Tampilkan postingan dengan label Latihan Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Latihan Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Oktober 2024

Mindful Running: Membangun Fondasi Kesehatan Melalui Lari



Oleh Duddy Fachrudin 

My Momma always said you got to put the past behind you before you can move on. And I think that’s what my running was all about. (Forrest Gump)

Lari menjadi aktivitas teramat penting saat ini. Hampir setiap minggu ada event lari di berbagai kota, mulai dari skala fun run hingga marathon. Fenomena fear of missing out (FOMO) mengenai lari merebak di sebagian orang, tak terkecuali saya. Akhirnya, saya pun ikut lari kategori 10K di pertengahan tahun ini. Rasanya senang, namun juga membuat tidak tenang.

Seyogyanya senang melahirkan tenang, seperti ngaji mindfulnesia yang saban hari dikreasikan oleh Azru Mustika, seorang mahasiswa sekaligus pencari ilmu sejati di seantero bumi.

Hal yang membuat ketidaktenangan saya ialah detak jantung yang ingin meledak saat itu. BUUUM. DUAAARRR. Bayangkan 10 kilometer berlari tanpa strategi dan mengedepankan ego tidak mau kalah disalip serta bisa finish sebelum cut off time (COT), hingga mengejar personal best (PB) merupakan hal terkonyol yang dilakukan manusia FOMO tentang lari. Untungnya hidup terus berjalan kata Bernadya, saya masih bisa menikmati mentari meski tertatih setelah berlari.

Dopamin membanjiri otak. Sensasi bahagia menyeruak. 

Pikiran berkata, “Ayo lari lagi, habis ini half marathon!”

Pikiran yang lain kemudian membalas, “Half marathon ketek lu, kemarin aja engap, heart rate udah mau membludak!”

Benar juga, banyak pelari mengalami berbagai keluhan di berbagai event lari. Terdekat, tenda medis di Jakarta Running Festival “dikunjungi” hingga ratusan pelari. Tentu di tenda medis bukan mau minta minum, bukan? Dilansir dari Kompas.com, dokter Andi yang bertugas sebagi tim medis saat itu mengatakan bahwa banyak pelari yang abai terhadap kemampuan tubuhnya sehingga pingsan dan tak sadarkan diri. Intinya, listen to the body and know your limit, ujar dokter Andi lagi.

Aha!

Kuncinya ialah mindful running. Berlari dengan penuh kesadaran, mengenali keadaan tubuh, dengan meletakkan segala ambisi, ego, hingga FOMO. Forrest Gump bilang, “I just felt like running…”

Just run. Lari yang disadari dimulai dengan niat untuk mengembangkan kapasitas aerobik yang lebih baik. Dan itu dilakukan dengan heart rate yang rendah. Tanpa mengukur detak jantung melalui aplikasi atau smartwatch, kita bisa mengidentifikasi kondisi heart rate. Dua indikator yang bisa menjadi acuan ialah, saat lari masih bisa bernapas panjang serta berbicara dengan jelas.

Dalam konsep lari dengan menggunakan zona, mindful running berada pada kategori zona 2. Pada zona ini, heart rate berada pada kisaran 60-70% dari maksimumnya (220-usia). Jadi jika usia seseorang 35 tahun, maka detak jantung maksimalnya ialah 185 beats per minute (BPM). Heart rate saat berlari yaitu 111-130 BPM.

Konsep ini sama dengan metode latihan dengan pendekatan Maximum Aerobic Function (MAF) yang diperkenalkan oleh Phil Maffetone, seorang dokter, nutrisionis, dan pelatih atletik. Sesuai Namanya, MAF bertujuan untuk meningkatkan kemampuan aerobik dan meminimalisir cedera. Konsep MAF sangat mengedepankan low heart rate saat berlari. Rumus heart rate masksimum saat berlari ala MAF, yaitu 180-usia. Jika usia 30 tahun, maka ketika berlari heart rate yang diijinkan maksimumnya pada angka 150 BPM.

Low heart running dengan zona 2 atau MAF memungkinkan individu meningkatkan kapasitas sistem kardiovaskular untuk menyediakan oksigen ke dalam otot yang bekerja. Ini merupakan fondasi kesehatan yang perlu dibangun setiap orang selain meningkatkan masa otot. Keduanya menjadi prediktor longevity, yang merupakan kemampuan untuk hidup lama atau memiliki usia yang panjang sambil menikmati kesehatan yang baik, meliputi biopsikososio dan spiritual.

Para atlet lari sendiri menggunakan pendekatan low heart running saat latihannya. Sejumlah 80% porsi latihan mereka digunakan untuk lari dengan heart rate rendah. Sementara hanya 20%, menu latihan intensitas sedang ke tinggi seperti tempo, interval, dan fartlek.

Maka, pelari-pelari FOMO, sudah saatnya meninggalkan masa lalu, yaitu hanya sekedar mengikuti tren dan ingin tahu. Kini mulai berlari dengan bijak, disadari, dan diniatkan untuk meningkatkan kesehatan agar tak menjadi beban bagi orang lain. 

Tapi… kalau larinya mindful, tetap bisa dapat medali kan? Bisa finish sebelum COT kan? Begitu kan yang ada dalam pikiranmu?

Selasa, 10 September 2024

Hari Pencegahan Bunuh Diri: Dialektika Fufu Fafa


Oleh Duddy Fachrudin 

Berat tak terasa dalam sukma bergembira
Sudah yang berlalu menggelora bahagia
Berat terasa lepaskan semua

Cerita kelabu kini cerah dan ceria
Gelap tlah berlalu engah kini menggelora
Berat terasa lepaskan semua

(Ayushita)

Lagu Fufu Fafa yang dinyanyikan Ayushita 11 tahun lalu berkisah tentang dua keadaan yang dialami seorang manusia. Ada kelabu, ada ceria. Berat terasa, kemudian menggelora bahagia. Fufu Fafa! Di saat ada fufu, di sana ada fafa. Intinya, dalam kehidupan manusia, sejatinya ada tesis dan antitesis. keduanya merupakan suatu kebenaran. Dialektika!

Sigmund Freud memberikan contoh dialektika mengenai eros dan thanatos. Eros merupakan dorongan untuk hidup, sementara thanatos sebaliknya, dorongan untuk mati. Konsep ini bisa dijelaskan dengan pengalaman kita dulu saat masih sekolah. Ketika masuk sekolah, ada keinginan untuk libur. Sementara saat libur, rindu sekolah.

Tesis dan antitesis selalu hadir dalam hidup manusia, bukan untuk saling menegasikan, tapi memperkaya sudut pandang. Karena setelah melihat keduanya, manusia dapat mengelaborasi atau mengintegrasi yang kemudian mewujud dalam sebuah refleksi. 

Jadi, wajar sebenarnya ada dorongan untuk mati. Namun, perlu diingat juga bukan berarti yang ingin mati juga benar-benar tidak ingin hidup. Loh-loh…

Kembali lagi pada konsep dialektika, aku ingin mati saja… dan aku ingin melihat timnas Indonesia bisa tampil di Piala Dunia. Kalau kita lihat secara gestalt pernyataan itu, maka dibalik keinginan untuk mati, ada dorongan untuk hidup.

Jadi, diterima saja bahwa faktanya saat ini pikiran bunuh diri berseliweran dalam ruang imaji manusia. Hal terpenting ialah memunculkan dorongan untuk tetap hidup pada mereka. Hal-hal sederhana bisa menjadi eros, seperti ingin makan burjo di Warmindo, melihat akhir dari One Piece, mendaki gunung, atau ya… ingin tahu kisah selanjutnya dari fufufafa di negeri ini. Khusus yang ini ialah drama fufufafa, bukan judul lagu Ayushita, Fufu Fafa.

Dalam satu sesi konseling dan psikoterapi dengan pendekatan Dialectical Behavior Therapy (DBT), Marsha Linehan berkisah tentang dialektika ini:

Saat kliennya ingin bunuh diri, Oma Linehan bertanya dan meminta pendapatnya, bagaimana jika kliennya mengetahui saudara atau keponakannya ingin mengakhiri hidupnya. Kliennya kemudian menjawab bahwa ia ingin menolongnya, mencegahnya dari bunuh diri. Akan diajaknya saudaranya untuk bercerita, menemui psikolog, dan memberikan dukungan apapun agar ia tetap hidup.

Lihat. Seorang manusia yang ingin mati pun akan mencegah seseorang dari bunuh diri!

Fufu Fafa, bukan?

Sumber gambar:

Senin, 02 September 2024

Mindful Journey: Bertumbuh di Puncak Merbabu



Oleh Duddy Fachrudin 

Waktu tercepat untuk mendaki keempat belas puncak 8000 meter adalah tujuh tahun. Jika bisa bertahan, aku bisa melakukannya dalam tujuh bulan. (Nims Purja) 

Nims dan tim yang semuanya berasal dari Nepal itu akhirnya menaklukkan keempat belas puncak tertinggi di dunia—Sishapangma, Gasherburm I, Gasherburm II, Broad Peak, Annapurna, Nanga Parbat, Manaslu, Dhaulagiri, Cho Oyu, Makalu, Lhotse, Kangchenjunga, K2, dan Chomolungma atau yang terkenal dengan Everest di tahun 2019. Melalui “Project Possible”, hal yang tidak mungkin bisa terwujud dalam enam bulan enam hari. Perjalanan itu kemudian ditayangkan dalam film dokumenter “14 Peaks: Nothing Is Impossible”.

Menariknya, rekor yang terlihat sangat mustahil untuk dipecahkan itu kemudian patah. Adalah Kristin Harila dan Tenjen Sherpa yang melakukannya. Mereka mendaki dan berada di empat belas titik tertinggi di dunia hanya dalam kurun waktu 92 hari pada tahun 2023.

Setahun sebelum peristiwa itu, saya mendaki Gunung Merbabu, setelah 15 tahun tidak melakukan aktivitas hiking. Saat berjalan menuju pos 3, tubuh saya terbanting ke tanah. Betis kaki kiri mengalami kram yang luar biasa yang membuat saya meragu untuk melanjutkan perjalanan. Namun akhirnya setelah dipapah dan mengambil jeda, saya melanjutkan pendakian ke pos Sabana. Keesokan harinya, dengan kekuatan tekad dan Rahmat Allah Swt., dua puncak Merbabu, yaitu Kentengsongo dan Triangulasi berhasil didaki.

Ada sensasi yang luar biasa, kepuasan yang tak terkira mendaki sekaligus menziarahi awindya hingga berada di puncaknya. Mungkin Nims Purja dan Kristin Harila juga merasakan hal yang serupa. Dalam psikologi, hal ini termasuk dalam psychological well-being (kesejahteraan psikologis) dengan secara khusus pada aspek personal growth (pertumbuhan pribadi).

Gunung Merbabu

Pertumbuhan pribadi menekankan pada terbuka dengan pengalaman baru, perkembangan yang berkelanjutan, hingga bertumbuh dan terus berkembang sebagai manusia. Inilah mengapa dalam psikologi ada tugas atau tantangan perkembangan. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai lansia, terdapat tugas psikologi yang perlu dipenuhi agar siap dan adaptif menuju fase perkembangan selanjutnya.

Misalnya saja pada usia remaja ditekankan untuk mengenal dirinya, potensinya, kelemahannya, lintasan rasa dan pikirannya yang sering muncul, hingga tujuan penciptaan dirinya di dunia. Pemahaman akan diri jika sudah terpenuhi akan membawa pribadi yang matang saat menghadapi fase dewasa. Jadi, tidak ada lagi narasi dalam diri yang mengatakan “takut tambah dewasa, takut aku kecewa, dan takut tak seindah dan sekuat yang kukira…”, apalagi manusia sejatinya diberi potensi, yaitu penglihatan, pendengaran, serta hati.

Hidup memang suatu dialektika. Ada masalah, juga hal-hal indah. Keduanya silih berganti mengisi jiwa manusia. Derita bukan berarti malapetaka, karena Sang Arif Bijaksana, Ibnu Athaillah berkata:

“Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid”, dan “Bisa jadi, kegelapan datang menyergapmu untuk mengingatkan anugerah Allah atas dirimu”.

Jalaludin Rumi menambahkan:

“Be grateful for whatever comes, because each has been sent as a guide from beyond”.

Ketidaknyamanan seperti saat pendakian sebuah gunung itu suatu hal yang memang perlu dijalani agar kelak manusia mekar dan tumbuh. Sabar dan syukur serta kemampuan untuk merancang solusi mewujud pada aksi ialah niscaya. Di sini, di titik jeda, di saat lelah melanda adalah masa terbaik untuk membaca dan memohon petunjuk kepada Sang Maha.

Saya jadi teringat dengan kata-kata Sir Edmund Hillary, satu dari dua orang yang berada di Puncak Gunung Everest pertama kali, “It’s not the mountain we conquer, but ourself”. Pertumbuhan pribadi itu ternyata menaklukkan diri kita sendiri, khususnya diri yang membawa kepada keburukan.

Wa mā ubarri`u nafsī, innan-nafsa la`ammāratum bis-sū`i illā mā raḥima rabbī, inna rabbī gafụrur raḥīm. (QS. Yusuf: 53)

Paparan kenikmatan dan penderitaan yang hadir selama menjalani kehidupan di dunia seringkali mengalihkan dari pemenuhan tugas perkembangan. Menurut Mbah Erik Erikson, psikolog yang mengembangkan konsep perkembangan dari perspektif psikososial, bahwa level tertinggi manusia ialah pencapaian kebijaksanaan. Menjadi manusia yang waskita dengan metakognitifnya seperti pendaki yang bertengger di Puncak Sagarmatha. Dan ciri manusia waskita pitutur Ronggowarsito, yaitu memahami “rahasia selamat” dan menjalaninya, ibarat ngelmu iku kalakone kanthi laku.

Dalam keheningan di Puncak Merbabu, hati ini bertanya, apakah “rahasia selamat” itu?

Sumber gambar:

Minggu, 25 Agustus 2024

Forest Therapy: Forever Young dan Nir Adigung



Oleh Duddy Fachrudin 

Di jaman penuh eksposur, jiwa perlahan berkeping hancur. Pikiran berkonflik saling membentur. Oh… diri yang lacur! Tidak eling dengan wasiat leluhur. Untuk membaur dalam tadabur serta tafakur. Maka sejenak hati terhubung kembali dengan nature. Sebagai wujud cinta dan tanda syukur.

Berlebihnya eksposur informasi yang tidak diiringi dengan kemampuan untuk mengelola atensi menghadirkan permasalahan psikologi. Mulai dari fokus yang makin berkurang hingga adiksi. Rasmus Hougaard, pakar mindful leadership menamakannya PAID atau Pressure - Always on - Information overload - Distraction. Stres karena distraksi akibat banjirnya informasi.

Meski otak manusia sangat canggih dan diberkahi kemampuan switch atensi, namun PAID nyatanya membuat individu semakin mindless, tidak hadir sepenuhnya pada saat ini. Pikiran larut dan kemudian meloncat tak menentu secara otomatis mengikuti arah stimulus. Keseimbangan energi tergerus, waktu habis untuk mengembara di langit dopamin yang amat membius.

Memang fenomena ini tidak sama persis terjadi pada semua orang. Sebagian individu mampu membuat jarak dengan PAID dan sumber stres lain yang memburu dengan mengembangkan keterampilan mindfulness. Latihan meditasi serta menumbuhkan sikap mindfulness seperti tidak tergesa, menerima, dan terbuka menjadi menu harian yang sayang untuk dilewatkan.

Ada yang berlatih menyadari napas. Ada pula yang tak melekatkan diri dengan identitas. Dan juga ada yang menjadikan hutan sebagai ruang beraktivitas. Ragam latihan mindfulness dengan tujuan yang sama, yaitu eling lan awas.

Beraktivitas di hutan tidak sekedar bermain, seperti halnya outbond yang mengasyikkan. Berada di hutan sengaja diniatkan, untuk hadir di antara rimbunnya pepohonan, sejuknya udara, serta komorebi yang memancar begitu indahnya. Terapi ini mengembangkan keterampilan mindfulness dengan grounding berjalan tanpa alas kaki, lalu meditasi, serta menggerakkan tubuh melalui yoga atau tai chi, kemudian ditutup dengan hug tree disertai afirmasi yang menentramkan hati.

Kondo wa kondo. Ima wa ima. Sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Menyadari sepenuhnya di sini. Menikmati saat ini tanpa menghakimi, tanpa tergesa untuk pergi. Seperti maknanya, forest berarti for rest. Untuk beristirahat, melepas penat. Semakin manusia mampu meletakkan stres, semakin ia dapat menahan laju karies tubuhnya.

Bagaimana bisa Yura?

Sejenak mari berkelana pada fondasi yang membangun kesehatan manusia. Ada tiga poin yang jika dijaga serta dikelola dapat membuat manusia awet muda.

Pertama, pencegahan dari stres oksidatif. Tubuh manusia sejatinya akan rusak karena oksidasi radikal bebas. Stres oksidatif ditandai dengan ketidakseimbangan pada ion positif dan negatif. Melalui barefoot atau nyeker di hutan, tubuh akan menyerap ion negatif yang kemudian dapat mencegah timbulnya kerusakan pada sel. Paparan ion negatif yang berasal dari hutan juga dapat mengurangi gejala depresi, mengaktifkan sistem pada tubuh, dan berperan sebagai antioksidan dan antiinflamasi.

Kedua, peningkatan sistem imun. Bayangkan tubuh sebagai suatu negara, sementara sistem imun adalah penjaganya yang bertugas sebagai pertahanan dari kemungkinan serangan musuh berupa organisme patogenik. Tentara sistem imun perlu melakukan latihan sehingga kualitasnya baik. Dan kuncinya terletak pada keseimbangan mikrobiota dalam usus manusia. Itulah mengapa 70% sistem imun terletak di usus manusia.

Flora baik dalam usus merupakan sparing partner sistem imun—seperti sel Natural Killer (NK), yang aktivitasnya meningkat dan menjaga tubuh dari serangan sel kanker. Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh inisiator pengobatan melalui media hutan di Jepang, dr. Qing Li, dimana shinrin-yoku atau forest bathing secara signifikan meningkatkan jumlah sel NK dan juga granulysin (GRN), perforin, granzyme (Gr) A/B-expressing cells.

Ketiga optimalisasi dan keseimbangan hormon. Stres yang kronis dapat menyebabkan disregulasi Hipothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis, jalur neuroendocrine system yang bertugas dalam pengaturan respon stres. Kerja HPA Axis pun menjadi terganggu yang menyebabkan ketidakseimbangan pada hormon, misalnya saja kortisol yang disekresikan secara berlebihan. Stres yang tidak tertangani menyebabkan inflamasi lalu menghadirkan pelbagai penyakit fisik dan mental. Melalui paparan senyawa terpen atau minyak atsiri saat melakukan hug tree timbul efek relaksasi sehingga terjadi penurunan stres.

Maka, hutan yang kaya cahaya matahari, air, mineral tanah, serta molekul penyembuh yang ada di pepohonan merupakan nutrisi bagi jiwa dan fisik manusia. Hutan sejatinya teman hidup terbaik yang diciptakan Tuhan sebagai ecotherapist bagi manusia. Deforestasi akibat eksploitasi industri sama dengan membunuh manusia itu sendiri.

Globalisasi serta modernitas memiliki konsekuensi migrasi masyarakat dari pedesaan ke perkotaan. Urbanisasi menjanjikan kehidupan yang lebih mapan secara finansial dan pekerjaan. Namun paparan stres di perkotaan juga jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan yang dekat dengan hutan.

Pada akhirnya manusia memiliki kecenderungan lahiriah untuk terkoneksi dengan alam. Kembali berinteraksi dengan hadir sepenuhnya adalah ciri manusia biophilia, yang mencari kesehatan dan ketenangan. Saat paparan stres minim, telomer yang ada di dalam DNA tidak mudah rusak. Hal ini berimplikasi pada penundaan terhadap penuaan. Marian Gold, vokalis Alphaville bilang, “Forever young… I wanna be forever young…”

Selain itu, hutan yang juga lekat dengan gunung merupakan guru terbaik bagi kualitas batin manusia. Tidak heran jika ada sebuah idiom “Dididik di gunung, sangkan teu adigung”. Diajar oleh gunung supaya tidak sombong sebagai manusia. Tidak semena-mena memiliki kuasa dan merasa dirinya mahluk yang lebih dari segalanya.

Saat manusia terkoneksi dengan alam atau hutan, ia terkoneksi dengan Tuhan.

Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/07/forest-therapy-sebuah-ikhtiar-untuk.html

Kamis, 15 Agustus 2024

Hidup Senang Mati Tenang: Merdeka dari Penderitaan Psikologis



Oleh Duddy Fachrudin 

Berita hari ini berseliweran di lini masa. Tentang seorang residen Program Profesi Dokter Spesialis (PPDS) yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak biasa. Asumsi bermunculan mengembara berusaha mencari sebabnya? Depresi, perundungan, ataukah karena faktor sakit yang dideritanya?

Tentu kita tidak perlu terlalu jauh untuk memikirkannya, karena beragam faktor berkontribusi atas hadirnya suatu masalah atau perilaku tertentu. Tidak ada faktor tunggal, bisa jadi karena ketiganya, bahkan mungkin pada saat investigasi ditemukan variabel lain yang menentukan. 

Di titik ini, yang perlu dilakukan oleh kita ialah mengambil jeda dan mempelajari jiwa ini, karena mungkin kita juga memiliki keinginan untuk bunuh diri?

Ramainya pemberitaan mengenai bunuh diri memang semakin menjadi-jadi. Isu kesehatan mental dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini menyadarkan kepada setiap individu untuk merawat serta menata jiwanya. Di satu sisi, kita juga tidak menoleransi segala bentuk kekerasan yang dapat memicu ketidaknyamanan dan menggerus keseimbangan mental kita. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita, manusia yang acapkali rapuh saat mengarungi kehidupan ini?

Pertama, kita perlu kembali mengenali diri ini. Apa saja lintasan-lintasan rasa dan pikiran yang sering menghampiri? Apakah ia mengganggu dan membuat kita tidak berdaya?

Kedua, jika memang hal itu mengganggu kita akui dan terima. Tidak perlu menolaknya atau menghindarinya (experiential avoidance). Karena semakin menghindarinya justru lintasan rasa dan pikiran yang mengganggu itu semakin kuat muncul. Penderitaan psikologis bermula saat kita menolak dan menghindari ketidaknyamanan rasa dan pikiran tersebut.

Ketiga, setelah diterima dan dihadapi hal yang mengganggu tersebut, maka kita perlu membuat jarak. Ya, menerima bukan berarti melekatkan pikiran dan perasaan yang mengganggu tersebut pada diri kita. Justru di sinilah kita mengembangkan cognitive defusion, menanggalkan atau melepaskan kemelekatan itu. Caranya bisa dengan melatih diri kita dengan mindful breathing, sitting, body scanning, walking, dan mengembangkan sikap mindfulness, seperti sabar, tidak menilai, menerima, melepaskan, terbuka, dan sebagainya.

Keempat, mengembangkan value atau nilai, yaitu sesuatu yang penting dalam hidup kita. Nilai itu yang akan menjadi guide kita menuju kehidupan yang bermakna. Nilai hidup dapat berhubungan dengan kehidupan personal, interpersonal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Misalnya value yang kita kembangkan berkaitan dengan pekerjaan adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, mendengarkan mereka di saat mereka kesusahan.

Kelima, melangkah bersama value. Ciptakan tujuan-tujuan kecil, dimana bahan bakar dari goal tersebut adalah value. Sebagai contoh, nilainya adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, kemudian kita tentukan goal, yaitu menciptakan suatu konten edukatif yang bermakna dan bermanfaat untuk orang yang menyimaknya.

Keenam, fokus pada kehidupan berbasis value yang bermakna yang sudah kita ciptakan.

Ketujuh, teruslah berlatih untuk mengembangkan hidup yang berkesadaran, karena dalam menjalani hidup itu sendiri, niscaya akan berjumpa dengan pelbagai stimulus, baik dari dunia internal, yang berisi pikiran, perasaan, kenangan atau memori yang berkelindan, dorongan-dorongan, dan lain-lain, serta dari luar diri individu (eksternal) yang berpotensi memicu hadirnya stres yang kemudian membuat larut (kembali) ke dalam masalah di masa lalu yang sebenarnya sudah berusaha kita lepaskan.

Berlatih mindfulness

Terakhir, jika memang kita berada pada suatu sistem yang membuat diri kita semakin terpapar stres yang berlebihan, maka berhenti dan memilih opsi untuk keluar dari lingkungan yang semakin menjerat pada permasalahan psikologis adalah tindakan yang bijaksana. Menerima bukan hanya bertahan, tapi juga mengambil keputusan yang tepat untuk keberlanjutan hidup kita.  

Pada akhirnya, merdeka dari penderitaan psikologis ini adalah ikhtiar dan belajar secara sadar, dan fondasinya tiada lain adalah kemampuan menggunakan nalar sehingga pelayaran kehidupan menjadi berbinar karena pendar-pendar cahaya yang menuntun pada sebuah reservoar indah dimana kapal yang kita tumpangi akhirnya menurunkan dan menautkan jangkar.

Sumber gambar:

Selasa, 30 Juli 2024

Forest Therapy: Sebuah Ikhtiar Untuk Pulih Melalui Energi Hutan

Oleh Duddy Fachrudin & Andry "Sting" Edwin Dahlan 

Aku bersandar di sini untuk terpapar 
Olehmu mentari yang memancar, 
juga pinus-pinus yang menghampar 
Menghantarkan molekular minyak atsiri ke dalam tubuh 
Untuk segera pulih serta bertumbuh

Aktivitas forest therapy

Maka sejenak saja meluangkan waktu mengunjungi sahabat, yaitu hutan-hutan yang lebat, lalu memeluknya dengan hangat. Begitulah forest therapy mengajarkan kepada kami, manusia yang penuh dengan dialektika untuk belajar secara sadar serta berikhtiar merawat diri dari berbagai inflamasi melalui energi hutan yang penuh cinta kasih. 

Salah satu bentuk terapi hutan yaitu forest bathing yang intinya melakukan aktivitas di hutan dengan sadar atau mindful. Meditasi di hutan dengan melibatkan indera dan "menyatu", serta menyelaraskan diri dengan hutan. Itulah forest bathing. Kalau di Jepang dilabeli Shinrin-yoku.

Sakit pada tubuh terkait dengan respon inflamasi, yaitu respon biologis dari sistem imun yang dipicu oleh berbagai faktor, yaitu patogen, sel yang rusak dan senyawa beracun. Mediator inflamasi seperti Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) perlu dikendalikan sehingga respon inflamasi tidak semakin berlebih dan kerusakan jaringan dapat dicegah.

Penelitian menunjukkan individu yang menjalani forest bathing memiliki kadar IL-6 dan TNF-α yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu stres oksidatif menurun akibat pengaruh senyawa terpen yang ada pada pohon.

Senyawa terpen, seperti limonene dan pinene menurunkan jumlah pelepasan berbagai sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, IL-1, dan TNF-α serta menginhibisi aktivitas faktor transkripsi yang berperan dalam inflamasi, yaitu Nuclear Factor kappaB (NF-κB). Terpen secara umum mengurangi aktivitas katalitik enzim yang terlibat dalam pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan memiliki efek antioksidan yang kuat.

Maka seperti kata Hippocrates, "nature itself is the best physician". Dokter terbaik, tiada lain alam (yang di dalamnya terdapat hutan) itu sendiri yang diciptakan Tuhan sebagai anugerah kepada manusia. 

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 04 April 2023

Kuliah Kerja Nyata, Desa Wangunharja, dan Hidup Damai Bersajahaja



Oleh Duddy Fachrudin 

Saya masih ingat ketika 1 dekade lalu ditawari untuk tinggal di sebuah desa nun jauh di selatan Kota Yogyakarta oleh ayah sahabat saya setelah saya diterima melanjutkan sekolah S-2 di Program Profesi Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM). Jarak antara rumah dengan kampus sekitar 45 menit. Suatu variabel yang dipertimbangkan untuk menolak tawaran tersebut. Namun setelah mengambil jeda sejenak, saya menerimanya.

Alasannya sederhana, ingin merasakan sensasi yang berbeda sekaligus menjalani "Kuliah Kerja Nyata" (KKN) yang ketika kuliah S-1 tidak ada mata kuliahnya. Thus, saya akhirnya tinggal di sebuah rumah di desa bernama Wukirsari yang tepat di sebelahnya terdapat Masjid yang dibangun sejak abad 17 dan Komplek Pemakaman Giriloyo. Di dalam komplek tersebut terdapat makam keluarga Sultan Agung dan Sultan Cirebon, Syekh Abdul Karim.

Kehidupan desa tentunya berbeda dengan kota. Kota yang megah dan menawarkan pernak-pernik materi memikat mata, namun nampak manusianya begitu terburu-buru memburu sesuatu. Di desa, seolah waktu melambat mengajak untuk duduk bersama-sama dengan segala kehangatan dan kedamaian yang ada di dalamnya.

Selama 4 tahun "KKN" di Desa Wukirsari justru bukan saya yang memberi, tapi kehidupan desa itulah yang berbagi. Orang-orang begitu ramah dan saling bergotong royong, kesederhanaan, dan cinta. Ada makna berbekas yang tersimpan erat dalam kenangan mengingatkan tentang damainya kehidupan.

Kuliah Kerja Nyata sejatinya berbaur dengan masyarakat. Menyatu dan merasakan kehidupan yang sebenarnya. Dalam era yang semakin mekanik dan robotik, KKN merupakan literasi menjadi manusia yang sangat dibutuhkan dimana individu saling belajar dalam interaksi kolektif serta kolaboratif.

Maka dalam KKN ada semangat membangun yang anggun dalam upaya mewujudkan cita-cita yang tiada lain raharja atau sejahtera. Dua kata, yaitu membangun kesejahteraan dapat disingkat menjadi bangunharja atau wangunharja. Dan kata Wangunharja sendiri digunakan sebagai nama salah satu desa di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Tempat kami menjalani KKN, sebagai mahasiswa Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.

Wangunharja tidak seterkenal saudaranya, Bakung yang identik dengan es tape ketannya. Atau juga dengan Sitiwinangun dengan kerajinan gerabahnya. Namun begitu, Wangunharja tetap spesial karena kebersahajaannya.

Permasalahan yang muncul di masyarakat disikapi tanpa kepanikan dan berlebihan. Seperti halnya stunting yang tidak terkecuali menjadi bagian masalah kesehatan di desa ini. Perangkat desa, posyandu, dan posbindu turun rembuk mengatasi masalah ini. Kami ikut membantu sesuai daya dan kapasitas sebagai mahasiswa yang hanya memiliki secuil ilmu dan keterampilan melalui edukasi stunting dan simulasi hidup sehat di Sekolah Dasar (SD).

Edukasi, simulasi, ditambah dengan Jumsi (Jumat Bersih), dan PoPi (Posko Pintar) adalah rangkaian kecil pengabdian yang semoga menjadi manfaat. Justru sebagai individu yang haus akan ilmu, kami justru mendapatkan sesuatu yang tidak ternilai harganya selama KKN ini. Dan hal itu bernama kebersamaan, kesederhanaan, dan kebersahajaan, yang akhirnya maujud pada kedamaian.

Sumber gambar: 
Dokumentasi KKN

Kamis, 17 November 2022

Strategi Self-Care dengan Acceptance and Commitment Therapy



Oleh Susan Rahmayani 

Bahagia. Sebagian besar orang mencarinya, menemukannya. Lalu selamanya manusia ingin dalam kondisi tersebut. 

Namun sayangnya, perjalanan kehidupan menyadarkan dan mengajarkan bahwa kenyataanya kita tidak selalu bahagia. Ada beragam rasa lain yang menghampiri seperti sakit dan kecewa, kehilangan, kematian, kegagalan, maupun kesedihan.

Seperti pagi ini yang mendapati kenyataan bahwa saya dinyatakan tidak lulus dalam ujian akhir sebuah pelatihan.

Sedih, kesal, malu menyatu... padahal beberapa menit sebelumnya merasa bersyukur karena bangun pagi lalu melaksanakan sholat dan rutinitas lainnya seperti menyiapkan sarapan untuk keluarga, dan sebagainya.

Berat rasanya menjalani hari. 

Akhirnya saya memilih menepi sejenak, mengijinkan dan menerima semua kerumunan rasa dan pikiran untuk diamati dan disadari. Setelah kondisi jiwa lebih tenang, berbagai respon terbaik siap dipilih. 

Daripada terus terjerat (hooked) dalam kecamuk rasa, saya memilih untuk menuliskan ini. Ya, tulisan ini, yang tidak sekedar untuk mengalirkan emosi, tapi juga sebagai pengganti ketidaklulusan ujian akhir pelatihan tersebut.

Itulah salah satu contoh dari merawat diri (self-care) dengan Acceptance and Commitment Therapy (ACT).

Penerimaan itu bukan asal pasrah nrimo begitu saja tapi merangkul merima apa yang ditawarkan kehidupan. Mengizinkan dan membuka diri sepenuhnya terhadap realita yang ada kemudian dikuti dengan komitmen melakukan tindak lanjut berdasarkan nilai yang dipilih secara konsisten. 

Sederhananya ACT adalah berikut ini:

Acceptance: menerima pikiran, ingatan dan emosi hal yang tidak diinginkan, seperti rasa malu, rasa bersalah, rasa kesal dan lainnya. Tidak menolak pikiran dan rasa yang tidak diinginkan melainkan berlatih mindfulness atau berkesadaran mengobservasi pikiran dan perasaan apa adanya.

Choose a valued direction: memilih nilai / value yang akan diikuti. Menyadari mempunyai pilihan arah hidup diawali dengan identifikasi dan fokus pada value yang diinginkan. Berlatih menerima inner world, menerima apa yang datang dan apa yang menemani dalam perjalanan.

Take action: mengambil langkah tindakan yang telah dipilih. Berlatih melaksanakan komitmen pada apa yang telah dipilih sehingga dapat menjalani sesuai dengan value-nya.

Terdapat enam core dalam ACT yang perlu terus-menerus dilatih. Empat elemen terkait mindfulness (acceptance, cognitive defusion, flexible attention, dan self as context), sementara dua lagi, yaitu perilaku (value dan committed action). Berikut penjelasannya:

1) Acceptance, berlatih menerima pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan/ buruk tanpa berusaha untuk mengubahnya. Agar terbangun kemampuan ‘rela’ menerima, menghadapi pikiran, perasaan dan pengalaman yang sebelumnya dihindari.

2) Cognitive Defusion, dengan berpikir cara baru agar saat menghadapi masalah berdampak lebih sedikit pada diri. Berlatih meredakan pikiran tanpa berusaha menghilangkannya dengan menjaga jarak dari pikiran tersebut sehingga tidak termelekati.

3) Flexible attention, berlatih menjalani kehidupan di saat ini dan di sini apa adanya agar dapat lebih fleksibel dan konsisten pada value yang dimiliki. Dengan mengembangkan kesadaran saat ini artinya memberi ruang untuk perasaan negatif alih-alih mencoba menekan atau mendorongnya.

4) Self as context, berlatih melihat atau mengobservasi diri apa adanya tanpa menghakimi atau menilai benar/ salah dengan mindful pada diri apa adanya. Bahwa manusia bukanlah isi pikiran atau perasaannya, melainkan kesadaran yang mengalami pikiran dan perasaan tersebut.

5) Value, mengidentifikasi nilai-nilai penting sebagai panduan agar dapat diterapkan saat mengambil keputusan atau tindakan. 

6) Committed Action, berlatih komitmen melalui tindakan berdasarkan value yang ada dan mengarahkannya pada tujuan-tujuan hidup yang bermakna. Berkomitmen melakukan tindakan dengan sepenuh hati dan tanggung jawab diri.

Pendekatan ini membantu membebaskan diri dari rasa pikiran yang membelenggu dan sekaligus menuntun untuk menerima dan mengobservasi dengan penuh kesadaran pikiran tersebut tanpa larut ke dalamnya. 

Mari peduli pada kesehatan mental kita dengan mengupayakan merawat diri (self-care) dengan baik, memberinya pupuk cinta melalui Acceptance and Commitment Therapy.

Sumber gambar:

Selasa, 15 November 2022

Mindful Lansia: Menualah, Lalu Menjelma Menjadi Cinta



Oleh Tauhid Nur Azhar

Menua dan menuai adalah tindak selaras yang datang mendaras, untuk menguji sikap ikhlas. Kita tumbuh dengan memeras setiap pengalaman yang diizinkan Allah untuk senantiasa membekas.

Karena kenangan adalah pembelajaran yang berperan untuk membentuk kepribadian dan turut menentukan seperti apa bentuk metamorfosa kita yang dipahat oleh kehidupan.

Sedih dan gembira, juga marah dan suka cita, bersama harapan dan kekecewaan adalah cara semesta menjabarkan makna ke dalam sebentuk rasa yang kelak mengemban nama sebagai manusia.

Maka kita kerap tertatih dan letih, hingga akhirnya terlatih, dan menjadi pribadi yang terjebak dalam rintih pedih, ataupun dalam lelah yang membelasah.

Meski saat amanah telah mampu disyukuri sebagai rahmah, kita akan menjelma menjadi sosok Khalifah. Sosok teduh tempat banyak jiwa bernaung, dimana gaung rindu pada yang Maha Agung senantiasa berdengung.

Maka menua adalah menuai segenap rasa yang telah kita labeli dengan makna, alih-alih hanya menjadi sekedar tanda, ia dapat menjelma menjadi cinta.

Cinta pada dunia yang digerus dan dihapus oleh waktu. Atau cinta pada yang Maha Mencinta, tanpa perlu berharap perlakuan setara.

Cinta nan sederhana. Cinta yang hanya punya jujur sebagai modalnya. Cinta yang tak berkelindan dengan kecewa. Yang tak marah saat didera rasa tak berbalas, bahkan tak berpunya.

Karena cinta saat menua adalah menuai tanda dalam perjalanan kelana jiwa, bahkan bagi mereka yang merasa tak pernah kemana-mana.

Sumber gambar:

Mindful Lansia: Mindfulness dan Penyesuaian Diri pada Masa Purna Karya


Oleh M. Grace B. Marlessy 

Menua, bagi sebagian orang merupakan proses yang tidak begitu mudah dijalani. 

Di dunia kerja, mereka yang telah sampai pada usia purna karya seringkali perlu berjuang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang tak terhindari. Sebenarnya perubahan tersebut memang tidak sepenuhnya buruk. Ada pula hal-hal yang justru dirasakan lebih menyenangkan setelah mengalaminya. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa proses ini kerap dipandang dan disikapi sebagai sebuah pengalaman yang negatif, setidaknya pada masa-masa transisi awal.

Banyak aspek kehidupan yang terpengaruh ketika seseorang memasuki masa purna karya. Mulai dari berubahnya rutinitas sehari-hari, berkurangnya produktivitas, hilangnya status, kekuasaan, maupun lingkungan sosial yang semula dimiliki, penghasilan menurun, dan sebagainya. 

Perubahan tersebut bisa menimbulkan beragam perasaan dan suasana hati. Dapat pula berkontribusi pada munculnya kecemasan, depresi, masalah konsep diri, kesepian, bahkan memicu krisis eksistensial bila orang tersebut tidak berhasil menemukan strategi coping yang efektif.

Hal itu dapat terjadi pada siapa pun yang menjalaninya, tak terbatas pada kelompok lanjut usia saja. Tiap orang dapat mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian diri pada masa ini, tak peduli berapa pun usianya saat mulai memasuki purna karya. 

Setiap negara memang menetapkan batas usia berbeda untuk mengakhiri masa kerja. Ada yang menentukan mulai usia 49 tahun, 56 tahun, bahkan 65 tahun, bervariasi dari tahap perkembangan dewasa madya hingga lanjut usia. Di beberapa negara, jenis kelamin dan jenjang jabatan juga menjadi faktor penentu batas usia ini.

Meskipun demikian, pada dasarnya perubahan yang dialami dalam konteks purna karya adalah perubahan besar yang sama. Dalam konsep hirarki kebutuhan dari Maslow, maka masa ini dapat menjadi ancaman terhadap hampir semua kebutuhan seseorang (fisiologis, rasa aman, cinta/ belongingness, dan harga diri). Bisa pula berlanjut hingga akhir hidup seseorang.

Pada tulisan ini, batasan masa purna karya merujuk pada Retirement Phase menurut pembagian Robert Atchley. Fase ini terdiri dari 4 (empat) tahap, yakni:

1. Honeymoon, saat seseorang bersemangat menikmati kebebasan dari rutinitas kerjanya, karena ia tak lagi terikat dan dapat melakukan apapun yang diinginkan.

2. Kemudian menyusul tahap Disenchantment/ Disappointment, saat ia mulai ragu atau mempertanyakan keadaannya sekarang. Tahap ini sering ditandai dengan kekecewaan, kecemasan, depresi, dan berbagai pikiran serta perasaan negatif. Bila kemudian ia mampu melewatinya dengan baik, maka ia pun mencapai tahap ketiga.

3. Reorientation menjadi titik balik sewaktu seseorang dapat bangkit, menemukan arah dan makna hidup yang baru.

4. Setelah itu barulah hadir tahap berikutnya, yakni Retirement Routine/ Stability, saat ia menjalani hidup sesuai misi atau tujuan terakhirnya.

Sebagian orang, terutama yang telah mempersiapkan diri dengan baik, biasanya lebih mudah menerima dan menyelaraskan diri dengan realitas baru tersebut. Dengan demikian, jika pun mereka mengalami saat-saat yang cukup berat dalam prosesnya, maka hal itu dapat diatasi cukup cepat. 

Memang, menerima adalah jenis respon pertama dan yang paling sehat dalam menyikapi situasi ini.

Sebaliknya, ada pula orang-orang yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan masa purna karya. Mereka menampilkan dua jenis respon yang berbeda, yaitu: terpaksa menerima, atau menolak (Biya & Suarya, 2016). Jumlah mereka tidak sedikit (Finansialku, 2016). 

Mereka inilah yang sering kali terjerumus cukup lama dalam berbagai masalah, seperti: kecemasan, ketidakbahagiaan, depresi, memburuknya relasi, bahkan pada mereka yang sebelumnya memiliki jabatan struktural cukup tinggi juga terlihat gejala post power syndrome (Biya & Suarya, 2016).

Pertanyaannya: Bila demikian, lalu apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan cepat pada realitas masa purna karya?

Ternyata, beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa menjalani terapi berbasis mindfulness dapat membantu mengoptimalkan proses penyesuaian diri tersebut. 

Intervensi psikologi berbasis mindfulness adalah berbagai terapi yang memadukan mindfulness dengan ragam teknik terapi lain.

Mindfulness sendiri secara sederhana dapat digambarkan sebagai kondisi ketika pikiran, perasaan, dan tubuh berada pada saat ini, tidak mengembara ke masa lalu maupun masa depan (Fachrudin, 2017).

Salah satu penelitian di Denmark menunjukkan peningkatan resiliensi dan well-being yang signifikan pada para peserta pra purna karya yang telah mengikuti program MBSR atau Mindfulness-Based Stress Reduction selama 8 minggu (Diachenko et.al., 2021). Mereka mengalami kemajuan pesat dalam hal penerimaan dan kelenturan psikologis. Pun menjadi lebih menyadari pikiran atau perasaan tanpa menilai, dan lebih mampu menerima serta mengasihi diri sendiri.

Dalam bukunya Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression (2nd ed.), Segal et. al. (2013) juga menyebutkan bahwa banyak dari mereka yang mengalami depresi lalu mengikuti MBCT, menjadi lebih mudah mengenali pemicu relapse serta menanganinya dengan pikiran dan aktivitas positif. Selain itu mereka pun mampu lebih berempati, meningkatkan relasi dengan orang lain, dan terampil mengamati pikiran atau perasaan apapun yang muncul tanpa terseret ke dalamnya.

Berdasarkan berbagai gambaran di atas, maka sebenarnya mempelajari dan mempraktikkan teknik-teknik mindfulness secara teratur dapat mempermudah penyesuaian diri dalam masa purna karya, karena akan melatih seseorang untuk hidup berkesadaran serta penuh penerimaan.

Referensi:
Biya, C. I. M. J., & Suarya, L. M. K. S., (2016). Hubungan Dukungan Sosial dan Penyesuaian Diri pada Masa Pensiun Pejabat Struktural di Pemerintahan Provinsi Bali.

Diachenko, Maria, et. al., (2021). Pre-retirement Employees Experience Lasting Improvements in Resilience and Well-Being After Mindfulness-Based Stress Reduction. doi.org/10.3389/fpsyg.2021.699088

Fachrudin, Duddy, (2017). Apa Itu Mindfulness? http://www.mindfulnesia.id/2017/03/apa-itu-mindfulness.html

Finansialku (2016). Mengapa Banyak Karyawan Cemas Menghadapi Masa Pensiun?

Segal, Zindel V., Williams, J. M. G., & Teasdale, John D. (2013). Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression (2nd ed.). New York: Guilford Press.

Sumber gambar:

Selasa, 08 November 2022

Oogway, Karakter Paling Brengsek di Kung Fu Panda







Oleh Duddy Fachrudin

Tahun depan, tepatnya di bulan Maret Kungfu Panda 4 rilis. What? Seriously? 

Kungfu Panda sudah sangat keren dengan ketiga filmnya. Terbukti dengan penilaian di situs IMDB yang memberi skor di atas 7 untuk kisah petualangan Po yang kocak, inspiratif, sekaligus filosofis. Dan yang terpenting teka-teki mengapa Oogway memilih Si Panda Gemoy itu menjadi Dragon Warrior telah terjawab di film yang ketiga.

Kungfu Panda sudah sangat bagus. Setidaknya menurut saya. Dan karena itu tidak berharap ada kelanjutannya.

Baiklah, namun berita tersebut sudah tersebar, bahkan menjadi trending topic di Twitter bulan Agustus yang lalu. Semoga petualangan berikutnya menyajikan kisah yang "Wooooaaaah", seperti reaksi Po ketika mendapatkan suatu pembelajaran baru dari Shifu maupun Oogway.

Master Shifu dan Master Oogway. Kedua guru Po ini punya karakter yang berbeda. Shifu yang serius dan serba terencana, sementara Oogway lebih kalem, intuitif, dan kadang-kadang konyol, plus brengsek juga. Namun karena kebrengsekan Oogway, Kungfu Panda menghadirkan makna bagi penontonnya.

Sebut saja ketika dia tiba-tiba menunjuk Po yang jatuh dari langit sebagai Pendekar Naga, sementara 5 calon yang yang telah disiapkan akhirnya menjadi sia-sia. Karena itu pula Shifu protes kepadanya bahwa jatuhnya Po persis di depan Oogway sebagai kebetulan belaka. Oogway sudah mau memilih Tiger sebagai pewaris Manuskrip Rahasia. Itulah yang ada dalam benak Shifu.

Bayangkan anda di posisi Shifu saat itu lalu melihat keputusan Oogway. Pasti bingung, kesal, kecewa, marah, menolak dan tidak menerima. Brengsek bukan Oogway ini?

Kebrengsekan Oogway berlanjut saat Shifu diminta melatih Po yang "hanya kebetulan" untuk menjadi Dragon Warrior. Lalu Si Kura-Kura ini dengan enaknya mengatakan kepada Shifu di suatu malam di bawah Pohon Persik, "You must continue without me." Dan kemudian Oogway menghilang alias moksa.

Brengsek bukan. Dia yang nunjuk Po, Shifu yang melatih, tapi kemudian dia menghilang. Ngasih kerjaan itu namanya.

Dan saran Oogway kepada Shifu yang begitu campur aduk pikiran dan perasannya itu sebelum moksa hanyalah: "You must believe..." atau dengan redaksi lain, Shifu, kamu harus percaya bahwa Si Gendut Panda yang suka makan itu dapat memenuhi takdirnya sebagai Pendekar Naga yang ditunggu-tunggu keberadannya dan bisa menjadi solusi memberikan kedamaian bagi semua penduduk Valley of Peace.

Assseeem tenan iki Oogway.

Tapi untungnya Shifu yang berarti Guru tersebut mau belajar.

Meski syuuulit menerima keputusan Oogway yang brengsek, ia perlahan membangun raport alias hubungan yang harmonis dengan Po. Pada akhirnya Master Shifu bisa melatih Po dengan cara yang unik dan berbeda. Bahkan ketika Po diminta menguasai inner peace, Po berhasil. Lalu saat Po akhirnya ditugaskan untuk mengajar kungfu dan melatih chi-nya, ia pun bisa.

Memang, hal-hal ajaib dapat bermula dari kebrengsekan. Dan tulisan ini pun mungkin sesuatu yang brengsek bagi anda.

Hikmahnya, terbukalah dengan berbagai pengalaman. Kalau kata mindfulness: kembangkan sikap beginners mind dan jangan terlalu terburu-buru menilai atau menghakimi.

Anak anda, murid anda, bawahan anda, klien anda bisa memenuhi takdir terbaiknya melalui anda.

How? You must believe...

Overload Pesan WA dan Bikin Cemas, Apa yang Bisa Dilakukan?



Oleh Dwi Ayu Elita K. 

WhatsApp (WA) adalah aplikasi perpesanan gratis paling populer di dunia. Penggunaan yang mudah dan cepat dengan dukungan internet memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan menerima ribuan pesan atau panggilan telepon dalam sehari. 

Ketika WA hadir menggantikan email sebagai media penyampai pesan, dunia terkagum-kagum dengan kecanggihan aplikasi ini dalam memberikan kepastian pengiriman pesan. Kurang dari satu detik begitu kita menekan logo “kirim pesan”, segera muncul penanda apakah pesan tersebut terkirim atau sudah terbaca oleh penerima. Tidak hanya itu, kita juga bisa mengetahui jam dan menit terakhir orang yang kita hubungi aktif menggunakan WA. 

Menengok feature pengiriman pesannya yang sebegitu menjanjikan kepastian pesan itu terkirim dengan cepat, tepat dan terkontrol statusnya, beramai-ramai masyarakat dunia segera menginstal aplikasi itu. Termasuk saya, dan tentu saja anda, bukan? 

Dikutip dari portal berita Kompas, aplikasi WA sendiri telah diunduh sebanyak 2 miliar di seluruh dunia dan pesan yang dikirimkan lewat WA per harinya dapat mencapai sebanyak 100 juta (Stephanie, 2020).

Dalam dunia kerja, seluruh sektor bisnis dan beragam jenis pekerjaan semuanya menggunakan WA. Surat elektronik yang sebelumnya bertahun-tahun digunakan sebagai media berkirim pesan paling modern di era digital digeser penggunaannya oleh aplikasi ini. Melalui WA setiap para profesional dapat mengirimkan dokumen surat digital, file, berbagai berkas keputusan dan tentu saja berbagai perintah kerja semua dilakukan melalui WA.

Akan tetapi seperti mata koin yang selalu mempunyai dua sisi, selain memiliki banyak manfaat, tidak dipungkiri penggunaan WA pun juga mempunyai dampak negatif. Apa perubahan yang Anda rasakan sebagai pekerja semenjak komunikasi formal informal kita beralih dari email ke WA?

Bagaimana rasanya ketika seketika private boundaries kita dimonitor sepanjang waktu oleh dunia eksternal di luar diri kita?

Bagaimana rasanya ketika 24 jam atasan kita bisa mengirimkan pesan perihal pekerjaan dan mereka berharap kita segera merespon pesannya?

Rasanya seperti diserang kapan saja, dimana saja, siapapun bisa menjangkau keberadaan kita. Bahkan di saat seharusnya kita memiliki hak untuk beristirahat serta berkumpul dengan keluarga tercinta. Parahnya lagi, ketika kita kurang cekatan merespon pesan yang dikirim oleh rekan kerja atau atasan di kantor, label tidak berdedikasi segera disematkan pada nama kita. 

Ternyata kecepatan berkirim pesan pekerjaan belakangan ini justru menjadi beban bagi sebagian besar pekerja.

Blabst & Diefenbach (2017) dalam penelitiannya tentang “WhatsApp and Wellbeing: A study on WhatsApp usage, communication quality and stress” menemukan bahwa intensitas dan frekuensi penggunaaan aplikasi pengirim pesan instan seperti WA beresiko menurunkan derajat kesejahteraan psikologis. 

Eksperimen yang dilakukan oleh Blabst & Diefenbach (2017) menunjukkan bahwa penggunaan aplikasi pengirim pesan instan dalam frekuensi tinggi meningkatkan tension atau ketegangan di dalam diri penggunanya. Tanpa kita sadari, bisa jadi kita mengalami WhatsApp Anxiety (WA-A).

Whatsapp Anxiety ini membuat penderitanya merasakan takut saat melihat notifikasi pesan WA, gelisah saat pesan yang sudah dikirimkan tak kunjung mendapatkan balasan, dan juga cemas ketika melihat banyaknya pesan yang belum terbaca karena berpikir dengan begitu banyaknya chat yang belum terbaca itu ia tertinggal berbagai macam informasi.

Lalu pertanyaan berikutnya, apa yang harus kita lakukan sebagai pekerja di tengah gempuran keharusan akan kesegeraan saat ini termasuk dalam menanggapi pesan pekerjaan yang membludak setiap harinya baik melalui personal chat maupun group WA?

Salah satu yang bisa kita lakukan untuk membantu diri kita sendiri untuk mengatasi kecemasan ini adalah berlatih mindfulnes

Teknik mindfulness merupakan teknik yang berfokus pada kondisi kesadaran dan pengalaman saat ini dengan penuh penerimaan (Germer, Siegel, & Fulton, 2005). Teknik ini menekankan pada kesadaran, menyadari sepenuhnya terhadap hal-hal yang terjadi saat ini diterima sepenuhnya tanpa penilaian dengan mengabaikan pengalaman lain (Mace, 2008).

Kecemasan yang ditandai dengan istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut dapat diatasi dengan penerapan mindfulness (Atkinson, Atkinson, & Hilgard, 2001).

Dari beberapa jenis latihan mindfulness yang ada, setidaknya dua latihan mindfulness sederhana berikut dapat membantu kita lebih berkesadaran di tengah kesibukan pekerjaan dan pesan WA yang membanjiri gadget kita yaitu, 3 minutes breathing dan sitting practice. Keduanya bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun oleh siapapun. 

Pada teknik 3 minutes breathing, kita merasa lebih tenang, rileks, menjadi lebih fokus, dapat berkonsentrasi dan memiliki pikiran yang baik. Sementara itu, teknik sitting practice membuat kita menjadi lebih tenang, terhindar dari perasaan negatif dan rileks. 

Latihan mindfulness yang diterapkan membuat keadaan otak individu memasuki kondisi gelombang alfa. Ketika otak individu berada pada gelombang alfa, mengakibatkan penurunan kecemasan dan meningkatkan perasaan tenang dan positif (Brown & Ryan, 2003).

Referensi:
Atkinson, R.L.,Atkinson, R.C., & Hilgard, E.R. (2001). Pengantar Psikologi. Jilid Dua. Alih Bahasa : Widjaja Kusuma. Batam : Interaksara.

Blabst,N. & Diefenbach,S. 2017. Whatsapp And Wellbeing: A Study On Whatsapp Usage, Communication Quality And Stress. DOI:10.14236/ewic/HCI2017.85

Brown, K. W., & Ryan, R. M. (2003). Perils and Promise in Defining and Measuring Mindfulness: Observations from Experience. Clinical Psychology: Science and Practice. https://doi.org/10.1093\/clipsy\/bph078

Germer, C. K., Siegel, R. D., & Fulton, P. R. (2005). Mindfulness and psychotherapy. New York: Guilford Press.

Stephani, C. (2020, September). WhatsApp Saat Ini, 2 Miliar Pengguna 100 Miliar Pesan Per Hari. Kompas.com. Diakses dari https://tekno.kompas.com/

Mace, C. (2007). Mindfulness and mental health: Therapy, theory and science. Routledge.

Sumber gambar:
\

Minggu, 30 Oktober 2022

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Perjalanan lintas masa mereka yang menggunakan jentera anti tesis ruang waktu, membawa ke sebuah daerah yang dulu masuk ke area pusat peradaban Liyangan. Belum sampai sana sebenarnya, tepatnya di Papringan.

Lokus yang menjadi laboratorium hidup untuk kearifan budaya yang bersifat holistik dan menjadi etalase cara hidup arif bijaksana yang waskita terhadap berbagai piweling dan pertanda dari alam.

Pendekatan pemenuhan kebutuhan yang berkepedulian dan kapasitas untuk menjadi pengendali keinginan tanpa mengeksploitasi, apalagi manipulasi, secara berlebihan dan tak beretika ketika berinteraksi dengan alam.

Alam takambang menjadi guru bukanlah sekedar pameo ataupun peribahasa bersayap yang terbang membumbung tinggi seperti Alap Alap. Ia justru menjadi Lumbricus yang membumi dan bersanggama langsung dengan kenyataan, tetapi mampu mewarisi ilmu visi Alap Alap sebagaimana yang dimiliki oleh Bala Sanggrama pengawal Raden Wijaya raja pertama Majapahit yang keturunan Jawa Sunda. Ayahnya dalam beberapa manuskrip dikenal sebagai Rakyan Jayadarma yang berasal dari Sunda Galuh, dan Ibunya adalah Dyah Lembu Tak keturunan Ken Arok pendiri Singhasari.

Kakawin Negarakertagama, Pararaton, dan prasasti Kudadu menjelaskan tentang asal usul dan sepak terjang Raden Wijaya dalam mendirikan Emporium Majapahit, yang kelak dikenal dengan doktrin penyatuan Nusantara.

Kembali kepada Papringan dan beberapa daerah yang dengan kesadaran penuh mulai belajar untuk mengenali kembali kearifan terdahulu yang antara lain maujud dalam tradisi yang diwariskan sebagai pesan kebudayaan yang menjadi pengingat dan perekat dari generasi berikutnya yang heterogen. 

Pesan ini antara lain maujud dalam sebentuk craftmanship dan kecerdasan natural yang dapat memanfaatkan segenap potensi alam dengan cara yang sederhana, tepat guna, dan tidak mendorong terjadinya dampak ikutan yang tidak diharapkan seperti limbah dan kerakusan yang senantiasa menjadi bagian dari konteks potensi komoditas.

Papringan dengan tokoh penggerak seperti Mas Singgih yang ahli pemanfaatan bambu, dapat menjadi contoh tentang kebersahajaan cara hidup yang justru dapat mengalir sejalan dengan arus semesta yang menubuh dalam berbagai fenomena alam yang penuh dengan tanda.

Papringan atau perbambuan yang menjadi jenama sebuah pasar dengan produk dan cara bertransaksi unik, bukanlah semata sebuah jenama belaka, ia adalah laboratorium tentang nilai.

Pasar yang berlokasi di dusun Ngadiprono, desa Ngadimulyo, kecamatan Kedu yang di masa lalu masuk dalam wilayah Bagelen, ini adalah sebuah media interaksi nilai yang dapat menjadi media kontemplasi terhadap pola interaksi kita dengan alam selama ini.

Jika bangsa Jepang memiliki shokunin waza, maka bangsa Indonesia dengan berbekal warisan berupa capaian budaya dan cendekia yang sedemikian luar biasa pada zamannya, tentulah juga memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengelola segenap potensi intelijensia dan ketrampilan dalam mengelola sumber daya yang tersedia dalam ruang hidupnya.

Semangat inilah yang semestinya jangan sampai mengalami kondisi pati obor, alias tercerabut dari tradisi cendekia bangsa yang meski maju dalam tatanan masyarakat dunia, tetapi juga semestinya dapat menyumbang konsep dan karya adiluhung melalui sebentuk karya dan model hidup welas wasis waskita yang cerdas bernas sekaligus ikhlas. 🙏🏿💕

Sumber gambar:

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Aja mung dadi wong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya wong sing ugi bisa lan pinter rumangsa.

Peka terhadap kondisi, sadar berkenyataan, bersikap dan berbuat dengan olahan kejernihan pikiran yang menghasilkan kesejukan dalam kebersamaan.

Karena pada dasarnya manusia itu hanya memanen apa yang telah dikerjakan, dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan. Segenap peristiwa dalam kehidupan sesungguhnya adalah pelajaran yang mau kita terima dan kerjakan PR nya, atau mau kita abaikan. 

Lucunya rangkaian dari peristiwa yang merupakan kurikulum pendidikan kemanusiaan itu, konten dan objektifnya kita tentukan sendiri. Karena hidup ini adalah Learning Management System atau LMS dengan Personal and Community Learning Objective yang turut kita kembangkan berdasarkan pilihan sikap dan kedalaman cara berpikir, juga sekhusyu' apa kita berzikir.

Bukankah menungsa mung ngunduh wohing pakarti?

Pakarti dalam kinerja, karya, dan olah rasa, teutama dalam hubungan antar sesama makhluk ciptaan Tuhan di semesta. Tidak eksploitatif manipulatif secara abusif, juga pandai menata dan mengelola titipan yang telah diamanahkan sebagai khalifah yang wajib menghadirkan rahmah.

Sepi ing pamrih, rame ing gawe, banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli.

Presensi yang menghadirkan kehangatan, dan bukan ancaman. Kehadiran yang membahagiakan, bukan yang membahayakan.

Untuk menyelami dan menghirup atmosfer ilmu itu, bisa singgah di Papringan.

Sahabat saya bersama kroninya yang ahli dalam soal konservasi berbagai warisan budaya arsitektur heritage, sedang melakukan tour de central Java yang berpusar di sekitar pegunungan sakral bangsa Medang. Ungaran, Telomoyo, Sindoro, Sumbing, minus Merapi dan Merbabu.

Mereka berkelana dan memanja indera dengan sajian romansa eklektika yang dipenuhi dengan berbagai kisah nostalgia tentang masa jaya sebuah peradaban yang pernah hadir di Nusa Jawa.

Nusa silang budaya kata Denys Lombard, sejarawan yang bukunya tentang sejarah Nusantara laris manis tanjung kimpul. Bahkan melebihi karya-karya ilmiah populer cendekiawan kita sendiri. Tak apa tentunya, karena ilmu kan bersifat egaliter, universal, dan bebas kepemilikan. 

Tersedia banyak tanda bagi mereka yang punya niat belajar dan berkenan membaca dan menyimak isinya tanpa terjebak sebatas menghafal jenama dan pariwaranya saja.

Dalam parikan Jawa sifat bangga akan bungkus dan kosong saat ditanya soal isi kerap disampaikan sebagai pengingat bagi para generasi penerus, wa bil khusus, generasi yang sudah teramat banyak difasilitasi teknologi.

Kecepatan dan intensitas informasi yang ditandai dengan tingginya volume transmisi, seperti rumus Claude Shannon ya, membuat prosesor analitik kita tak sempat mengendapkan data, apalagi mengurainya menjadi ekstrak ilmu yang dapat dipertautkan secara silogisme untuk merajut makna yang sebenarnya terwakili dalam berbagai bentukan pesan semiotika.

Budaya kulit atau lapis superfisial yang terwakili oleh status ataupun feed serta mikro blog yang hanya berkisar sekitar 160 karakter, telah membuat kita mengukur setiap fenomena melalui "baju" yang dikenakannya saja.

Kembali kepada duo Hasti dan Hesti yang berasal dari dunia yang berbeda, Holland (yang bukan bakery) dan Tahura Bandung, rupanya mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Yang satu punya ilmu terkait konservasi dan pemuliaan situs atau artefak bersejarah, satunya lagi punya jejaring di berbagai kalangan untuk bisa memberi akses petualangan time traveling mereka.


Sumber gambar:

Jumat, 03 Juni 2022

Cara Mudah Menjadi Bahagia dalam 5 Menit



Oleh Nita Fahri Fitria

Pernahkah kamu merasa hidupmu begitu melelahkan dan seolah buntu? 

Rasanya setiap hari kita seolah diseret untuk tetap melakukan rutinitas yang itu-itu saja. Makan hanya karena waktunya telah tiba, mau tidak mau tetap bekerja karena tidak mungkin diam saja di rumah, dan kembali tidur karena semua orang tidur. 

Semua bergulir sesuai arus, dan kita terbawa oleh arus itu tanpa tahu akan ke mana dan harus melakukan apa.

Itulah yang dialami oleh Yeom Mi-jeong di drama Korea My Liberation Notes yang baru saja merampungkan episode terakhirnya. 

Sebagai seorang gadis yang pendiam, Mi-jeong terbiasa memendam perasaannya dan memikirkan banyak hal secara berulang. 

Dalam diamnya Mi-jeong kerap membayangkan hal-hal yang tidak perlu. Mi-jeong semakin merasa buntu karena ibu, ayah, dan kakak-kakaknya bukanlah orang yang bisa diajak bicara. 

Hari-harinya di tempat kerja juga hanya membuat Mi-jeong semakin lelah dan nyaris kehilangan jati diri.

Suatu hari Mi-jeong dan dua rekan di kantornya terpaksa membuat sebuah komunitas karyawan karena hanya mereka bertiga yang tidak bergabung dengan komunitas manapun di kantor tersebut. Padahal komunitas karyawan tersebut adalah fasilitas perusahaan agar mereka bisa memiliki aktivitas menyenangkan di luar pekerjaan. Mi-jeong dan kedua rekannya tadi akhirnya membuat kegiatan komunitas yang mereka namai sebagai “Haebang Club” atau Klub Pembebasan.

Setiap anggota klub wajib menuliskan isi hati dan pikiran yang dianggap menjadi tirani bagi dirinya sendiri, lalu tulisan tersebut akan diceritakan kepada satu sama lain. Uniknya mereka sepakat untuk hanya saling mendengarkan cerita saja, sehingga tidak boleh saling berkomentar atas cerita yang dibacakan. 

Tujuan pembebasan setiap anggota klub juga beragam. Mi-jeong sendiri ingin bebas dari perasaan terjerat oleh hidup yang memuakkan. Ia mengaku ingin bisa merasakan senang dan lepas seperti orang lain.

Uniknya, semakin Mi-jeong jujur dengan dirinya, ia pun semakin bersinar. Mi-jeong mulai berani mengambil langkah besar dalam hidupnya dan mulai menemukan makna dari “bebas” yang selama ini diidamkan. 

Pada salah satu adegan, Mi-Jeong berkata pada kekasihnya bahwa ia cukup mendapatkan rasa bahagia selama lima menit saja dalam sehari. Ya, lima menit yang dapat mengubah harinya. 

“Aku merasa senang dalam tujuh detik saat membukakan pintu toserba untuk seorang pelajar dan dia mengatakan ‘terima kasih’. Saat aku membuka mata di pagi hari dan menyadari bahwa ini adalah hari Sabtu, aku merasa senang selama sepuluh detik. Isilah lima menit dalam sehari dengan hal-hal seperti itu.”

Dialog lain yang tak kalah menarik adalah saat seorang rekan di Haebang Club berkata, “Aku hanya berhasil menemukan alasan mengapa aku merasa tersiksa”, lalu Mi-jeong menjawab, “Kurasa itulah hal yang penting, (yaitu) mengetahui masalah kita sendiri.”

Oh rupanya inilah kunci bebas dari penjara pikiran ala Yeom Mi-jeong. Iya, jujur dan menemukan apa yang sebetulnya kita pikirkan dan rasakan. Karena dari sanalah kita bisa menemukan cara untuk bebas. 

Kadang, kita bergelut dengan harapan ingin bahagia tanpa tahu apa yang sebetulnya membuat kita merasa tidak bahagia. Bagaimana bisa kita sampai pada suatu tujuan tanpa tahu cara untuk mencapainya?

Yeom Mi-jeong yang awalnya menulis catatan pembebasan untuk mengisi kegiatan di Haebang Club pada akhirnya menemukan cara untuk jujur pada diri sendiri sehingga akhirnya menemukan strategi untuk mendapatkan vitamin Bahagia selama lima menit yang ia ceritakan pada kekasihnya. 

Ia menemukan bahwa kebahagiaan kadang terletak pada hal-hal kecil yang bisa menghangatkan hati.

Lalu apakah setelah ini Mi-jeong menjadi bebas sepenuhnya? 

Sepertinya tidak. Karena hidup terus berjalan dan masalah akan tetap datang silih berganti. Akhir dari drama ini sendiri pun termasuk kategori open ending yang menggambarkan kondisi terkini setiap karakter yang sudah menemukan titik bebas dan tetap akan berjalan selangkah demi selangkah untuk terus melanjutkan hidup.

Pada akhirnya, kisah Yeom Mi-jeong dan karakter lain di My Liberation Notes ini terangkum dalam sebuah kesimpulan…

“Meski hidup sesekali akan menjebak kita pada jeratan yang lain, setidaknya kita tidak sepenuhnya terjebak karena kita sudah tahu bagaimana cara untuk bebas. Kita bisa merasakan bebas dan kadang bisa juga kembali merasa terjebak. Tapi yang terpenting adalah kita bisa merasakan kemajuan.”

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 12 April 2022

Mindful Journey: Ketika Anak Jaksel Naik Gunung (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Aroma adalah suatu anugerah yang sungguh proses menghasilkan sensasinya tidak mudah. Sebaliknya dalam mekanismenya pun tersimpan begitu banyak hikmah dan makna bagi kita yang mau belajar untuk mengurai tanda cinta yang telah diberikan oleh Sang Maha Pencipta.

Menghidu kerap disama artikan dengan "mencium". Dalam pendekatan epistemologis bahasa, mencium itu berkaitan dengan fungsi bibir, sedangkan fungsi hidung adalah jalan nafas dan juga alat penghidu.

Untuk dapat menghidu, hidung secara makro dan mikro anatomi diperlengkapi dengan reseptor olfaksi (reseptor penghidu) yang akan menangkap molekul bau (odor) yang biasanya berupa volatile organic compound (VOC) yang bersifat aerosolik.

Reseptor olfaksi jamak nya berwujud dalam bentuk sel-sel khusus, berupa sel neuron bersilia yang terletak di dalam epitel olfaktorius pada rongga hidung.

Kumpulan dari akson sel reseptor olfaksi membentuk berkas nervus olfaktorius yang berjalan memasuki kranium atau rongga tengkorak melalui foramina lamina kribiformis pada tulang etmoidalis.

Nervus Olfaktorius kemudian bermuara di bulbus Olfaktorius yang lokasi anatomisnya berada di area inferior lobus Frontalis.

Pengolahan data olfaksi menjadi informasi sensasi penghiduan dimulai di bulbus Olfaktorius yang terdiri dari sel-sel interneuron dan sel-sel mitral besar.

Selanjutnya akson atau neurit dari sel-sel mitral keluar dari bulbus Olfaktorius dan membentuk traktus Olfaktorius.

Traktus Olfaktorius melewati daerah posterior basalis lobus Frontalis dan di dekat kiasma Optikum, sebagian serabut traktus Olfaktorius berbelok ke arah lateral.

Kemudian serabut traktis Olfaktorius membentuk stria Olfaktorius lateralis, yang akan menuju fissura lateralis.

Di fissura lateralis, traktus Olfaktorius menyilang dan masuk ke area lobus Temporalis, serta berakhir di korteks Olfaktorius primer.

Korteksi Olfaktorius primer sendiri terletak di unkus yang terdapat di bagian inferomedial lobus Temporalis dekat dengan Amigdala. Sementara struktur terkait fungsi olfaksi atau penghiduan lainnya adalah korteks asosiasi Olfaktorius yang terdapat di bagian anterior girus parahipokampalis (Entorhinal Cortex). Korteks primer Olfaktorius dan korteks asosiasi Olfaktorius ini dikenal sebagai korteks Piriformis.

Uniknya nervus Olfaktorius dan traktus Olfaktorius ini tidak melewati "stasiun relay" Thalamus. Maka hubungan dan fungsinya pun menjadi khusus. Aroma menjadi sensasi khusus yang punya diskresi istimewa untuk langsung mengguncang memori di hipokampus.

Saat ini diketahui bahwa hidung manusia sebagai organ terluar dari sistem penghiduan, memiliki sekitar 1000 jenis reseptor odor dengan sekitar 5 juta sel reseptor Olfaksinya.

Setiap reseptor memiliki rentang kepekaan terhadap suatu spektrum bau saja. Maka molekul odor saat memasuki rongga hidung akan "ditangkap" komponennya oleh berbagai jenis reseptor agar dapat diteruskan menjadi sinyal biolistrik melalui nervus Olfaktorius ke korteks primer dan asosiasi Olfaksi di otak.

Di pusat asosiasi Olfaktorius itulah berbagai aroma diidentifikasi dan diverifikasi serta diklasifikasi, juga diasosiasikan dan dikorelasikan dengan memori yang didapatkan dari pengalaman. Terciptalah basis data aroma, hasil pembelajaran yang dilakukan oleh sel-sel penghiduan.

Karena mekanisme itulah maka kita mampu "mengendus" nikmatnya soto dan kopi serta tentu saja petrichor dari aromanya yang menguap dan menguar di udara sekitar.

Ini belum bahas soal indahnya mekanisme penglihatan, pendengaran, rasa, raba, panas, dingin, juga kesadaran akan ruang dan refleks-refleksnya loh.

Honestly ini adalah part of miracle yang seharusnya membuat kita feel blessing dan bisa deep thinking sih. Jarang loh yang mau deep talk gini, normally orang tuh mau nya bahas topik-topik easy going aja, shallow, which is ya jadinya ga dapet apa-apa juga, wasting time. Udah ketebak end up nya, basicly yah cuman ngomongin soal temen yang flexing, temen yang ghosting, atau ketemu orang baru yang udah langsung gaslighting, cemen. Because why obrolan di circle kayak gini malah jadi nambahin mental issue aja. 

The point is, hidup itu banyak problemnya, tapi juga banyak berkahnya, maka perbanyaklah bersyukur dan kurangi keluh kesah berkepanjangan yang nggak jelas. Somehow hidup ini sementara dan kita pasti akan kembali pada-Nya, dan jangan sampai di penghujung perjalanan kita merasa hidup kita itu penuh derita dan sia-sia.

Banyak bersyukur ya Guys...

La in syakartum laazidannakum...

<<< Halaman Sebelumnya

Mindful Journey: Ketika Anak Jaksel Naik Gunung (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Air bergemericik, dan beburung pagi yang morning person banget seolah hadir menjadi healing process untuk mereka-mereka yang burn out karena overwhelmed dalam mengelola trust dan mental health issue.

Maklumlah dinamika kehidupan itu kadang lempeng tapi lebih sering mengejutkan, reality bites, dan itu bisa sangat stressful dan painful.

Kadang support system kita juga tidak benar-benar care dengan kita. Bahkan orang yang kita anggap bestie saja, dan kita harap bisa at least memberi sepatah dua patah word of affirmation, eh malah suka guilt tripping dan yang lain malah clingy.

Masih mending kalo enggak emotional abuse atau melakukan silent treatment yang menyakitkan. Toxic relationship itu literally ga sehat banget guys.

Kalau sudah begini memang healing dan self love perlu jadi consideration deh. Perlu positive vibes dan personal space yang proper. Somehow kita memang harus menghindari environment atau circle yang terlalu banyak diisi mereka yang kerap verbally abuse atau bersifat judgemental dan oversharing yang gak penting. Jangan juga terlalu memaksa diri menjadi social butterfly agar bisa masuk banyak circle, ga guna.


Mending cari hidden gem kayak di gunung ini, dan ga terlalu sering staycation yang sebenarnya di sana-sana juga. Beri kesempatan jiwa kita self healing dengan socmed detox, dan ga ada salahnya kalau sekali-sekali kita jadi gate keeping yang nggak spill out yang kita tahu.

Saatnya menikmati me time dan beri diri kita bonus self reward, hindari timeline yang salty dan destruktif. IMO, pergi nyepi ke secret place kayak remote area yang masih nature banget gitu tuh sesuatu.

Ga usah FOMO, dan dicap social awkward, figuratively ini ibarat Robinson Crusoe yang bertualang untuk mengexplore kapasitas dirinya sendiri sih. Semacam self journey untuk mengenal inner soul sebenernya.

Ok, in a fact gemericik air dan kicau burung itu stimulan neurofisiologi banget. Lalu tetiba rasa sejuk melanda qolbu saat awan mendung mulai merintikkan gerimis. Alam gunung seolah sedang tersenyum manis.

Kabut, gemericik sungai dan rintik gerimis berpadu dengan kicau burung, kini menyatu dengan aroma tanah yang menguar.

Petrichor melanda pusat hidu di otak kita. Petra itu batu dan ichor itu cairan para dewa. Sementara sains modern menjelaskan bahwa petrichor adalah bau tanah pertama saat hujan menyapa dan melepas geosmin yang merupakan produk metabolit dari milyaran bakteri aktinobakter dari spesies Streptomyces.

Dan anehnya aroma itu compatible dengan kinerja otak kita. Aroma itu menghanyutkan kita dalam rindu tanpa lagu, tapi lewat orkestrasi bau.

Aroma itu membawa pesan cinta nan sarat makna, dengan pesan nyata bahwa rindu adalah hak semua penghuni semesta.

Lalu bagaimana aroma itu dapat menstimulasi pusat asosiasi di otak kita? Sampai ada rasa, sampai muncul cinta.

Halaman Berikutnya >>>

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Minggu, 10 April 2022

Sikap Mindfulness: Mencintai Tanpa Menghakimi


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sabda Kanjeng Nabi: irhamu man fil ardl, yarhamkum man fis samaa. Sungguh dalam artinya. Bernas diksinya. Mengena sekali pesannya. 

Cintailah (Sayangilah) mereka yang di bumi, maka mereka yang di langit akan mengasihimu...

Hadist ini sejalan dengan dalil wa ma arsalnaka ila rahmatan lil alamin, bahwa pada hakikatnya kehadiran manusia ditujukan sebagai "agen" rahmat bagi segenap semesta sekalian alam. 

Kontribusi manfaatnya tidak semata hanya dapat dirasa di lingkungan terbatas, melainkan juga bersifat luas dan mampu melintas ruang yang semula kita anggap takkan mungkin teretas.

Lapis-lapis batas pengamatan memberikan perspektif baru tentang adanya cakrawala di balik setiap cakrawala. Mega kluster Laniakea adalah wadah bagai super kluster Virgo yang bahkan hari ini baru bisa kita cermati sampai The OPIK, awan materi batas Bima Sakti.

Dan di tengah itu semua bergaung sejuta tanda tanya tentang makna mencinta. Tentang siapakah gerangan hamba? Lalu apa yang menjadi keniscayaan yang sesungguhnya?

Wujil dalam Suluk Wujil Sunan Bonang bertanya pada Sunan Wahdat,

Kawruhana tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat pamujine // endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta kasapeksa //marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing uripira sejati // uripira neng dunya.

"Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui diri sendiri, sambil tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga, dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh sebab itu, maka orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia ini."

Jika mengacu pada suluk tersebut, menyembah itu harus tahu siapa yang disembah bukan? Harus sadar sepenuhnya tentang peran dan kehadiran. Tentang esensi dan jati diri.

Demikian sekelumit nilai yang dapat dipetik dari penggalan suluk Wujil karya putra Bong Swi Hoo dan cucu Maulana Maliq Ibrahim As Samarqandi.

Pertanyaan yang muncul dalam suluk itu sangat fundamental dan cenderung retorik. Dimana jawabannya harus dicari jauh ke dalam diri sendiri.

Sebagaimana perjalanan Werkudara ke dalam samudera makna sebagaimana dikisahkan dalam Dewa Ruci. Kisah yang berupaya menggambarkan konsep manunggaling kawula Gusti dengan cara membangun dialog antara entitas (Werkudara) dengan representasi consciousness-nya, Dewa Ruci. Tentu dialog yang terjadi sebenarnya adalah dialog retoris yang berkutat tentang proses pencarian jati diri.

Kisah Dewa Ruci ini sebenarnya adalah kisah adaptif yang tidak dapat ditemukan di naskah asli Mahabaratha yang ditulis Vyasa Krisna Dwipayana di India pada sekitar 400 SM.

Sementara Kisah Dewa Ruci yang menjadi bagian dari script para dalang Jawa merujuk pada tulisan Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820).

Kembali pada Suluk Wujil Sunan Bonang, peran dan esensi personal tercermin dari kegelisahan Wujil untuk segera mendapat ilmu makrifat karena sudah jenuh belajar syariat.

Padahal proses menuju makrifat itu perlu melalui penyucian jiwa atau nafs, lalu pemurnian qalbu, diikuti pengosongan pikiran dan ruh dari selain Allah. 

Istilah lain untuk metoda ini adalah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengelola hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia. Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah.

Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu (Ahad), sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati.

Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu. (Hadi Susanto, 2018).

Maka Wujil pun berkisah pada gurunya tentang "kenekatan"nya mencari makna hidup, karena sudah tidak sabar terus disuruh mengaji "Alif".

Ya marma lunga ngikis ing wengi // angulati sarahsyaning tunggal // sampurnaning lampah kabeh // sing pandhita sun dunung // angulati sarining urip // wekasing Jati Wenang // wekasing lor kidul // suruping raditya wulan // reming neta kalawan suruping pati // wekasing ana-ora.


"Karena Sesungguhnya, pada suatu malam hamba pergi diam-diam untuk mencari rahasia daripada kesatuan, mencari kesempurnaan dalam semua tingkah laku. Hamba menemui tiap-tiap orang suci untuk mencari hakekat hidup, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir utara dan timur, terbenamnya matahari dan bulan untuk selama-lamanya, tertutupnya mata dan hakekat yang sebenarnya daripada mati serta titik akhir dari yang ada dan yang tiada."


Demikian Wujil menyampaikan pada gurunya, Sunan Wahdat. Meski pada hakikatnya Wujil pasti sadar sepenuhnya jika manusia itu sesuai dalil adalah wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun.

Tugasnya adalah beribadah. Ibadah seperti apa? Ibadah yang kaffah yang melibatkan segenap potensi manusia dan jin yang telah dianugerahkan sebagai amanah.

Maka ikhlas menerima, melepas, atau ngekepi juga bagian dari ibadah, asal kita menjalaninya dengan tanpa menghakimi atau membutuhkan alasan yang kadang justru tidak diperlukan.

Sumber gambar: