Oleh Duddy Fachrudin
Di jaman penuh eksposur, jiwa perlahan berkeping hancur. Pikiran berkonflik saling membentur. Oh… diri yang lacur! Tidak eling dengan wasiat leluhur. Untuk membaur dalam tadabur serta tafakur. Maka sejenak hati terhubung kembali dengan nature. Sebagai wujud cinta dan tanda syukur.
Berlebihnya eksposur informasi yang tidak diiringi dengan kemampuan untuk mengelola atensi menghadirkan permasalahan psikologi. Mulai dari fokus yang makin berkurang hingga adiksi. Rasmus Hougaard, pakar mindful leadership menamakannya PAID atau Pressure - Always on - Information overload - Distraction. Stres karena distraksi akibat banjirnya informasi.
Meski otak manusia sangat canggih dan diberkahi kemampuan switch atensi, namun PAID nyatanya membuat individu semakin mindless, tidak hadir sepenuhnya pada saat ini. Pikiran larut dan kemudian meloncat tak menentu secara otomatis mengikuti arah stimulus. Keseimbangan energi tergerus, waktu habis untuk mengembara di langit dopamin yang amat membius.
Memang fenomena ini tidak sama persis terjadi pada semua orang. Sebagian individu mampu membuat jarak dengan PAID dan sumber stres lain yang memburu dengan mengembangkan keterampilan mindfulness. Latihan meditasi serta menumbuhkan sikap mindfulness seperti tidak tergesa, menerima, dan terbuka menjadi menu harian yang sayang untuk dilewatkan.
Ada yang berlatih menyadari napas. Ada pula yang tak melekatkan diri dengan identitas. Dan juga ada yang menjadikan hutan sebagai ruang beraktivitas. Ragam latihan mindfulness dengan tujuan yang sama, yaitu eling lan awas.
Beraktivitas di hutan tidak sekedar bermain, seperti halnya outbond yang mengasyikkan. Berada di hutan sengaja diniatkan, untuk hadir di antara rimbunnya pepohonan, sejuknya udara, serta komorebi yang memancar begitu indahnya. Terapi ini mengembangkan keterampilan mindfulness dengan grounding berjalan tanpa alas kaki, lalu meditasi, serta menggerakkan tubuh melalui yoga atau tai chi, kemudian ditutup dengan hug tree disertai afirmasi yang menentramkan hati.
Kondo wa kondo. Ima wa ima. Sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Menyadari sepenuhnya di sini. Menikmati saat ini tanpa menghakimi, tanpa tergesa untuk pergi. Seperti maknanya, forest berarti for rest. Untuk beristirahat, melepas penat. Semakin manusia mampu meletakkan stres, semakin ia dapat menahan laju karies tubuhnya.
Bagaimana bisa Yura?
Sejenak mari berkelana pada fondasi yang membangun kesehatan manusia. Ada tiga poin yang jika dijaga serta dikelola dapat membuat manusia awet muda.
Pertama, pencegahan dari stres oksidatif. Tubuh manusia sejatinya akan rusak karena oksidasi radikal bebas. Stres oksidatif ditandai dengan ketidakseimbangan pada ion positif dan negatif. Melalui barefoot atau nyeker di hutan, tubuh akan menyerap ion negatif yang kemudian dapat mencegah timbulnya kerusakan pada sel. Paparan ion negatif yang berasal dari hutan juga dapat mengurangi gejala depresi, mengaktifkan sistem pada tubuh, dan berperan sebagai antioksidan dan antiinflamasi.
Kedua, peningkatan sistem imun. Bayangkan tubuh sebagai suatu negara, sementara sistem imun adalah penjaganya yang bertugas sebagai pertahanan dari kemungkinan serangan musuh berupa organisme patogenik. Tentara sistem imun perlu melakukan latihan sehingga kualitasnya baik. Dan kuncinya terletak pada keseimbangan mikrobiota dalam usus manusia. Itulah mengapa 70% sistem imun terletak di usus manusia.
Flora baik dalam usus merupakan sparing partner sistem imun—seperti sel Natural Killer (NK), yang aktivitasnya meningkat dan menjaga tubuh dari serangan sel kanker. Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh inisiator pengobatan melalui media hutan di Jepang, dr. Qing Li, dimana shinrin-yoku atau forest bathing secara signifikan meningkatkan jumlah sel NK dan juga granulysin (GRN), perforin, granzyme (Gr) A/B-expressing cells.
Ketiga optimalisasi dan keseimbangan hormon. Stres yang kronis dapat menyebabkan disregulasi Hipothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis, jalur neuroendocrine system yang bertugas dalam pengaturan respon stres. Kerja HPA Axis pun menjadi terganggu yang menyebabkan ketidakseimbangan pada hormon, misalnya saja kortisol yang disekresikan secara berlebihan. Stres yang tidak tertangani menyebabkan inflamasi lalu menghadirkan pelbagai penyakit fisik dan mental. Melalui paparan senyawa terpen atau minyak atsiri saat melakukan hug tree timbul efek relaksasi sehingga terjadi penurunan stres.
Maka, hutan yang kaya cahaya matahari, air, mineral tanah, serta molekul penyembuh yang ada di pepohonan merupakan nutrisi bagi jiwa dan fisik manusia. Hutan sejatinya teman hidup terbaik yang diciptakan Tuhan sebagai ecotherapist bagi manusia. Deforestasi akibat eksploitasi industri sama dengan membunuh manusia itu sendiri.
Globalisasi serta modernitas memiliki konsekuensi migrasi masyarakat dari pedesaan ke perkotaan. Urbanisasi menjanjikan kehidupan yang lebih mapan secara finansial dan pekerjaan. Namun paparan stres di perkotaan juga jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan yang dekat dengan hutan.
Pada akhirnya manusia memiliki kecenderungan lahiriah untuk terkoneksi dengan alam. Kembali berinteraksi dengan hadir sepenuhnya adalah ciri manusia biophilia, yang mencari kesehatan dan ketenangan. Saat paparan stres minim, telomer yang ada di dalam DNA tidak mudah rusak. Hal ini berimplikasi pada penundaan terhadap penuaan. Marian Gold, vokalis Alphaville bilang, “Forever young… I wanna be forever young…”
Selain itu, hutan yang juga lekat dengan gunung merupakan guru terbaik bagi kualitas batin manusia. Tidak heran jika ada sebuah idiom “Dididik di gunung, sangkan teu adigung”. Diajar oleh gunung supaya tidak sombong sebagai manusia. Tidak semena-mena memiliki kuasa dan merasa dirinya mahluk yang lebih dari segalanya.
Saat manusia terkoneksi dengan alam atau hutan, ia terkoneksi dengan Tuhan.
Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/07/forest-therapy-sebuah-ikhtiar-untuk.html
Berlebihnya eksposur informasi yang tidak diiringi dengan kemampuan untuk mengelola atensi menghadirkan permasalahan psikologi. Mulai dari fokus yang makin berkurang hingga adiksi. Rasmus Hougaard, pakar mindful leadership menamakannya PAID atau Pressure - Always on - Information overload - Distraction. Stres karena distraksi akibat banjirnya informasi.
Meski otak manusia sangat canggih dan diberkahi kemampuan switch atensi, namun PAID nyatanya membuat individu semakin mindless, tidak hadir sepenuhnya pada saat ini. Pikiran larut dan kemudian meloncat tak menentu secara otomatis mengikuti arah stimulus. Keseimbangan energi tergerus, waktu habis untuk mengembara di langit dopamin yang amat membius.
Memang fenomena ini tidak sama persis terjadi pada semua orang. Sebagian individu mampu membuat jarak dengan PAID dan sumber stres lain yang memburu dengan mengembangkan keterampilan mindfulness. Latihan meditasi serta menumbuhkan sikap mindfulness seperti tidak tergesa, menerima, dan terbuka menjadi menu harian yang sayang untuk dilewatkan.
Ada yang berlatih menyadari napas. Ada pula yang tak melekatkan diri dengan identitas. Dan juga ada yang menjadikan hutan sebagai ruang beraktivitas. Ragam latihan mindfulness dengan tujuan yang sama, yaitu eling lan awas.
Beraktivitas di hutan tidak sekedar bermain, seperti halnya outbond yang mengasyikkan. Berada di hutan sengaja diniatkan, untuk hadir di antara rimbunnya pepohonan, sejuknya udara, serta komorebi yang memancar begitu indahnya. Terapi ini mengembangkan keterampilan mindfulness dengan grounding berjalan tanpa alas kaki, lalu meditasi, serta menggerakkan tubuh melalui yoga atau tai chi, kemudian ditutup dengan hug tree disertai afirmasi yang menentramkan hati.
Kondo wa kondo. Ima wa ima. Sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Menyadari sepenuhnya di sini. Menikmati saat ini tanpa menghakimi, tanpa tergesa untuk pergi. Seperti maknanya, forest berarti for rest. Untuk beristirahat, melepas penat. Semakin manusia mampu meletakkan stres, semakin ia dapat menahan laju karies tubuhnya.
Bagaimana bisa Yura?
Sejenak mari berkelana pada fondasi yang membangun kesehatan manusia. Ada tiga poin yang jika dijaga serta dikelola dapat membuat manusia awet muda.
Pertama, pencegahan dari stres oksidatif. Tubuh manusia sejatinya akan rusak karena oksidasi radikal bebas. Stres oksidatif ditandai dengan ketidakseimbangan pada ion positif dan negatif. Melalui barefoot atau nyeker di hutan, tubuh akan menyerap ion negatif yang kemudian dapat mencegah timbulnya kerusakan pada sel. Paparan ion negatif yang berasal dari hutan juga dapat mengurangi gejala depresi, mengaktifkan sistem pada tubuh, dan berperan sebagai antioksidan dan antiinflamasi.
Kedua, peningkatan sistem imun. Bayangkan tubuh sebagai suatu negara, sementara sistem imun adalah penjaganya yang bertugas sebagai pertahanan dari kemungkinan serangan musuh berupa organisme patogenik. Tentara sistem imun perlu melakukan latihan sehingga kualitasnya baik. Dan kuncinya terletak pada keseimbangan mikrobiota dalam usus manusia. Itulah mengapa 70% sistem imun terletak di usus manusia.
Flora baik dalam usus merupakan sparing partner sistem imun—seperti sel Natural Killer (NK), yang aktivitasnya meningkat dan menjaga tubuh dari serangan sel kanker. Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh inisiator pengobatan melalui media hutan di Jepang, dr. Qing Li, dimana shinrin-yoku atau forest bathing secara signifikan meningkatkan jumlah sel NK dan juga granulysin (GRN), perforin, granzyme (Gr) A/B-expressing cells.
Ketiga optimalisasi dan keseimbangan hormon. Stres yang kronis dapat menyebabkan disregulasi Hipothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis, jalur neuroendocrine system yang bertugas dalam pengaturan respon stres. Kerja HPA Axis pun menjadi terganggu yang menyebabkan ketidakseimbangan pada hormon, misalnya saja kortisol yang disekresikan secara berlebihan. Stres yang tidak tertangani menyebabkan inflamasi lalu menghadirkan pelbagai penyakit fisik dan mental. Melalui paparan senyawa terpen atau minyak atsiri saat melakukan hug tree timbul efek relaksasi sehingga terjadi penurunan stres.
Maka, hutan yang kaya cahaya matahari, air, mineral tanah, serta molekul penyembuh yang ada di pepohonan merupakan nutrisi bagi jiwa dan fisik manusia. Hutan sejatinya teman hidup terbaik yang diciptakan Tuhan sebagai ecotherapist bagi manusia. Deforestasi akibat eksploitasi industri sama dengan membunuh manusia itu sendiri.
Globalisasi serta modernitas memiliki konsekuensi migrasi masyarakat dari pedesaan ke perkotaan. Urbanisasi menjanjikan kehidupan yang lebih mapan secara finansial dan pekerjaan. Namun paparan stres di perkotaan juga jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan yang dekat dengan hutan.
Pada akhirnya manusia memiliki kecenderungan lahiriah untuk terkoneksi dengan alam. Kembali berinteraksi dengan hadir sepenuhnya adalah ciri manusia biophilia, yang mencari kesehatan dan ketenangan. Saat paparan stres minim, telomer yang ada di dalam DNA tidak mudah rusak. Hal ini berimplikasi pada penundaan terhadap penuaan. Marian Gold, vokalis Alphaville bilang, “Forever young… I wanna be forever young…”
Selain itu, hutan yang juga lekat dengan gunung merupakan guru terbaik bagi kualitas batin manusia. Tidak heran jika ada sebuah idiom “Dididik di gunung, sangkan teu adigung”. Diajar oleh gunung supaya tidak sombong sebagai manusia. Tidak semena-mena memiliki kuasa dan merasa dirinya mahluk yang lebih dari segalanya.
Saat manusia terkoneksi dengan alam atau hutan, ia terkoneksi dengan Tuhan.
Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/07/forest-therapy-sebuah-ikhtiar-untuk.html