Tampilkan postingan dengan label Mindfulnesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindfulnesia. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Januari 2025

Menyelami Sejenak Ruang Bernama Kehidupan #bagian 1

Oleh Duddy Fachrudin 

Di akhir tahun saya mendapat tawaran mengajar psikologi untuk korporasi di empat daerah negeri ini. Dua diantaranya di luar pulau Jawa. Alhamdulillah, dari keempatnya terealisasi satu saja.

Jika keempatnya terlaksana tentu sangat senang sekali. Apalagi psikologi sebagai fondasi dalam menjalani kehidupan ini diperlukan setiap orang di jaman yang serba tak pasti. Namun karena ketidakpastian pula, ketiganya urung terjadi.

Dalam kondisi seperti ini yang bisa dilakukan hanya menerima, bahwa segalanya tidak sesuai rencana, sambil kemudian terus menata, memperbaiki diri dari ke hari sehingga siap untuk menyambut mentari.

Meski, setiap hari bisa saja yang datang tak hanya mentari. Mungkin ia yang hadir adalah kecewa dan rasa frustasi. Atau cemas serta depresi. Kata Rumi, mereka semua merupakan tamu yang perlu disambut dengan hangat dan riang gembira. Memeluk derita sama halnya merangkul bahagia.

Namun, bagaimana mungkin orang biasa seperti Judin paham mengenai konsep itu. Laki-laki yang hanya berpenghasilan 30 ribu per harinya itu harus menghadapi kenyataan yang menyayat sendinya. Hutang yang menumpuk diwariskan oleh orangtuanya. Sejak ayahnya meninggal, ia mengambil alih nahkoda rumah tangga yang oleng bagaikan Titanic setelah menabrak gunung es di lautan luas itu.

Sore itu ditemani Juwita, Judin mengungkapkan gelisahnya. “Sebenarnya kalau mau kita bertiga, ya kakak dan adikku berjuang bersama melunasi hutang-hutang itu.”

“Mbok sendiri bagaimana?” tanya Juwita.

Dalam duduknya Judin mengehela nafas teringat keinginan kuliahnya dicegah oleh ibunya sendiri. Kedua tangannya menyangga tubuhnya yang ringkih. “Andai saja aku kuliah Wit! Setidaknya aku bisa memperbaiki keadaan sekarang.”

Berkali-kali Judin menilai dirinya bodoh dan tak bisa apa-apa. Namun dibalik itu ia yang menanggung segalanya.

Kehidupan itu… sebenarnya apa? Tanya Judin dalam relung hatinya. Sementara senja mulai menyapa dirinya serta Juwita.

Pun tanya itu pula yang kemudian direnungkan oleh para pembelajar dari berbagai generasi di sebuah korporasi, suatu hari akhir tahun itu.

“Perjalanan!” seru seorang anak muda. Di satu sisi, seorang laki-laki berusia 50an, berkata bahwa hidup ialah kebersyukuran.

“Hidup itu stres ya Wit,” Judin kembali mengungkapkan keluhnya.

Bersambung…

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Sabtu, 28 Desember 2024

Kekuatan Afirmasi


Oleh Duddy Fachrudin & Mindfulnesia Walking Group 

Dalam memotivasi diri serta orang lain, kata-kata menjadi sarana yang bisa menjadi catudaya penggerak mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Buku “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” memberikan banyak contoh bagaimana afirmasi melalui kata-kata sangat dianjurkan untuk diucapkan. Seperti kisah One Piece, dimana Luffy seringkali berkata “Aku akan menjadi Raja Bajak Laut!”. Meski kemudian diremehkan dan ditertawakan, nyatanya sugesti tersebut menjadi bagian pelayaran serta petualangan yang tidak mudah dan penuh dengan tantangan.

Contoh lainnya yang dituliskan dalam buku tersebut ialah afirmasi yang selalu diucapkan oleh Mohammad Ali saat bertanding melawan George Foreman. Pertandingan itu ibarat David versus Goliath, karena Big Foreman sepertinya akan mudah meng-KO Ali yang “kecil”. Namun rupanya Ali memiliki strategi yang tiada lain mengucapkan kata-kata penuh energi. “Ayo, mana pukulanmu!”, “Pukulanmu tidak menyakitiku!”, Ali mengatakannya sembari memamerkan moncongnya di depan Foreman. Prediksi KO memang benar terjadi. Tapi berlaku untuk Foreman. Ali berhasil memukul telak lawannya di ronde ke-8, setelah sebelumnya “hanya” menghindar dari hantaman Foreman[1].

Sebagai pendaki gunung jelata yang gear pendakiannya apa adanya, afirmasi ke diri juga sangat mempengaruhi. Contoh saja begini: “Puncak memang bukan tujuan, tapi tidak sampai puncak keterlaluan”. Atau saat lelah melanda hati ini kemudian berkata, “Sedikit lagi!”. Dan benar saja saat energi sepertinya sudah habis, tiba-tiba tubuh kemudian bangkit dan melangkah lagi.

Dan sekali lagi, kekuatan kata-kata digunakan dalam pendakian kali ini. Pendakian yang dibilang tidak sulit karena gunung yang didaki bukan gunung yang berketinggian 3000 mdpl. Bukan juga 1000 hingga 2000-an mdpl dengan jalur yang “pedas”. Gunung ini, atau lebih layak disebut bukit berketinggian 451 mdpl. Jajar Sinapeul namanya.

Pendakian kali ini bertajuk “Mindfulnesia Trail Walk”, tujuannya untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental. Karena jalan kaki sendiri memang salah satu aktivitas fisik yang mudah dan murah, serta memiliki manfaat yang bagus sekali dalam meregulasi emosi. Bahkan berjalan kaki selama 10 menit saja dapat meningkatkan energi serta kualitas suasana hati[2].

Puncak Gunung Sinapeul. Itulah tujuan kami. Lokasinya tepat di atas Desa Ujungberung Blok Sinapeul. Terdapat dua cara menujunya dari rumah. Pertama ialah menggunakan kendaraan selama 20 menit dan menitipkannya di salah satu rumah warga. Kedua melalui berjalan kaki selama 2 jam menyusuri kampung, sawah, kebun, bukit kuda, hingga akhirnya tiba di blok Sinapeul. Kami memutuskan untuk menggunakan cara kedua.

Setelah hampir 10 km berjalan kaki, kami tiba di lokasi. Suatu kawasan wisata durian yang terkenal di Kabupaten Majalengka. Sebelum melanjutkan perjalanan menuju Puncak Jajar Sinapeul, kami beristirahat ditemani serabi hangat yang begitu lezat. Sekitar pukul 10.15 kami berjalan kembali dimulai dengan menyusuri kebun durian. Beberapa petani durian dijumpai, salah satunya yang kemudian bertanya tentang perjalanan kami. “Mau ke puncak Pak,” ujar kami. Dengan wajah ceria dan semangat, bapak itu membalas, “Bala…!”.

Bala. Terheran-heranlah Azru, Reno, dan Tamami. Ketiga anak muda yang berapi-api itu lantas bertanya kepada saya makna kata “bala”. Karena bapak tersebut mengucapkannya dengan wajah yang sumringah, maka saya mengira-ngira saja maknanya. “Artinya hebat, keren!” ujar saya.

Hebat. Pendakian yang keren, karena tidak ada orang lain yang mendaki saat itu. Hanya kami berempat. Kata “hebat” menjadi afirmasi sepanjang perjalanan pendakian. Sehingga segala rintangan yang menghadang, baik itu rasa lelah, medan yang curam, serbuan nyamuk, serta keinginan untuk berhenti dari mendaki bisa teratasi. Afirmasi “hebat dan keren” benar-benar ampuh menjadi catudaya “menaklukan” Gunung Jajar Sinapeul.

Gunung ini sunyi dan sepi. Sudah tidak banyak yang mendaki karena tidak ada lagi yang mengelola. Gunung ini ramai dikunjungi 4 hingga 2 tahun lalu di era pandemi. Penduduk lokal membuat jalur pendakian dan menatanya. Beberapa video pendakian Gunung Jajar Sinapeul bisa dilihat di Youtube dimana jalur pendakian jelas dan tertata rapih. Di Puncak Jajar Sinapeul, atap Jawa Barat Gunung Ciremai terlihat begitu gagah dan megah. Sementara jajaran gunung di perbatasan Cirebon Barat-Majalengka amat menawan, bagaikan Raja Ampat.

Bala. Kata itu kembali terngiang selama turun dari puncak. Langit mulai gelap yang membuat kami perlu bergegas. Namun sayangnya yang dihadapi ialah turunan curam penuh dengan dedaunan berserakan. Salah melangkah, tubuh bisa hilang keseimbangan lalu terperosok ke bawah. Meski ingin bergerak cepat, kenyataannya justru melambat.

Bala. Benarkah artinya keren atau hebat?

Hujan akhirnya mengguyur bumi. Untungnya kami sudah melalui turunan curam berduri itu. “Kita benar-benar bala! Hebat!” Apalagi Tamami dan Azru baru pertama kali naik gunung. Sementara Reno tidak menyangka medan Gunung Sinapeul diluar perkirannya. Dikiranya Sanghyangdora yang asyik dan ramah.

Bala. Akhirnya saya mencari tahu maknanya.

Bala seringkali digunakan pada kalimat “bala tantara…”, maka artinya bisa “pasukan”. Tapi sepertinya makna ini tidak sesuai dengan konteks pendakian. Sementara, bala dalam bahasa Sunda memiliki arti “berantakan”. Dalam kamus bahasa Sunda, bala memiliki arti: penuh rumput atau sampah serta bahaya.

Jadi… makna bala sejatinya suatu kondisi yang berantakan, awut-awutan, tidak tertata, tidak rapih seperti halnya gorengan bala-bala yang dibuat tanpa cetakan.

Selama perjalanan sendiri kami menjumpai jalur yang amat rimbun. Tumbuhan liar menutupi jalur pendakian. Daun-daun berserakan menutupi tanjakan/ turunan curam yang membahayakan. Sementara di jalur puncak yang menyerupai punggungan naga, ilalang menjulang setinggi badan sehingga menyulitkan pergerakan.

Ternyata… benar yang dikatakan bapak petani durian yang kami jumpai di awal pendakian. Bala pisan!
 
Referensi:
[1] Fachrudin, D. 10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia. Solo: Metagraf 2011.
[2] https://www.mentalhealth.org.uk/explore-mental-health/publications/how-look-after-your-mental-health-using-exercise#paragraph-18511

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 19 November 2024

Diskusi Forest Therapy di Stasiun Kopi




Oleh Duddy Fachrudin & Janu Dewandaru 

Pagi itu sebuah direct message masuk ke ponsel saya. Seseorang memperkenalkan dirinya lalu menyatakan ingin bertemu untuk sekedar berbincang. Temanya tidak main-main: forest therapy. Siapakah gerangan yang tertarik dengan “bermain-main” di alam lalu menceburi dirinya menyengajakan untuk terpapar oleh aroma pepohonan, angin yang berdesir, tanah dan bebatuan, hingga mentari yang menari?

Nyatanya Om Janu Dewandaru benar-benar menghampiri saya sore harinya, dari Bandung ke Cirebon. Head of Innovation Team Bank Indonesia yang gemar belajar itu tak sungkan diajak boncengan dengan motor supra yang telah berusia belasan tahun. Padahal beliau seorang “Dekan” yang memimpin BI Institute dan mengajak semua sumberdaya manusia untuk belajar apapun agar kualitas serta kapasitasnya terus bertumbuh. Hmm... Dekan biasa pastinya misuh-misuh jika dijemput dengan kendaraan roda dua.

Tapi memang pencari ilmu sejati tidak terlekati dengan materi. Fokusnya hidupnya pada dimensi intangible, seperti personal fulfillment, yang tiada lain adalah ilmu yang kelak berguna untuk mempercantik kualitas mental dan spiritualnya. Dan mereka cenderung tidak memiliki keinginan terhadap apapun yang ada di dunia. Mereka hanya ingin terkoneksi dengan alam dan kemanusiaan. 

Sampailah kami di Stasiun Kopi, suatu kedai kopi yang memang dekat dengan stasiun kereta. Dari secangkir kopi, berlanjut pada diskusi forest therapy.

Terapi hutan bukanlah sesuatu yang baru. Dibutuhkan beragam disiplin ilmu seperti kehutanan, kedokteran, psikologi, sosiologi, biologi, dan ilmu pendukung terkait lainnya. Terapi hutan memiliki tujuan spesifik sesuai kebutuhan individu itu sendiri. Selain itu kriteria lokasi hutan yang dijadikan tempat beraktivitas untuk forest therapy memerlukan standar khusus.

Pendekatan yang lebih sederhana dari terapi hutan ialah yang menggunakan mindfulness. Thoreau, sang filosof yang terkenal dengan karyanya Walden itu sudah melakukannya kala dahulu. Meskipun hanya dengan berjalan kaki di tengah hutan. Tidak ada sesuatu yang dikejar oleh Thoreau. Sekali lagi, hanya berjalan kaki sambil mengijinkan diri terpapar oleh energi positif dari hutan.

Aktivitas berada di hutan, tanpa terburu-buru, tanpa tujuan tertentu, dan hanya sekedar hadir kemudian dikenal lebih lanjut dengan forest bathing. Direktur Badan Kehutanan Jepang Tomohide Akiyama menamainya Shinrin-yoku pada tahun 1982. Ide tersebut berkembang dengan maksud mempromosikan hutan sebagai wellness-oriented ecotourism. Hutan Akazawa di dekat Kota Agematsu menjadi pilot project Shinrin-yoku. Di hutan tersebut, pengunjung tidak sekedar “piknik” melainkan yang terpenting dipandu untuk melakukan forest bathing oleh guide yang telah menjalani pelatihan dan berpengalaman. Beberapa negara seperti Korea Selatan juga memiliki aktivitas forest bathing bernama Sanlim yok. Sementara di Norwegia dikenal dengan Friluftsliv[1].

Forest bathing kian popular seiring dengan beragam penelitian yang membuktikan adanya manfaat kesehatan, baik fisik serta psikologis. Empat indikator utama yang diukur ialah tekanan darah, kadar kortisol melalui saliva, denyut nadi, serta variasi denyut jantung (HRV). Salah satu hasil penelitian efek Shinrin-yoku di 24 hutan di Jepang menunjukkan tekanan darah, kadar kortisol, serta denyut nadi yang lebih rendah, dan HRV yang lebih tinggi pada kelompok eksperimen dibandingkan kontrol[2]. Ini menunjukkan efek yang positif dari forest bathing seperti rendahnya stres, tingginya kesejahteraan psikologis hingga kualitas kardiovaskular yang sehat.

Forest bathing bukanlah hiking menuju bukit atau puncak gunung, melainkan menyengajakan diri untuk hening di rerimbunan pohon yang kaya akan fitonsida yang memiliki sifat antimikroba. Mendengarkan sunyi dan menyadari, membiarkan segala yang terjadi secara alami. Memahami lintasan pikiran serta emosi, tanpa menghakimi.

Menariknya, salah satu manfaat lain dari paparan hutan ialah dapat menjadikan individu memiliki penurunan keinginan[3]. Hasrat nan gawat dalam pemenuhan kebutuhan dunia memang sejatinya perlu dirawat, eh maksudnya dikelola agar manusia itu sendiri tidak terjerat hingga berujung kiamat. Forest bathing membuat jiwa kita bertransformasi menjadi nirmaterialistik. Tetap senang dengan materi, tapi tidak terlekati, apalagi terobsesi.

Kopi kami habis diminum. Diskusi berlanjut ke stasiun kereta. Berbincang mengenai berbagai penyakit yang sering diderita pegawai Bank Indonesia. Ada tiga yang utama, yaitu...  

Sumber:
[1] Clifford, MA. Your Guide to Forest Bathing: Experience of The Healing Power of Nature. Newburyport: Red Wheel 2018.

[2] Park, BJ., Tsunetsugu, Y., Kasetani, T., Kagawa, T., & Miyazaki, Y. The physiological effects of Shinrin-yoku (taking in the forest atmosphere or forest bathing): Evidence from field experiments in 24 forests across Japan. Environ Health Prev Med. 2010 Jan;15(1):18-26. doi: 10.1007/s12199-009-0086-9. PMID: 19568835; PMCID: PMC2793346.

[3] Joye, Y., Bolderdijk, JW., Köster, MAF., & Piff, PK. A diminishment of desire: Exposure to nature relative to urban environments dampens materialism. Urban Forestry & Urban Greening. 2020 July;54,126783. https://doi.org/10.1016/j.ufug.2020.126783.


Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Kamis, 15 Agustus 2024

Hidup Senang Mati Tenang: Merdeka dari Penderitaan Psikologis



Oleh Duddy Fachrudin 

Berita hari ini berseliweran di lini masa. Tentang seorang residen Program Profesi Dokter Spesialis (PPDS) yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak biasa. Asumsi bermunculan mengembara berusaha mencari sebabnya? Depresi, perundungan, ataukah karena faktor sakit yang dideritanya?

Tentu kita tidak perlu terlalu jauh untuk memikirkannya, karena beragam faktor berkontribusi atas hadirnya suatu masalah atau perilaku tertentu. Tidak ada faktor tunggal, bisa jadi karena ketiganya, bahkan mungkin pada saat investigasi ditemukan variabel lain yang menentukan. 

Di titik ini, yang perlu dilakukan oleh kita ialah mengambil jeda dan mempelajari jiwa ini, karena mungkin kita juga memiliki keinginan untuk bunuh diri?

Ramainya pemberitaan mengenai bunuh diri memang semakin menjadi-jadi. Isu kesehatan mental dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini menyadarkan kepada setiap individu untuk merawat serta menata jiwanya. Di satu sisi, kita juga tidak menoleransi segala bentuk kekerasan yang dapat memicu ketidaknyamanan dan menggerus keseimbangan mental kita. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita, manusia yang acapkali rapuh saat mengarungi kehidupan ini?

Pertama, kita perlu kembali mengenali diri ini. Apa saja lintasan-lintasan rasa dan pikiran yang sering menghampiri? Apakah ia mengganggu dan membuat kita tidak berdaya?

Kedua, jika memang hal itu mengganggu kita akui dan terima. Tidak perlu menolaknya atau menghindarinya (experiential avoidance). Karena semakin menghindarinya justru lintasan rasa dan pikiran yang mengganggu itu semakin kuat muncul. Penderitaan psikologis bermula saat kita menolak dan menghindari ketidaknyamanan rasa dan pikiran tersebut.

Ketiga, setelah diterima dan dihadapi hal yang mengganggu tersebut, maka kita perlu membuat jarak. Ya, menerima bukan berarti melekatkan pikiran dan perasaan yang mengganggu tersebut pada diri kita. Justru di sinilah kita mengembangkan cognitive defusion, menanggalkan atau melepaskan kemelekatan itu. Caranya bisa dengan melatih diri kita dengan mindful breathing, sitting, body scanning, walking, dan mengembangkan sikap mindfulness, seperti sabar, tidak menilai, menerima, melepaskan, terbuka, dan sebagainya.

Keempat, mengembangkan value atau nilai, yaitu sesuatu yang penting dalam hidup kita. Nilai itu yang akan menjadi guide kita menuju kehidupan yang bermakna. Nilai hidup dapat berhubungan dengan kehidupan personal, interpersonal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Misalnya value yang kita kembangkan berkaitan dengan pekerjaan adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, mendengarkan mereka di saat mereka kesusahan.

Kelima, melangkah bersama value. Ciptakan tujuan-tujuan kecil, dimana bahan bakar dari goal tersebut adalah value. Sebagai contoh, nilainya adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, kemudian kita tentukan goal, yaitu menciptakan suatu konten edukatif yang bermakna dan bermanfaat untuk orang yang menyimaknya.

Keenam, fokus pada kehidupan berbasis value yang bermakna yang sudah kita ciptakan.

Ketujuh, teruslah berlatih untuk mengembangkan hidup yang berkesadaran, karena dalam menjalani hidup itu sendiri, niscaya akan berjumpa dengan pelbagai stimulus, baik dari dunia internal, yang berisi pikiran, perasaan, kenangan atau memori yang berkelindan, dorongan-dorongan, dan lain-lain, serta dari luar diri individu (eksternal) yang berpotensi memicu hadirnya stres yang kemudian membuat larut (kembali) ke dalam masalah di masa lalu yang sebenarnya sudah berusaha kita lepaskan.

Berlatih mindfulness

Terakhir, jika memang kita berada pada suatu sistem yang membuat diri kita semakin terpapar stres yang berlebihan, maka berhenti dan memilih opsi untuk keluar dari lingkungan yang semakin menjerat pada permasalahan psikologis adalah tindakan yang bijaksana. Menerima bukan hanya bertahan, tapi juga mengambil keputusan yang tepat untuk keberlanjutan hidup kita.  

Pada akhirnya, merdeka dari penderitaan psikologis ini adalah ikhtiar dan belajar secara sadar, dan fondasinya tiada lain adalah kemampuan menggunakan nalar sehingga pelayaran kehidupan menjadi berbinar karena pendar-pendar cahaya yang menuntun pada sebuah reservoar indah dimana kapal yang kita tumpangi akhirnya menurunkan dan menautkan jangkar.

Sumber gambar:

Rabu, 30 November 2022

Buku Mindfulness: Agar Layangan Tak Jadi Putus




Oleh Duddy Fachrudin

“Saya kecewa pada orangtua saya… karena mereka melahirkan saya.”

Bayangkan jika anak Anda berkata seperti itu, bagaimana reaksi Anda sebagai orangtua? Kesal, kecewa, marah, bingung, atau merasa bersalah?

Tapi nyatanya, kata-kata tersebut diucapkan seorang anak dengan kesungguhan hati dan kemantapan rasa.

Ialah Zain yang bertutur dengan jujur bagaimana kecewanya dirinya memiliki orangtua yang jauh dari cinta dan kasih sayang. Yang didapatkan dari orangtuanya adalah realita bahwa adiknya dijual oleh orangtuanya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Pikiran dan perasaanya berkecamuk. Mengamuk tiada henti menuntut tanggung jawab ayah ibunya yang semestinya hadir secara sadar sebagai orangtua yang ringan peluk.

Dengan usia masih 12 tahun, Zain meninggalkan rumah, kedua orangtuanya dan juga saudara-saudaranya, lalu menyambung hidup di jalanan.

Kisah Zain dalam Film Capernaum yang memenangkan berbagai ajang festival film internasional dan menjadi nominasi OSCAR tersebut suatu bentuk ketidaksiapan, kelalaian, hingga kekerasan orangtua terhadap anak.

World Health Organization (WHO) sendiri memaparkan bentuk kekerasan pada anak tidak hanya fisik, tapi juga seksual, emosional, eksploitasi, serta penelantaran. Sementara pelaku kekerasan paling banyak justru dilakukan oleh orangtua atau pengasuh anak (caregiver).

Kekerasan berdampak pada cedera fisik, trauma psikologis, kerusakan sistem saraf, kemampuan individu dalam mengatasi sebuah masalah, munculnya perilaku-perilaku yang tidak sehat, hingga tentu saja kematian.

Masih terngiang peristiwa pembacokan seorang anak SD di Depok oleh ayahnya di suatu pagi. Berawal dari cekcok dengan istrinya terkait pelunasan hutang dan keinginan sang istri untuk bercerai, kekerasan itu terjadi. Bukan hanya kepada istrinya, tapi juga anaknya yang mengakibatkan meninggalnya sang anak. Pagi yang semestinya ceria berubah menjadi kelabu.

Kekerasan, disfungsi keluarga, perceraian, dan perselingkuhan merupakan permasalahan yang kerapkali hadir pada individu dan kelompok dalam suatu naungan bernama keluarga atau pasangan yang telah menikah.

Kok bisa? Bukankah pernikahan adalah jalan menuju sakinah? Bahkan setiap ada yang menikah, orang-orang berdoa:

“Semoga Sakinah, Mawaddah, Warahmah.”

Nyatanya, tidak semua pernikahan maujud sesuai harapan yang telah dihaturkan.

Maka di sinilah kita perlu tafakkur sekaligus tadabbur mengenai Ar-Rum ayat 21:

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untuk mu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (warahmah). Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.

Mawaddah dan Warahmah sebenarnya bekal yang sudah Allah siapkan menuju Sakinah. Artinya, Sakinah, ketenangan atau ketenteraman perlu diupayakan oleh manusianya sendiri melalui Mawaddah dan Warrahmah yang sudah ada dan disadari oleh manusia.

Maka doa semestinya:

“Melalui Mawaddah dan Warahmah, semoga engkau berdua menjadi dan istiqomah mewujudkan Sakinah.”

Sayangnya, acapkali manusila lupa atau alpa tidak menyadari hadirnya kasih sayang dan cinta yang senantiasa dihadirkan Allah Swt. Sehingga yang memenuhi ruang hatinya adalah rasa kecewa, kesal, dan amarah dalam menjalani biduk keluarga.

“Agar Layangan Tak Jadi Putus” mengajak agar setiap individu yang ada dalam keluarga, khususnya ayah dan bunda atau siapapun yang akan menikah untuk kembali ke “rumah” menyadari dan menerima Mawaddah dan Warahmah.

Saat kita menyadari keberadannya (cinta), maka berikutnya adalah mengelola dan menghadirkannya (kembali) dalam bentuk niat, pikiran, perasaan, hingga perilaku. Pada akhirnya, dengan rahmat, keberadaan kita dalam keluarga menjadi manfaat. Khoirunnas anfauhum linnas.

Melalui cinta pula, kita ikhlas menanam atau menandur untuk hari esok, Wal tandhur nafsum maa qaddamat ligad.

Suatu saat orangtua yang “menandur” kebaikan-kebaikan dan cinta melalui interaksi dan pengasuhan di dalam keluarga akan memanen hasilnya. Kapan? Entah. Tapi kelak, itu akan terjadi, seizin Allah Swt. tentunya.

Buku sederhana ini tidak membahas teori-teori. Buku ini hanyalah kumpulan hikmah-hikmah dari mindful couple dan mindful parenting yang mungkin genting untuk dipraktikkan sedikit demi sedikit agar pelayaran kehidupan pernikahan dan keluarga menjadi tidak mudah terombang-ambing apalagi terpelanting akan ganasnya badai. Dan yang juga tak kalah penting, supaya kita semua dapat berlabuh di Laguna Sakinah.

Ar-rahmaan, ‘allamal qur’aan. 

Download Buku Mindfulness: Agar Layangan Tak Jadi Putus di sini 



Rabu, 30 Maret 2022

Menjadi Master Oogway




Oleh Tauhid Nur Azhar 

Menjadi Master Oogway adalah mengendalikan tanpa mengendalikan dan melarut dalam keselarasan. Menerima sekaligus mengolah. Tanpa daya sekaligus bertenaga.

Master Oogway mengajarkan kita tentang mengalir dan merasa tanpa keinginan memiliki dan memanipulasi. Semua berjalan sesuai dengan orkestrasi agung yang telah menyediakan banyak partitur untuk dimainkan.

Sementara kita dengan hasrat yang condong mendorong pemenuhan secara instan akan sulit memahami makna kosong adalah ada dan ada adalah kosong.

Saat hati dan jiwa masih terluka karena dunia tak berjalan sesuai dengan harapan kita, maka kita masih ada dalam penjara yang membuat kita sempit dan terbatas serta bahkan kehilangan daya hanya untuk sekedar mencicipi bahagia.

Sepasang suami istri saja punya pikiran tidak sama, bagaimana bisa ikhlas jika masing-masing merasa bahwa pasangannya semestinya seideal harapannya? Istri minta perhatian dengan dicium mesra setiap pagi. Sementara suami berpikir bahwa kebutuhan materi adalah hal realistis yang lebih penting dari sekedar drama.

Kita tak sadar bahwa sesungguhnya setiap entitas punya persepsi terhadap dirinya sendiri dan persepsi itu berkonjugasi dengan persepsi orang di sekitarnya.

Maka dalam filosofi Master Oogway, memiliki itu berarti kehilangan. Kehilangan kebebasan dari rasa takut kehilangan. Melepas bukan berarti tak peduli, tapi metoda belajar ikhlas untuk membersihkan berbagai distorsi yang merancui entitas dan juga identitas

Karena apa yang tak bisa lepas dari kita? Tidak ada.

Karena apa yang kita genggam adalah apa yang luput dalam perjalanan, dan yang tidak kita genggam akan selalu ada dalam bentuk dan tempatnya sendiri.

Satu hal yang menjadi sifat unik manusia adalah penyesalan. Kita semua tahu penyesalan itu idealnya adalah pelajaran, tapi dalam prakteknya penyesalan adalah siksaan.

Menyakitkan karena kita tahu dan sudah merasakan tapi tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi.

Algoritma kehidupan juga menawarkan banyak alternatif sebagai cabang pilihan, ini menambah potensi penyesalan karena kemungkinan asumtif pilihan dapat berkembang secara eksponensial.

Sumber gambar:
https://www.kolpaper.com/85923/master-oogway-background-2/

Sabtu, 11 Juli 2020

Metafora: 11 Lampu Merah




Oleh Duddy Fachrudin 

Jogja kota yang unik. Makanannya khas, seperti gudeg, krecek, nasi kucing, bakmi, sate klatak, tahu guling, getuk, hingga tiwul. Bahkan di daerah Gunung Kidul ada yang namanya walang (belalang) goreng. Minumannya? Jangan ditanya, ada dawet, kopi jos, wedang ronde sampai wedang uwuh. Dijamin kuliner khas Jogja ini membuat kita ketagihan untuk terus makan dan makan.

Selain kulinernya, Jogja terkenal dengan budayanya, tempat wisatanya, pantainya, goanya, psikolog puskesmasnya, dan lalu lintasnya serta sarana transportasinya. Khusus yang terakhir ini, memang baru saya jumpai kalau di Jogja angkutan transportasi umumnya hanya ada bus kota, transjogja, ojeg, becak, dan taksi. Satu yang tidak ada yaitu angkutan kota (angkot). Karena angkot tidak ada, maka banyak penduduk Jogja yang memakai sepeda motor sebagai kendaraan sehari-harinya. Jika tidak ada motor, maka akan sulit sekali ke mana-mana.

Selama kuliah di Magister Psikologi Profesi Universitas Gadjah Mada (UGM) saya menggunakan motor untuk pulang pergi rumah-kampus UGM. Saya tinggal di Imogiri dekat makam raja-raja. Selama perjalanan Imogiri-UGM, saya menghitung ada sekitar 11 lampu merah yang saya temui. Jika di setiap lampu merah saya berhenti 40 detik, maka total saya kehilangan 440 detik atau 7 menit. Imogiri-UGM sendiri dalam waktu normal menempuh waktu 40 menit. Ditambah perkiraan kehilangan 7 menit, saya harus memiliki waktu minimal 47 menit untuk bisa sampai di UGM dari tempat tinggal saya.

Jam kuliah paling pagi adalah pukul 7.30, maka saya harus sudah berangkat maksimal pukul 6.43. Pada awalnya saya cemas, kalau-kalau saya terlambat, oleh karena itu saya biasa berangkat pukul 6.30, apalagi sepanjang jalan Imogiri penuh dengan pengendara sepeda motor yang menuju Jogja. Atau saya dapat berangkat pukul 6.43, melajukan motor dengan kecepatan 60-70 km/jam dan mengusahakan tidak terkena lampu merah.

Pada awalnya saya sering tergesa-gesa dan memacu kendaran dengan kecepatan tinggi saat berangkat kuliah. Tujuan saya hanya satu yaitu datang tepat waktu atau sebelum pembelajaran dimulai. Ketika saya harus berhenti karena lampu merah sering kali saya kesal. Pikiran pun mengembara dan menerka-nerka ke masa depan, “Jangan-jangan saya telat!”.

Beberapa waktu kemudian saya menyadari ternyata pikiran dan perasaan saya tidak nyaman.

Lalu, saya mengijinkan diri saya lebih santai ketika harus berhenti di lampu merah. Kenapa? 

Bukankah saat saya berhenti di lampu merah saya bisa menarik nafas sejenak sebelum memacu kendaraan lagi? Ketika saya berhenti di lampu merah, itu artinya saya bisa melihat ke sekeliling dan menemukan insight untuk ide-ide atau tulisan saya berikutnya. 

Atau saat saya berhenti di lampu merah, hati ini berkata, “Hidup ini kadang memang butuh berhenti sejenak. Berpikir sesaat. Atau merenungkan apa yang telah dilakukan oleh diri ini.”

Dan gara-gara daya berhenti di lampu merah, saya jadi punya ide membuat tulisan ini.

Sumber gambar:

Selasa, 30 Juni 2020

Mindful Diet: Memasak Dimsum Sepenuh Jiwa


Oleh Nur Yanayirah 

Kenapa mindful cooking

Karena saat saya belanja, cuci bersih bahan, bikin adonan, membentuk adonan, dan kukus, dilakukan dengan mindful, maka memasak menjadi enjoy. Penuh kesadaran dan kesabaran, fokus dan konsentrasi selama memasak. 

Mengosongkan pikiran untuk hal-hal lain, memprioritaskan untuk memasak dimsum ini, dan menikmati semua proses-nya, tidak terlalu mempedulikan bagaimana hasilnya. 

Yang penting adalah "kenikmatan dalam bekerja", hadir pada saat ini, pikiran tidak mengawang-awang ke masa lalu, atau masa depan. Hadir, sepenuh jiwa...

Dimsum Ayam Keju

Bahan:
-500 gram ayam cincang
-Keju 100 gram
-Wortel parut

Haluskan:
-Bawang merah 10 siung
-Bawang putih 5 siung
-Jahe 1 buah

Bumbu lain:
-Saus tiram 2 sachet
-Penyedap rasa bisa di skip
-Tapioka 10 sdm
-Telor 1 butir
-Daun bawang secukupnya
-Garam secukupnya
-Gula pasir secukupnya
-Kulit pangsit

Let's cook...
 
Cuci bersih ayam, lalu cincang.

Haluskan bumbu, tambahkan saus tiram, penyedap rasa, garam, gula, daun bawang cincang, tambahkan telur dan keju, aduk rata, dan taburi wortel parut.

Masukan adonan dimsum ke dalam kulit pangsit, kukus selama 35-40 menit, api sedang saja. 

Sajikan..

Hidup berkesadaran dengan melakukan mindfulness in cooking. Cukup masak yang simpel-simpel. 

Atau selain memasak teman-teman juga bisa melatih hidup mindful dengan melakukan aktivitas: menyetrika baju, melukis, menggambar, dan menjahit. Jangan terlalu pedulikan hasilnya. At least teman-teman sudah berusaha.

Dengan terbiasa melakukan ini, insya Allah kita jadi bisa lebih fokus, dan mengurangi pikiran negatif yang tidak perlu.

Sumber gambar:
Dokumentasi pribadi

Rabu, 11 Maret 2020

Mengatasi Overthinking dengan MBCT (Pelatihan Mindfulness, MBCT Batch #7)


Oleh Duddy Fachrudin

Overthinking. Ada yang pernah mengalami? Atau memang sudah menjadi bagian hidup sehari-hari?

Kenyatannya, beberapa klien yang saya tangani dalam 3 tahun belakangan mengalaminya.

Overthinking kemudian menjelma menjadi gangguan kecemasan, panik, depresi, kecanduan, PTSD, dan permasalahan kejiwaan lainnya. Karena mental gaduh gelisah, fisik pun lelah.

Pikiran yang tidak terkendali ini terus melompat-lompat menggerus produktivitas serta keseimbangan hidup. Mereka mengembara jauh pada hal-hal yang tak nyata.

"Namun bagaimana saya mengatasinya? Bukankah pikiran itu saya yang menguasainya? Mengapa malah saya dikuasai olehnya?", tanya adinda dalam relung hatinya.

Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT) adalah elaborasi mindfulness dan cognitive behavior therapy (CBT) yang didesain selama 8 minggu untuk mengatasi berbagai permasalahan mental.

Dalam workshop MBCT, kita mempelajari modul MBCT sekaligus mencoba mendesain MBCT versi kita yang bisa digunakan oleh diri kita sendiri maupun orang lain.

Peserta workshop terbuka bagi siapapun, baik profesional di bidang kesehatan, psikolog, psikiater, pimpinan organisasi/ perusahaan, HRD, guru BK, mahasiswa, dan sebagainya.

MBCT batch #7, 28-29 Maret 2020, more info 089680444387 atau di sini.


Sumber gambar:
Dokumen pribadi

Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena mengalir itu mengikuti tanpa hilang kendali. Merasakan dan mensyukuri tanpa terbenam di dalamnya. Mengapung dan menghiliri kehidupan. Karena menghulu di ruang waktu adalah keyakinan semu.

Kita semua maju untuk bertemu dengan titik terdahulu. 

Kita berputar dan mengalir. Kita terhempas di banyak batu. Kita kadang terdampar diserap debu. 

Tapi bahagia itu tak pernah kering karena selalu akan ada cinta di setiap titik temu. Dan cinta itu temu, juga titik. Karena mencintai itu proyeksi, juga refleksi, dan iluminensi. Datang dari sumber kita, membersamai kita, dan membentuk bayang-bayang semu yang termaktub dalam harap dan rindu. 

Maka sumber cinta pastilah Cahaya. Dan kita adalah penghalang yang ada dan membuat bayang. 

Maka cinta kadang kelam, juga gelap bahkan pekat karena menjadi tanda bahwa adanya kita adalah niscaya. Dan niscaya adalah kunci percaya bahwa bayang yang membumi dan menubuh dalam eskalasi materi adalah bukti bahwa selalu ada Cahaya yang bukan sekedar hipotesa. 

Kita adalah makhluk tanah yang menerima Cahaya agar berada dan membayang dalam kelana cinta yang menubuh dalam sosok rubuh yang tak runtuh melainkan utuh saat bersetubuh dengan materi yang meluruh.

Maka maafkanlah saya yang malam ini tersandar lemas karena pesona Amartya... karena sejam bersamamu benar-benar telah menguras segenap tirta kamanungsan yang mengkristal menjadi roso kamanungsan. 

Mohon izin Mbak Marinta, kristal roso ini mau saya bawa pulang ya... mau saya bawa pas makan bakso, ngaso, atau juga pas cuma bisa melongo.

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Maka kita manusia adalah makhluk yang bahagia sekaligus menderita. Punya cinta sekaligus teraniaya. Tersandera dalam pilihan, terjebak dalam pusar keputusan. Terbudak oleh puser kenikmatan, dan terus berlari dari kenyataan, karena itu amat menyakitkan. 

Maka menjadi ksatria, kata Marinta si anak Matahari, adalah kehendak watak yang setia pada kejernihan hati dan kebeningan pikir. Bening yang hening dan hening yang bening. Boleh kalah tetapi merasa menang, khususnya pada saat yang dihadapi adalah pertempuran mengatasi pemberontakan dalam diri. 

Boleh juga menang dan merasa menang, karena pada hakikatnya manusia akan selalu berada di fase interstitia... makhluk dua dunia yang selalu dapat bermetamorfosa. Makhluk antara 0 dan 1, antara ada dan tiada. 

Lalu mengapa harus mengada? Apalagi mengada-ada? Padahal menjadi "ada" itu punya alasan sempurna. 

Yen tanana sira iku, Ingsun tanana ngarani, mung sira ngarani ing wang, dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira, aranira aran mami. 

Karena kita adalah lukisan sempurna yang menggambarkan kehadiran-Nya tentu saja. Karena sifat tan keno kinoyo ngopo sudah semestinya terintegrasi ke dalam susunan sel-sel tubuh, darah, dan syaraf dan maujud dalam wadag yang berpikir dan mengonstruksi kesadaran soal takdir dan hadir. 

Maka menyelami kemanusiaan adalah mereguk Tirta Pawitra Mahening Suci yang sumbernya hanya bisa didapatkan jika kita jujur pada diri sendiri. Saat kita dapat melihat dengan jernih sosok "Dewa Ruci", homunculus, yang terproyeksi pada sekumpulan memori dan persepsi tentang siapa "aku" itu. 

"Aku" yang asli tanpa atribut syahwati karena sekedar takut mati dalam kondisi tak berarti. Karena pati jroning urip itu keniscyaan yang membuat hidup kita itu tak ubahnya bak sesosok zombie. Atau vampir penyedot energi hanya demi eksistensi. Menjadi Rara Kenyot yang menyedot segenap daya linuwih semesta hanya agar teraktualisasi selamanya. 

Selamanya yang maya dalam nyata. Semua terjadi karena manusia terpenjara dalam cinta yang terkomoditisasi, lalu melahirkan hasrat untuk dimiliki. Cinta yang tak lagi mengalir mengikuti takdir. Menepati janji pada ruang dan waktu untuk selalu maju dan berlalu. Cinta dan Berada itu mengalir...


Sumber gambar:

Minggu, 01 Oktober 2017

Mindful Walking: Ketika Jalan Kaki Begitu Menggoda..

Latihan mindful walking @Sharing Session IPK Jabar

Oleh Duddy Fachrudin

Pernahkah terlintas bahwa jalan kaki perlu dilatih? Sebagian orang mungkin berkomentar, “Jalan kaki kok perlu training, dari dulu jalan kaki begitu-begitu saja dan tidak ada yang perlu diubah dari kebiasaan ini.”

Ya, tidak ada salahnya dengan komentar tersebut. Tapi coba sekali-kali nongkrong di mall dan mengamati orang-orang yang sedang berlalu lalang. Lihat cara jalan mereka. Ada yang jalan sambil wajahnya menunduk melihat handphone, lalu ada jalan dengan langkah kaki panjang, kemudian jalan kaki dengan kedua kaki yang dilebarkan (lebih lebar dari pinggul), berjalan kaki dengan kedua kaki dibuka keluar membentuk sudut tertentu atau kaki yang ke dalam sehingga seperti membentuk O. Sebagian orang juga memiliki cara jalan yang dipengaruhi alas kaki, seperti sepatu hak tinggi, sepatu yang solnya sudah aus, alas kaki yang solnya terlalu tipis dan terlalu tebal.

Kesimpulannya.. ternyata cara berjalan kaki orang berbeda-beda dan sebagian besar tidak disadari.

Jalan kaki nyatanya perlu disadari. Bahasa kerennya mindful walking, berjalan dengan penuh kesadaran. Kita benar-benar menyadari dan merasakan diri kita yang sedang berjalan kaki. Dan yang lebih penting mindful walking menyehatkan fisik dan psikis. Mengapa?

Teut, dkk (2013) dari Universitas Berlin meneliti pengaruh mindful walking terhadap stres psikologis. Hasilnya partisipan yang melakukan mindful walking selama 4 minggu menunjukkan stres psikologis yang menurun dibanding kelompok kontrol. Maka pelajaran yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu saat kita stres maka berjalan kakilah secara sadar.

Teknik mindful walking memiliki persamaan dengan bagaimana berlatih tai chi. Keseimbangan tubuh benar-benar diperhatikan. Kedua kaki sejajar dengan tulang pinggul (bukan pinggul). Kedua kaki lurus ke depan (tidak membentuk sudut tertentu), melangkah kaki secara proporsional (tidak terlalu panjang juga tidak terlalu pendek) dan tumit terlebih dahulu menyentuh tanah kemudian dilanjutkan dengan memompa bantalan kaki. Kita benar-benar merasakan adanya tekanan pada kaki lalu menyadarinya. Berjalan secara rileks dan hanya berjalan.

Berjalan kakilah... karena jalan kaki merupakan obat terbaik bagi manusia, begitu kata Hipokrates.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Referensi:
Teut, M., Roesner, E.J., Ortiz, M., Reese, F., Binting, S., Roll, S., Fischer, H.F., Michalsen, A., Willich, S.N., & Brinkhaus, B. (2013). Mindful walking in psychologically distressed individuals: A randomized controlled trial. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, DOI : 10.1155/2013/489856

Sumber gambar:
Dokumen pribadi

Kamis, 28 September 2017

Mindful Couple: Bersyukurlah Ketika Anda Patah Hati, Loh Mengapa?


Oleh Tauhid Nur Azhar

…too much love will kill you… (Queen),
cinta ini membunuhku… (d’Masiv)

Tahukah anda bahwa para ilmuwan neurosains baru saja mendefinisikan sebuah fenomena fisiologis yang unik di saat seseorang mengalami tekanan batin yang berat. Tekanan tersebut dapat ditimbulkan oleh masalah-masalah yang terkait dengan proses interaksi dan komunikasi sosial, termasuk persoalan hubungan cinta antara dua orang yang tengah dimabuk asmara.

Hasil pengamatan di beberapa negara ditemui sindrom “putus cinta” ini seringkali menimbulkan gangguan yang menyerupai gejala serangan jantung, infark miokardium akut. Timbul serangan rasa nyeri di daerah dada yang menjalar ke punggung, lambung, dan daerah lengan sebelah kiri. Dapat pula diikuti dengan kesulitan bernafas (sesak), keluarnya keringat dingin, dan tubuh terasa lemas.

Sindroma ini dikenal sebagai sindroma Takotsubo atau miokardiopati Takotsubo. Dr. Ilan Wittstein, MD kardiolog dari The John Hopkins University Medical School dan kawan-kawan, menemukan kasus takotsubo terjadi akibat adanya akumulasi neuropeptida otak yang merupakan keturunan katekolamin. Turunan katekolamin yang kerap dijumpai serta memiliki efek simpatik secara sistemik antara lain adalah epinefrin dan norepinefrin.

Tetapi di dalam kasus Takotsubo ternyata tidak hanya epinefrin dan norepinefrin saja yang kadarnya melonjak drastis, melainkan juga molekul-molekul peptida kecil dan neurotransmiter seperti metaneprin, normetaneprin, neuropeptida Y, dan peptida natriuretik turut melonjak secara drastis.

Akumulasi produksi faktor kimiawi yang terjadi di saat amigdala menerima data yang “,menyakitkan” serta “gagal” meregulasi emosi negatif, akan menyebabkan efek kardiak berupa fibrilasi sesaat yang diikuti dengan “pingsan”nya sejumlah sel-sel otot jantung. Jadi putus cinta, ditolak, ataupun patah hati memang bisa membuat jantung “klenger” atau “semaput” !

Apakah sindroma ini berbahaya? Tergantung kepada seberapa luasnya daerah otot jantung yang “semaput”. Jika daerah yang mengalami kardiomiopati sesaat itu cukup luas, maka bisa saja akibatnya fatal.

Mengingat fungsi utama jantung adalah mensuplai kebutuhan oksigen untuk seluruh sistem tubuh, termasuk otak, maka keadaan jantung “mogok” bekerja ini dapat menimbulkan hipoksia (kekurangan oksigen) di jaringan. Jika kekurangan oksigen ini berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama maka jaringan yang amat bergantung pada asupan oksigen akan tertganggu bahkan rusak permanen.

Tetapi catatan klinis Dr. Ilan Wittstein dan kawan-kawan yang telah dipublikasikan di jurnal New England Journal of Medicine (2005), menunjukkan bahwa kasus-kasus kardiomiopati akibat kejutan psikologis ini biasanya bersifat reversible, alias dapat pulih kembali.

Kondisi jantung pun pada umumnya baik dan tidak disertai dengan kerusakan yang bersifat kronis. Cara membedakan dengan serangan jantung pada umumnya pun relatif mudah. Pada sindroma kardiomiopati Takotsubo tidak ditemukan adanya peningkatan kadar enzim-enzim penanda kerusajan jaringan otot jantung seperti CK dan CK-MB.

Siapa saja yang mungkin mengalami sindroma Takotsubo? Orang-orang yang memiliki tingkat stres harian sudah sangat tinggi, orang-orang yang kinerja otaknya lebih didominasi oleh sirkuit amigdala, dan orang yang memiliki tipologi kepribadian rentan terhadap stres.


Maka syukurilah peristiwa “patah hati”, cari hikmahnya dan jangan terlalu disesali. Sebab “patah hati” pasti adalah karunia Allah yang belum kita sadari maknanya. Jika disesali maka QS. Ibrahim ayat 7 akan berlaku, dimana nikmat jika disesali akan berubah menjadi azab. Nah, salah satu manifestasi azab itu mungkin sindroma jantung “klenger” yang dinamai Takotsubo!

Referensi:
Wittstein, I. S., Thiemann, D. R., Lima, J. A. C., Baughman, K. L., Schulman, S. P., Gerstenblith, G., Wu, K. C., Rade, J. J., Bivalacqua, T. J., Champion, H. C. (2005). Neurohumoral features of myocardial stunning due to sudden emotional stress. New England Journal of Medicine, 352 (6), 539-548.

Sumber gambar:
https://mysendoff.com/2011/05/dying-of-a-broken-heart/

Rabu, 27 September 2017

Inspirasi Pirlo dan 2 Pemain Bola Paling Mindful Lainnya


Oleh Duddy Fachrudin

Penso quindi gioco yang dalam bahasa Inggris berarti i think therefore i play. Sebuah idiom dari seorang Andrea Pirlo untuk menggambarkan sosok dirinya di buku autobiografinya, baik sebagai seorang manusia biasa maupun pesepakbola kelas dunia.

Pirlo selalu bermain dengan kecerdikannya yang merupakan hasil dari perhitungan yang matang yang terjadi dalam korteks prefrontalnya. Sebagai contoh ketika ia melakukan tendangan pinalti mencungkil bola ala panenka saat Italia bersua Inggris di perempatfinal Piala Eropa 2012.

Dalam posisi tertinggal 1-2, Pirlo sebagai penendang ketiga berhasil mengelabui Joe Hart yang kelewat percaya diri. Dan yang terjadi kemudian entah mengapa 2 penendang Inggris berikutnya gagal, sementara 2 algojo Italia sukses menjalankan misinya. Italia menang 4-2.

Julukannya Sang Metronom dan Sang Dirigen Orkestra. Tidak berlebihan julukan itu disematkan pada pemain yang berposisi sebagai deep-lying playmaker itu. Pirlo tidak banyak berlari seperti para pemain lainnya. Cukup dengan satu dua sentuhan ia mengendalikan permainan.

Bahkan karena jarang berlari, Pirlo seolah bermain dalam sunyi namun menghasilkan gelombang yang indah. Inilah filosofi wu wei yang berhasil diterapkan oleh Sang Maestro. Dengan kata lain, Pirlo merupakan pemain bola paling mindful yang pernah ada.

Mindfulness identik dengan ketenangan, setenang Pirlo mengolah kulit bundar. Namun di dalam mindfulness juga terdapat acceptance, non-judging, awareness, dan memiliki kaitan dengan flow. Maka selain Pirlo, dua nama pemain yang berposisi sebagai gelandang serang dan striker ini layak diberi label pemain paling mindful. Siapa saja mereka?

Pertama Ronaldinho Gaucho. Pemain yang satu ini menjadi pemain bola yang paling bahagia karena ia selalu tersenyum di atas lapangan. Ronaldinho sangat menikmati bermain sepakbola dan hanyut dalam setiap momen yang terjadi di setiap pertandingan yang dimainkannya. Csikszentmihalyi menamakan apa yang dialami Ronaldinho sebagai flow.


Menonton Ronaldinho seperti menikmati pertunjukan Sang Penyihir yang melakukan keajaiban demi keajaiban di lapangan. Dribbling ciamik, nugmet aduhai, passing yahud, dan gol-gol fantastisnya begitu sayang untuk dilewatkan.

Freekick ajaib Ronaldinho saat Brazil melawan Inggris pada perempatfinal Piala Dunia 2002 dan shimmie golnya ke gawang Chelsea pada Liga Champions edisi 2004/2005 menjadi bukti bahwa Ronaldinho dilahirkan sebagai penyihir lapangan.

Dan sihir terbaiknya adalah saat ia menjadi mentor titisan Maradona, Lionel Messi di Barcelona. Sejak kedatangannya sekaligus mentor Messi, Barcelona yang awalnya nirgelar menjadi klub yang berlimpah trofi.

Kedua Ole Gunnar Solksjaer. Masuk menggantikan Andy Cole di menit 81, pemain berwajah imut-imut ini mungkin menjadi pemain yang paling dikenang oleh seluruh fans Bayern Munchen. Dikenang bukan sebagai pahlawan, karena Ole berseragam Man. United yang kala itu menjadi lawan Munchen.

Dalam posisi unggul 1-0 dan tinggal menunggu peluit panjang berbunyi, Munchen sepertinya akan menjadi kampiun Liga Champions tahun 1999. Namun, Setan Merah berhasil menyamakan kedudukan di menit 91 lewat gol Teddy Sheringham. Dan sebelum pertandingan usai, Ole benar-benar membuat pemain The Bavarians tersungkur lemas di lapangan.

Siapakah Ole Gunnar Solksjaer?

Pemain asal Norwegia ini tidak benar-benar menjadi striker utama MU. Pada masa Eric Cantona, Andy Cole dan Dwight Yorke, dan Ruud van Nistelrooy, Ole hanyalah striker kedua dan ia menyadari sepenuhnya hal itu.

Apalagi ia datang ke MU dari sebuah klub kecil di Norwegia bernama Molde. Maka tidak jarang pula Ole bermain dari bench. Namun Ole tetap menerima. Tentu, menerima bukan pasrah dan berkeluh kesah. Dari bench, pemain berambut ikal itu mengamati pergerakan bek lawan.

Saat Ole masuk, boom.. gol-gol dari kaki dan kepalanya bersarang di jala lawan. Karena itu Sir Alex Ferguson menjulukinya The Super Sub.

Menerima, tidak berkeluh kesah, tetap tenang, dan memberikan yang terbaik. Itulah yang ditunjukkan oleh pemain yang gantung sepatu di MU tahun 2007 ini. Dan publik Old Trafford selalu mencintainya, “You are my Solskjaer, my Ole Solskjaer, you make me happy, when skies are grey”.

Sumber gambar:
https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/anak-anak/26xnjs-jual-i-think-therefore-i-play-by-andrea-pirlo-alessandro-alciato-kepustakaan-populer-gramedia

Senin, 25 September 2017

Berdamai dengan Masa Depan


Oleh Duddy Fachrudin

Om Einstein bilang bahwa satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian. Kata-katanya diamini bahkan sudah menjadi suatu konstanta tersendiri bagi seluruh penduduk bumi. Bagaimana tidak, karena ketidakpastian ini orang-orang mencari yang namanya kepastian.

Selama terombang ambing dalam lingkaran ketidakpastian, perasaan gelisah dan gundah gulana terus membuncah. Bahkan perasaan tersebut kemudian dapat terakumulasi dalam kekhawatiran, kecemasan serta ketakutan yang akut dalam mengarungi kehidupan di masa depan.

Masih terngiang dengan pembunuhan yang dilakukan seorang ibu terhadap tiga orang anaknya 11 tahun yang lalu di Bandung. Karena ketakutan tidak dapat membahagiakan mereka di masa depan, sang ibu membunuh mereka agar dapat “menyelamatkan” mereka dari kehidupan yang tidak pasti ini.

Karena ketidakpastian pula supir angkot melakukan demo dan mogok beroperasi serta meminta para pejabat daerah untuk tidak memberi ijin taksi online yang “mengambil” lapak mereka. Dengan adanya kepastian dan jaminan yang termanifestasi dalam sebuah kebijakan, berharap hati para supir angkot yang gelisah kembali tenang.

Namun ketidakpastian akan selalu hadir di esok hari.


Maka berdamai dengan masa depan berarti menerima ketidakpastian yang hadir dalam hidup kita dengan cara mengoptimalkan potensi prokreasi yang sesuai visi dan misi penciptaan manusia. Dan dalam perjalanannya tersebut kita perlu senantiasa berhenti sejenak melepas penat sekaligus mengistirahatkan otak seraya bertutur kepada-Nya:

“Tuhan, kuatkan aku untuk mengubah hal-hal yang dapat aku ubah. Ikhlaskan aku untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah. Dan jernihkan pikiran serta hatiku untuk dapat membedakan keduanya.”

Sumber gambar:
http://adoubleshotofrecovery.com/thoughts-on-acceptance/

Senin, 18 September 2017

Mindful Lansia: Bidadari Surga


Oleh Duddy Fachrudin


Dikisahkan dalam Kungfu Panda, Po Sang Dragon Warrior dan teman-teman seperjuangannya harus menghadapi suatu senjata yang dapat menghancurkan masa depan kung fu. Po yang polos dan baru saja belajar kung fu bingung kemudian bertanya kepada gurunya, Shifu, “Bagaimana caranya (kung fu) menghentikan sesuatu yang ia sendiri dapat menghancurkan kung fu?”

Lalu Shifu menjawabnya dengan, “Segalanya mungkin jika kau memiliki inner peace.”

Dalam dunia yang semakin sibuk ini, setiap orang saling mengejar ambisi. Dan karena arus informasi yang tiada henti melalui berbagai media, kita sulit menjumpai hingga memiliki inner peace (kedamaian jiwa).

Setelah kekisruhan ekonomi melanda Eropa dan Amerika, orang-orang dari Barat kini gemar mencari serta menemukan ketenangan dan kedamaian jiwa di Timur. Tibet, Thailand, Myanmar, dan Indonesia dengan Bali-nya konon menjadi destinasi mereka untuk menemukan kedamaian jiwa.

Kini orang-orang mencarinya. Namun perlu diketahui bahwa kedamaian jiwa tidak akan pernah menghampiri kita saat diri kita sibuk dengan ambisi dunia, menjadi sempurna, terus mengejar dan menumpuk materi, serta haus akan pujian. 

Ia juga tidak akan pernah menyapa hati saat kita dilanda ketakutan, kekhawatiran akan masa depan, memiliki kemarahan dan kekecewaan di masa lalu, iri dan dengki terhadap orang lain, sombong dan membanggakan diri, serta masih melekati diri dengan dunia.

Ijinkan saya bercerita dengan seorang lansia di Panti Werdha. Usianya sudah 81 tahun. Meskipun jalannya sudah bongkok, ia masih dapat bercerita dengan runtut mengenai berbagai peristiwa di masa lalunya. Ia adalah seorang kakak dari keempat adiknya dan selalu amanah terhadap pesan orang tuanya untuk selalu menjaga adik-adiknya.

Sang Lansia memenuhi harapan orang tuanya. Ia bukan hanya menjaga adik-adiknya, tapi juga menemani orang tuanya saat mereka pulang kembali kepada-Nya. Ketika hal itu terjadi ia berusia 34 dan 36 tahun atau tepatnya pada tahun 1967 dan 1969. Setelah bakti pada orang tuanya, ia masih menjadi kakak tercinta dengan merawat keponakan-keponakannya sambil merangkai dan menjual bunga.

Ketika saya menanyakan mengenai keluarganya (suami atau anak-anaknya), ia mengatakan, “Saya nggak punya keluarga Nak. Paling adik-adik atau keponakan kalau datang ke sini 4 bulan sekali.” Saya tidak melanjutkan bertanya mengenai hal itu, karena kemudian ia memberikan pelajaran berharga bagi saya, “Yang penting kita dekat dengan Allah. Saya nggak punya keinginan apa-apa.”

Hati Sang Nenek begitu tenang dan jiwanya diliputi awan kedamaian. Pada tahun 1996 ia masuk ke Panti Werdha atas keinginannya sendiri. Lantas tubuhnya tak berdiam diri dengan meringkuk di kursi. Namun ia merangkai bunga, mencuci pakaian teman-temannya, menyapu halaman, berbagi rasa dengan para pengunjung panti dan melakukan aktivitas lainnya yang penuh makna.

Sebelum adzan menyahut merdu, ia meminta ijin untuk kembali ke kamarnya yang sederhana untuk memanaskan air, dan shalat duhur. Setelah beberapa lama berselang saya menghampiri kamarnya dengan maksud pamit pula, namun ia terlihat masih khusyuk berdo’a di atas kasurnya dengan mukena masih melekat di wajahnya.

Kedamaian jiwa saya jumpai di sebuah Panti Werdha, pada hati seorang lansia yang kelak menjadi bidadari surga yang penuh cahaya.

Sumber gambar:
http://mozaik.inilah.com/read/detail/2331426/kenapa-suamiku-di-dunia-direbut-bidadari-surga

Kamis, 14 September 2017

Joyful Learning: Bagaimana Mindfulness Diterapkan di Sistem Pendidikan Finlandia


Oleh Duddy Fachrudin

Bermain sebanyak 206 pertandingan dan mencetak 129 gol di berbagai kompetisi dalam rentang 1992-1999 menjadikan Jari Litmanen seorang legend di Ajax Amsterdam. Mengenakan nomor punggung 10, Litmanen berhasil menjalankan perannya sebagai fantasia atau playmaker dengan sangat baik. Bersama para pemain hebat lainnya seperti Marc Overmars, Edgar Davids, Edwin van Der Sar, Clarence Seedorf, De Boer bersaudara, Danny Blind, dan Patrick Kluivert, Litmanen membawa Ajax dua kali ke final Liga Champions. Ajax berhasil mengalahkan AC Milan di tahun 1995, namun satu tahun berikutnya kalah adu penalti melawan Juventus. Meskipun kalah, pada tahun 1996, Jari Litmanen menjadi top skor Liga Champions dengan torehan 9 gol. Pada ajang Ballon d’Or tahun 1995, Litmanen berada di posisi ketiga dibawah George Weah dan Jurgen Klinsmann.

Jari Litmanen bukan berasal dari Brasil atau Argentina yang terkenal menghasilkan pemain-pemain top dunia. Pemain yang pernah membela Barcelona dan Liverpool itu berasal dari sebuah negara Eropa Timur bernama Suomi atau Finlandia.       

Finlandia, sebuah negara yang memiliki luas wilayah 1/6 dari luas Indonesia, namun jumlah penduduknya ½ dari total penduduk Jakarta itu mulai saya kenal karena melihat aksi Jari Litmanen di pertengahan tahun 1990. Mendengar Finlandia terasa asing bagi saya yang saat itu masih seorang anak Sekolah Dasar (SD). Jika mendengar Finlandia yang terbayang hanya seorang Jari Litmanen.

Namun saat ini, mendengar Finlandia bukan hanya teringat Litmanen. Mendengar Finlandia langsung terasosiasi akan sistem pendidikannya. Hal ini tidak terlepas dari pencapaian Negeri Tanpa Malam di Programme for International Student Assesment (PISA). Pada empat edisi PISA (2000, 2003, 2006, 2009), anak-anak Finlandia menduduki peringkat mengagumkan di bidang Sains, Membaca, dan Matematika. Sementara pada edisi 2012 dan 2015, peringkat Finlandia mulai melorot di bawah negara-negara Asia seperti Singapura, Shanghai China, Hongkong, dan Jepang.  

Turunnya pencapaian tersebut bukan berarti kita tidak perlu belajar dari sistem pendidikan Finlandia. Justru kita perlu mengambil pelajaran dari apa yang sudah dilakukan oleh para pakar pendidikan di negara itu. Hal ini juga yang sedikit saya bahas ketika mengisi training untuk seluruh Guru Bimbingan Konseling SMA/SMK Kota Yogyakarta.

Sistem pendidikan di Finlandia tidak hanya (bahkan mungkin benar-benar tidak) menekankan pada pencapaian. Proses belajar dan mengajar dibuat dengan mengutamakan kebahagiaan. Intinya belajar dan mengajar itu harus menyenangkan, tidak ada beban, dan membuat ketagihan.


Dalam buku “Teach Like Finland”, Timothy D. Walker, seorang guru SD di Finlandia merangkum 33 strategi sederhana yang diterapkan oleh guru dan siswa selama program belajar mengajar. Dari 33 strategi tersebut, terdapat strategi-strategi yang sangat berkaitan dengan mindfulness. Satu strategi dibahas Tim di awal bab bukunya, yaitu pentingnya mengistirahatkan pikiran. Oleh karenanya, setelah belajar 1 jam pelajaran (45 menit), para siswa beristirahat selama 15 menit. Dengan pola 45 dan 15 ini, mereka tetap dapat menjaga fokus saat belajar.

Strategi ini mirip dengan teknik Pomodoro yang dikembangkan oleh Franscesco Cirillo. Pada teknik Pomodoro, kita mengerjakan tugas selama 25 menit lalu beristirahat selama 3-5 menit. Pola tersebut dilakukan hingga tugas selesai dikerjakan. Setelah tugas tuntas, kita beristirahat 15-30 menit, lalu mengerjakan tugas berikutnya.  

Perlunya jeda selama belajar atau mengerjakan tugas tertentu adalah agar otak kita tidak terbebani dan menjadi stres. Jeda atau istirahat merupakan momen melepas lelah. Jeda pula saat-saat meletakkan atau mengendapkan apa yang telah dipelajari atau yang sudah dikerjakan. Kita dapat melakukan hal-hal ringan selama istirahat atau jeda seperti membuat kopi, mendengarkan musik, hingga bermeditasi. Bagi anak-anak Finlandia, 15 menit jeda merupakan saat-saat untuk tertawa, melompat-lompat, termasuk berimajinasi.  

Selain strategi mengistirahatkan pikiran, setidaknya ada beberapa strategi lain terkait mindfulness yang diterapkan di sekolah-sekolah Finlandia. Strategi tersebut yaitu memberikan sedikit Pekerjaan Rumah (PR) (yang bahkan PR tersebut dapat dikerjakan hanya selama 30 menit), menyederhanakan ruang kelas, menjaga ketenangan dan kedamaian kelas, menghirup udara segar, bermain di alam liar (lingkungan yang masih benar-benar alami), dan finding flow dengan cara menikmati proses, atau tidak berorientasi pada hasil akhir serta mengaitkan satu ilmu dengan ilmu lainnya. Strategi yang terakhir ini dapat membawa siswa-siswa Finlandia pada holistic atau integrated education yang menghasilkan integrated intelligence yang akan saya bahas lain waktu.

Sebagai penutup tulisan ini, kita perlu merenungi kembali makna “less is more”. Sebuah idiom yang erat dengan mindfulness. Dan Finlandia menerapkannya pada waktu belajar sekolah yang hanya 5 jam saja.
Referensi:
Walker, T. D. (2017). Teach like Finland: 33 strategi sederhana untuk kelas yang menyenangkan(Wicakso, F., terj). Jakarta: Grasindo (Karya asli terbit tahun 2017)

Sumber gambar:
https://finland.fi/life-society/american-teacher-gets-lost-found-finland/

Senin, 11 September 2017

Inside Chester’s Mind


Oleh Duddy Fachrudin

“... And no matter how I’m feeling, I always find myself struggling with certain patterns of behavior... I find myself stuck in the same thing that keeps repeating over and over again, and I’m just, like, ‘How did I end up...? How am I in this?”

Lima bulan setelah ungkapannya pada sebuah wawancara di sebuah radio di Los Angeles, Chester Bennington gantung diri.


Vokalis Linkin Park (LP) itu sesungguhnya tidak meninggal karena anoksia anoksik dimana oksigen tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena jeratan tali yang mencekik jalan nafas. Ia meninggal akibat terperangkap dalam penjara pikiran yang menyiksanya. Pikiran ruminasi yang begitu berat dialaminya sejak lama. Dan hal itu sesuai judul lagu andalan di album terbaru LP, “Heavy”.

“I know that for me, when I’m inside myself, when I’m in my own head, it gets... This place right here, this skull between my ears, that is a bad neighborhood, and I should not be in there alone. I can’t be in there by myself. It’s insane! It’s crazy in here. This is a bad place for me to be by myself. And so when I’m in, my whole life gets thrown off. If I’m in there, I don’t say nice things to myself."

Begitu beratnya menjadi Chester yang hidup berada dalam alam pikirannya.

"There’s another Chester in there that wants to take me down. And I find that, it could be... whether it’s substances or whether it’s behavior or whether it’s depressive stuff, or whatever it is, if I’m not actively doing..."

Chester menyadari bagian dirinya yang lain yang ia sebut “another Chester”. Bagian diri—atau para pakar psikologi menyebutnya subkepribadian yang berkonflik dengan dirinya. “Another Chester” yang begitu tersiksa akibat akumulasi pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu yang bersinergi dengan efek dari penggunaan alkohol dan obat-obatan ini seolah berkata kepada dirinya (Chester), “sudahlah aku lelah, bagaimana jika diakhiri saja?”. Namun Chester masih bisa bertahan dengan berbagai peran yang ia lakoni di dunia, terutama perannya sebagai musisi.

“... getting out of myself and being with other people, like being a dad, being a husband, being a bandmate, being a friend, helping someone out... If I’m out myself, I’m great. If I’m inside all the time, I’m horrible—I’m a mess.”

Pada fase ini Chester telah mengamati, menyadari bahkan mengenal dirinya. Ia juga mengenal konfliknya. Namun Chester, masih memisahkan antara dirinya dengan “another Chester” yang ada di alam pikirannya. Dan ini terus berulang.

“I find myself stuck in the same thing that keeps repeating over and over again...”

Ruminasi-depresi-bunuh diri. Begitu polanya.

Pathway tersebut sebenarnya bisa diputus. Ya, tinggal satu tahap yang (mungkin) belum dilakukan Chester: menerima “another Chester” itu seutuhnya. Berdamai dengannya dan menjadikannya seorang teman akrab. Meskipun untuk proses menerima dan berdamai itu dengan “crawling”.

Sumber gambar:
https://www.youtube.com/watch?v=oiWsWG0v1Lw

Kamis, 07 September 2017

Mindful Couple: 5 Langkah Agar Mudah Move On dari Masalah Percintaan


Oleh Duddy Fachrudin

Suatu ketika ada seorang perempuan muda menceritakan masalahnya kepada saya. Inti dari masalahnya adalah pasangannya sudah meyakinkan dirinya bahwa ia akan menikahinya. Tentu saja perempuan muda tersebut merasa senang dan mempersiapkan diri untuk menjadi pendamping hidup yang terbaik.

Namun, ternyata belum ada langkah konkrit yang dilakukan pasangannya untuk menikahinya. Perempuan muda ini terjebak dalam perasaan galau, gelisah, dan gundah gulana. Ia bingung apa yang harus dilakukannya? Apakah ia harus meninggalkan pasangannya dan mencari laki-laki lain yang siap menjadi suaminya atau tetap menunggu pasangannya melamar dirinya di hadapan orang tuanya.

Tentu saja kasus sulit move on tidak hanya terjadi pada masalah percintaan. Saya pernah menangani mahasiswa yang stuck pada kuliahnya di tingkat pertama di sebuah universitas ternama di Indonesia. Nilai-nilainya sangat rendah sehingga ia harus mengulang beberapa mata kuliah pada tahun berikutnya. Pada saat itu kondisi keluarganya juga sedang tidak harmonis. Hal tersebut yang semakin membuat mahasiswa ini kehilangan fokus pada kuliahnya.

Permasalahan sulit move on yang paling buruk adalah ketika kita tidak hidup di masa ini. Pikiran kita mengembara ke masa lalu, entah pada kekecewaan, kemarahan, dendam, perasaan sakit hati, sampai rasa bersalah yang tinggi. Orang yang hidup pada bayang-bayang masa lalu hidupnya tidak akan bahagia. Ia seperti berjalan menuju masa depan sambil membawa beban yang sangat berat di pundaknya.




Move on pada intinya adalah terlepas dan berpindah. Orang yang sulit move on berarti pikirannya masih melekat pada suatu hal yang ada di masa lalu. Maka apa yang perlu dilakukan untuk move on? Cukup dengan melepaskan atau membebaskan pikiran yang terpenjara. Berikut langkah-langkahnya (dengan ilustrasi kasus percintaan):

Pertama, jika ada pikiran yang mengganggu, cukup amati, misalnya muncul perasaan kecewa, cukup amati perasaan kecewa itu tanpa berkomentar. Cara mengamati yang baik adalah diam sejenak.

Kedua, deskripsikan perasaan kecewa tersebut, misalnya, “Oh saya kecewa karena pasangan saya mengkhianati saya.”

Ketiga, terima perasaan kecewa tersebut, misalnya, “Saya mengijinkan diri saya menerima perasaan kecewa ini...Terima kasih tubuh, jiwa dan pikiran yang telah mencintainya. Dengan begitu saya menyadari sekali bahwa saya mencintainya. Namun ternyata apa yang telah direncanakan dan diusahakan tidak berjalan lancar. Maafkan saya wahai tubuh, pikiran, dan jiwa, karena kalian semua tersakiti. Saya sekarang mulai belajar untuk ikhlas... ikhlas melepaskan semuanya. Terima kasih sekali lagi, dan maafkan saya."

Keempat, berpikir secara matang untuk mengambil keputusan move on. Dengan berpikir matang maka keputusan yang diambil akan lebih bijaksana.

Kelima, hiduplah untuk saat ini, yaitu dengan menikmati hari ini dengan bahagia. Kadang kita tidak di masa lalu dan masa depan. Pikiran kita mengembara ke masa lalu atau kita terlalu mengkhawatirkan hal yang belum terjadi di masa depan.

Dengan move on dari masalah dan masa lalu kita itu berarti kita mengijinkan diri kita terbebas dari belenggu pikiran yang mengganggu. Kita juga telah mengijinkan diri kita untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Dan terakhir, kita mengijinkan diri kita untuk menerima segala keberkahan dan keberlimpahan dari Tuhan.

Sumber gambar:
https://www.merdeka.com/gaya/5-alasan-move-on-adalah-hal-tersulit-tetapi-tetap-harus-dilakukan.html

Minggu, 20 Agustus 2017

The Mindful Entrepreneurs


Oleh Sendy Ardiansyah & Duddy Fachrudin

Steve Jobs terkenal sebagai sosok pengusaha sukses, penemu yang inovatif, pemimpin yang memiliki visi, serta presenter handal. Jika orang menyebutkan kata iphone, ipod, dan Apple, memori kita biasanya tertuju pada namanya. Padahal ada satu orang yang memiliki jasa yang sangat besar dibalik kesuksesan Apple. Sosok sederhana yang menyukai komputer dan dia merupakan otak dibalik produk-produk Apple. Dialah partner Jobs yaitu Steve Wozniak.

Karakter Wozniak tidak seperti Jobs yang memiliki ambisi yang tinggi terhadap sesuatu. Ia sangat kalem, tenang, dan bahkan cenderung berhati-hati dan sedikit takut, serta tidak terburu-buru bertindak. Saat ia diajak Jobs untuk merintis Apple tahun 1976, ia masih bekerja sebagai engineer di Hewlett Packard (HP). Dan ketika tahun 1977, saat seorang investor siap membiayai Apple, ia masih enggan keluar dari perusahaan itu. Akhirnya, dengan menimbang usulan dari berbagai pihak dekatnya, Wozniak bersedia keluar dari HP dan fokus membangun Apple.




Lalu, siapa yang tidak mengenal Bill Gates? Ia pengusaha sukses yang drop out dari Harvard dan banyak menjadi contoh di berbagai buku dan seminar bisnis. Orang terkaya nomor 1 saat ini tersebut memang keluar dari Harvard, namun ia tidak dilakukan dengan terburu-buru. Dalam bukunya yang berjudul Originals, Adam Grant menuturkan bahwa Bill Gates menjual program software saat tingkat dua, dan menunggu setahun penuh sebelum akhirnya berhenti kuliah. Bahkan pada saat itu pun, pria berkaca mata itu belum benar-benar keluar. Ia menyeimbangkan portofolio resiko dengan mengajukan cuti formal yang disetujui pihak kampus. Ia juga meminta orang tuanya tetap membiayainya.

Pikirannya begitu matang dan penuh perencanaan. Bill Gates merintis usahanya dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini dilakukan agar ia dapat meminimalisir resiko yang mungkin terjadi.

Hal yang sama dilakukan oleh duo maut pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin. Keduanya kompak membangun Google dengan perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa. Mereka tetap menempuh program doktoralnya meskipun telah menemukan Google. Bahkan karena ingin fokus pada penelitian doktoralnya, mereka berdua mencoba menjual Google. Namun calon pembelinya menolak tawaran yang diajukan mereka yang “hanya” kurang dari dua juta dolar dalam bentuk saham.

Kurang lebih satu dekade yang lalu, seminar-seminar bisnis sangat marak di Indonesia. Tidak jarang di event tersebut peserta diajarkan untuk jangan terlalu banyak berpikir dan take action segera memulai bisnis. Bahkan ada satu dua pemateri yang mengajarkan berhutang kepada pesertanya agar bisnis cepat terealisasi dan balik modal serta untung cepat. Teorinya mulailah dengan otak kanan dan mengabaikan otak kiri.

Namun, dan konteks ilmu neurosains, tidak ada bagian otak yang bekerja sendiri. Keduanya bekerja bersamaan. Yang membedakan otak kanan dan kiri adalah mengenai fungsi koordinasi gerak. Otak kanan mengatur gerakan organ bagian kiri, dan otak kiri sebaliknya.

Oleh karenanya sangat tidak tepat jika memulai bisnis tanpa berpikir dan modal nekat. Atau berbisnis dengan coba-coba, yaitu coba ini coba itu. Karena hal ini banyak orang yang baru merintis usahanya kehilangan arah, kehilangan waktu banyak, dan akhirnya bangkrut.

Lalu, mengapa tidak mencontoh apa yang dilakukan Wozniak, Bill Gates, dan duo pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin saja? Mereka adalah para pengusaha mindful (the mindful entrepreneurs), yang dicirikan dengan penuh perencanaan, pertimbangan, hati-hati dan tidak terburu-buru dalam bertindak, serta dapat memilah fokus. Para pengusaha yang mindful lebih mungkin sukses daripada mereka yang tidak mindful dan penuh ketergesaan. Selain itu, menurut Adam Grant, mereka lebih orisinal, yang menurut kamus Merriam-Webster berarti:

Sesuatu dengan karakter tunggal atau unik; seseorang yang berbeda dari orang lain dengan cara yang memikat atau menarik; seseorang berkapasitas inisiatif atau inventif.

Referensi:
Grant, A. (2016). Originals: How non-conformists move the world. Penerbit: Viking, Imprint of Penguin Random House.

Sumber gambar:
https://www.inovasee.com/buat-kamu-para-fresh-graduate-inilah-3-pekerjaan-yang-paling-disarankan-oleh-bill-gates-24237/