Tampilkan postingan dengan label Mindfulness dan Acceptance. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindfulness dan Acceptance. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 November 2022

Strategi Self-Care dengan Acceptance and Commitment Therapy



Oleh Susan Rahmayani 

Bahagia. Sebagian besar orang mencarinya, menemukannya. Lalu selamanya manusia ingin dalam kondisi tersebut. 

Namun sayangnya, perjalanan kehidupan menyadarkan dan mengajarkan bahwa kenyataanya kita tidak selalu bahagia. Ada beragam rasa lain yang menghampiri seperti sakit dan kecewa, kehilangan, kematian, kegagalan, maupun kesedihan.

Seperti pagi ini yang mendapati kenyataan bahwa saya dinyatakan tidak lulus dalam ujian akhir sebuah pelatihan.

Sedih, kesal, malu menyatu... padahal beberapa menit sebelumnya merasa bersyukur karena bangun pagi lalu melaksanakan sholat dan rutinitas lainnya seperti menyiapkan sarapan untuk keluarga, dan sebagainya.

Berat rasanya menjalani hari. 

Akhirnya saya memilih menepi sejenak, mengijinkan dan menerima semua kerumunan rasa dan pikiran untuk diamati dan disadari. Setelah kondisi jiwa lebih tenang, berbagai respon terbaik siap dipilih. 

Daripada terus terjerat (hooked) dalam kecamuk rasa, saya memilih untuk menuliskan ini. Ya, tulisan ini, yang tidak sekedar untuk mengalirkan emosi, tapi juga sebagai pengganti ketidaklulusan ujian akhir pelatihan tersebut.

Itulah salah satu contoh dari merawat diri (self-care) dengan Acceptance and Commitment Therapy (ACT).

Penerimaan itu bukan asal pasrah nrimo begitu saja tapi merangkul merima apa yang ditawarkan kehidupan. Mengizinkan dan membuka diri sepenuhnya terhadap realita yang ada kemudian dikuti dengan komitmen melakukan tindak lanjut berdasarkan nilai yang dipilih secara konsisten. 

Sederhananya ACT adalah berikut ini:

Acceptance: menerima pikiran, ingatan dan emosi hal yang tidak diinginkan, seperti rasa malu, rasa bersalah, rasa kesal dan lainnya. Tidak menolak pikiran dan rasa yang tidak diinginkan melainkan berlatih mindfulness atau berkesadaran mengobservasi pikiran dan perasaan apa adanya.

Choose a valued direction: memilih nilai / value yang akan diikuti. Menyadari mempunyai pilihan arah hidup diawali dengan identifikasi dan fokus pada value yang diinginkan. Berlatih menerima inner world, menerima apa yang datang dan apa yang menemani dalam perjalanan.

Take action: mengambil langkah tindakan yang telah dipilih. Berlatih melaksanakan komitmen pada apa yang telah dipilih sehingga dapat menjalani sesuai dengan value-nya.

Terdapat enam core dalam ACT yang perlu terus-menerus dilatih. Empat elemen terkait mindfulness (acceptance, cognitive defusion, flexible attention, dan self as context), sementara dua lagi, yaitu perilaku (value dan committed action). Berikut penjelasannya:

1) Acceptance, berlatih menerima pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan/ buruk tanpa berusaha untuk mengubahnya. Agar terbangun kemampuan ‘rela’ menerima, menghadapi pikiran, perasaan dan pengalaman yang sebelumnya dihindari.

2) Cognitive Defusion, dengan berpikir cara baru agar saat menghadapi masalah berdampak lebih sedikit pada diri. Berlatih meredakan pikiran tanpa berusaha menghilangkannya dengan menjaga jarak dari pikiran tersebut sehingga tidak termelekati.

3) Flexible attention, berlatih menjalani kehidupan di saat ini dan di sini apa adanya agar dapat lebih fleksibel dan konsisten pada value yang dimiliki. Dengan mengembangkan kesadaran saat ini artinya memberi ruang untuk perasaan negatif alih-alih mencoba menekan atau mendorongnya.

4) Self as context, berlatih melihat atau mengobservasi diri apa adanya tanpa menghakimi atau menilai benar/ salah dengan mindful pada diri apa adanya. Bahwa manusia bukanlah isi pikiran atau perasaannya, melainkan kesadaran yang mengalami pikiran dan perasaan tersebut.

5) Value, mengidentifikasi nilai-nilai penting sebagai panduan agar dapat diterapkan saat mengambil keputusan atau tindakan. 

6) Committed Action, berlatih komitmen melalui tindakan berdasarkan value yang ada dan mengarahkannya pada tujuan-tujuan hidup yang bermakna. Berkomitmen melakukan tindakan dengan sepenuh hati dan tanggung jawab diri.

Pendekatan ini membantu membebaskan diri dari rasa pikiran yang membelenggu dan sekaligus menuntun untuk menerima dan mengobservasi dengan penuh kesadaran pikiran tersebut tanpa larut ke dalamnya. 

Mari peduli pada kesehatan mental kita dengan mengupayakan merawat diri (self-care) dengan baik, memberinya pupuk cinta melalui Acceptance and Commitment Therapy.

Sumber gambar:

Minggu, 28 Februari 2021

Keterampilan Baru Ini Perlu Dimiliki Di Era Saat Ini



Oleh Duddy Fachrudin 

Ada satu skill atau keterampilan yang perlu dimiliki tapi tidak semua orang ingin memilikinya. 

Apa itu? 

Sebelum membahasnya, mari sejenak mengambil jeda untuk DuDi (duduk diam) dan merenungi kehidupan ini, lalu bertanya: apa yang paling diinginkan manusia? 

... 

... 

... 

Sebagian besar orang menjawab: kepastian. 

Pasti sukses,
pasti bahagia,
pasti terjamin hidupnya,
pasti masa depan,
pasti sampai... 

Karena menginginkan kepastian, maka dilakunlah berbagai ikhtiar, cara, atau strategi untuk mencapainya. Manusia memfokuskan arah dan konsisten dalam menjalaninya. 

Tak lupa, lingkungan pun ikut dikendalikan. 

Karena kepastian, manusia tidak segan untuk kerja keras, menabung, ikut asuransi, hingga "menyekolahkan" SK Pegawai ke bank untuk mendapatkan pinjaman dalam memenuhi kebutuhan hidup. 

Karena berfokus ingin terus pasti (ada jaminan) dalam hidup ini, akhirnya lupa untuk mempelajari keterampilan yang sangat-sangat dibutuhkan selama hidup manusia. 

Skill tersebut adalah mampu berjalan dalam ketidakpastian. 

Pertanyaannya: siapakah yang mau, bersedia, dan sukarela ikhlas menjalani ketidakpastian? 

Kamu mau? Jawabannya sebagian besar sekali tidak. 

Hanya orang-orang "aneh" yang menginginkan atau setidaknya belajar mengarungi ketidakpastian. 

Coba saja untuk berjalan spontan tanpa tujuan, ke suatu wilayah sendirian, bepergian hanya berbekal 5 ribu rupiah, kemudian lebih lanjut lagi tidak ikut-ikutan asuransi, tidak ikut menggadaikan SK, dan sebagainya. 

Sayangnya... latihan-latihan itu tidak pernah diajarkan di sekolah atau kampus. 

Dan orangtua jaman sekarang pun tidak membiarkan anaknya hidup dalam ketidakpastian, bukan? 

Maka... jika tidak terbiasa melatih keterampilan tersebut, suatu saat nanti, ketika rencanamu tidak berjalan lancar dan tidak memenuhi ekspektasi, yang muncul dapat berupa penghakiman. 

Sumber gambar:

Senin, 12 Oktober 2020

Terapi Mindfulness: Konflik dalam Diri



Oleh Duddy Fachrudin

Permasalahan psikologis utama yang terjadi pada diri manusia adalah konflik dalam diri, karena hampir setiap hari manusia mengalami konflik. 

Saat bangun pagi, sebagian besar dari kita menengok jam lalu setelah mengetahui pukul berapa kita bangun, bagian diri kita berkata, “Oh masih jam 3 pagi”, lalu dengan refleksnya kita menarik selimut dan bersiap tidur kembali. Tiba-tiba sebelum kita terlelap lagi, terdengar sesuatu di dalam hati, “Hei... kenapa kau tidur lagi. Ayo bangun dan sholat tahajud.” 

Itulah konflik, dan dapat kita temui dalam kehidupan sejak bangun hingga bersiap untuk tidur kembali.

Contoh lain adalah ketika saya diminta seorang sahabat untuk memberikan terapi kepadanya agar ia bisa mengurangi frekuensi menonton drama Korea dan bisa lebih menggunakan waktunya untuk belajar. 

Kebiasaan sahabat saya menonton drama Korea ternyata mengusik agenda belajarnya. Atau... aktivitas belajarnya yang justru mengganggu kesenangannya menonton drama Korea?

Konflik dalam diri terjadi karena pertentangan antara dua atau lebih bagian diri dalam diri kita. Dalam kasus di atas, satu bagian diri sahabat saya mengatakan, “Nanti ya belajarnya, nonton drama Korea dulu”, dan satu bagian diri yang lain, “Tapi ini kan waktunya belajar, kenapa malah nonton?”

Dalam mindfulness, saat terjadi konflik antar bagian diri, kita perlu mengamati (pay attention) dan  menyadari (aware) kehadiran bagian-bagian diri tersebut. Lalu memahami apa tujuan yang diinginkan bagian-bagian diri tersebut serta menerimanya (acceptance). Langkah terakhir, diri kitalah yang mendamaikan mereka dengan kebijaksanaan tertinggi. 

Maka, teruslah berlatih mendamaikan diri... saat diri telah damai, maka kita tumbuh menjadi pribadi seimbang, kokoh, dan utuh. 

Sumber gambar:

Minggu, 08 Desember 2019

Self-Compassion: Aku Bahagia Menjadi Wanita


Oleh Nita Fahri Fitria

Aku bahagia menjadi wanita yang otentik. Maka aku sangat yakin bahwa wanita lain juga bahagia dengan keotentikannya. 

Aku memahami bahwa dia, mereka, dan aku diciptakan sebagai sesama wanita yang ukuran sepatu, baju, warna kesukaan, dan hal-hal lain yang sangat beragam. 

Dunia ini menjadi indah karena di setiap tempat kita akan menemukan definisi cantik yang khas.

Aku bahagia menjadi wanita yang memahami bahwa Allah Swt. punya cara untuk menjadikan orang lain mendapat predikat hebat dengan cara yang tidak sama denganku. 

Banyak sekali kisah perjuangan wanita-wanita hebat yang mungkin alur ceritanya sulit aku mengerti, tapi aku yakin itu menjadikan mereka mulia di hadapan Allah Swt. 

Aku bahagia menjadi wanita yang menyadari bahwa anak dari setiap wanita memiliki garis takdirnya sendiri. Mereka bertumbuh dalam proses yang kompleks dan memiliki ritme perkembangan yang sangat personal. 

Aku bahagia menyaksikan betapa anak-anak dari para wanita di seluruh dunia ini menambah rona indah di bumi yang kupijak.

Aku bahagia menjadi wanita karena aku dapat menyerap banyak sekali inspirasi dari variasi pilihan yang diambil oleh setiap wanita di dunia ini. Mereka memiliki mekanisme berpikir yang berdasar pada pengalaman dan pengetahuan yang tentu saja sangat sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Aku bahagia menjadi wanita dan aku yakin setiap wanita di dunia ini bahagia menjadi wanita yang versi mereka.

Dan untuk menjadi wanita yang bahagia nan menawan aku hanya perlu mencintai diriku dan membagikan cinta yang kumiliki untuk seluruh wanita di dunia ini. 

Sumber gambar:

Minggu, 27 Oktober 2019

Mindful Jamu: Tidak Ada Penciptaan yang Sia-Sia


Oleh Duddy Fachrudin

Pahit. Kata yang dilontarkan orang-orang perihal jamu. 

Tak jarang karena kepahitannya seseorang menolak untuk meminumnya.

Namun, bagi sebagian orang lainnya, pahit hanyalah episode rasa yang terikat waktu dan pasti berlalu. Sehingga meskipun pahit, mereka tetap menikmatinya.

Jamu adalah kekayaan rempah-rempah Indonesia. Seperti jamu ini: Linugon, yang dari namanya saja langsung tercium fungsi dan khasiatnya untuk mengatasi pegal linu.

Kekayaan Linugon tercermin dari bahannya. Ada Curcuma Xanthorriza, Zingiber Zerumbet, Piper Rethrofactum, Imperata Cylindrica, Curcuma Longa, dan Cassiavera yang membentuk sonata indah serta orkestra sempurna kaya rasa, kaya akan manfaat.

Dari semua rempah tersebut, ada satu nama yang menjadi perhatian khusus, yaitu Imperata Cylindrica, alang-alang atau ilalang. 

Tanaman yang kerap dikatakan sebagai gulma (pengganggu tanaman lain) tak berdaya guna ini justru punya segudang manfaat. Rimpangnya dapat mencegah pembekuan darah. Akarnya dapat menurunkan demam.

Maka, sejatinya tidak ada sesuatu yang sia-sia dalam segala penciptaan-Nya. 

Semua yang hadir tercipta bagi manusia untuk dipikirkan dan siperhatikan saat berdiri (bergerak), duduk, maupun berbaring.

Semua ini tidak lain memiliki satu maksud dan tujuan: agar kita, manusia ini mendekat kepada-Nya.

Sumber gambar:

Kamis, 04 April 2019

3 Kali ke Psikolog, Apa yang Saya Dapatkan?



Oleh Duddy Fachrudin

Good Will Hunting, film yang meraih 9 nominasi di edisi yang ke-70 Academy Awards menjadi salah satu referensi terbaik mengenai proses konseling dan terapi psikologi.

Terbukti, Robin Williams (Dr. Maguire) yang berperan sebagai psikolog memainkan akting yang ciamik layaknya seorang profesional dengan jam terbang yang tinggi. Penghargaan Best Supporting Actor digondolnya.

Selama 7 sesi ia berhasil membuat Matt Damon (Will) menyadari sekaligus menerima diri serta masa lalunya dan kemudian mengambil keputusan terhadap apa yang akan dilakukannya.

Tujuh sesi bukanlah waktu yang singkat dan kadang dilalui dengan proses yang tidak mudah. Jika konseling dilaksanakan 1x selama 1 minggu, maka waktu konseling secara keseluruhan 7 minggu. Lalu, tak jarang terdapat resistensi dari klien untuk menjalani konseling yang pada akhirnya menghambat proses tersebut. Stigma "tidak waras" ikut menyertai klien yang datang ke seorang psikolog.

Sehingga akhirnya muncul pertanyaan: untuk apa saya datang ke psikolog? Saya baik-baik saja kok!

Namun, Will yang awalnya menolak, justru merasa nyaman dengan psikolognya. Bahkan ketika sesi telah berakhir, ia merasa masih membutuhkan pertemuan tersebut.

Itulah proses.

Bahwa manusia berproses selama hidupnya adalah suatu keniscayaan, dan kehadiran orang lain dapat memberikan makna dalam perjalanan hidupnya.

Maka sesungguhnya, perubahan tidak diukur dari seberapa lama kita menjalani sebuah proses, namun seberapa mau kita menyelaminya.

Ada seorang klien yang sudah cukup dengan 1 kali sesi. Sementara klien lainnya 2, 3, hingga belasan bahkan puluhan sesi.

Seorang klien yang baru selesai menjalani 3 sesi berkata bahwa ia baru menyadari selama ini kurang peduli terhadap dirinya sendiri dan lebih banyak menyakiti psikis dan fisiknya. Kesadaran baru yang positif telah muncul. Membawa segala luka dan merangkumnya dalam penerimaan. Lalu mengolahnya menjadi seberkas cahaya.

Sumber gambar:
https://picgra.com/user/duddyfahri/10148958272

Selasa, 12 Februari 2019

Ikhlas Melepas: Selamat Jalan Orang-Orang Tercinta


Oleh Tauhid Nur Azhar

Selamat jalan mereka yang terkasih. Sungguh hidup pada hakikatnya hanyalah sebuah persinggahan singkat tapi sangat indah dan penuh makna yang terangkum dalam kenangan...

Kadang kita bertanya mengapa Allah mengaruniakan kita ingatan? Memori dan kenangan yang merajai hipokampus dan amigdala kita. Lalu karenanya kita merindu pada mereka yang terpisah jarak dan waktu. Orang-orang yang kita cintai, mereka yang memberi arti dalam hidup kita, mereka yang tidak sekedar singgah tapi juga memberikan banyak hal indah yang mengkristal menjadi kenangan. 

Meski kadang cinta dan rindu itu seolah mampu menaklukkan waktu, pada nyatanya tak ada yang abadi di dunia yang memang fana ini. Semua akan pergi dan kita harus belajar ikhlas untuk melepas. 

Usia akan melaju dan kita pun akan kehilangan sekurangnya 5 perkara: muda, sehat, kaya, sempat, saudara dan sahabat , dan pada gilirannya kita akan sendiri meski tak sepi untuk mempertanggungjawabkan secara mandiri apa yang telah kita rencanakan, lakukan, dan lalui dalam kehidupan. 


كُلُّ نَفۡسٍ۬ ذَآٮِٕقَةُ ٱلۡمَوۡتِ‌ۖ ثُمَّ إِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. (QS. Al Ankabut: 57)


كُلُّ نَفۡسٍ۬ ذَآٮِٕقَةُ ٱلۡمَوۡتِ‌ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوۡنَ أُجُورَڪُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ‌ۖ فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَ‌ۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلۡغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. 
(QS Ali Imran : 185)

Rasulullah Saw. memberikan kita panduan yang bernas tapi sangat cerdas, mengingat manusia pada dasarnya eksploitatif, egois, serakah, dan tak mau susah dalam ibadah dan riyadah. Maka indikator keberhasilan hidup kita dibuat sederhana: seberapa bermanfaat kita bagi semesta dan sesama? Khoirunnas anfauhum linnas. 

Karena kita cerdas dan manipulatif maka kita kerap menimbulkan kerusakan di muka bumi. Sifat tamak yang eksploitatif tak terarah sering mendestruksi keseimbangan dalam kehidupan. Akibatnya dunia lambat laun rusak dan mengalami pelapukan katastropik yang analog dengan kondisi patologis degeneratif pada tubuh manusia. 

Maka sekedar seulas senyum yang dapat hangatkan suasana sudah teramat sangat berdayaguna bagi sesama. Di dunia yang lelah ini nasehat Ayah dan kasih sayang Ibu yang senantiasa mendoakan dengan cucuran air mata di sepertiga malam adalah telaga berkah: Danau Kautsar yang penuh dengan linangan kenangan dan banjir peluh tanpa keluh. 

Semua terseduh dalam doa yg hadirkan teduh... itulah makna dari hadirnya orang-orang yang kita kasihi yang mungkin hari ini sudah terlebih dahulu kembali ke hadirat Illahi. 

Kenanglah mereka dengan senyum, dengan zikir, dan dengan pikir... bahwa kebaikan, kehangatan, dan cinta mereka yang tuluslah yang telah menghantar kita menjadi pribadi yang mampu memaknai arti hadir dan indahnya hidup di karunia usia yang tengah kita jalani ini.

Al Fatihah untuk mereka semua yang telah ikhlas mencintai kita apa adanya...

Sumber gambar:
https://picgra.com/user/duddyfahri/10148958272

Rabu, 23 Januari 2019

Melakukan Respon ala Five Facet Mindfulness


Oleh Duddy Fachrudin

Bayangkan Anda adalah seorang audiens yang sedang menyimak sebuah seminar. Lalu seseorang presentasi di depan Anda dengan terbata-bata. Tak jarang salah kata menyertai komunikasinya. Namun ia terlihat sangat berusaha menyampaikan makna dari setiap ucapnya.

Respon apa yang Anda berikan?

Berbagai pikiran, perasaan, ingatan, persepsi, prasangka turut campur dalam pengambilan keputusan, yaitu respon atas apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan.

Hampir sebagian besar stimulus yang tidak menyenangkan akan disikapi negatif, bukan? Seperti halnya contoh di atas, mungkin kita akan nyeletuk, "Tidak bermutu", atau "Jelek, kok bisa sih dia bicara di depan umum?"

Kata-kata negatif keluar dari pikiran, hati, dan mulut kita mengotori semesta yang indah.

###

Bersikap mindful adalah upaya untuk tidak melakukan judgement dan merespon secara reaktif. Untuk bisa berada pada titik tersebut ada tahapan-tahapan yang perlu dilalui.

Maka, Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) hadir untuk melihat sejauhmana seseorang dapat mindful dalam kehidupannya. Alat ukur ini merupakan pengembangan dari Kentucky Inventory Mindfulness Skills (KIMS).

Terdapat penambahan satu aspek mindfulness, yaitu non-reactivity pada FFMQ, yang melengkapi aspek observing, describing, act with awareness, dan acceptance without judgement/ non-judging yang sudah ada sebelumnya di KIMS.

Mari satu persatu kita lihat aspek-aspek dalam FFMQ ini:

Observing, kita belajar memberikan perhatian atau mengamati stimulus yang hadir dan juga dunia internal (pikiran, perasaan, dan sensasi tubuh) kita.

Describing, di titik ini kita dapat menggambarkan sekaligus mengungkapkan apa yang ada dalam dunia internal dan eksternal dengan tepat.

Act with awareness, saat dimana perhatian tertuju sepenuhnya pada objek yang kita hadapi. Atau kita sepenuhnya bertindak secara sadar dalam aktivitas kita. Biasanya supaya benar-benar menyadari sepenuhnya, kita tidak multitasking.

Acceptance without judgment, menerima pikiran, perasaan, dan sensasi tubuh tanpa melakukan penilaian. Hmm... mungkin disini Anda akan mengernyitkan hati. Tanpa melakukan penilaian? Apakah bisa?

Non-reactivity, maksudnya tidak prematur memberikan respon, kita berusaha untuk tenang dalam mengambil sebuah keputusan. Dan saat ketenangan tercipta, kebijaksanaan menaungi keputusan yang kita ambil.

###

Ikuti alur aspek-aspek mindfulness dalam FFMQ, lalu bayangkan kembali presenter yang terbata-bata tersebut dalam imajinasi Anda.

Respon apa yang Anda berikan?

Good Job!

Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2017/03/apa-itu-mindfulness.html

Rabu, 10 Oktober 2018

Bunuh Dirilah Sehingga Kau Bercahaya


Oleh Duddy Fachrudin

"Terserah, apakah ini dosa, heroisme, atau justru pengecut. Bahwa saya mau bunuh diri! Karena saya tidak mau membunuh orang lain, seberapa sakitpun hati saya oleh pengkhianatan dan penghinaan manusia. Tapi yang saya bolehkan untuk dibunuh hanyalah diri saya sendiri. 

Saya bersyukur perjalanan saya untuk bunuh diri sudah selesai dan tuntas.

Beberapa lama saya mencampakkan om-om dan mas-mas semua ke dalam kegelapan. Karena saya memang gelap. Hati saya gelap, pikiran saya gelap.., kehidupan saya di sini dan di belakang saya juga gelap.

Dan puncak kegelapan saya adalah semua orang seantero negeri ini menyebarkan fitnah bahwa Rayya adalah bintang yang gemerlap dan bercahaya..."

Monolog sunyi nan inspiratif menghentak kesadaran ini di ucapkan dengan lembut oleh Rayya, seorang bintang, artis terkenal yang kemudian mengalami transformasi jiwa.

Ia, dengan segala kemegahannya tak terima ketika dicampakkan oleh seorang laki-laki yang nyatanya telah beristri. Egonya tersakiti, berontak menolak kalah dari derita.

Egonya yang tinggi termelekati dengan rupa-rupa duniawi. Maka sakitlah ia, saat pikiran dan rasa tak kunjung menerima. 

Aku seorang artis besar, bahkan aku dapat membeli laki-laki yang diinginkanku.. Begitulah Rayya.

Untungnya, Arya, seorang biasa nan bijaksana datang menjadi cermin baginya.

Rayya yang mengalami gejolak jiwa ingin bunuh diri. Dan Arya membantunya... menolongnya untuk benar-benar membunuh dirinya--menghancurkan egonya.

Film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya bukan hanya menyuguhkan keindahan alam di sepanjang perjalanan mereka berdua, bertukar kata dari ujung barat Jawa hingga Bali.

Film ini mengajak kita untuk melakukan perjalanan jiwa, mencari jati diri, dan kemudian menemukan mutiara terindah yang bersemayam dalam diri manusia.

Kelak, mereka yang telah menemukannya, hatinya bercahaya.

Arya, bersama orang-orang sederhana telah memantulkan cahaya kepada Rayya, sehingga "dirinya" telah hancur berkeping-keping.

Kemudian Rayya melanjutkan monolognya:

"Budhe pengasuh anak-anak Salam. Tua, tuli, mengabdi kepada pendidikan kemanusiaan di pelosok kesunyian. Di hadapan beliau, Rayya hanya perawan kencur yang kolokan.

Ibu-ibu yang berjualan di pasar. Dengan ringan meletakkan dunia ini di telapak tangannya dan menertawakan Rayya yang menyangka bahwa menjadi bintang adalah segala-galanya.

Si Slamet di perempatan jalan. Menari-nari gembira, menjogetkan rasa syukur yang tanpa batas dan tanpa syarat.

Nenek penjual karak. Aku pikir yang ia junjung di atas kepalanya itu adalah wadah makanan jualannya. Ternyata yang ia junjung adalah martabat.

Ibu-ibu dan anak-anak pekerja pemecah batu. Yang berkantor di gedung terik matahari. Telah menipu saya mentah-mentah. Karena di balik tangan dan jari jemari mereka yang lemah tersembunyi jiwa yang agung dan mental yang tangguh.

Merekalah cahaya yang sesungguhnya. Merekalah cahaya di atas cahaya. Sekarang, sejalan kita berjuang menaklukkan kegelapan. Bersama kita belajar memantulkan cahaya di atas cahaya."

Inilah Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, a road movie bertema mindfulness terbaik versi mindfulnesia.id, yang mengajak kita "membunuh diri" kita, melepaskan kelekatan dunia, menjadi manusia bahagia yang bercahaya.

Menuju Cahaya - Hari Kesehatan Mental Sedunia, 10 Oktober 2018


Sumber gambar:
http://videoezyindonesia.blogspot.com/2014/03/new-release-vei-rayya-cahaya-di-atas.html

Minggu, 16 September 2018

Mindful Hijrah


Oleh Duddy Fachrudin

“Wajar kan orang ingin merahasiakan satu atau dua hal dari masa lalunya? Kamu juga begitu kan? Makanya memutuskan menjadi pengembara.”
(Kaoru Kamiya)

“Ya, memang...”

Hanya itu jawaban Kenshin Himura di awal perjumpaannya dengan Nona Kaoru dalam kisah Roman Samurai X karya Nobuhiro Watsuki. Rurouni Kenshin dimulai dengan sebuah perjumpaan Kaoru dengan Kenshin secara tak sengaja. Kenshin, Sang Battosai mengaku kepada Kaoru hanyalah seorang pengembara yang tak tahu tujuan pasti dari pengembaraannya itu. Ia mengembara setelah zaman Bakufu (Shogun) berganti ke Restorasi Meiji.

Kaoru yang merupakan seorang guru pedang di Dojo Kamiyakasin saat itu sedang mengalami masalah. Dojo warisan ayahnya berusaha diambil paksa oleh orang-orang yang hanya mementingkan uang. Saat itulah Kenshin membantu. Dia mengayunkan pedang Sakabatonya untuk menjatuhkan penjahat-penjahat tengil tersebut. Dari situlah ternyata Kaoru mengetahui bahwa Kenshin adalah seorang pembantai yang ikut mensukseskan terbentuknya zaman baru (Meiji).

“Maafkan aku nona Kaoru. Aku bukan ingin menyembunyikan rahasiaku. Hanya saja kalau bisa... Aku tak mau menceritakannya.”

Masa lalu. Meninggalkan kisah tersendiri bagi pemiliknya. Pembantai, itulah masa lalu Kenshin, sehingga ia lebih baik menyimpan kisahnya daripada menceritakan kepada orang lain yang bisa saja meresahkan orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu ia lebih baik memakai “Pengembara” sebagai jati dirinya yang baru.

Kenshin adalah orang yang ingin melupakan masa lalunya dan membangun kembali masa depannya dengan Sakabato (pedang bermata terbalik) dan ilmu pedang yang ia miliki untuk melindungi kaum-kaum yang lemah dan menegakkan keadilan di Jepang. Tidak banyak orang seperti Kenshin, tapi yang jelas orang-orang seperti inilah yang kemudian banyak memberikan kebahagiaan di sekitarnya.

Kamis, 28 Februari 2008 Bangun Sugito alias Gito Rollies, rocker The Rollies era 70’an telah kembali kepada sang Pencipta. Meninggalnya laki-laki berusia 61 tahun ini meninggalkan duka sekaligus senyuman bagi orang-orang yang mengenalnya.

Gito Rollies memiliki masa lalu yang sama seperti halnya Kenshin. Narkoba, lama menjadikan dirinya hidup dalam sebuah kesenangan sekaligus penderitaan duniawi. Masa-masa kelam itu pun berangsur setelah Gito bertaubat.

“Aku ingin mati di atas panggung,” salah satu kalimat yang pernah terlontar dari mulut Gito Rollies. Namun ia juga mengatakan, “Aku ingin meninggal ketika berdakwah.” Pengembaraan dimulai seorang Gito Rollies setelah “zaman” narkoba dalam hidupnya berganti ke “zaman” menuntun kebaikan. Dan akhirnya Gito Rollies bisa mewujudkan salah satu dari dua keinginannya.

Sumber tulisan:
Fachrudin, D. 2011. 10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia. Solo: Metagraf.

Sumber gambar:
https://otakukart.com/news/rurouni-kenshin-stage-play/

Rabu, 12 September 2018

Belajar Cinta dari Garam


Oleh Tauhid Nur Azhar

Ada garam ada lautan.

Kala berbicara lautan, kita tidak bisa melupakan garam. Betapa tidak, garam adalah salah satu produk terpenting lautan, selain produk hewani. Hadirnya garam telah menjadikan dunia kita memiliki cita rasa.

Berbicara masalah garam, khususnya natrium klorida alias garam dapur yang hampir setiap hari kita konsumsi, ada pelajaran luar biasa yang bisa kita dapatkan. 

Garam, sebagaimana nama ilmiahnya, merupakan persatuan antara unsur natrium dan klorida. Apabila kita perhatikan, kedua unsur ini jarang berdiri sendiri. Mereka bisa bersatu karena “dicomblangi” oleh air sebagai mediator. 

Ketika masih sendiri, klorida termasuk unsur berbahaya bagi tubuh, biasanya berbentuk asam (HCL). Demikian pula natrium karbonat, walau tidak seberbahaya HCL.

Namun, ketika natrium dan klorida dipertemukan dengan mediasi air, masing-masing melepaskan ikatan dengan pasangannya terdahulu, kemudian mereka saling berikatan membentuk kristal. 

Jika sebuah ikatan kimia sampai membentuk kristal, maka tingkat kecocokannya pasti sangat tinggi, dari fase liquid sampai menjadi solid, terkristalisasi. Ikatan keduanya termasuk ikatan yang sempurna. 

Dengan karakter ini, ada sisi-sisi secara molekuler baik dari sebelah natrium maupun sebelah klorida yang awalnya memiliki efek membahayakan atau membentuk asam, menjadi hilang. Sebab, sisi-sisi “negatifnya” saling menutup dan yang terlihat adalah sisi-sisi indahnya; sisi positifnya.

Jadi, konsep sebuah pasangan, khususnya dalam pernikahan, harus meniru garam. Sisi-sisi buruk yang tidak menyenangkan bisa menjadi simpul dari sebuah ikatan yang mempersatukan, untuk kemudian menghasilkan sebuah molekul yang indah serta memancarkan kebaikan. 

Kelemahan yang ada bukan untuk disesali atau dicemooh, akan tetapi dimanfaatkan untuk berikatan. Inilah gambaran sederhana dari upaya saling mengoptimalkan potensi dan saling mengurangi kekurangan.

Sesungguhnya, natrium yang ada di darah kita harus bertemu dengan pasangannya agar tidak menimbulkan penyakit. Salah satu penyebab terjadinya darah tinggi dan stroke adalah ketika natrium tidak lagi berpasangan dengan klorida.

Sumber gambar:
https://www.seruni.id/garam-dapur-bermanfaat-untuk-kecantikan/

Rabu, 01 Agustus 2018

Sikap Mindfulness: Meletakkan itu... Indah



Oleh Duddy Fachrudin

Saat mengikuti sebuah pelatihan biasanya hal yang paling berharga yang kita dapatkan adalah materi pelatihan dan juga pengalaman serta relasi baru.

Namun, yang saya temui pada pelatihan itu bukan hanya ketiganya.

Seorang narasumber yang baru saja menikmati coffe break itu berdiri lalu berjalan perlahan mendekati tempat piring dan gelas kotor. Dengan lembut, ia meletakkan piring kecil dan gelas bekas kopinya di tempat itu.

Indah kami memandangnya.

Lalu pikiran ini tetiba membayangkan semua orang melakukan hal yang sama dalam kehidupannya seperti yang beliau lakukan barusan. Maka kelak tercipta sebuah keselarasan dan harmoni dari sebuah tata perilaku manusia.

Bukan hanya kecantikan nan asyik mengerik kesombongan yang begitu terik. Tapi semesta akan bersenandung memujinya dan berdoa kepada Tuhan agar ia dimasukkan ke dalam surga.

Meletakkan itu indah, bukan?

Apalagi jika kita pandai meletakkan yang tidak berguna seperti sampah yang dapat mewabah.

Tidak hanya sampah fisik.

Yang lebih penting adalah sampah pikiran.

Mereka adalah kecemasan, kesedihan, kekecewaan, iri, dengki, memori yang tidak menyenangkan, kesombongan, prasangka negatif, dan amarah, serta rasa memiliki yang belebihan.

Maka, meletakkan itu indah, bukan?

Orang yang berada di sebelah saya mengangguk.

Sumber gambar:
https://freedomandfulfilment.com/stop-feeding-your-mind-garbage/

Jumat, 27 Juli 2018

Tentang Sosonoan


Oleh Duddy Fachrudin

Nama acara itu sosonoan. Mereka saling melepas rindu dan kangen-kangenan. Bukan hanya kepada sahabat, teman-teman, dan guru-guru tercinta;

namun juga kepada barisan para mantan.

Sosonoan adalah membuka folder masa lalu dan menerima segala kenangan,

serta merayakannya di masa sekarang.

Maka, sosonoan, bukan hanya merindu pada kamu, tapi juga memeluk masa lalu. Dan sang jiwa berkata:

Thank you.

Sumber gambar:
https://www.websta.one/tag/unisba

Kamis, 10 Mei 2018

Belajar untuk Menerima... Belajar untuk Melepas (Pengalaman Berlatih Mindfulness)

Menerima dan Melepas

Oleh Prinskasastri

“Salah saya apa? Apakah saya seburuk itu?

Bagai radio rusak, saya mengulang-ulang pertanyaan itu sendiri.

Sejak akhir tahun 2017, karena sebuah peristiwa, pikiran saya mengembara kemana-mana. Kekhawatiran berlebih akan masa depan dan ketakutan masa lalu terulang terus terngiang di kepala saya.

Saya menyadari kondisi emosi saya tidak dalam kondisi yang bagus. Saya tidak bahagia. Bahkan, saya sering menyalahkan diri saya sendiri dan orang lain yang menyebabkan kondisi saya seperti ini.

Saya marah. Saya sulit menerima kenyataan. Lalu maaf pun enggan memancar dari hati saya.

Energi saya habis. Asam lambung saya naik. Saya lelah.

Saya lelah karena selama ini telah menghukum diri saya dengan pikiran-pikiran saya sendiri. Dan saya belajar untuk pasrah. But how?

Sampai suatu hari karena tanggungjawab untuk mengerjakan tesis, saya mencari terapi yang tepat, yang bukan hanya bermanfaat bagi subjek penelitian saya, tapi juga bagi saya pribadi. Akhirnya saya menemukan mindfulness melalui teman-teman saya, media sosial, jurnal psikologi, dan blog beberapa praktisi mindfulness.

Di titik inilah saya mulai belajar mindfulness.

Mencerna konsep mindfulness dari berbagai media tidak mudah bagi saya. Untungnya, bagai mestakung, beberapa teman saya di Magister Psikologi Profesi UNISBA memiliki minat yang sama untuk belajar mindfulness. Alih-alih hanya belajar dari jurnal, buku, dan media lainnya, kami memutuskan untuk belajar mindfulness pada Kang Duddy, yang juga alumni Psikologi UNISBA, praktisi mindfulness, dan pernah melakukan penelitian mindfulness sebelumnya.

Dua hari pertama belajar mindfulness merupakan tantangan yang sangat berat bagi saya. Hal ini menjadi menantang karena selama ini saya tidak menyadari bahwa saya ternyata begitu menikmati kondisi masa lalu saya. Dan saya juga menikmati kondisi ketakutan akan masa depan. Saya lupa untuk hidup sepenuhnya di masa sekarang.

Beberapa kali melakukan meditasi duduk, saya semakin menyadari bahwa pikiran saya penuh dengan kondisi di masa lalu saya. Saya biasanya menolak dan memilih mengabaikan pikiran-pikiran yang tidak menyenangkan. Mencoba menerima dan berdamai dengannya adalah suatu hal yang baru.

Setelah dua hari kami pelatihan, saya berlatih menerapkannya sendiri di rumah. Sudah satu minggu ini saya berlatih dan praktik ini memang menjadi tugas kami sebelum kami belajar mindfulness lagi pada dua hari berikutnya.

Perubahan yang terjadi yang saya rasakan adalah energi saya yang biasanya cenderung cepat lelah semakin lama semakin baik setiap harinya. Saya sedikit demi sedikit mulai menyadari emosi yang muncul dalam diri tanpa mengabaikannya. Terkadang saya masih bersikap reaktif dalam menghadapi segala sesuatu. Namun, saya berniat untuk terus belajar dan berlatih mengembangkan hidup mindfully.

Ya. Belajar untuk menerima dan melepaskan pikiran-pikiran yang mengembara, serta hidup sepenuhnya saat ini dan di sini.

Sumber gambar:
http://www.pilgriminprada.com/the-power-of-letting-go/

Jumat, 13 Oktober 2017

Mindfulness (Sebuah Puisi)

(Ilustrasi: Jalan Cinta)

Oleh Duddy Fachrudin

Beri aku sesuatu yang sulit, kata Andrea
Mari.. mari sini penderitaan, kata Salik
Kata orang-orang, kopi itu pahit,
namun dalam pahitnya itu menyeruak cinta

Jalan Cinta adalah jalan impian Boi
Kau beruntung sedang melaluinya
Janganlah berpaling darinya,
hingga tertawan dalam penjara kegelisahan

Hiduplah saat ini sambil menyeruput kopi itu
Inikah arti dari yang namanya penerimaan?
Salik berkata: aku mau apa yang dimau-Nya:
sini, mari menghablur, melebur bersama bintang gemintang

Sumber gambar:
http://wendyspeaks.com/tailored-workshops/

Rabu, 27 September 2017

Inspirasi Pirlo dan 2 Pemain Bola Paling Mindful Lainnya


Oleh Duddy Fachrudin

Penso quindi gioco yang dalam bahasa Inggris berarti i think therefore i play. Sebuah idiom dari seorang Andrea Pirlo untuk menggambarkan sosok dirinya di buku autobiografinya, baik sebagai seorang manusia biasa maupun pesepakbola kelas dunia.

Pirlo selalu bermain dengan kecerdikannya yang merupakan hasil dari perhitungan yang matang yang terjadi dalam korteks prefrontalnya. Sebagai contoh ketika ia melakukan tendangan pinalti mencungkil bola ala panenka saat Italia bersua Inggris di perempatfinal Piala Eropa 2012.

Dalam posisi tertinggal 1-2, Pirlo sebagai penendang ketiga berhasil mengelabui Joe Hart yang kelewat percaya diri. Dan yang terjadi kemudian entah mengapa 2 penendang Inggris berikutnya gagal, sementara 2 algojo Italia sukses menjalankan misinya. Italia menang 4-2.

Julukannya Sang Metronom dan Sang Dirigen Orkestra. Tidak berlebihan julukan itu disematkan pada pemain yang berposisi sebagai deep-lying playmaker itu. Pirlo tidak banyak berlari seperti para pemain lainnya. Cukup dengan satu dua sentuhan ia mengendalikan permainan.

Bahkan karena jarang berlari, Pirlo seolah bermain dalam sunyi namun menghasilkan gelombang yang indah. Inilah filosofi wu wei yang berhasil diterapkan oleh Sang Maestro. Dengan kata lain, Pirlo merupakan pemain bola paling mindful yang pernah ada.

Mindfulness identik dengan ketenangan, setenang Pirlo mengolah kulit bundar. Namun di dalam mindfulness juga terdapat acceptance, non-judging, awareness, dan memiliki kaitan dengan flow. Maka selain Pirlo, dua nama pemain yang berposisi sebagai gelandang serang dan striker ini layak diberi label pemain paling mindful. Siapa saja mereka?

Pertama Ronaldinho Gaucho. Pemain yang satu ini menjadi pemain bola yang paling bahagia karena ia selalu tersenyum di atas lapangan. Ronaldinho sangat menikmati bermain sepakbola dan hanyut dalam setiap momen yang terjadi di setiap pertandingan yang dimainkannya. Csikszentmihalyi menamakan apa yang dialami Ronaldinho sebagai flow.


Menonton Ronaldinho seperti menikmati pertunjukan Sang Penyihir yang melakukan keajaiban demi keajaiban di lapangan. Dribbling ciamik, nugmet aduhai, passing yahud, dan gol-gol fantastisnya begitu sayang untuk dilewatkan.

Freekick ajaib Ronaldinho saat Brazil melawan Inggris pada perempatfinal Piala Dunia 2002 dan shimmie golnya ke gawang Chelsea pada Liga Champions edisi 2004/2005 menjadi bukti bahwa Ronaldinho dilahirkan sebagai penyihir lapangan.

Dan sihir terbaiknya adalah saat ia menjadi mentor titisan Maradona, Lionel Messi di Barcelona. Sejak kedatangannya sekaligus mentor Messi, Barcelona yang awalnya nirgelar menjadi klub yang berlimpah trofi.

Kedua Ole Gunnar Solksjaer. Masuk menggantikan Andy Cole di menit 81, pemain berwajah imut-imut ini mungkin menjadi pemain yang paling dikenang oleh seluruh fans Bayern Munchen. Dikenang bukan sebagai pahlawan, karena Ole berseragam Man. United yang kala itu menjadi lawan Munchen.

Dalam posisi unggul 1-0 dan tinggal menunggu peluit panjang berbunyi, Munchen sepertinya akan menjadi kampiun Liga Champions tahun 1999. Namun, Setan Merah berhasil menyamakan kedudukan di menit 91 lewat gol Teddy Sheringham. Dan sebelum pertandingan usai, Ole benar-benar membuat pemain The Bavarians tersungkur lemas di lapangan.

Siapakah Ole Gunnar Solksjaer?

Pemain asal Norwegia ini tidak benar-benar menjadi striker utama MU. Pada masa Eric Cantona, Andy Cole dan Dwight Yorke, dan Ruud van Nistelrooy, Ole hanyalah striker kedua dan ia menyadari sepenuhnya hal itu.

Apalagi ia datang ke MU dari sebuah klub kecil di Norwegia bernama Molde. Maka tidak jarang pula Ole bermain dari bench. Namun Ole tetap menerima. Tentu, menerima bukan pasrah dan berkeluh kesah. Dari bench, pemain berambut ikal itu mengamati pergerakan bek lawan.

Saat Ole masuk, boom.. gol-gol dari kaki dan kepalanya bersarang di jala lawan. Karena itu Sir Alex Ferguson menjulukinya The Super Sub.

Menerima, tidak berkeluh kesah, tetap tenang, dan memberikan yang terbaik. Itulah yang ditunjukkan oleh pemain yang gantung sepatu di MU tahun 2007 ini. Dan publik Old Trafford selalu mencintainya, “You are my Solskjaer, my Ole Solskjaer, you make me happy, when skies are grey”.

Sumber gambar:
https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/anak-anak/26xnjs-jual-i-think-therefore-i-play-by-andrea-pirlo-alessandro-alciato-kepustakaan-populer-gramedia

Senin, 25 September 2017

Berdamai dengan Masa Depan


Oleh Duddy Fachrudin

Om Einstein bilang bahwa satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian. Kata-katanya diamini bahkan sudah menjadi suatu konstanta tersendiri bagi seluruh penduduk bumi. Bagaimana tidak, karena ketidakpastian ini orang-orang mencari yang namanya kepastian.

Selama terombang ambing dalam lingkaran ketidakpastian, perasaan gelisah dan gundah gulana terus membuncah. Bahkan perasaan tersebut kemudian dapat terakumulasi dalam kekhawatiran, kecemasan serta ketakutan yang akut dalam mengarungi kehidupan di masa depan.

Masih terngiang dengan pembunuhan yang dilakukan seorang ibu terhadap tiga orang anaknya 11 tahun yang lalu di Bandung. Karena ketakutan tidak dapat membahagiakan mereka di masa depan, sang ibu membunuh mereka agar dapat “menyelamatkan” mereka dari kehidupan yang tidak pasti ini.

Karena ketidakpastian pula supir angkot melakukan demo dan mogok beroperasi serta meminta para pejabat daerah untuk tidak memberi ijin taksi online yang “mengambil” lapak mereka. Dengan adanya kepastian dan jaminan yang termanifestasi dalam sebuah kebijakan, berharap hati para supir angkot yang gelisah kembali tenang.

Namun ketidakpastian akan selalu hadir di esok hari.


Maka berdamai dengan masa depan berarti menerima ketidakpastian yang hadir dalam hidup kita dengan cara mengoptimalkan potensi prokreasi yang sesuai visi dan misi penciptaan manusia. Dan dalam perjalanannya tersebut kita perlu senantiasa berhenti sejenak melepas penat sekaligus mengistirahatkan otak seraya bertutur kepada-Nya:

“Tuhan, kuatkan aku untuk mengubah hal-hal yang dapat aku ubah. Ikhlaskan aku untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah. Dan jernihkan pikiran serta hatiku untuk dapat membedakan keduanya.”

Sumber gambar:
http://adoubleshotofrecovery.com/thoughts-on-acceptance/

Senin, 11 September 2017

Inside Chester’s Mind


Oleh Duddy Fachrudin

“... And no matter how I’m feeling, I always find myself struggling with certain patterns of behavior... I find myself stuck in the same thing that keeps repeating over and over again, and I’m just, like, ‘How did I end up...? How am I in this?”

Lima bulan setelah ungkapannya pada sebuah wawancara di sebuah radio di Los Angeles, Chester Bennington gantung diri.


Vokalis Linkin Park (LP) itu sesungguhnya tidak meninggal karena anoksia anoksik dimana oksigen tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena jeratan tali yang mencekik jalan nafas. Ia meninggal akibat terperangkap dalam penjara pikiran yang menyiksanya. Pikiran ruminasi yang begitu berat dialaminya sejak lama. Dan hal itu sesuai judul lagu andalan di album terbaru LP, “Heavy”.

“I know that for me, when I’m inside myself, when I’m in my own head, it gets... This place right here, this skull between my ears, that is a bad neighborhood, and I should not be in there alone. I can’t be in there by myself. It’s insane! It’s crazy in here. This is a bad place for me to be by myself. And so when I’m in, my whole life gets thrown off. If I’m in there, I don’t say nice things to myself."

Begitu beratnya menjadi Chester yang hidup berada dalam alam pikirannya.

"There’s another Chester in there that wants to take me down. And I find that, it could be... whether it’s substances or whether it’s behavior or whether it’s depressive stuff, or whatever it is, if I’m not actively doing..."

Chester menyadari bagian dirinya yang lain yang ia sebut “another Chester”. Bagian diri—atau para pakar psikologi menyebutnya subkepribadian yang berkonflik dengan dirinya. “Another Chester” yang begitu tersiksa akibat akumulasi pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu yang bersinergi dengan efek dari penggunaan alkohol dan obat-obatan ini seolah berkata kepada dirinya (Chester), “sudahlah aku lelah, bagaimana jika diakhiri saja?”. Namun Chester masih bisa bertahan dengan berbagai peran yang ia lakoni di dunia, terutama perannya sebagai musisi.

“... getting out of myself and being with other people, like being a dad, being a husband, being a bandmate, being a friend, helping someone out... If I’m out myself, I’m great. If I’m inside all the time, I’m horrible—I’m a mess.”

Pada fase ini Chester telah mengamati, menyadari bahkan mengenal dirinya. Ia juga mengenal konfliknya. Namun Chester, masih memisahkan antara dirinya dengan “another Chester” yang ada di alam pikirannya. Dan ini terus berulang.

“I find myself stuck in the same thing that keeps repeating over and over again...”

Ruminasi-depresi-bunuh diri. Begitu polanya.

Pathway tersebut sebenarnya bisa diputus. Ya, tinggal satu tahap yang (mungkin) belum dilakukan Chester: menerima “another Chester” itu seutuhnya. Berdamai dengannya dan menjadikannya seorang teman akrab. Meskipun untuk proses menerima dan berdamai itu dengan “crawling”.

Sumber gambar:
https://www.youtube.com/watch?v=oiWsWG0v1Lw

Kamis, 07 September 2017

Mindful Couple: 5 Langkah Agar Mudah Move On dari Masalah Percintaan


Oleh Duddy Fachrudin

Suatu ketika ada seorang perempuan muda menceritakan masalahnya kepada saya. Inti dari masalahnya adalah pasangannya sudah meyakinkan dirinya bahwa ia akan menikahinya. Tentu saja perempuan muda tersebut merasa senang dan mempersiapkan diri untuk menjadi pendamping hidup yang terbaik.

Namun, ternyata belum ada langkah konkrit yang dilakukan pasangannya untuk menikahinya. Perempuan muda ini terjebak dalam perasaan galau, gelisah, dan gundah gulana. Ia bingung apa yang harus dilakukannya? Apakah ia harus meninggalkan pasangannya dan mencari laki-laki lain yang siap menjadi suaminya atau tetap menunggu pasangannya melamar dirinya di hadapan orang tuanya.

Tentu saja kasus sulit move on tidak hanya terjadi pada masalah percintaan. Saya pernah menangani mahasiswa yang stuck pada kuliahnya di tingkat pertama di sebuah universitas ternama di Indonesia. Nilai-nilainya sangat rendah sehingga ia harus mengulang beberapa mata kuliah pada tahun berikutnya. Pada saat itu kondisi keluarganya juga sedang tidak harmonis. Hal tersebut yang semakin membuat mahasiswa ini kehilangan fokus pada kuliahnya.

Permasalahan sulit move on yang paling buruk adalah ketika kita tidak hidup di masa ini. Pikiran kita mengembara ke masa lalu, entah pada kekecewaan, kemarahan, dendam, perasaan sakit hati, sampai rasa bersalah yang tinggi. Orang yang hidup pada bayang-bayang masa lalu hidupnya tidak akan bahagia. Ia seperti berjalan menuju masa depan sambil membawa beban yang sangat berat di pundaknya.




Move on pada intinya adalah terlepas dan berpindah. Orang yang sulit move on berarti pikirannya masih melekat pada suatu hal yang ada di masa lalu. Maka apa yang perlu dilakukan untuk move on? Cukup dengan melepaskan atau membebaskan pikiran yang terpenjara. Berikut langkah-langkahnya (dengan ilustrasi kasus percintaan):

Pertama, jika ada pikiran yang mengganggu, cukup amati, misalnya muncul perasaan kecewa, cukup amati perasaan kecewa itu tanpa berkomentar. Cara mengamati yang baik adalah diam sejenak.

Kedua, deskripsikan perasaan kecewa tersebut, misalnya, “Oh saya kecewa karena pasangan saya mengkhianati saya.”

Ketiga, terima perasaan kecewa tersebut, misalnya, “Saya mengijinkan diri saya menerima perasaan kecewa ini...Terima kasih tubuh, jiwa dan pikiran yang telah mencintainya. Dengan begitu saya menyadari sekali bahwa saya mencintainya. Namun ternyata apa yang telah direncanakan dan diusahakan tidak berjalan lancar. Maafkan saya wahai tubuh, pikiran, dan jiwa, karena kalian semua tersakiti. Saya sekarang mulai belajar untuk ikhlas... ikhlas melepaskan semuanya. Terima kasih sekali lagi, dan maafkan saya."

Keempat, berpikir secara matang untuk mengambil keputusan move on. Dengan berpikir matang maka keputusan yang diambil akan lebih bijaksana.

Kelima, hiduplah untuk saat ini, yaitu dengan menikmati hari ini dengan bahagia. Kadang kita tidak di masa lalu dan masa depan. Pikiran kita mengembara ke masa lalu atau kita terlalu mengkhawatirkan hal yang belum terjadi di masa depan.

Dengan move on dari masalah dan masa lalu kita itu berarti kita mengijinkan diri kita terbebas dari belenggu pikiran yang mengganggu. Kita juga telah mengijinkan diri kita untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Dan terakhir, kita mengijinkan diri kita untuk menerima segala keberkahan dan keberlimpahan dari Tuhan.

Sumber gambar:
https://www.merdeka.com/gaya/5-alasan-move-on-adalah-hal-tersulit-tetapi-tetap-harus-dilakukan.html

Kamis, 11 Mei 2017

Memaafkan, Mindfulness, dan Film Korea


Oleh Duddy Fachrudin

Apa kau tahu, hal apa yang lebih menyakitkan daripada kematian? Memaafkan. Karena dengan memaafkan, kau akan memendam rasa sakit di dalam hatimu.

Sesuai judulnya, “No Mercy”, menghadirkan premis yang kelam di akhir film. Sebuah pesan yang menolak untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Rasa marah dan dendam mengalir bersama darah di seluruh rongga tubuh. Tidak ada sedikitpun ruang pengampunan dalam hati. Rasa sakit harus dibalas. Begitu kiranya film itu berkisah.

Senada dengan “No Mercy”, ketiga film Korea lainnya, yaitu “Old Boy”, “I Saw The Devil”, dan “Sympathy for Mr. Vengeance” juga bercerita tentang balas dendam tokoh utamanya.

Upaya balas dendam demi menghadirkan sakit yang diderita olehnya harus dirasakan pula oleh penjahatnya.

Namun menariknya pada penghujung ketiga film tersebut menyempilkan hikmah yang cerdas, bahwa dendam tidak menyelesaikan masalah. Dendam dan benci justru akan menambah penderitaan.


Maka kita perlu belajar pada film “A Moment to Remember” yang memiliki premis positif, yaitu memaafkan berarti menerima segala peristiwa yang tidak menyenangkan yang pernah hadir dalam kehidupan seseorang. Memaafkan berarti memberikan sedikit ruang hatimu.

Dengan memaafkan, hati ini tidak tertutup oleh kebencian sepenuhnya.

Masalahnya bagaimana memaafkan orang lain yang pernah menyakiti kita. Atau menerima sepenuhnya dengan senyuman pengalaman yang tidak menyenangkan yang pernah dialami oleh kita. Atau tidak mengutuk dan memendam rasa bersalah berujung penyesalan tanpa akhir atas kesalahan diri sendiri di masa lalu?

Memaafkan dengan tulus pada akhirnya adalah sebuah proses yang tidak begitu saja terjadi.

Perlu adanya sebuah latihan menempa diri yang pada awalnya mungkin terasa sulit untuk dilakukan. Seperti halnya seorang penghuni Warga Binaan Permasyarakatan yang mengikuti program mindfulness berkata kepada penulis:

“Awalnya saya tidak mau mengikuti program mindfulness ini Mas. Saya coba cari-cari alasan, seperti sakit supaya saya tidak ikut. Namun setelah beberapa kali saya menjadi paham manfaat dari program ini. Pikiran saya menjadi lebih jernih dalam memahami sesuatu.”

Memaafkan layaknya hidup yang lebih berkesadaran (mindful) yang memerlukan sebuah proses. Dan untuk itu kita perlu memulai latihannya. Kapan? Tentu saat ini juga.

Sumber gambar:
https://id.wikipedia.org/wiki/A_Moment_to_Remember