagai masalah, seperti: kecemasan, ketidakbahagiaan, depresi, memburuknya relasi, bahkan pada mereka yang sebelumnya memiliki jabatan struktural cukup tinggi juga terlihat gejala post power syndrome (Biya & Suarya, 2016).

Pertanyaannya: Bila demikian, lalu apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan cepat pada realitas masa purna karya?

Ternyata, beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa menjalani terapi berbasis mindfulness dapat membantu mengoptimalkan proses penyesuaian diri tersebut. 

Intervensi psikologi berbasis mindfulness adalah berbagai terapi yang memadukan mindfulness dengan ragam teknik terapi lain.

Mindfulness sendiri secara sederhana dapat digambarkan sebagai kondisi ketika pikiran, perasaan, dan tubuh berada pada saat ini, tidak mengembara ke masa lalu maupun masa depan (Fachrudin, 2017).

Salah satu penelitian di Denmark menunjukkan peningkatan resiliensi dan well-being yang signifikan pada para peserta pra purna karya yang telah mengikuti program MBSR atau Mindfulness-Based Stress Reduction selama 8 minggu (Diachenko et.al., 2021). Mereka mengalami kemajuan pesat dalam hal penerimaan dan kelenturan psikologis. Pun menjadi lebih menyadari pikiran atau perasaan tanpa menilai, dan lebih mampu menerima serta mengasihi diri sendiri.

Dalam bukunya Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression (2nd ed.), Segal et. al. (2013) juga menyebutkan bahwa banyak dari mereka yang mengalami depresi lalu mengikuti MBCT, menjadi lebih mudah mengenali pemicu relapse serta menanganinya dengan pikiran dan aktivitas positif. Selain itu mereka pun mampu lebih berempati, meningkatkan relasi dengan orang lain, dan terampil mengamati pikiran atau perasaan apapun yang muncul tanpa terseret ke dalamnya.

Berdasarkan berbagai gambaran di atas, maka sebenarnya mempelajari dan mempraktikkan teknik-teknik mindfulness secara teratur dapat mempermudah penyesuaian diri dalam masa purna karya, karena akan melatih seseorang untuk hidup berkesadaran serta penuh penerimaan.

Referensi:
Biya, C. I. M. J., & Suarya, L. M. K. S., (2016). Hubungan Dukungan Sosial dan Penyesuaian Diri pada Masa Pensiun Pejabat Struktural di Pemerintahan Provinsi Bali.

Diachenko, Maria, et. al., (2021). Pre-retirement Employees Experience Lasting Improvements in Resilience and Well-Being After Mindfulness-Based Stress Reduction. doi.org/10.3389/fpsyg.2021.699088

Fachrudin, Duddy, (2017). Apa Itu Mindfulness? http://www.mindfulnesia.id/2017/03/apa-itu-mindfulness.html

Finansialku (2016). Mengapa Banyak Karyawan Cemas Menghadapi Masa Pensiun?

Segal, Zindel V., Williams, J. M. G., & Teasdale, John D. (2013). Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression (2nd ed.). New York: Guilford Press.

Sumber gambar: