Oleh Duddy Fachrudin
My Momma always said you got to put the past behind you before you can move on. And I think that’s what my running was all about. (Forrest Gump)
Lari menjadi aktivitas teramat penting saat ini. Hampir setiap minggu ada event lari di berbagai kota, mulai dari skala fun run hingga marathon. Fenomena fear of missing out (FOMO) mengenai lari merebak di sebagian orang, tak terkecuali saya. Akhirnya, saya pun ikut lari kategori 10K di pertengahan tahun ini. Rasanya senang, namun juga membuat tidak tenang.
Seyogyanya senang melahirkan tenang, seperti ngaji mindfulnesia yang saban hari dikreasikan oleh Azru Mustika, seorang mahasiswa sekaligus pencari ilmu sejati di seantero bumi.
Hal yang membuat ketidaktenangan saya ialah detak jantung yang ingin meledak saat itu. BUUUM. DUAAARRR. Bayangkan 10 kilometer berlari tanpa strategi dan mengedepankan ego tidak mau kalah disalip serta bisa finish sebelum cut off time (COT), hingga mengejar personal best (PB) merupakan hal terkonyol yang dilakukan manusia FOMO tentang lari. Untungnya hidup terus berjalan kata Bernadya, saya masih bisa menikmati mentari meski tertatih setelah berlari.
Dopamin membanjiri otak. Sensasi bahagia menyeruak.
Lari menjadi aktivitas teramat penting saat ini. Hampir setiap minggu ada event lari di berbagai kota, mulai dari skala fun run hingga marathon. Fenomena fear of missing out (FOMO) mengenai lari merebak di sebagian orang, tak terkecuali saya. Akhirnya, saya pun ikut lari kategori 10K di pertengahan tahun ini. Rasanya senang, namun juga membuat tidak tenang.
Seyogyanya senang melahirkan tenang, seperti ngaji mindfulnesia yang saban hari dikreasikan oleh Azru Mustika, seorang mahasiswa sekaligus pencari ilmu sejati di seantero bumi.
Hal yang membuat ketidaktenangan saya ialah detak jantung yang ingin meledak saat itu. BUUUM. DUAAARRR. Bayangkan 10 kilometer berlari tanpa strategi dan mengedepankan ego tidak mau kalah disalip serta bisa finish sebelum cut off time (COT), hingga mengejar personal best (PB) merupakan hal terkonyol yang dilakukan manusia FOMO tentang lari. Untungnya hidup terus berjalan kata Bernadya, saya masih bisa menikmati mentari meski tertatih setelah berlari.
Dopamin membanjiri otak. Sensasi bahagia menyeruak.
Pikiran berkata, “Ayo lari lagi, habis ini half marathon!”.
Pikiran yang lain kemudian membalas, “Half marathon ketek lu, kemarin aja engap, heart rate udah mau membludak!”
Benar juga, banyak pelari mengalami berbagai keluhan di berbagai event lari. Terdekat, tenda medis di Jakarta Running Festival “dikunjungi” hingga ratusan pelari. Tentu di tenda medis bukan mau minta minum, bukan? Dilansir dari Kompas.com, dokter Andi yang bertugas sebagi tim medis saat itu mengatakan bahwa banyak pelari yang abai terhadap kemampuan tubuhnya sehingga pingsan dan tak sadarkan diri. Intinya, listen to the body and know your limit, ujar dokter Andi lagi.
Aha!
Kuncinya ialah mindful running. Berlari dengan penuh kesadaran, mengenali keadaan tubuh, dengan meletakkan segala ambisi, ego, hingga FOMO. Forrest Gump bilang, “I just felt like running…”
Just run. Lari yang disadari dimulai dengan niat untuk mengembangkan kapasitas aerobik yang lebih baik. Dan itu dilakukan dengan heart rate yang rendah. Tanpa mengukur detak jantung melalui aplikasi atau smartwatch, kita bisa mengidentifikasi kondisi heart rate. Dua indikator yang bisa menjadi acuan ialah, saat lari masih bisa bernapas panjang serta berbicara dengan jelas.
Dalam konsep lari dengan menggunakan zona, mindful running berada pada kategori zona 2. Pada zona ini, heart rate berada pada kisaran 60-70% dari maksimumnya (220-usia). Jadi jika usia seseorang 35 tahun, maka detak jantung maksimalnya ialah 185 beats per minute (BPM). Heart rate saat berlari yaitu 111-130 BPM.
Konsep ini sama dengan metode latihan dengan pendekatan Maximum Aerobic Function (MAF) yang diperkenalkan oleh Phil Maffetone, seorang dokter, nutrisionis, dan pelatih atletik. Sesuai Namanya, MAF bertujuan untuk meningkatkan kemampuan aerobik dan meminimalisir cedera. Konsep MAF sangat mengedepankan low heart rate saat berlari. Rumus heart rate masksimum saat berlari ala MAF, yaitu 180-usia. Jika usia 30 tahun, maka ketika berlari heart rate yang diijinkan maksimumnya pada angka 150 BPM.
Low heart running dengan zona 2 atau MAF memungkinkan individu meningkatkan kapasitas sistem kardiovaskular untuk menyediakan oksigen ke dalam otot yang bekerja. Ini merupakan fondasi kesehatan yang perlu dibangun setiap orang selain meningkatkan masa otot. Keduanya menjadi prediktor longevity, yang merupakan kemampuan untuk hidup lama atau memiliki usia yang panjang sambil menikmati kesehatan yang baik, meliputi biopsikososio dan spiritual.
Para atlet lari sendiri menggunakan pendekatan low heart running saat latihannya. Sejumlah 80% porsi latihan mereka digunakan untuk lari dengan heart rate rendah. Sementara hanya 20%, menu latihan intensitas sedang ke tinggi seperti tempo, interval, dan fartlek.
Maka, pelari-pelari FOMO, sudah saatnya meninggalkan masa lalu, yaitu hanya sekedar mengikuti tren dan ingin tahu. Kini mulai berlari dengan bijak, disadari, dan diniatkan untuk meningkatkan kesehatan agar tak menjadi beban bagi orang lain.
Benar juga, banyak pelari mengalami berbagai keluhan di berbagai event lari. Terdekat, tenda medis di Jakarta Running Festival “dikunjungi” hingga ratusan pelari. Tentu di tenda medis bukan mau minta minum, bukan? Dilansir dari Kompas.com, dokter Andi yang bertugas sebagi tim medis saat itu mengatakan bahwa banyak pelari yang abai terhadap kemampuan tubuhnya sehingga pingsan dan tak sadarkan diri. Intinya, listen to the body and know your limit, ujar dokter Andi lagi.
Aha!
Kuncinya ialah mindful running. Berlari dengan penuh kesadaran, mengenali keadaan tubuh, dengan meletakkan segala ambisi, ego, hingga FOMO. Forrest Gump bilang, “I just felt like running…”
Just run. Lari yang disadari dimulai dengan niat untuk mengembangkan kapasitas aerobik yang lebih baik. Dan itu dilakukan dengan heart rate yang rendah. Tanpa mengukur detak jantung melalui aplikasi atau smartwatch, kita bisa mengidentifikasi kondisi heart rate. Dua indikator yang bisa menjadi acuan ialah, saat lari masih bisa bernapas panjang serta berbicara dengan jelas.
Dalam konsep lari dengan menggunakan zona, mindful running berada pada kategori zona 2. Pada zona ini, heart rate berada pada kisaran 60-70% dari maksimumnya (220-usia). Jadi jika usia seseorang 35 tahun, maka detak jantung maksimalnya ialah 185 beats per minute (BPM). Heart rate saat berlari yaitu 111-130 BPM.
Konsep ini sama dengan metode latihan dengan pendekatan Maximum Aerobic Function (MAF) yang diperkenalkan oleh Phil Maffetone, seorang dokter, nutrisionis, dan pelatih atletik. Sesuai Namanya, MAF bertujuan untuk meningkatkan kemampuan aerobik dan meminimalisir cedera. Konsep MAF sangat mengedepankan low heart rate saat berlari. Rumus heart rate masksimum saat berlari ala MAF, yaitu 180-usia. Jika usia 30 tahun, maka ketika berlari heart rate yang diijinkan maksimumnya pada angka 150 BPM.
Low heart running dengan zona 2 atau MAF memungkinkan individu meningkatkan kapasitas sistem kardiovaskular untuk menyediakan oksigen ke dalam otot yang bekerja. Ini merupakan fondasi kesehatan yang perlu dibangun setiap orang selain meningkatkan masa otot. Keduanya menjadi prediktor longevity, yang merupakan kemampuan untuk hidup lama atau memiliki usia yang panjang sambil menikmati kesehatan yang baik, meliputi biopsikososio dan spiritual.
Para atlet lari sendiri menggunakan pendekatan low heart running saat latihannya. Sejumlah 80% porsi latihan mereka digunakan untuk lari dengan heart rate rendah. Sementara hanya 20%, menu latihan intensitas sedang ke tinggi seperti tempo, interval, dan fartlek.
Maka, pelari-pelari FOMO, sudah saatnya meninggalkan masa lalu, yaitu hanya sekedar mengikuti tren dan ingin tahu. Kini mulai berlari dengan bijak, disadari, dan diniatkan untuk meningkatkan kesehatan agar tak menjadi beban bagi orang lain.
Tapi… kalau larinya mindful, tetap bisa dapat medali kan? Bisa finish sebelum COT kan? Begitu kan yang ada dalam pikiranmu?