Tampilkan postingan dengan label Manfaat Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manfaat Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Agustus 2024

Forest Therapy: Forever Young dan Nir Adigung



Oleh Duddy Fachrudin 

Di jaman penuh eksposur, jiwa perlahan berkeping hancur. Pikiran berkonflik saling membentur. Oh… diri yang lacur! Tidak eling dengan wasiat leluhur. Untuk membaur dalam tadabur serta tafakur. Maka sejenak hati terhubung kembali dengan nature. Sebagai wujud cinta dan tanda syukur.

Berlebihnya eksposur informasi yang tidak diiringi dengan kemampuan untuk mengelola atensi menghadirkan permasalahan psikologi. Mulai dari fokus yang makin berkurang hingga adiksi. Rasmus Hougaard, pakar mindful leadership menamakannya PAID atau Pressure - Always on - Information overload - Distraction. Stres karena distraksi akibat banjirnya informasi.

Meski otak manusia sangat canggih dan diberkahi kemampuan switch atensi, namun PAID nyatanya membuat individu semakin mindless, tidak hadir sepenuhnya pada saat ini. Pikiran larut dan kemudian meloncat tak menentu secara otomatis mengikuti arah stimulus. Keseimbangan energi tergerus, waktu habis untuk mengembara di langit dopamin yang amat membius.

Memang fenomena ini tidak sama persis terjadi pada semua orang. Sebagian individu mampu membuat jarak dengan PAID dan sumber stres lain yang memburu dengan mengembangkan keterampilan mindfulness. Latihan meditasi serta menumbuhkan sikap mindfulness seperti tidak tergesa, menerima, dan terbuka menjadi menu harian yang sayang untuk dilewatkan.

Ada yang berlatih menyadari napas. Ada pula yang tak melekatkan diri dengan identitas. Dan juga ada yang menjadikan hutan sebagai ruang beraktivitas. Ragam latihan mindfulness dengan tujuan yang sama, yaitu eling lan awas.

Beraktivitas di hutan tidak sekedar bermain, seperti halnya outbond yang mengasyikkan. Berada di hutan sengaja diniatkan, untuk hadir di antara rimbunnya pepohonan, sejuknya udara, serta komorebi yang memancar begitu indahnya. Terapi ini mengembangkan keterampilan mindfulness dengan grounding berjalan tanpa alas kaki, lalu meditasi, serta menggerakkan tubuh melalui yoga atau tai chi, kemudian ditutup dengan hug tree disertai afirmasi yang menentramkan hati.

Kondo wa kondo. Ima wa ima. Sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Menyadari sepenuhnya di sini. Menikmati saat ini tanpa menghakimi, tanpa tergesa untuk pergi. Seperti maknanya, forest berarti for rest. Untuk beristirahat, melepas penat. Semakin manusia mampu meletakkan stres, semakin ia dapat menahan laju karies tubuhnya.

Bagaimana bisa Yura?

Sejenak mari berkelana pada fondasi yang membangun kesehatan manusia. Ada tiga poin yang jika dijaga serta dikelola dapat membuat manusia awet muda.

Pertama, pencegahan dari stres oksidatif. Tubuh manusia sejatinya akan rusak karena oksidasi radikal bebas. Stres oksidatif ditandai dengan ketidakseimbangan pada ion positif dan negatif. Melalui barefoot atau nyeker di hutan, tubuh akan menyerap ion negatif yang kemudian dapat mencegah timbulnya kerusakan pada sel. Paparan ion negatif yang berasal dari hutan juga dapat mengurangi gejala depresi, mengaktifkan sistem pada tubuh, dan berperan sebagai antioksidan dan antiinflamasi.

Kedua, peningkatan sistem imun. Bayangkan tubuh sebagai suatu negara, sementara sistem imun adalah penjaganya yang bertugas sebagai pertahanan dari kemungkinan serangan musuh berupa organisme patogenik. Tentara sistem imun perlu melakukan latihan sehingga kualitasnya baik. Dan kuncinya terletak pada keseimbangan mikrobiota dalam usus manusia. Itulah mengapa 70% sistem imun terletak di usus manusia.

Flora baik dalam usus merupakan sparing partner sistem imun—seperti sel Natural Killer (NK), yang aktivitasnya meningkat dan menjaga tubuh dari serangan sel kanker. Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh inisiator pengobatan melalui media hutan di Jepang, dr. Qing Li, dimana shinrin-yoku atau forest bathing secara signifikan meningkatkan jumlah sel NK dan juga granulysin (GRN), perforin, granzyme (Gr) A/B-expressing cells.

Ketiga optimalisasi dan keseimbangan hormon. Stres yang kronis dapat menyebabkan disregulasi Hipothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis, jalur neuroendocrine system yang bertugas dalam pengaturan respon stres. Kerja HPA Axis pun menjadi terganggu yang menyebabkan ketidakseimbangan pada hormon, misalnya saja kortisol yang disekresikan secara berlebihan. Stres yang tidak tertangani menyebabkan inflamasi lalu menghadirkan pelbagai penyakit fisik dan mental. Melalui paparan senyawa terpen atau minyak atsiri saat melakukan hug tree timbul efek relaksasi sehingga terjadi penurunan stres.

Maka, hutan yang kaya cahaya matahari, air, mineral tanah, serta molekul penyembuh yang ada di pepohonan merupakan nutrisi bagi jiwa dan fisik manusia. Hutan sejatinya teman hidup terbaik yang diciptakan Tuhan sebagai ecotherapist bagi manusia. Deforestasi akibat eksploitasi industri sama dengan membunuh manusia itu sendiri.

Globalisasi serta modernitas memiliki konsekuensi migrasi masyarakat dari pedesaan ke perkotaan. Urbanisasi menjanjikan kehidupan yang lebih mapan secara finansial dan pekerjaan. Namun paparan stres di perkotaan juga jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan yang dekat dengan hutan.

Pada akhirnya manusia memiliki kecenderungan lahiriah untuk terkoneksi dengan alam. Kembali berinteraksi dengan hadir sepenuhnya adalah ciri manusia biophilia, yang mencari kesehatan dan ketenangan. Saat paparan stres minim, telomer yang ada di dalam DNA tidak mudah rusak. Hal ini berimplikasi pada penundaan terhadap penuaan. Marian Gold, vokalis Alphaville bilang, “Forever young… I wanna be forever young…”

Selain itu, hutan yang juga lekat dengan gunung merupakan guru terbaik bagi kualitas batin manusia. Tidak heran jika ada sebuah idiom “Dididik di gunung, sangkan teu adigung”. Diajar oleh gunung supaya tidak sombong sebagai manusia. Tidak semena-mena memiliki kuasa dan merasa dirinya mahluk yang lebih dari segalanya.

Saat manusia terkoneksi dengan alam atau hutan, ia terkoneksi dengan Tuhan.

Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/07/forest-therapy-sebuah-ikhtiar-untuk.html

Rabu, 30 November 2022

Buku Mindfulness: Agar Layangan Tak Jadi Putus




Oleh Duddy Fachrudin

“Saya kecewa pada orangtua saya… karena mereka melahirkan saya.”

Bayangkan jika anak Anda berkata seperti itu, bagaimana reaksi Anda sebagai orangtua? Kesal, kecewa, marah, bingung, atau merasa bersalah?

Tapi nyatanya, kata-kata tersebut diucapkan seorang anak dengan kesungguhan hati dan kemantapan rasa.

Ialah Zain yang bertutur dengan jujur bagaimana kecewanya dirinya memiliki orangtua yang jauh dari cinta dan kasih sayang. Yang didapatkan dari orangtuanya adalah realita bahwa adiknya dijual oleh orangtuanya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Pikiran dan perasaanya berkecamuk. Mengamuk tiada henti menuntut tanggung jawab ayah ibunya yang semestinya hadir secara sadar sebagai orangtua yang ringan peluk.

Dengan usia masih 12 tahun, Zain meninggalkan rumah, kedua orangtuanya dan juga saudara-saudaranya, lalu menyambung hidup di jalanan.

Kisah Zain dalam Film Capernaum yang memenangkan berbagai ajang festival film internasional dan menjadi nominasi OSCAR tersebut suatu bentuk ketidaksiapan, kelalaian, hingga kekerasan orangtua terhadap anak.

World Health Organization (WHO) sendiri memaparkan bentuk kekerasan pada anak tidak hanya fisik, tapi juga seksual, emosional, eksploitasi, serta penelantaran. Sementara pelaku kekerasan paling banyak justru dilakukan oleh orangtua atau pengasuh anak (caregiver).

Kekerasan berdampak pada cedera fisik, trauma psikologis, kerusakan sistem saraf, kemampuan individu dalam mengatasi sebuah masalah, munculnya perilaku-perilaku yang tidak sehat, hingga tentu saja kematian.

Masih terngiang peristiwa pembacokan seorang anak SD di Depok oleh ayahnya di suatu pagi. Berawal dari cekcok dengan istrinya terkait pelunasan hutang dan keinginan sang istri untuk bercerai, kekerasan itu terjadi. Bukan hanya kepada istrinya, tapi juga anaknya yang mengakibatkan meninggalnya sang anak. Pagi yang semestinya ceria berubah menjadi kelabu.

Kekerasan, disfungsi keluarga, perceraian, dan perselingkuhan merupakan permasalahan yang kerapkali hadir pada individu dan kelompok dalam suatu naungan bernama keluarga atau pasangan yang telah menikah.

Kok bisa? Bukankah pernikahan adalah jalan menuju sakinah? Bahkan setiap ada yang menikah, orang-orang berdoa:

“Semoga Sakinah, Mawaddah, Warahmah.”

Nyatanya, tidak semua pernikahan maujud sesuai harapan yang telah dihaturkan.

Maka di sinilah kita perlu tafakkur sekaligus tadabbur mengenai Ar-Rum ayat 21:

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untuk mu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (warahmah). Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.

Mawaddah dan Warahmah sebenarnya bekal yang sudah Allah siapkan menuju Sakinah. Artinya, Sakinah, ketenangan atau ketenteraman perlu diupayakan oleh manusianya sendiri melalui Mawaddah dan Warrahmah yang sudah ada dan disadari oleh manusia.

Maka doa semestinya:

“Melalui Mawaddah dan Warahmah, semoga engkau berdua menjadi dan istiqomah mewujudkan Sakinah.”

Sayangnya, acapkali manusila lupa atau alpa tidak menyadari hadirnya kasih sayang dan cinta yang senantiasa dihadirkan Allah Swt. Sehingga yang memenuhi ruang hatinya adalah rasa kecewa, kesal, dan amarah dalam menjalani biduk keluarga.

“Agar Layangan Tak Jadi Putus” mengajak agar setiap individu yang ada dalam keluarga, khususnya ayah dan bunda atau siapapun yang akan menikah untuk kembali ke “rumah” menyadari dan menerima Mawaddah dan Warahmah.

Saat kita menyadari keberadannya (cinta), maka berikutnya adalah mengelola dan menghadirkannya (kembali) dalam bentuk niat, pikiran, perasaan, hingga perilaku. Pada akhirnya, dengan rahmat, keberadaan kita dalam keluarga menjadi manfaat. Khoirunnas anfauhum linnas.

Melalui cinta pula, kita ikhlas menanam atau menandur untuk hari esok, Wal tandhur nafsum maa qaddamat ligad.

Suatu saat orangtua yang “menandur” kebaikan-kebaikan dan cinta melalui interaksi dan pengasuhan di dalam keluarga akan memanen hasilnya. Kapan? Entah. Tapi kelak, itu akan terjadi, seizin Allah Swt. tentunya.

Buku sederhana ini tidak membahas teori-teori. Buku ini hanyalah kumpulan hikmah-hikmah dari mindful couple dan mindful parenting yang mungkin genting untuk dipraktikkan sedikit demi sedikit agar pelayaran kehidupan pernikahan dan keluarga menjadi tidak mudah terombang-ambing apalagi terpelanting akan ganasnya badai. Dan yang juga tak kalah penting, supaya kita semua dapat berlabuh di Laguna Sakinah.

Ar-rahmaan, ‘allamal qur’aan. 

Download Buku Mindfulness: Agar Layangan Tak Jadi Putus di sini 



Kamis, 17 November 2022

Strategi Self-Care dengan Acceptance and Commitment Therapy



Oleh Susan Rahmayani 

Bahagia. Sebagian besar orang mencarinya, menemukannya. Lalu selamanya manusia ingin dalam kondisi tersebut. 

Namun sayangnya, perjalanan kehidupan menyadarkan dan mengajarkan bahwa kenyataanya kita tidak selalu bahagia. Ada beragam rasa lain yang menghampiri seperti sakit dan kecewa, kehilangan, kematian, kegagalan, maupun kesedihan.

Seperti pagi ini yang mendapati kenyataan bahwa saya dinyatakan tidak lulus dalam ujian akhir sebuah pelatihan.

Sedih, kesal, malu menyatu... padahal beberapa menit sebelumnya merasa bersyukur karena bangun pagi lalu melaksanakan sholat dan rutinitas lainnya seperti menyiapkan sarapan untuk keluarga, dan sebagainya.

Berat rasanya menjalani hari. 

Akhirnya saya memilih menepi sejenak, mengijinkan dan menerima semua kerumunan rasa dan pikiran untuk diamati dan disadari. Setelah kondisi jiwa lebih tenang, berbagai respon terbaik siap dipilih. 

Daripada terus terjerat (hooked) dalam kecamuk rasa, saya memilih untuk menuliskan ini. Ya, tulisan ini, yang tidak sekedar untuk mengalirkan emosi, tapi juga sebagai pengganti ketidaklulusan ujian akhir pelatihan tersebut.

Itulah salah satu contoh dari merawat diri (self-care) dengan Acceptance and Commitment Therapy (ACT).

Penerimaan itu bukan asal pasrah nrimo begitu saja tapi merangkul merima apa yang ditawarkan kehidupan. Mengizinkan dan membuka diri sepenuhnya terhadap realita yang ada kemudian dikuti dengan komitmen melakukan tindak lanjut berdasarkan nilai yang dipilih secara konsisten. 

Sederhananya ACT adalah berikut ini:

Acceptance: menerima pikiran, ingatan dan emosi hal yang tidak diinginkan, seperti rasa malu, rasa bersalah, rasa kesal dan lainnya. Tidak menolak pikiran dan rasa yang tidak diinginkan melainkan berlatih mindfulness atau berkesadaran mengobservasi pikiran dan perasaan apa adanya.

Choose a valued direction: memilih nilai / value yang akan diikuti. Menyadari mempunyai pilihan arah hidup diawali dengan identifikasi dan fokus pada value yang diinginkan. Berlatih menerima inner world, menerima apa yang datang dan apa yang menemani dalam perjalanan.

Take action: mengambil langkah tindakan yang telah dipilih. Berlatih melaksanakan komitmen pada apa yang telah dipilih sehingga dapat menjalani sesuai dengan value-nya.

Terdapat enam core dalam ACT yang perlu terus-menerus dilatih. Empat elemen terkait mindfulness (acceptance, cognitive defusion, flexible attention, dan self as context), sementara dua lagi, yaitu perilaku (value dan committed action). Berikut penjelasannya:

1) Acceptance, berlatih menerima pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan/ buruk tanpa berusaha untuk mengubahnya. Agar terbangun kemampuan ‘rela’ menerima, menghadapi pikiran, perasaan dan pengalaman yang sebelumnya dihindari.

2) Cognitive Defusion, dengan berpikir cara baru agar saat menghadapi masalah berdampak lebih sedikit pada diri. Berlatih meredakan pikiran tanpa berusaha menghilangkannya dengan menjaga jarak dari pikiran tersebut sehingga tidak termelekati.

3) Flexible attention, berlatih menjalani kehidupan di saat ini dan di sini apa adanya agar dapat lebih fleksibel dan konsisten pada value yang dimiliki. Dengan mengembangkan kesadaran saat ini artinya memberi ruang untuk perasaan negatif alih-alih mencoba menekan atau mendorongnya.

4) Self as context, berlatih melihat atau mengobservasi diri apa adanya tanpa menghakimi atau menilai benar/ salah dengan mindful pada diri apa adanya. Bahwa manusia bukanlah isi pikiran atau perasaannya, melainkan kesadaran yang mengalami pikiran dan perasaan tersebut.

5) Value, mengidentifikasi nilai-nilai penting sebagai panduan agar dapat diterapkan saat mengambil keputusan atau tindakan. 

6) Committed Action, berlatih komitmen melalui tindakan berdasarkan value yang ada dan mengarahkannya pada tujuan-tujuan hidup yang bermakna. Berkomitmen melakukan tindakan dengan sepenuh hati dan tanggung jawab diri.

Pendekatan ini membantu membebaskan diri dari rasa pikiran yang membelenggu dan sekaligus menuntun untuk menerima dan mengobservasi dengan penuh kesadaran pikiran tersebut tanpa larut ke dalamnya. 

Mari peduli pada kesehatan mental kita dengan mengupayakan merawat diri (self-care) dengan baik, memberinya pupuk cinta melalui Acceptance and Commitment Therapy.

Sumber gambar:

Selasa, 15 November 2022

Mindful Lansia: Menualah, Lalu Menjelma Menjadi Cinta



Oleh Tauhid Nur Azhar

Menua dan menuai adalah tindak selaras yang datang mendaras, untuk menguji sikap ikhlas. Kita tumbuh dengan memeras setiap pengalaman yang diizinkan Allah untuk senantiasa membekas.

Karena kenangan adalah pembelajaran yang berperan untuk membentuk kepribadian dan turut menentukan seperti apa bentuk metamorfosa kita yang dipahat oleh kehidupan.

Sedih dan gembira, juga marah dan suka cita, bersama harapan dan kekecewaan adalah cara semesta menjabarkan makna ke dalam sebentuk rasa yang kelak mengemban nama sebagai manusia.

Maka kita kerap tertatih dan letih, hingga akhirnya terlatih, dan menjadi pribadi yang terjebak dalam rintih pedih, ataupun dalam lelah yang membelasah.

Meski saat amanah telah mampu disyukuri sebagai rahmah, kita akan menjelma menjadi sosok Khalifah. Sosok teduh tempat banyak jiwa bernaung, dimana gaung rindu pada yang Maha Agung senantiasa berdengung.

Maka menua adalah menuai segenap rasa yang telah kita labeli dengan makna, alih-alih hanya menjadi sekedar tanda, ia dapat menjelma menjadi cinta.

Cinta pada dunia yang digerus dan dihapus oleh waktu. Atau cinta pada yang Maha Mencinta, tanpa perlu berharap perlakuan setara.

Cinta nan sederhana. Cinta yang hanya punya jujur sebagai modalnya. Cinta yang tak berkelindan dengan kecewa. Yang tak marah saat didera rasa tak berbalas, bahkan tak berpunya.

Karena cinta saat menua adalah menuai tanda dalam perjalanan kelana jiwa, bahkan bagi mereka yang merasa tak pernah kemana-mana.

Sumber gambar:

Mindful Lansia: Mindfulness dan Penyesuaian Diri pada Masa Purna Karya


Oleh M. Grace B. Marlessy 

Menua, bagi sebagian orang merupakan proses yang tidak begitu mudah dijalani. 

Di dunia kerja, mereka yang telah sampai pada usia purna karya seringkali perlu berjuang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang tak terhindari. Sebenarnya perubahan tersebut memang tidak sepenuhnya buruk. Ada pula hal-hal yang justru dirasakan lebih menyenangkan setelah mengalaminya. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa proses ini kerap dipandang dan disikapi sebagai sebuah pengalaman yang negatif, setidaknya pada masa-masa transisi awal.

Banyak aspek kehidupan yang terpengaruh ketika seseorang memasuki masa purna karya. Mulai dari berubahnya rutinitas sehari-hari, berkurangnya produktivitas, hilangnya status, kekuasaan, maupun lingkungan sosial yang semula dimiliki, penghasilan menurun, dan sebagainya. 

Perubahan tersebut bisa menimbulkan beragam perasaan dan suasana hati. Dapat pula berkontribusi pada munculnya kecemasan, depresi, masalah konsep diri, kesepian, bahkan memicu krisis eksistensial bila orang tersebut tidak berhasil menemukan strategi coping yang efektif.

Hal itu dapat terjadi pada siapa pun yang menjalaninya, tak terbatas pada kelompok lanjut usia saja. Tiap orang dapat mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian diri pada masa ini, tak peduli berapa pun usianya saat mulai memasuki purna karya. 

Setiap negara memang menetapkan batas usia berbeda untuk mengakhiri masa kerja. Ada yang menentukan mulai usia 49 tahun, 56 tahun, bahkan 65 tahun, bervariasi dari tahap perkembangan dewasa madya hingga lanjut usia. Di beberapa negara, jenis kelamin dan jenjang jabatan juga menjadi faktor penentu batas usia ini.

Meskipun demikian, pada dasarnya perubahan yang dialami dalam konteks purna karya adalah perubahan besar yang sama. Dalam konsep hirarki kebutuhan dari Maslow, maka masa ini dapat menjadi ancaman terhadap hampir semua kebutuhan seseorang (fisiologis, rasa aman, cinta/ belongingness, dan harga diri). Bisa pula berlanjut hingga akhir hidup seseorang.

Pada tulisan ini, batasan masa purna karya merujuk pada Retirement Phase menurut pembagian Robert Atchley. Fase ini terdiri dari 4 (empat) tahap, yakni:

1. Honeymoon, saat seseorang bersemangat menikmati kebebasan dari rutinitas kerjanya, karena ia tak lagi terikat dan dapat melakukan apapun yang diinginkan.

2. Kemudian menyusul tahap Disenchantment/ Disappointment, saat ia mulai ragu atau mempertanyakan keadaannya sekarang. Tahap ini sering ditandai dengan kekecewaan, kecemasan, depresi, dan berbagai pikiran serta perasaan negatif. Bila kemudian ia mampu melewatinya dengan baik, maka ia pun mencapai tahap ketiga.

3. Reorientation menjadi titik balik sewaktu seseorang dapat bangkit, menemukan arah dan makna hidup yang baru.

4. Setelah itu barulah hadir tahap berikutnya, yakni Retirement Routine/ Stability, saat ia menjalani hidup sesuai misi atau tujuan terakhirnya.

Sebagian orang, terutama yang telah mempersiapkan diri dengan baik, biasanya lebih mudah menerima dan menyelaraskan diri dengan realitas baru tersebut. Dengan demikian, jika pun mereka mengalami saat-saat yang cukup berat dalam prosesnya, maka hal itu dapat diatasi cukup cepat. 

Memang, menerima adalah jenis respon pertama dan yang paling sehat dalam menyikapi situasi ini.

Sebaliknya, ada pula orang-orang yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan masa purna karya. Mereka menampilkan dua jenis respon yang berbeda, yaitu: terpaksa menerima, atau menolak (Biya & Suarya, 2016). Jumlah mereka tidak sedikit (Finansialku, 2016). 

Mereka inilah yang sering kali terjerumus cukup lama dalam berbagai masalah, seperti: kecemasan, ketidakbahagiaan, depresi, memburuknya relasi, bahkan pada mereka yang sebelumnya memiliki jabatan struktural cukup tinggi juga terlihat gejala post power syndrome (Biya & Suarya, 2016).

Pertanyaannya: Bila demikian, lalu apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan cepat pada realitas masa purna karya?

Ternyata, beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa menjalani terapi berbasis mindfulness dapat membantu mengoptimalkan proses penyesuaian diri tersebut. 

Intervensi psikologi berbasis mindfulness adalah berbagai terapi yang memadukan mindfulness dengan ragam teknik terapi lain.

Mindfulness sendiri secara sederhana dapat digambarkan sebagai kondisi ketika pikiran, perasaan, dan tubuh berada pada saat ini, tidak mengembara ke masa lalu maupun masa depan (Fachrudin, 2017).

Salah satu penelitian di Denmark menunjukkan peningkatan resiliensi dan well-being yang signifikan pada para peserta pra purna karya yang telah mengikuti program MBSR atau Mindfulness-Based Stress Reduction selama 8 minggu (Diachenko et.al., 2021). Mereka mengalami kemajuan pesat dalam hal penerimaan dan kelenturan psikologis. Pun menjadi lebih menyadari pikiran atau perasaan tanpa menilai, dan lebih mampu menerima serta mengasihi diri sendiri.

Dalam bukunya Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression (2nd ed.), Segal et. al. (2013) juga menyebutkan bahwa banyak dari mereka yang mengalami depresi lalu mengikuti MBCT, menjadi lebih mudah mengenali pemicu relapse serta menanganinya dengan pikiran dan aktivitas positif. Selain itu mereka pun mampu lebih berempati, meningkatkan relasi dengan orang lain, dan terampil mengamati pikiran atau perasaan apapun yang muncul tanpa terseret ke dalamnya.

Berdasarkan berbagai gambaran di atas, maka sebenarnya mempelajari dan mempraktikkan teknik-teknik mindfulness secara teratur dapat mempermudah penyesuaian diri dalam masa purna karya, karena akan melatih seseorang untuk hidup berkesadaran serta penuh penerimaan.

Referensi:
Biya, C. I. M. J., & Suarya, L. M. K. S., (2016). Hubungan Dukungan Sosial dan Penyesuaian Diri pada Masa Pensiun Pejabat Struktural di Pemerintahan Provinsi Bali.

Diachenko, Maria, et. al., (2021). Pre-retirement Employees Experience Lasting Improvements in Resilience and Well-Being After Mindfulness-Based Stress Reduction. doi.org/10.3389/fpsyg.2021.699088

Fachrudin, Duddy, (2017). Apa Itu Mindfulness? http://www.mindfulnesia.id/2017/03/apa-itu-mindfulness.html

Finansialku (2016). Mengapa Banyak Karyawan Cemas Menghadapi Masa Pensiun?

Segal, Zindel V., Williams, J. M. G., & Teasdale, John D. (2013). Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression (2nd ed.). New York: Guilford Press.

Sumber gambar:

Senin, 03 Mei 2021

Membuka Perspektif Baru dengan Berpikir ala Mindfulness




Oleh Tauhid Nur Azhar 

Manusia dan imajinasi yang diciptakan dalam otaknya membangun dunia yang diyakininya.

Uniknya manusia itu juga dikaruniai bahasa sehingga mampu bertukar cerita, lalu lahirlah dunia imajinasi bersama.

Maka berpikir itu prasyarat untuk hadir.

Ayat-ayat Al-Qur'an yang mendorong manusia untuk berpikir antara lain adalah:

Surat Al- 'Alaq: 1-5, QS. Al Ankabut: 20, QS. Al Hajj : 46, dan QS. Al A'raf : 185

Lalu ternyata berpikir itu bisa dangkal dan membebani, atau dalam dan memerdekakan. Dangkal akan sulit merdeka karena syarat mendapat perspektif berwawasan luas tidak terpenuhi. Kalau dalam tapi tidak merdeka bisa. Dalam tanpa arah karena belum memetakan koordinat tujuan.

Maka pikiran yang dalam dan memerdekakan itu kerap disebut mindful. Menghayati pikiran dengan kesadaran dan keselarasan yang berbuah keikhlasan.

Prinsip paling fundamental dalam konsep mindfulness adalah "mengalir" dan tidak menghakimi (non judgement). Lebih berorientasi pada mengobservasi, menyadari, dan menghayati, serta menikmati proses yang terjadi. Dengan demikian terciptalah suatu kompetensi untuk mengoptimasi setiap kondisi yang terjadi.

Mensyukuri dan mampu mengonstruksi solusi. Jadi kondisi mindful adalah platform dalam menjalankan sebuah proses cerdas dengan ciri sabar dan bertujuan untuk ikhlas. Maka instrumen neurosains yang tepat adalah penyeimbangan antara sistem referensi (memori) dan preferensi atau kecenderungan berbasis emosi.

Peran hipokampus dan area kortikal seperti VTA (Ventral Tegmental Area) dan Nukleus Akumben. Dasar memori yang terarah dengan kewaskitaan dalam proses pengambilan keputusan akan memerlukan pendekatan value based orientation dan objective based orientation yang diperankan oleh OFC (Orbito Frontal Cortex) dan mPFC (medial Prefrontal Cortex) serta ACC (Anterior Cortical Cortex).

Lalu apa hubungan konsep berpikir "hanyut cantik" ala mindfulness dengan konstruksi mental dan mindset

Sebenarnya dalam pendekatan neurosains holistik semuanya berada dalam ruang yang sama. Seolah berbeda kuadran tetapi justru nilai akumulasinya lah yang menentukan posisi.

Mental adalah kondisi abstrak terkait dengan fungsi jaringan syaraf yang merepresentasikan kondisi internal dengan nilai-nilai endogen yang mengakuisisi stimulus multi sumber. Bahasa sederhananya adalah dunia tentang kita yang dipersepsikan oleh kita.

Kapasitas,fungsi, dan kompetensi menjadi indikator kualitas dan karakter mental, ditandai dengan potensi kognisi, afeksi, dan kontrol psikomotorik.

Sementara mindset adalah pola atau template algoritma yang akan kita pilih dan gunakan secara berulang dalam menghadapi berbagai situasi yg kita terima dari lingkungan internal dan eksternal.

Mental mindset dapat digambarkan sebagai relasi antara kapasitas mental dengan pola algoritmik yang dikembangkan sebagai bentuk adaptif terhadap situasi yang dihadapi dan platform dalam membangun konstruksi solusi serta proses coping terhadap tekanan, termasuk resiliensi dan plastisitas dalam mengembangkan dan mengoptimasi kondisi mental.

Transformasi lebih tepat sebenarnya untuk menggambarkan keindahan proses ini. Didalamnya ada adaptasi, modulasi, dan moderasi. Misal sistem kliring yang berubah menjadi fast payment (contoh kasus di bank sentral), tentu memerlukan potensi untuk beradaptasi dan mengoptimasi inovasi yang diadopsi sistem, bukan?

Perubahannya gradual dan katalitik, atau dibantu oleh katalis. Dalam hal ini diperlukan konsep "enzim". Suatu pemercepat reaksi yang hadir menjadi solusi tanpa terlibat dan larut sebagai senyawa.

Teknik yang dapat dipertimbangkan adalah adopsi dari sistem Faal manusia: bertumbuh dan berkembang. Pengetahuan dan sikap itu kurvanya berbanding lurus. Maka pendekatan Knowledge Growing itu dapat men-develop behaviour

Knowledge Growing Behaviour (KGB) adalah pendekatan brain behaviour management model baru, dimana pengetahuan yang didasari/didahului instalasi operating system terkait kesadaran akan eksistensi dan goal directed control akan membuka perspektif baru (decentering) dalam memandang dan menyikapi hidup.

Sumber gambar:

Senin, 26 April 2021

Mindfulness dalam Pendidikan Dokter


Oleh 
Duddy Fachrudin 
Tauhid Nur Azhar 

*Korespondensi, email: duddy.fahrifitria@gmail.com 

Profesi dokter merupakan salah satu profesi yang menjadi dambaan setiap orang. Dokter merupakan profesi yang prestisius di kalangan masyarakat. Profesi dokter juga dipercaya dapat menjamin lehidupan masa depan seseorang.

Untuk menjadi seorang dokter, seseorang perlu menempuh studi yang membutuhkan waktu tidak sedikit. Rinciannya adalah menyelesaikan sarjana kedokteran (S.Ked) selama 4 tahun dan Program Profesi Dokter 1,5-2 tahun. Artinya untuk menjadi dokter dibutuhkan waktu paling cepat 5,5 tahun. Lalu setelah mendapat gelar dokter, seorang dokter belum dapat praktik secara mandiri, ia harus menjalani internship selama 1 tahun. Bayangkan, begitu lelahnya menjadi dokter, belum lagi jika mahasiswa kedokteran memiliki permasalahan akademik atau psikologis yang menghambat studinya.

Permasalahan stres, fatigue (kelelahan), burnout, dan depresi merupakan permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan mental yang sering terjadi pada mahasiswa kedokteran [1]. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat berujung pada komunikasi yang kurang empatik dan work engagement yang rendah [2].

Selain itu kecemasan dan kekhawatiran tidak dapat menjadi dokter yang baik juga terjadi pada mereka. Permasalahan lain yang juga perlu menjadi perhatian yaitu yang berhubungan dengan kemampuan menyerap pembelajaran, seperti fokus yang berkurang, dan mudah lupa. Penunda-nundaan (prokrastinasi) dalam mengerjakan tugas menjadi tantangan utama [3]. Era digital saat ini memungkinkan seorang individu lebih terdistraksi sehingga menunda pekerjaan yang seharusnya dilakukan saat itu juga.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan perlu adanya solusi dapat dikembangkan atau bahkan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dokter. Fakultas Kedokteran di Massachussetts University, Monash University, University of Rochester, dan McGill University telah mengembangkan Mindfulness-Based Interventions (MBIs), sebuah intervensi psikologis yang menekankan pada praktik berkesadaran [2].

Germer, Siegel, dan Fulton menyebutkan mindfulness adalah suatu kondisi kesadaran pada saat ini dengan penuh penerimaan [4]. Mindfulness merupakan suatu keterampilan dalam memberikan perhatian dengan berfokus pada satu tujuan, saat ini, dan tidak menilai [5]. Intinya, mindfulness merupakan suatu kondisi di mana pikiran, perasaan, dan tubuh individu berada pada saat ini, tidak mengembara ke masa lalu maupun masa depan.

Tujuan dari berlatih dan mengembangkan mindfulness agar individu dapat lebih menyadari proses mental yang terjadi, lebih dapat mendengarkan secara penuh, lebih fleksibel, tidak menilai (non-judgemental), dan bertindak sesuai prinsip serta penuh kasih sayang (compassion) [6]. Keterampilan-keterampilan ini sangat bermanfaat dalam pengembangan karakter mahasiswa kedokteran selama pendidikan dokter. Karakter dengan toleransi stres yang tinggi, mawas diri, empati merupakan karakter seorang dokter.

Komponen Mindfulness
Mindfulness sangat berorientasi pada hidup saat ini. Konsep hidup pada saat ini (living in the present) berbeda dengan hidup untuk saat ini (living for the present). Hidup untuk saat ini dapat membuat seorang individu berperilaku dengan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang terjadi di masa depan. Hidup pada saat ini mengembangkan perilaku berdasarkan kontrol diri dan pencapaian tujuan yang lebih efektif [7].

Baer, Smith, dan Allen merumuskan empat komponen mindfulness yang menunjang seorang individu untuk hidup pada saat ini, yaitu:

1. Observasi. Kemampuan observasi meliputi kemampuan memperhatikan stimulus yang muncul, yaitu dalam hal asal, bentuk, intensitas, dan durasi stimulus tersebut.

2. Deskripsi. Pada saat mengobservasi stimulus, diperlukan kemampuan untuk mendeskripsikan stimulus dengan memberi nama atas fenomena yang terjadi pada saat itu (present moment), tanpa mengelaborasi atau menganalisis.

3. Bertindak dengan kesadaran, yaitu melakukan sesuatu (aktivitas) dengan perhatian yang tidak terbagi (fokus). Seseorang yang bertindak dengan kesadaran mampu menyadari apa yang dilakukannya dan tidak menjadi “automatic pilot” pada kehidupannya.

4. Menerima tanpa menilai. Kemampuan ini berhubungan dengan deskripsi. Ketika menerima stimulus dan mengamatinya, lalu mendeskripsikannya. Selanjutnya menerima tanpa menilai, membiarkan apa adanya tanpa adanya keinginan untuk mengubah secara impulsif [8].

Latihan Mindfulness
Kemampuan melakukan observasi, deskripsi, bertindak dengan kesadaran, dan menerima tanpa menilai dilakukan dengan latihan-latihan sederhana. Latihan-latihan mindfulness sendiri berupa mindful breathing, body scan meditation, eating awareness, mindful walking dan movement, sitting meditation, SOBER (Stop-Observe-Breathing-Expand-Respond), dan lovingkindness [9]. Selain latihan-latihan tersebut, individu dapat mengembangkan mindfulness dalam aktivitas sehari-hari, seperti saat makan, mandi, dan berkendara.

Neurobiologi Mindfulness
Keterampilan mindfulness memiliki korelasi yang erat dengan kemampuan melihat sesuatu secara menyeluruh dan mempertimbangkan berbagai alternatif [10,11]. Individu yang bertindak dan beraksi secara mindful, tidak akan reaktif dalam mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otak bagian korteks prefrontal [12]. Korteks prefrontal memiliki fungsi luhur, yaitu dalam berpikir, berencana, mengambil keputusan secara bijaksana, memusatkan perhatian, ketabahan dan kesabaran, pengendalian impuls, kesadaran diri, belajar dari pengalaman, mengungkapkan emosi, dan mengembangkan empati/ kasih sayang [13].

Otak manusia bersifat plastis atau yang biasa dikenal dengan neuroplastisitas. Konsep neuroplatisitas merujuk pada kemampuan otak untuk berubah secara struktural dan fungsional akibat dari input lingkungan [14]. Sebagai bukti bahwa terjadi neuroplatisitas adalah adanya peningkatan atau penurunan aktivitas pada bagian otak tertentu. 

Sara Lazar, seorang neurosaintis dari Harvard melakukan penelitian dengan membandingkan otak kelompok meditator dan non-meditator. Kelompok meditator adalah orang umum yang biasa melakukan meditasi selama kurang lebih satu jam setiap harinya. Lazar menemukan di beberapa area kortikal pada kelompok meditator lebih tebal daripada kelompok non-meditator. Dua area kortikal yang menjadi perhatian Lazar adalah korteks prefrontal dan insula. Korteks prefrontal memiliki fungsi kognitif yang luhur seperti pengambilan keputusan dan penilaian secara bijaksana. Insula terhubung dengan kemampuan beremosi secara sosial dan kesadaran diri (self-awareness) [15].

Pengaruh meditasi mindfulness tidak hanya pada tataran organ seperti otak, namun juga struktur tubuh manusia yang lebih kecil yaitu sel. Pada sebuah sel terdapat berbagai organela, salah satunya adalah mitokondria. Menurut Nishihara, mitokondria adalah organ kecil sel yang berfungsi dalam metabolisme energi dan berada di dalam semua butiran sel selain sel darah merah [16].

Pada tubuh manusia terdapat 60 triliun sel dan pada masing-masing terdapat 800-3000 mitokondria. Mitokondria menggunakan semua bahan yang ada di dalam tubuh seperti vitamin, mineral, asam amino esensial, lemak esensial, air, oksigen, dan asam piruvat yang merupakan hasil penguraian glukogen untuk menghasilkan energi. Pada pengertian lain, mitokondria adalah pabrik atau tempat produksi energi sebagai penunjang kehidupan [16]. Penelitian Bhasin, dkk. menunjukkan meditasi dapat meningkatkan produksi energi yang dilakukan mitokondria [17].

Usulan Penelitian dan Penerapan Mindfulness
Mempertimbangkan manfaat yang diperoleh dari hasil berlatih mindfulness, maka penelitian mengenai penerapan mindfulness dalam pendidikan dokter, khususnya di sekolah-sekolah kedokteran di Indonesia dapat dikembangkan lebih lanjut. Penelitian-penelitian ini dapat terkait permasalahan psikologis, seperti stres akademik, depresi, kecemasan, kelelahan (fatigue), dan burn-out. Selain tema-tema klinis tersebut, juga menarik dikaitkan dengan psikologi positif, seperti kesejahteraan (well-being), kebersyukuran, dan kebahagiaan.

Referensi:
[1] Daya, Z., & Hearn, JH. Mindfulness interventions in medical education: A systematic review of their impact on medical student stress, depression, fatigue, and burnout. Medical Teacher 2008; 40(2): 146-153.
[2] Dobkin, PL., & Hassed, CS. Mindful Medical Practitioners: A Guide for Clinicians and Educators. Switzerland: Springer International Publishing 2016.
[3] Fachrudin, D. Laporan Trisemester I Badan Konseling dan Konsultasi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unswagati Cirebon. (Tidak Diterbitkan) 2018.
[4] Germer, CK., Siegel, RD., & Fulton, PR. Mindfulness and Psychotherapy. New York: Guilford Press 2005.
[5] Kabat-Zinn, J. Full Catasthrope Living: Using The Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. New York: Bantam Dell 1990.
[6] Epstein, RM. Mindful practice. JAMA 1999; 282(9): 833-839.
[7] Brown, KW., Ryan, RM., & Creswell, JD. Mindfulness: Theoretical foundations and evidence for its salutary effects. Psychological Inquiry 2007; 18(4): 211-237.
[8] Baer, RA., Smith GT., & Allen, KB. Assessment of mindfulness by self-report: The kentucky inventory of mindfulness skills. Assessment 2004; 11: 191-206.
[9] Fachrudin, D. Program Mindfulness untuk Meningkatkan Kesejahteraan Subjektif Perawat. (Tesis). Universitas Gadjah Mada 2017.
[10] Carmody, J., Baer, RA., Lykins, ELB., & Olendzki, N. An empirical study of the mechanisms of mindfulness in a mindfulness-based stress reduction program. Journal of Clinical Psychology 2009; 65(6): 613-626.
[11] Shapiro, SL., Carlson, LE., Astin, JA., & Freedman, B. Mechanisms of mindfulness. Journal of Clinical Psychology 2006; 62: 373–386.
[12] Greeson, J., & Brantley, J. Mindfulness and anxiety disorders: Developing a wise relationship with the inner experience of fear. Dalam F. Didonna (Ed.), Clinical handbook of mindfulness (hal. 171-188). New York: Springer Science & Business Media 2009.
[13] Amen, DG. Change your brain change your life. (Nukman, EY., terj). Bandung: Qanita 2011.
[14] Setiabudhi, T. Neuroplatisitas dan tai chi. Dalam J. Sutanto (Ed.), The dancing leader 4.0: Tai chi dan kesehatan otak, senam berbasis neuroplastisitas (hal. 1-48). Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2015.
[15] Baime, M. This is your brain on mindfulness. Shambala Sun. http://www.nmr.mgh.harvard.edu/~britta/SUN_July11_Baime.pdf 2011.
[16] Nishihara, K. Keajaiban mitokondria: Menyembuhkan penyakit-penyakit yang belum ada obatnya. (Wardani, DK, terj). Bandung: Qanita 2015.
[17] Bhasin, MK., Dusek, JA., Chang, BH., Joseph, MG., Denninger, JW., Fricchione, GL. Benson, H., & Libermann, TA. Relaxation response induces temporal transcriptome changes in energy metabolism, insulin secretion, and inflammatory pathways. PLos ONE 2013; 8(5): e62817.

Sumber gambar:

Senin, 19 April 2021

Sikap Mindfulness: Trust (The Will to Believe)


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Pada tahun 1896 William James menyampaikan suatu konsep yang dinamainya The Will to Believe. Hipotesa James amat menarik, karena beliau mengajukan pernyataan yang kira-kira berbunyi: beberapa hal harus diterima berdasarkan kepercayaan, meskipun kita tidak bisa membuktikan kebenarannya.

Banyak hal dalam model interaksi antar manusia menggunakan pendekatan ini. Kita cenderung percaya dan memberi kesempatan kepada orang-orang yang kita cintai dan sayangi, meski terbukti beberapa kali kita dikecewakan. Dari sudut pandang psikososial adanya ikatan emosional dapat menjelaskan banyak hal terkait dengan mekanisme resiprositas, atau munculnya rasa bersalah jika kita mengecewakan orang yang telah menaruh kepercayaan kepada kita.

Tidak hanya William James yang memiliki pendapat demikian, Roberto Cialdini yang mendalami psikologi persuasif pun banyak mengelaborasi aspek ini sebagai salah satu dasar dari metoda persuatif yang dikembangkannya.

Mungkin sebagian dari kita tidak melihat aspek lain selain keterkaitan dan keterikatan psikologis belaka. Tetapi suatu penelitian di Harvard University yang dilakukan oleh Bob Rosenthal pada tahun 1963 membuktikan bahwa kelompok tikus yang "dipercayai" sebagai tikus-tikus cerdas terbukti unggul dalam tes labirin dibanding kelompok yang dianggap biasa saja. 

Apakah memang kelompok tikus itu memang terdiri dari tikus-tikus jenius? Ternyata tidak! 

Mereka tikus yang sama dengan kelompok kedua. Hanya saja para peneliti diyakinkan oleh Bob Rosenthal bahwa kelompok tikus pertama adalah tikus-tikus jenius yang extra ordinary. Harapan, kepercayaan, serta keyakinan dari para peneliti rupanya berkorelasi dengan hasil uji performansi dari kelompok tikus yang dianggap jenius. Bagaiamana hal itu bisa terjadi?

Selanjutnya Rosenthal tidak hanya berhenti di tikus saja, ia penasaran dengan spesies nya sendiri, manusia. Apakah manusia akan menunjukkan hasil yang serupa jika diberi kepercayaan?

Rosenthal melakukan eksperimen di SD Spruce dan "menguji" sekelompok siswa dengan alat tes intelijensia. Sebenarnya itu adalah alat tes IQ biasa, dan hasilnya pun tidak dipergunakan karena seluruh peserta penelitian memiliki basis intelijensia rata-rata. Adapun tujuan dari tes akal-akalan itu adalah sekedar untuk memberi kesan bahwa ada kelompok terpilih yabg jenius, dan sisanya adalah mereka yang biasa-biasa saja.

Selanjutnya pada kedua kelompok pasca tes intelijensia itu dievaluasi hasil belajarnya selama semester berjalan. Ajaib! Kelompok "jenius" mendapat nilai yang jauh melebihi rata-rata kelas.

Para guru juga memberi perhatian dan keyakinan yang tinggi terhadap kinerja murid-murid kelompok jenius. Dan sesuai dengan hipotesa Rosenthal, hasil kelompok jenius memang sangat bagus.

Rosenthal menamakan efek dari eksperimennya adalah efek Pygmalion. Dimana Pygmalion adalah seorang pematung Yunani yang karyanya sedemikian estetik dan begitu sempurna. Hingga ia sendiri meyakini bahwa patung karyanya itu seorang dewi yang nyata. Sampai-sampai para dewa pun meyakininya demikian, sehingga patung itupun hidup dan menjelma menjadi dewi yang nyata.

Tetapi secara paradoksal kelompok yang tidak mendapat perhatian khusus serta limpahan keyakinan mendapat efek Golem. Yaitu efek yang diambil dari nama monster penjaga kota Praha yang berbalik menyerang penduduk kota nya sendiri. 

Kelompok yang kurang mendapat perhatian serta tidak menerima curahan keyakinan pada akhirnya mengalami kondisi kontraproduktif dan terpuruk dalam lingkar kegagalan. Mereka kehilangan dukungan lingkungan dan pada akhirnya mereka meraih hasil-hasil yang jauh dari harapan, meski sebenarnya mereka memiliki potensi yang sama dengan kelompok yang dilabeli "jenius".

Pertanyaannya adalah, apakah piranti dan infrastruktur sosial mampu mentransmisikan kepercayaan itu pada suatu kelompok secara aktif? Atau adakah mekanisme lain? 

Pada manusia dan primata terdapat suatu area di daerah korteks premotorik dan supplementary motor area/ SMA, korteks sensorimotorik primer, dan korteks inferior yang kerap disebut juga area F5 atau Mirror Neuron, yang fungsinya antara lain adalah mencerna dan mereplikasi hal-hal yang dilihat dan dirasakan dari stimulus yang berasal dari lingkungan. 

Kondisi yang tercipta karena adanya kepercayaan dan keyakinan yang ditumbuhkan akan "terbaca" dari berbagai keluaran berupa fenomena yang meliputi berbagai perubahan sikap dan sifat yang maujud dalam model-model interaksi yang terjadi.

Selain itu tentu saja kita tidak bisa mengabaikan hipotesa dari Roger Penrose dan Stuart Hameroff dalam teori Orchestrated Objective Reduction yang telah mengakomodir pendekatan super posisi dan entanglement di ranah biologi quantum. Karakter fisis keyakinan tampaknya dapat ditransmisikan melampaui batasan ruang dan waktu.

Mungkin konsep ini pula yang melandasi esensi dari terealisasinya doa-doa yang dipanjatkan dengan kekhusyu'an dan keyakinan tinggi. Demikian pula pengejawantahan dari efek nocebo dan Self Fulfilling Prophecy.

Semua berangkat dari keyakinan dan keimanan serta harapan yang tentu saja dibahanbakari oleh Cinta sebagai sumber catudaya.

Pertanyaan lanjutan yang muncul adalah, mana yang mau kita tumbuhkan sebagai kesadaran kolektif sebuah bangsa; keyakinan bahwa bangsa kita cerdas, berkualitas, dan mampu berjuang secara ikhlas. Atau sebaliknya, apakah kita mau mengundang Golem?

Sumber gambar: 

Cara Kerja Sel Dendritik yang Dapat Membantu Proses Pengenalan Terhadap Patogen


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Selama pandemi terjadi kita mendapat banyak sekali tambahan informasi dan pengetahuan terkait berbagai perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, farmasi, dan bioteknologi. Di antaranya terkait dengan sistem imunitas dan berbagai pendekatan imunologi yang terus dikembangkan untuk dapat diterapkan sebagai bagian dari pengelolaan wabah yang bersumber dari mikroba patogen, yang dalam hal ini adalah virus.

Kita sedikit banyak jadi mengenal berbagai istilah, mulai dari teknik dan metoda pemeriksaan RT-PCR sampai ke berbagai jenis vaksin yang semuanya membuka wawasan kita tentang kemajuan ilmu kedokteran dan farmasi berbasis bioteknologi.

Dalam tulisan ini akan sedikit dibahas respon imun dan efektornya yang cukup penting dalam proses pengenalan patogen dan dapat menjadi acuan dalam mempelajari bagaimana cara bekerjanya sistem imun kita.

Salah satu mekanisme yang amat menarik dalam proses pengenalan (identifikasi) dan stimulasi respon imunitas berjenjang adalah peran dari mekanisme yang dikenal sebagai APC (antigen presenting cell). Adapun elemen dari sistem imunitas yang terlibat dalam mekanisme APC ini antara lain adalah sel dendritik, makrofag, dan juga sel limfosit B. Sebagai sel APC profesional sel dendritik memiliki mekanisme kerja yang cukup kompleks dan menarik untuk dipelajari.

Secara umum jika terdapat suatu pajanan antigen tertentu yang masuk ke dalam tubuh manusia, sel dendritik akan "menangkap" dan "menelan" antigen yang diduga merupakan patogen yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Proses tangkap telan itu dinamai fagositosis atau endositosis. 

Setelah antigen ditelan, maka antigen akan ditempatkan di dalam suatu kantong khusus di sel dendritik yang dinamai fagosom. Selanjutnya setelah sel dendritik menelan antigen, ia akan kembali ke markas besarnya yaitu kelenjar limfa regional untuk seterusnya memproses "tahanan" yang telah ditangkap rekannya tersebut.

Di dalam fagosom sel dendritik, antigen akan diproses dengan cara meleburkannya dengan kantong lain yang bernama lisosom. Dimana akan terbentuk suatu struktur baru bernama fagolisosom (seperti penggabungan Kemenristek dengan Kemendikbud ya?). Di dalam fagolisosom itu antigen (dari virus) akan dipotong-potong menjadi peptida yang terdiri dari 7 sampai dengan 14 asam amino. Proses pemotongan itu dilakukan oleh enzim Protease yang semula terdapat di lisosom.

Sementara itu secara paralel, di dalam sel dendritik ada organela lain yang juga giat bekerja dan teraktifkan dengan kehadiran antigen tadi. Organela itu adalah retikulum endoplasma yang sibuk memproduksi molekul-molekul yang bernama Major Histocompatibility Complex atau MHC, tepatnya MHC kelas II. Mengapa kelas II? Karena antigen yang diproses oleh sel dendritik sebagai APC profesional adalah antigen yang berasal dari luar ekosistem alias bersifat eksogenous.

Selanjutnya molekul MHC-II yang diproduksi oleh retikulum endoplasma tersebut akan dipindahkan ke organela lain yang bernama aparatus golgi dan ditempatkan dalam kantong (vesikel) khusus. Lalu apa yang terjadi? Vesikel berisi molekul MHC-II akan bergabung dengan endosom berisi peptida hasil pemotongan di fagolisosom, lalu gabungan keduanya akan menghasilkan kompleks MHC-II+Peptida yang akan diekspresikan ke permukaan sel dendritik melalui mekanisme yang menyerupai proses eksositosis.

Kompleks peptida MHC-II inilah yang akan dikenali oleh sel-sel T Penolong Naif atau Limfosit T-CD4+, kerap dikenal pula sebagai sel Th0.

Proses berikutnya, peptida antigen virus akan berikatan dengan reseptor sel T (TcR) dan MHC-II akan berikatan dengan molekul CD4 di permukaan sel Th0.

Selanjutnya ikatan ini akan mengaktifkan sel limfosit CD4 atau sel T Penolong ini yang akan mengaktifkan proses polarisasi fungsi dari sel Th0 untuk menjadi sel T Penolong 1 (Th1), Th2, dan sel T Memori.

Proses ini juga disertai dengan terjadinya produksi sitokin atau zat komunikator sel. Sitokin yang diproduksi pada jalur polarisasi Th2 antara lain adalah: IL-4, 5, 6, 10, dan 13. IL adalah singkatan dari interleukin.

Mengapa jalur Th2 yang dibahas dalam tulisan ini? Karena melalui jalur Th2 inilah, dengan bantuan IL-4 dan IL-13 yang berikatan dengan reseptornya di sel limfosit B akan terjadi proses yang dinamakan isotype switching yang akan menghasilkan molekul antibodi spesifik. Dimana molekul antibodi khas, imunoglobulin G/IgG, yang diproduksi sel B dapat berperan sebagai elemen sistem imunitas spesifik terhadap patogen yang telah disajikan oleh sel-sel dendritik.

Demikian sekilas kisah tentang kecanggihan sistem imunitas tubuh kita, yang dalam tulisan ini diwakili oleh peran sel dendritik yang unik. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, sebagai bagian dari upaya untuk mensyukuri anugerah Tuhan yang telah mengaruniai kita dengan berbagai sistem tubuh dengan berbagai mekanisme kerja yang istimewa dan dapat melindungi kita dari berbagai bentuk marabahaya.

Sumber gambar:

Selasa, 30 Maret 2021

Pesan Sunan Gunung Jati untuk Transformasi Layanan Konseling Mahasiswa


Oleh Duddy Fachrudin 

Setahun yang lalu, World Economic Forum (WEF) merilis top 10 skills yang perlu dimiliki para pekerja pada tahun 2025. Keterampilan-keterampilan tersebut dibagi ke dalam 4 aspek: problem solving, self-management, working with people, dan technology use & development.

Dari 10 keterampilan, terdapat keterampilan yang tergolong "newbie". Keterampilan di dalam aspek self-management yang meliputi active learning & learning strategies dan resilience, stress tolerance, & flexibility termasuk di dalamnya. Keduanya menempati rangking 2 dan 9 dalam top 10 skills tersebut. 

Kedua skills tersebut terselip diantara keterampilan-keterampilan yang sudah familiar sejak tahun-tahun sebelumnya seperti analytical thinking & innovation, complex problem solving, leadership, & creativity. Namun, di era disrupsi, active learning & resilience ditambahkan seiring dengan perubahan jaman yang sangat cepat dan uncertainty

Isu kesehatan mental pegawai juga tidak lepas dari pengamatan WEF dan menjadi alasan pentingnya sumber daya manusia memiliki resiliensi dan toleransi terhadap stres yang tinggi, yang didalamnya juga terintegrasi dengan kecerdasan emosional. World Health Organization (WHO) sendiri sudah mewanti-wanti adanya pandemi baru di masa depan berupa depresi yang menyerang siapa saja dan mengakibatkan disabilitas dalam kehidupan individu itu sendiri.

Jauh-jauh hari, satu dari 40 dawuh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati kepada anak cucunya adalah selalu mawas diri. Dalam ranah psikologi, mawas diri (self-awareness) adalah kemampuan mengamati diri, baik pikiran, laku, dan perasaan. Ini penting bukan hanya dalam mencegah korupsi, tapi juga upaya dalam mengembangkan kesehatan mental di dunia yang tidak pasti. Al-Qur'an menyebut mawas diri sebagai wa fii anfusikum afalaa tubsiruun yang mengajak manusia untuk tadabbur dan tafakkur ke dalam diri sehingga tidak terjebak dalam ilusi dan delusi.

Pertanyaan sesungguhnya dimanakah tempat untuk belajar mawas diri?

Keluarga melalui ayah bunda seyogyanya menjadi sarana perkembangan psikologis anak-anaknya. Namun tidak jarang mereka luput atau bahkan tidak tahu atau tahu tapi tidak mau karena terlalu sibuk dengan segala aktivitasnya. Padahal salah satu kunci keberhasilan seorang anak (yang kemudian menjadi remaja) adalah memiliki keterampilan mawas diri. Ia mengenal dan memahami emosi, pikiran, dan bagaimana mengelolanya menjadi perilaku yang adaptif dan berdaya guna bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Maka, di sinilah peran Tim Pelaksana Bimbingan Konseling (TPBK) di setiap universitas yang menjadi wadah mahasiswa untuk mengenal diri dan membimbing dalam pengembangan kesehatan mental mereka. Setelah lulus, kelak para mahasiswa sudah memiliki bekal kompetensi keterampilan resiliensi dan memiliki toleransi terhadap stres yang tinggi yang bisa meningkatkan performansi dan menjadi solusi, yang akhirnya maujud dalam prestasi. 

Adanya layanan konsultasi dan konseling kesehatan mental bagi mahasiswa bukan lagi perihal akreditasi, tapi merupakan bagian terpadu dari health promoting university. Ini salah satu kunci menuju World Class University.  

Sumber gambar:

Kamis, 03 Desember 2020

Saya dan Mindfulness: Mengubah Derita Menjadi Bahagia


Oleh Mira Seba

Saya adalah seorang psikolog dan praktisi. Lebih dari 20 tahun saya mendedikasikan diri menangani masalah psikologis. Selama itu pula saya sangat berbahagia karena hasil kerja saya sangat diapresiasi baik oleh klien secara langsung maupun oleh teman, keluarga dari klien dan juga dari kolega serta para guru saya. 

Saya menangani klien dari berbagai negara, khususnya di kawasan Asia dan Australia. Juga rentang usia, anak-anak 5 tahun hingga usia tua. Saya pun merasa dibutuhkan. Saya merasa memiliki ‘eksistensi’ di lingkungan professional psikologi. 

Saya adalah seorang yang sangat periang, orang yang susah sedih, ‘tukang’ bercanda dan saya juga memiliki minat yang sangat tinggi untuk membantu orang lain. 

Di sela-sela kesibukan pekerjaan formal yang saya miliki saya masih sempat mengambil cuti untuk menjadi relawan ke tempat-tempat bencana alam atau mengunjungi masyarakat butuh pertolongan baik secara materi maupun psikologis.

Sampai beberapa tahun yang lalu, datanglah suatu kejadian yang merubah saya secara drastis. 

Di tempat saya bekerja, terjadi pergantian manajemen. Pimpinan diambil alih oleh orang asing. 

Pekerjaan saya, kemampuan saya sama sekali tidak dianggap ‘ada’. Metodenya dianggap kuno, tidak masuk akal, dan lain-lain. Kemudian, diputuskan saya tidak ‘dipakai’ lagi dengan tiba-tiba datang pengganti saya yang masih sangat junior dan tidak dengan latar belakang dari keilmuan psikologi pula.

Saya merasa terhina, diabaikan, marah, dan sedih. Lantas menjadi murung, malas bertemu orang-orang. Sulit tidur dan tekanan darah terus dalam posisi rendah sehingga saya terus menerus dilanda pusing ‘kleyengan’. Padahal tugas ke luar kota dan ke luar negeri masih sangat tinggi. Saya menjadi tidak produktif dan lebih ‘pendiam’. 

Itu semua terjadi selama dua tahun.

Akhirnya saya tidak bisa bertahan, hingga tahun lalu saya mengambil pensiun dini. Tetapi persoalan bukannya berhenti, malah sebaliknya bertambah. Seperti perasaan bingung mau apa dan bagaimana mulainya. 

Perasaan marah, kecewa, sedih malah bertambah. Saya terus menerus menyalahkan orang lain (bos baru, teman-teman yang tidak sepaham dengan saya, teman-teman yang tampak lebih beruntung dari saya, dan seterusnya).

Butuh waktu untuk menjadi ‘sehat’ lagi. Saya sudah terbiasa berada dalam kondisi dimana pemikiran saya selalu ‘diterima’ bahkan selama ini saya dicari dan diminta pendapat dan sarannya, serta "mengobati" orang lain ketika menjadi relawan trauma healing.

Kini saya belajar untuk mengobati luka batin saya sendiri.  

Ternyata ‘mengobati’ diri sendiri itu jauh lebih sulit. 

Di sela-sela menyembuhkan diri, saya tetap menerima klien yang datang kepada saya. 

Suatu hari saya mendapat klien yang nasibnya jauh lebih tidak sebaik dibanding saya. Nah inilah titik baliknya. Saya membandingkan nasib saya dengan nasib klien ini, saya merasa sangat ‘beruntung’.

Merasa ‘lebih beruntung’ mendorong saya melakukan perenungan untuk memasuki kondisi mindfulness

Saya memulai dengan berwudhu lalu duduk memejamkan mata merasakan dan memperhatikan nafas. Bersyukur masih diberi nafas ini. Kemudian mulai berbicara dengan diri saya sendiri.

Saya menuliskan situasi yang spesifik yang memunculkan pemikirian dan emosi negatif. Saya mengajak diri saya sendiri untuk hidup di saat ini dengan menerima dan membiarkan saya merasakan ‘enak dan tidak enaknya’ kondisi baru yang saya miliki saat ini. Menjalani hidup di saat ini , tanpa banyak ‘beban’, tidak ambisius sambil tetap bekerja dalam situasi yang baru. 

Saya sepenuhnya pasrah dan percaya bahwa rejeki dan nasib saya seperti umat manusia lainnya , semuanya sudah digariskan oleh Sang Pemiliki Kehidupan ini. 

Kenapa juga harus bingung dan takut ‘nanti’ akan begini dan akan begitu? Mencemaskan suatu hal yang belum tentu terjadi. Kalau pun terjadi ya terima saja, yang pentig sudah usaha maksimal. 

Itu yang ditanamkan pada pikiran saya.

Saat ini dengan penuh syukur saya sudah menjadi saya yang dulu lagi. 

Kemudian saya juga mencari teman, profesional yang ahli dalam bidang mindfulness untuk ‘refreshing’ kemampuan (keahlian), berdiskusi dan utamanya sharing pengalaman. 

Ya, hal yang ‘menyenangkan’ setelah pensiun adalah saya memiliki banyak waktu bertemu dengan teman-teman satu profesi, para dosen dan praktisi.
 
Akhirnya sampailah saya pada informasi tentang adik kelas yang mendalami CBT dan mindfulness yaitu Sakti dan Duddy Fachrudin. Segera saya kontak Sakti untuk mengikuti pelatihan mindfulness. Mengikuti pelatihannya, memberikan lagi pengalaman melakukan body scan yang sudah lama tidak saya lakukan. 

Dari keduanya saya juga mendapatkan penjelasan ilmiah dan pengetahuan dasar tentang mindfulness berbasis terapi kognitif (MBCT). Tidak lupa kiriman buku-buku ilmiah khusus tentang mindfulness menambah semangat untuk menjadi lebih ‘terampil’ mempraktikannya.

Mengembangkan mindfulness berarti mengubah luka derita menjadi bahagia.

Sumber gambar:
      

Jumat, 23 Oktober 2020

Terapi Mindfulness: Agar Menerima dan Mencintai Diri (Self-Love)



Oleh Duddy Fachrudin 

Kadang-kadang tidak mudah menerima diri sendiri dan mencintai diri ini apa adanya. 

Kita sering melihat diri ini serba kekurangan: kurang tampan/ cantik, kurang anggun, kurang pede, kurang sejahtera, kurang kaya, dan sebagainya. Dan untuk menutupi berbagai kekurangan itu, kita seolah-olah menjadi orang lain. 

Kita ibarat memakai topeng yang menyembunyikan wajah sendiri.

Awalnya dengan menyembunyikan "wajah" kita, seolah-olah kita bahagia. Namun sesungguhnya kebahagiaan yang semu. 

Ini terlihat dari sebuah film yang berjudul 200 Ponds of Beauty yang mengisahkan seorang gadis tambun dan jelek, namun memiliki suara emas yang bernama Hanna. Ia sosok di belakang layar dari seorang penyanyi yang memiliki suara pas-pasan namun cantik dan seksi. Perpaduan dua orang yang berbeda fisik dan suara itu menghasilkan kolaborasi yang menawan. Namun karena suatu hal, Hanna sakit hati dan ia memutuskan untuk melakukan operasi plastik pada tubuhnya.

Bak dewi baru turun dari kayangan. Hanna menjadi bidadari nan anggun memesona seluruh jagad raya. Dengan penampilan barunya, ditambah suara emasnya, Hanna menjadi bintang baru industri musik dunia. Ia pun menyembunyikan identitasnya dan menggantinya menjadi Jenny. 

Ternyata popularitas yang diraih Jenny membuatnya lupa akan dirinya. Ia membuang dirinya dan seolah tak mengenal lagi dirinya. Silau kemilau dunia keartisan pun membuatnya lupa pada sahabat sejatinya, bahkan ayahnya sendiri.

Untungnya Jenny mulai sadar bahwa menjadi orang lain ternyata tidak baik. Jenny merindukan dirinya sebagai Hanna yang apa adanya, mencintai sahabat dan juga ayahnya, serta anjingnya yang selalu menemaninya. 

Hanna kemudian melepas topeng palsunya dengan mengatakan kepada semua orang bahwa ia bukanlah Jenny, namun Hanna yang gemuk dan jelek yang melakukan operasi plastik. Dan ia bahagia kembali menjadi seorang Hanna meski banyak fansnya kemudian membencinya.

Topeng-topeng palsu secara tidak sadar sering kita gunakan sehari-hari... itulah yang sesungguhnya membuat orang tidak bahagia di dunia ini. 

Maka biarkan kita menerima dan mencintai diri (self-love) ini apa adanya. 

Ya memang beginilah diriku dan kemudian berkata, “Terima Kasih Tuhan atas segala kreasi yang kauciptakan pada diriku ini.” 


Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 12 Oktober 2020

Terapi Mindfulness: Konflik dalam Diri



Oleh Duddy Fachrudin

Permasalahan psikologis utama yang terjadi pada diri manusia adalah konflik dalam diri, karena hampir setiap hari manusia mengalami konflik. 

Saat bangun pagi, sebagian besar dari kita menengok jam lalu setelah mengetahui pukul berapa kita bangun, bagian diri kita berkata, “Oh masih jam 3 pagi”, lalu dengan refleksnya kita menarik selimut dan bersiap tidur kembali. Tiba-tiba sebelum kita terlelap lagi, terdengar sesuatu di dalam hati, “Hei... kenapa kau tidur lagi. Ayo bangun dan sholat tahajud.” 

Itulah konflik, dan dapat kita temui dalam kehidupan sejak bangun hingga bersiap untuk tidur kembali.

Contoh lain adalah ketika saya diminta seorang sahabat untuk memberikan terapi kepadanya agar ia bisa mengurangi frekuensi menonton drama Korea dan bisa lebih menggunakan waktunya untuk belajar. 

Kebiasaan sahabat saya menonton drama Korea ternyata mengusik agenda belajarnya. Atau... aktivitas belajarnya yang justru mengganggu kesenangannya menonton drama Korea?

Konflik dalam diri terjadi karena pertentangan antara dua atau lebih bagian diri dalam diri kita. Dalam kasus di atas, satu bagian diri sahabat saya mengatakan, “Nanti ya belajarnya, nonton drama Korea dulu”, dan satu bagian diri yang lain, “Tapi ini kan waktunya belajar, kenapa malah nonton?”

Dalam mindfulness, saat terjadi konflik antar bagian diri, kita perlu mengamati (pay attention) dan  menyadari (aware) kehadiran bagian-bagian diri tersebut. Lalu memahami apa tujuan yang diinginkan bagian-bagian diri tersebut serta menerimanya (acceptance). Langkah terakhir, diri kitalah yang mendamaikan mereka dengan kebijaksanaan tertinggi. 

Maka, teruslah berlatih mendamaikan diri... saat diri telah damai, maka kita tumbuh menjadi pribadi seimbang, kokoh, dan utuh. 

Sumber gambar:

Senin, 28 September 2020

Keajaiban Dunia dan Kesehatan Mental




Oleh Duddy Fachrudin 

Alkisah di sebuah kelas SD sudut kampung terpencil negara ini, ibu guru bertanya kepada murid-murid kelas enamnya yang cerdas-cerdas, "Hayooo anak-anak, siapa yang bisa menyebutkan keajaiban dunia?"

Seorang anak laki-laki yang duduk di sudut kelas mengacungkan tangannya, "Aku mau jawab Buuu..." Sang ibu guru melirik muridnya, "Ya Faul... silahkan..."

"Keajaiban dunia itu Candi Borobudur, Danau Toba, Menara Eiffel, Piramida, Taj Mahal, Ka'bah, Tembok Besar China, dan Colosseum," kata Faul. Beberapa saat kemudian setelah Faul menyebutkan keajaiban dunia, tiba-tiba seorang temannya mengacungkan tangannya, "Aku mau menambahkan guru..."

"Aisyah, silakan sebutkan keajaiban dunia yang lainnya," kata ibu guru.

"Bu guru... keajaiban dunia itu ketika aku melihat, mendengar, merasakan... menyentuh, berjalan, bermain, dan mencintai."

Seluruh kelas terdiam, termasuk ibu guru.

Lalu di saat keheningan tercipta, dan rasa telah merasuk di dada, seorang anak mengacungkan tangannya... "Keajaiban dunia itu... adalah diri manusia sendiri."

###

Menyadari diri kita ajaib itu sungguh ajaib.

Mengapa? Karena inilah pintu gerbang dari samudera kebersyukuran. 

Kita tidak lagi membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa cukup dengan diri kita sendiri dan apa yang kita miliki. Dan kita tak lagi mengeluh ini itu kepada Tuhan Yang Memberi Kehidupan ini.

Hidup ini pemberian ajaib. 

Dan tubuh dengan segala yang tersembunyi di dalamnya yang juga sangat ajaib ini adalah suatu anugerah paling indah yang Tuhan ciptakan.

Sayangnya manusia sering lupa bahwa dirinya ajaib. 

Hal itu terjadi karena manusia sering mencari ke luar dirinya. 

Mencari untuk memuaskan kehidupannya. Sehingga tak kadang karena hal ini pula hidupnya tergerus. Pikiran, perasaan, dan tubuhnya tak lagi selaras. Jiwanya tak lagi harmonis.

Maka orang yang bahagia sesungguhnya berhenti mencari. 

Ia mulai menggali ke dalam dirinya. Menyelam ke dasar lautan hati untuk menemukan mutiara terindah yang diciptakan Tuhan. 

Khusyu merindu dalam keheningan dan tak lagi berkeinginan. 

Oh cinta ini...
hanya ragu tentang waktu 
apa yang ku tunggu,

Hidup untuk ku tepati

Sumber gambar: 
https://www.instagram.com/duddyfahri/ 

Senin, 21 September 2020

Kebahagiaan yang Tidak Disangka-sangka




Oleh Duddy Fachrudin & Tauhid Nur Azhar

Kadang kita bingung, takut dan khawatir dalam mengambil keputusan mengenai hidup kita, karena keputusan tersebut bukan hanya berhubungan dengan diri sendiri tapi juga orang-orang terdekat. 

Atau keputusan hidup kita bertentangan dengan harapan yang dimiliki orang tua dan keluarga terhadap kita. Misalnya saja seorang perempuan yang ingin menikah dengan laki-laki pujaannya, namun ternyata orang tuanya meminta agar ia mencari laki-laki yang lebih sederajat dengan keluarganya. 

Atau seorang siswa SMA telah memilih jurusan yang ia ambil di Perguruan Tinggi, namun ayahnya menghendakinya menjadi dokter karena ayahnya seorang dokter.

Saya beberapa kali menjumpai permasalahan tersebut pada klien-klien yang datang pada saya. Mereka terlihat bingung apa yang harus dilakukannya. Karena suatu keputusan, mereka dapat mengecewakan orang terdekatnya atau justru mengecewakan dirinya sendiri. 

Pada kondisi seperti ini, sebelum mengambil keputusan kita perlu melihat segalanya secara ekologis. Tentu saja kita juga perlu meminta bantuan Tuhan lewat do’a maupun shalat istikharah agar diberikan yang terbaik. 

Dan keputusan dibuat dengan menggunakan nalar secara dengan sadar, bukan emosi sesaat.

Kang Tauhid, seorang dosen, guru, dan sahabat kehidupan menceritakan bahwa ia juga pernah mengalami konflik antara mengikuti keinginannya atau mewujudkan harapan orang tuanya. Dalam sebuah pengantar di buku saya beliau menulis:

“Saya mengambil program penerimaan mahasiswa berdasar potensi bakat di IPB, dan diterima bukan karena berminat melainkan lebih karena “malas” mengikuti seleksi perguruan tinggi negeri. 

Seluruh keluarga tidak setuju dengan apa yang saya mau, lalu saya masuk Fakultas Kedokteran Negeri. 

Lucunya saya tidak jadi dokter yang berpraktek sesuai disiplin ilmu. 

Modal kedokteran justru dipakai di pengajian. Saya masuk S-2 berlatar bioteknologi dan ilmunya saya pakai menulis buku. 

Saya mendapat beasiswa Bank Dunia untuk program S-3 di bidang Imunologi dan berakhir sebagai bahan ajar di Fakultas Psikologi!”

Kang Tauhid memang tidak berpraktek sebagai dokter dengan jubah putihnya, namun orang-orang memanggilnya dokter karena beliau banyak memberi, berbagi, dan melayani layaknya dokter. 

Bahkan beliau bukan hanya dokter dalam disiplin ilmu kesehatan medis, tapi juga dokter dalam berbagai bidang, mulai dari farmasi, biologi, psikologi, pendidikan anak, parenting, transportasi, kulinari, sejarah peradaban, geografi, spiritual, sampai ICT (Information and Communication Technology) hingga kecerdasan artifisial.

Bagi kebanyakan orang, menempuh studi kedokteran namun tidak berpraktek menjadi dokter sangat disayangkan. 

Kang Tauhid pun bercerita kembali:

“Sebagai bajak laut tua, saya akui sextan dan peta laut saya salah semua. Saya kandas di pulau-pulau yang tak jelas. 

Tapi Subhanallah... pulau-pulau tempat saya karam itu indah semua! 

Jadi rupanya sistem navigasi bajak laut itu memang sangat rahasia. Meski kita menggunakan peta, selalu saja kita akan tiba di tujuan yang berbeda. 

Itulah indahnya hidup yang direncanakan Allah, “Grand Line”-nya nggak ketebak! Sehingga setiap hari kita akan selalu tersenyum, kejutan demi kejutan manis akan senantiasa datang menghampiri.”

Bagi Kang Tauhid, setelah kita mengambil keputusan—apapun itu, kita harus menjalaninya dengan tanpa penyesalan, ikhlas, sabar, dan tentu perlu disyukuri. Lalu menjalani keputusan itu dengan hati yang riang gembira dan penuh cinta sambil berserah diri kepada Yang Maha Pembuat Rencana. 

Saat itulah kita akan selalu menemui kebahagiaan yang tidak disangka-sangka.

Sumber gambar:

Kamis, 17 September 2020

Cara Melepaskan Trauma Masa Lalu




Oleh Duddy Fachrudin 

Trauma masa lalu seringkali membuat hidup seseorang menjadi tidak nyaman. Apalagi jika ia sering terbayang dan bertemu dengan objek atau subjek trauma.

“Bagaimana caranya agar perasaan dendam kepada ayah saya berhenti?”

Dalam sebuah forum kecil yang saya bawakan, tiba-tiba saja seorang residen narkoba mengangkat tangannya dan bertanya kepada saya. 

Ia terlihat masih sangat muda dan usianya mungkin masih 20 tahun. Nafasnya terasa berat, meski wajahnya mencoba untuk tegar. 

Seketika saya menanggapi pertanyaannya dengan senyuman agar ia lebih tenang.

Tanpa diminta oleh saya, ia bercerita mengenai pengalaman traumatisnya. Hal itu terjadi saat ia kelas 4 SD. Kepala bagian kanan dipukul dengan sebongkah kayu oleh ayahnya. 

Pemuda ini mengakui bahwa sebenarnya ia dipukul karena kesalahannya, yaitu membolos sekolah. Namun, kejadian tersebut selalu membekas dan membuatnya marah serta dendam kepada ayahnya.

Saya merasakan hal yang telah terjadi padanya. 

Tentu pengalaman tersebut sangat menyakitkan, dan yang lebih menyakitkan adalah ingatan tentang pengalaman itu terus tertanam dalam pikirannya. 

Namun, meskipun ia sadar bahwa ia marah dan dendam terhadap ayahnya, ia berusaha untuk mencari solusi. 

Ini adalah suatu hal yang sangat positif, karena suatu hal yang sia-sia jika terus menerus mengutuk kegelapan. Lebih baik mulai menyalakan lilin kehidupan, bukan? 

###

Banyak orang mengalami peristiwa-peristiwa negatif dalam hidupnya, termasuk orang-orang sukses. Salah satu orang tersebut adalah Oprah Winfrey yang bukan hanya sukses sebagai seorang host, pengusaha, filantropis, dan masuk dalam jajaran orang terkaya di dunia. 

Namun yang paling penting ia telah sukses melepas pengalaman traumatiknya. Oprah kecil sering mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh sepupunya sendiri. Dan ketika ia berusia 14 tahun, ia hamil dan bayinya meninggal.

Dengan tekad dan kecerdasannya, Oprah perlahan mulai bangkit dan melepaskan pengalaman pahitnya, serta berusaha fokus pada pekerjaannya sebagai penyiar berita di sebuah stasiun radio lokal. 

Dua tahun berikutnya ia direkrut oleh stasiun televisi dan dipekerjakan bukan hanya sebagai pembawa berita, tapi juga sebagai host acara talkshow “People Are Talking”. Karirnya terus menanjak hingga ia memandu program acaranya sendiri, yaitu “The Oprah Winfrey Show” sejak tahun 1986.

Melepas pengalaman traumatik dapat dilakukan dapat dengan berfokus pada apa yang kita ingin capai. Bagi sebagian orang hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah. Namun bagi yang lain terasa sangat sulit, karena ketika fokus pada pekerjaan, misalnya, ingatan-ingatan menyakitkan itu muncul kembali dan mengganggu fokus. 

Maka pada titik ini, kita perlu kembali kepada pengalaman tersebut, melihatnya, mendengarnya, merasakannya, dan berdamai dengannya.

Berdamai dengan memaafkan orang yang pernah menyakiti kita atau bahkan memaafkan diri kita sendiri yang telah berbuat salah di masa lalu. 

Karena bukankah memaafkan adalah memberi ruang kecil dari kebencian yang ada dalam hatimu?

Memeluk pengalaman traumatis dengan penuh penerimaan, memaafkan, dan cinta membuat hati lebih tenang. Bukan hanya itu, kita tidak lagi terpenjara dalam jeruji pikiran. 

Sumber gambar:
  

Kamis, 10 September 2020

Meredakan Nyeri dengan Mindfulness



Oleh Millia Asri 

Beberapa waktu ini saya mulai berlatih mindfulness

Bukan hal yang mudah bagi saya untuk melakukannya karena saya tipe orang yang selalu melakukan sesuatu dengan cepat dan kebiasan ini sudah membantu saya menjadi orang yang "garocoh pocoh". 

Selain itu saya sering menuntut diri saya untuk multitasking, mind wandering dan lainnya yang membuat saya menjadi orang yang tidak mindful.

Dan akhirnya... saya sering merasa lelah sendiri baik secara fisik maupun mental.

Perlahan saya berlatih mindful raisin, mindful breathing, mindful walking, mindful movement, body scan dan sitting meditation

Jalan sore atau jalan pagi menjadi kebiasaan baru dalam mengembangkan mindfulness.

###

Aktivitas berlatih mindfulness ini semakin lebih sering dilakukan ketika peristiwa ini terjadi.

Ceritanya....

Seminggu yang lalu, saya merasakan sakit yang teramat sangat pada anggota gerak bawah terutama bagian lutut, paha dan pergelangan kaki. Hal ini menyebabkan untuk berdiri saja sangat sangat sulit, apalagi berjalan. Sakit itu mungkin disebabkan karena pergerakan saya yang tidak bagus sehingga membuat otot dan sendi saya sakit.

Dalam kondisi ini saya melakukan body scan, mindful breathing, siting meditation dan mindful walking.

Saya mencoba merasakan setiap sensasi rasa sakit tersebut, mengamati setiap sensasi sakit tersebut, menerima setiap rasa sakit tersebut apa adanya tanpa ada penilaian.

Alhamdulillah setelah rutin melakukan mindful pratices, sakit itu sangat jauh berkurang dan jujur rasa sakit itu hanya sesekali muncul.

Belajar dan berlatih keterampilan psikoterapi bukan hanya untuk membantu orang lain tapi yang paling penting adalah untuk menolong diri sendiri terlebih dahulu. Ketika kita sudah mampu menolong diri sendiri, Insya Allah kita mampu menolong orang lain.

Sumber gambar:
https://creakyjoints.org/alternative-medicine/meditation-for-chronic-pain-what-its-like/

Selasa, 30 Juni 2020

Mindful Diet: Memasak Dimsum Sepenuh Jiwa


Oleh Nur Yanayirah 

Kenapa mindful cooking

Karena saat saya belanja, cuci bersih bahan, bikin adonan, membentuk adonan, dan kukus, dilakukan dengan mindful, maka memasak menjadi enjoy. Penuh kesadaran dan kesabaran, fokus dan konsentrasi selama memasak. 

Mengosongkan pikiran untuk hal-hal lain, memprioritaskan untuk memasak dimsum ini, dan menikmati semua proses-nya, tidak terlalu mempedulikan bagaimana hasilnya. 

Yang penting adalah "kenikmatan dalam bekerja", hadir pada saat ini, pikiran tidak mengawang-awang ke masa lalu, atau masa depan. Hadir, sepenuh jiwa...

Dimsum Ayam Keju

Bahan:
-500 gram ayam cincang
-Keju 100 gram
-Wortel parut

Haluskan:
-Bawang merah 10 siung
-Bawang putih 5 siung
-Jahe 1 buah

Bumbu lain:
-Saus tiram 2 sachet
-Penyedap rasa bisa di skip
-Tapioka 10 sdm
-Telor 1 butir
-Daun bawang secukupnya
-Garam secukupnya
-Gula pasir secukupnya
-Kulit pangsit

Let's cook...
 
Cuci bersih ayam, lalu cincang.

Haluskan bumbu, tambahkan saus tiram, penyedap rasa, garam, gula, daun bawang cincang, tambahkan telur dan keju, aduk rata, dan taburi wortel parut.

Masukan adonan dimsum ke dalam kulit pangsit, kukus selama 35-40 menit, api sedang saja. 

Sajikan..

Hidup berkesadaran dengan melakukan mindfulness in cooking. Cukup masak yang simpel-simpel. 

Atau selain memasak teman-teman juga bisa melatih hidup mindful dengan melakukan aktivitas: menyetrika baju, melukis, menggambar, dan menjahit. Jangan terlalu pedulikan hasilnya. At least teman-teman sudah berusaha.

Dengan terbiasa melakukan ini, insya Allah kita jadi bisa lebih fokus, dan mengurangi pikiran negatif yang tidak perlu.

Sumber gambar:
Dokumentasi pribadi