Tampilkan postingan dengan label Forest Therapy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Forest Therapy. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 November 2024

Forest Therapy: Inovasi Kesehatan dari RSUD dr. Soeselo Slawi



Oleh Duddy Fachrudin & Andry Dahlan 

Covid-19 telah memporak-porandakan kehidupan manusia. Pandemi yang berlangsung tiga tahun lebih itu memberikan pelajaran bahwa manusia sangat tidak berdaya oleh mahluk tak kasat mata. Berbagai bidang, seperti kesehatan, perekonomian, pendidikan, pariwisata, dan kehidupan sosial terkena dampaknya.

Khusus dalam kesehatan, kematian akibat virus SARS-Cov-2 mencapai 7 juta lebih di seluruh dunia[1]. Namun jumlah aslinya bisa 4 kali lipat dari data yang dilaporkan[2]. Sementara jumlah yang terinfeksi 1/11 dari total penduduk bumi[1]. Bagi yang terinfeksi kemudian dinyatakan sembuh, ternyata gejala Covid-19 masih memungkinkan untuk tetap ada atau menetap, khususnya terkait kelelahan dan fibromialgia[3].

Melihat fakta tersebut, manusia kemudian berupaya menata kembali diri dan kesadarannya akan kesehatan. Manusia ingin mengubah gaya hidupnya untuk menjadi lebih sehat. Upaya promosi dan prevensi lebih diutamakan dibanding pengobatan secara kuratif serta rehabilitatif. Program-program wellness menjadi perhatian khusus dan digemari saat ini. Bahkan mereka yang melakukan perjalanan untuk berlibur memiliki tujuan untuk mengembangkan kesehatannya, alih-alih hanya sekedar wisata yang bersifat hiburan dan kesenangan. Salah satu pendekatan dari aktivitas wellness tersebut ialah forest therapy berbasis mindfulness.

Mindfulness sendiri merupakan keterampilan dalam memberikan perhatian secara murni terhadap realita yang ada, baik internal maupun eksternal. Dunia internal meliputi batin manusia itu sendiri, seperti pikiran dan perasaan, serta sensasi tubuh yang acapkali tidak disadari benar sehingga menimbulkan konsekuensi perilaku yang kemrungsung, reaktif, impulsif, hingga kompulsif. Sementara dunia eksternal, yaitu segala sensasi dan informasi yang masuk melalui Indera yang juga seringkali mudah dihakimi saat manusia itu sendiri tidak benar-benar hadir sepenuhnya. Efeknya stres yang jika tidak dikelola hingga kronis dengan tepat menimbulkan gawat pada imunitas tubuh yang menjadi lemah.

Maka kehidupan pasca Covid-19 ialah penataan diri (baca sistem imun) agar siap menghadapi pelbagai kemungkinan dari serangan patogen berbentuk fisik serta psikologis, yaitu virus dan stres psikologis itu sendiri. Virus kian hari pandai bermutasi, sementara paparan kehidupan modern dan dunia digital penuh dengan stresor.

Banjirnya informasi melalui sosial media, eksposur polusi perkotaan, kebisingan, kepadatan, hiruk pikuk, dan kehidupan yang terus memburu membuat pikiran keruh dan hati kisruh. Jiwa merindu hening untuk kemudian terkoneksi dengan alam, Tuhan, dan kemanusiaan. Dibalik ketidakseimbangan hidup yang dijalani, forest therapy hadir sebagai solusi.

Adalah RSUD Slawi yang mengawali. Dokter Guntur M. Taqwin sebagai direktur menginisiasi inovasi suatu layanan terapi dengan pendekatan “mandi” di hutan. Simulasi dilakukan di hutan Guci yang tidak jauh dari rumah sakit. Bersama rekan-rekan dokter alumni Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Angkatan 80an, kami menjelajahi manfaat dari hutan untuk kesehatan bersama.

Menemani dokter Andry Dahlan yang sudah lebih dahulu mempelopori medical wellness tourism dan hospital without wall, kami berbagi seputar forest therapy selama dua hari. Hari pertama sharing mengenai forest therapy secara singkat. Kemudian di hari kedua melakukan aktivitas sederhana forest therapy berbasis mindfulness atau forest bathing.

Ragam aktivitas bisa dilakukan selama melakukan “ritual” mandi di hutan. Dokter Qing Li, direktur Forest Therapy Society di Jepang menguraikan beberapa diantaranya, forest walking, yoga, eating in the forest, hot spring therapy, tai chi, meditasi, breathing exercise, aromatherapy, dan art therapy[4]. Selama 1 jam 30 menit, kami letakkan sejenak handphone lalu mempraktikkan yoga, berjalan kaki dengan kesadaran, meditasi, dan praktik tui shou, salah satu latihan dari tai chi. Kegiatan tak melulu hening, karena interaksi antara kita menghasilkan harmoni cerita dan tawa. Pakde Edy Raharjo, yang juga seorang dokter spesialis saraf tak segan untuk memberikan hikmah dari aktivitas forest therapy, yaitu agar kita senantiasa adaptif dalam menjalani kehidupan.

Kembali kepada sistem imun tubuh manusia, aktivitas forest bathing menghasilkan peningkatan dalam sel Natural Killer (NK). Tiga protein dalam sel NK, yaitu GRN, perforin, dan GrA/B meningkat, yang berarti sel NK lebih sehat dan kerjanya lebih siap serta lebih baik dalam melawan sel-sel jahat[5]. Saat di alam dan terpapar fitonsida, mikrobiota usus kita juga mengalami perubahan yang lebih positif[6]. Hippocrates bilang, “All disease begins in the gut”, dengan kata lain kesehatan dan sistem imun yang baik bermula dari usus. Kuncinya ada pada komposisi mikrobiota usus, begitu kata Giulia Enders, seorang ahli gastroenterologi di Jerman.

By the way… berbicara tentang gastroenterologi, jadi ingat obrolan dengan Om Janu Dewandaru di stasiun kereta mengenai tiga penyakit yang sering dialami para pegawai. Nomor 1 dan 2 berhubungan dengan sistem pencernaan atau gastrointestinal. Kemudian yang ketiga ialah back pain. Urusan weteng (perut) memang perlu dijaga, karena Nabi Saw. berkata, “Sumber dari penyakit adalah perut”. Kata-katanya sama persis dengan Hippocrates.

Pendekatan “sumber penyakit” atau akar penyakit dalam konteks kedokteran mengacu pada functional medicine. Berbeda dengan conventional medicine yang banyak diajarkan di fakultas kedokteran, functional medicine menekankan pada kebutuhan pasien yang merujuk pada sumber penyakitnya, bukan alih-alih hanya sekedar diberikan obat untuk mengatasi gejala. Dengan kata lain functional medicine lebih integratif, memandang semua sistem dalam tubuh berhubungan yang orientasinya pada kesehatan, bukan penyakitnya.

Bukankah setiap orang menginginkan dirinya sehat? Angka harapan hidup yang semakin tinggi perlu ditunjang pula dengan kesehatan yang prima, agar kelak manusia dapat menjadi manfaat, mandiri, dan tidak merepotkan orang lain. Bahasa dr. Andry Dahlan, yaitu “Inspiring before expiring”.

Semoga inovasi forest therapy berbasis mindfulness kelak dikembangkan dan diaplikasikan RSUD dr. Soeselo Slawi. Semoga semuanya sehat. Semoga semuanya bahagia.

Referensi:
[1] https://www.worldometers.info/coronavirus/coronavirus-cases/
[2] https://news.detik.com/abc-australia/d-5973584/angka-kematian-covid-tembus-6-juta-orang-jumlah-sebenarnya-bisa-4-kali-lipat-lebih-tinggi
[3] https://www.apta.org/article/2023/01/27/long-covid-cfs-fms-comparison
[4] Li, Q. Into the Forest: How Trees Can Help You Find Health and Happiness. London: Penguin Books 2019.
[5] Garcia, H., & Miralles, F. Forest Bathing: The Rejuvenating Practice of Shinrin Yoku. North Clarendon: Tuttle 2020.
[6] Santhiravel, S., Bekhit, AEA., Mendis, E., Jacobs, JL., Dunshea, FR., Rajapakse, N., & Ponnampalam, EN. The impact of plant phytochemicals on the gut microbiota of humans for a balanced life. Int J Mol Sci 2022; 23(15):8124. doi: 10.3390/ijms23158124. PMID: 35897699; PMCID: PMC9332059.


Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/11/diskusi-forest-therapy-di-stasiun-kopi.html

Selasa, 19 November 2024

Diskusi Forest Therapy di Stasiun Kopi




Oleh Duddy Fachrudin & Janu Dewandaru 

Pagi itu sebuah direct message masuk ke ponsel saya. Seseorang memperkenalkan dirinya lalu menyatakan ingin bertemu untuk sekedar berbincang. Temanya tidak main-main: forest therapy. Siapakah gerangan yang tertarik dengan “bermain-main” di alam lalu menceburi dirinya menyengajakan untuk terpapar oleh aroma pepohonan, angin yang berdesir, tanah dan bebatuan, hingga mentari yang menari?

Nyatanya Om Janu Dewandaru benar-benar menghampiri saya sore harinya, dari Bandung ke Cirebon. Head of Innovation Team Bank Indonesia yang gemar belajar itu tak sungkan diajak boncengan dengan motor supra yang telah berusia belasan tahun. Padahal beliau seorang “Dekan” yang memimpin BI Institute dan mengajak semua sumberdaya manusia untuk belajar apapun agar kualitas serta kapasitasnya terus bertumbuh. Hmm... Dekan biasa pastinya misuh-misuh jika dijemput dengan kendaraan roda dua.

Tapi memang pencari ilmu sejati tidak terlekati dengan materi. Fokusnya hidupnya pada dimensi intangible, seperti personal fulfillment, yang tiada lain adalah ilmu yang kelak berguna untuk mempercantik kualitas mental dan spiritualnya. Dan mereka cenderung tidak memiliki keinginan terhadap apapun yang ada di dunia. Mereka hanya ingin terkoneksi dengan alam dan kemanusiaan. 

Sampailah kami di Stasiun Kopi, suatu kedai kopi yang memang dekat dengan stasiun kereta. Dari secangkir kopi, berlanjut pada diskusi forest therapy.

Terapi hutan bukanlah sesuatu yang baru. Dibutuhkan beragam disiplin ilmu seperti kehutanan, kedokteran, psikologi, sosiologi, biologi, dan ilmu pendukung terkait lainnya. Terapi hutan memiliki tujuan spesifik sesuai kebutuhan individu itu sendiri. Selain itu kriteria lokasi hutan yang dijadikan tempat beraktivitas untuk forest therapy memerlukan standar khusus.

Pendekatan yang lebih sederhana dari terapi hutan ialah yang menggunakan mindfulness. Thoreau, sang filosof yang terkenal dengan karyanya Walden itu sudah melakukannya kala dahulu. Meskipun hanya dengan berjalan kaki di tengah hutan. Tidak ada sesuatu yang dikejar oleh Thoreau. Sekali lagi, hanya berjalan kaki sambil mengijinkan diri terpapar oleh energi positif dari hutan.

Aktivitas berada di hutan, tanpa terburu-buru, tanpa tujuan tertentu, dan hanya sekedar hadir kemudian dikenal lebih lanjut dengan forest bathing. Direktur Badan Kehutanan Jepang Tomohide Akiyama menamainya Shinrin-yoku pada tahun 1982. Ide tersebut berkembang dengan maksud mempromosikan hutan sebagai wellness-oriented ecotourism. Hutan Akazawa di dekat Kota Agematsu menjadi pilot project Shinrin-yoku. Di hutan tersebut, pengunjung tidak sekedar “piknik” melainkan yang terpenting dipandu untuk melakukan forest bathing oleh guide yang telah menjalani pelatihan dan berpengalaman. Beberapa negara seperti Korea Selatan juga memiliki aktivitas forest bathing bernama Sanlim yok. Sementara di Norwegia dikenal dengan Friluftsliv[1].

Forest bathing kian popular seiring dengan beragam penelitian yang membuktikan adanya manfaat kesehatan, baik fisik serta psikologis. Empat indikator utama yang diukur ialah tekanan darah, kadar kortisol melalui saliva, denyut nadi, serta variasi denyut jantung (HRV). Salah satu hasil penelitian efek Shinrin-yoku di 24 hutan di Jepang menunjukkan tekanan darah, kadar kortisol, serta denyut nadi yang lebih rendah, dan HRV yang lebih tinggi pada kelompok eksperimen dibandingkan kontrol[2]. Ini menunjukkan efek yang positif dari forest bathing seperti rendahnya stres, tingginya kesejahteraan psikologis hingga kualitas kardiovaskular yang sehat.

Forest bathing bukanlah hiking menuju bukit atau puncak gunung, melainkan menyengajakan diri untuk hening di rerimbunan pohon yang kaya akan fitonsida yang memiliki sifat antimikroba. Mendengarkan sunyi dan menyadari, membiarkan segala yang terjadi secara alami. Memahami lintasan pikiran serta emosi, tanpa menghakimi.

Menariknya, salah satu manfaat lain dari paparan hutan ialah dapat menjadikan individu memiliki penurunan keinginan[3]. Hasrat nan gawat dalam pemenuhan kebutuhan dunia memang sejatinya perlu dirawat, eh maksudnya dikelola agar manusia itu sendiri tidak terjerat hingga berujung kiamat. Forest bathing membuat jiwa kita bertransformasi menjadi nirmaterialistik. Tetap senang dengan materi, tapi tidak terlekati, apalagi terobsesi.

Kopi kami habis diminum. Diskusi berlanjut ke stasiun kereta. Berbincang mengenai berbagai penyakit yang sering diderita pegawai Bank Indonesia. Ada tiga yang utama, yaitu...  

Sumber:
[1] Clifford, MA. Your Guide to Forest Bathing: Experience of The Healing Power of Nature. Newburyport: Red Wheel 2018.

[2] Park, BJ., Tsunetsugu, Y., Kasetani, T., Kagawa, T., & Miyazaki, Y. The physiological effects of Shinrin-yoku (taking in the forest atmosphere or forest bathing): Evidence from field experiments in 24 forests across Japan. Environ Health Prev Med. 2010 Jan;15(1):18-26. doi: 10.1007/s12199-009-0086-9. PMID: 19568835; PMCID: PMC2793346.

[3] Joye, Y., Bolderdijk, JW., Köster, MAF., & Piff, PK. A diminishment of desire: Exposure to nature relative to urban environments dampens materialism. Urban Forestry & Urban Greening. 2020 July;54,126783. https://doi.org/10.1016/j.ufug.2020.126783.


Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Minggu, 25 Agustus 2024

Forest Therapy: Forever Young dan Nir Adigung



Oleh Duddy Fachrudin 

Di jaman penuh eksposur, jiwa perlahan berkeping hancur. Pikiran berkonflik saling membentur. Oh… diri yang lacur! Tidak eling dengan wasiat leluhur. Untuk membaur dalam tadabur serta tafakur. Maka sejenak hati terhubung kembali dengan nature. Sebagai wujud cinta dan tanda syukur.

Berlebihnya eksposur informasi yang tidak diiringi dengan kemampuan untuk mengelola atensi menghadirkan permasalahan psikologi. Mulai dari fokus yang makin berkurang hingga adiksi. Rasmus Hougaard, pakar mindful leadership menamakannya PAID atau Pressure - Always on - Information overload - Distraction. Stres karena distraksi akibat banjirnya informasi.

Meski otak manusia sangat canggih dan diberkahi kemampuan switch atensi, namun PAID nyatanya membuat individu semakin mindless, tidak hadir sepenuhnya pada saat ini. Pikiran larut dan kemudian meloncat tak menentu secara otomatis mengikuti arah stimulus. Keseimbangan energi tergerus, waktu habis untuk mengembara di langit dopamin yang amat membius.

Memang fenomena ini tidak sama persis terjadi pada semua orang. Sebagian individu mampu membuat jarak dengan PAID dan sumber stres lain yang memburu dengan mengembangkan keterampilan mindfulness. Latihan meditasi serta menumbuhkan sikap mindfulness seperti tidak tergesa, menerima, dan terbuka menjadi menu harian yang sayang untuk dilewatkan.

Ada yang berlatih menyadari napas. Ada pula yang tak melekatkan diri dengan identitas. Dan juga ada yang menjadikan hutan sebagai ruang beraktivitas. Ragam latihan mindfulness dengan tujuan yang sama, yaitu eling lan awas.

Beraktivitas di hutan tidak sekedar bermain, seperti halnya outbond yang mengasyikkan. Berada di hutan sengaja diniatkan, untuk hadir di antara rimbunnya pepohonan, sejuknya udara, serta komorebi yang memancar begitu indahnya. Terapi ini mengembangkan keterampilan mindfulness dengan grounding berjalan tanpa alas kaki, lalu meditasi, serta menggerakkan tubuh melalui yoga atau tai chi, kemudian ditutup dengan hug tree disertai afirmasi yang menentramkan hati.

Kondo wa kondo. Ima wa ima. Sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Menyadari sepenuhnya di sini. Menikmati saat ini tanpa menghakimi, tanpa tergesa untuk pergi. Seperti maknanya, forest berarti for rest. Untuk beristirahat, melepas penat. Semakin manusia mampu meletakkan stres, semakin ia dapat menahan laju karies tubuhnya.

Bagaimana bisa Yura?

Sejenak mari berkelana pada fondasi yang membangun kesehatan manusia. Ada tiga poin yang jika dijaga serta dikelola dapat membuat manusia awet muda.

Pertama, pencegahan dari stres oksidatif. Tubuh manusia sejatinya akan rusak karena oksidasi radikal bebas. Stres oksidatif ditandai dengan ketidakseimbangan pada ion positif dan negatif. Melalui barefoot atau nyeker di hutan, tubuh akan menyerap ion negatif yang kemudian dapat mencegah timbulnya kerusakan pada sel. Paparan ion negatif yang berasal dari hutan juga dapat mengurangi gejala depresi, mengaktifkan sistem pada tubuh, dan berperan sebagai antioksidan dan antiinflamasi.

Kedua, peningkatan sistem imun. Bayangkan tubuh sebagai suatu negara, sementara sistem imun adalah penjaganya yang bertugas sebagai pertahanan dari kemungkinan serangan musuh berupa organisme patogenik. Tentara sistem imun perlu melakukan latihan sehingga kualitasnya baik. Dan kuncinya terletak pada keseimbangan mikrobiota dalam usus manusia. Itulah mengapa 70% sistem imun terletak di usus manusia.

Flora baik dalam usus merupakan sparing partner sistem imun—seperti sel Natural Killer (NK), yang aktivitasnya meningkat dan menjaga tubuh dari serangan sel kanker. Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh inisiator pengobatan melalui media hutan di Jepang, dr. Qing Li, dimana shinrin-yoku atau forest bathing secara signifikan meningkatkan jumlah sel NK dan juga granulysin (GRN), perforin, granzyme (Gr) A/B-expressing cells.

Ketiga optimalisasi dan keseimbangan hormon. Stres yang kronis dapat menyebabkan disregulasi Hipothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis, jalur neuroendocrine system yang bertugas dalam pengaturan respon stres. Kerja HPA Axis pun menjadi terganggu yang menyebabkan ketidakseimbangan pada hormon, misalnya saja kortisol yang disekresikan secara berlebihan. Stres yang tidak tertangani menyebabkan inflamasi lalu menghadirkan pelbagai penyakit fisik dan mental. Melalui paparan senyawa terpen atau minyak atsiri saat melakukan hug tree timbul efek relaksasi sehingga terjadi penurunan stres.

Maka, hutan yang kaya cahaya matahari, air, mineral tanah, serta molekul penyembuh yang ada di pepohonan merupakan nutrisi bagi jiwa dan fisik manusia. Hutan sejatinya teman hidup terbaik yang diciptakan Tuhan sebagai ecotherapist bagi manusia. Deforestasi akibat eksploitasi industri sama dengan membunuh manusia itu sendiri.

Globalisasi serta modernitas memiliki konsekuensi migrasi masyarakat dari pedesaan ke perkotaan. Urbanisasi menjanjikan kehidupan yang lebih mapan secara finansial dan pekerjaan. Namun paparan stres di perkotaan juga jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan yang dekat dengan hutan.

Pada akhirnya manusia memiliki kecenderungan lahiriah untuk terkoneksi dengan alam. Kembali berinteraksi dengan hadir sepenuhnya adalah ciri manusia biophilia, yang mencari kesehatan dan ketenangan. Saat paparan stres minim, telomer yang ada di dalam DNA tidak mudah rusak. Hal ini berimplikasi pada penundaan terhadap penuaan. Marian Gold, vokalis Alphaville bilang, “Forever young… I wanna be forever young…”

Selain itu, hutan yang juga lekat dengan gunung merupakan guru terbaik bagi kualitas batin manusia. Tidak heran jika ada sebuah idiom “Dididik di gunung, sangkan teu adigung”. Diajar oleh gunung supaya tidak sombong sebagai manusia. Tidak semena-mena memiliki kuasa dan merasa dirinya mahluk yang lebih dari segalanya.

Saat manusia terkoneksi dengan alam atau hutan, ia terkoneksi dengan Tuhan.

Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/07/forest-therapy-sebuah-ikhtiar-untuk.html

Selasa, 30 Juli 2024

Forest Therapy: Sebuah Ikhtiar Untuk Pulih Melalui Energi Hutan

Oleh Duddy Fachrudin & Andry "Sting" Edwin Dahlan 

Aku bersandar di sini untuk terpapar 
Olehmu mentari yang memancar, 
juga pinus-pinus yang menghampar 
Menghantarkan molekular minyak atsiri ke dalam tubuh 
Untuk segera pulih serta bertumbuh

Aktivitas forest therapy

Maka sejenak saja meluangkan waktu mengunjungi sahabat, yaitu hutan-hutan yang lebat, lalu memeluknya dengan hangat. Begitulah forest therapy mengajarkan kepada kami, manusia yang penuh dengan dialektika untuk belajar secara sadar serta berikhtiar merawat diri dari berbagai inflamasi melalui energi hutan yang penuh cinta kasih. 

Salah satu bentuk terapi hutan yaitu forest bathing yang intinya melakukan aktivitas di hutan dengan sadar atau mindful. Meditasi di hutan dengan melibatkan indera dan "menyatu", serta menyelaraskan diri dengan hutan. Itulah forest bathing. Kalau di Jepang dilabeli Shinrin-yoku.

Sakit pada tubuh terkait dengan respon inflamasi, yaitu respon biologis dari sistem imun yang dipicu oleh berbagai faktor, yaitu patogen, sel yang rusak dan senyawa beracun. Mediator inflamasi seperti Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) perlu dikendalikan sehingga respon inflamasi tidak semakin berlebih dan kerusakan jaringan dapat dicegah.

Penelitian menunjukkan individu yang menjalani forest bathing memiliki kadar IL-6 dan TNF-α yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu stres oksidatif menurun akibat pengaruh senyawa terpen yang ada pada pohon.

Senyawa terpen, seperti limonene dan pinene menurunkan jumlah pelepasan berbagai sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, IL-1, dan TNF-α serta menginhibisi aktivitas faktor transkripsi yang berperan dalam inflamasi, yaitu Nuclear Factor kappaB (NF-κB). Terpen secara umum mengurangi aktivitas katalitik enzim yang terlibat dalam pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan memiliki efek antioksidan yang kuat.

Maka seperti kata Hippocrates, "nature itself is the best physician". Dokter terbaik, tiada lain alam (yang di dalamnya terdapat hutan) itu sendiri yang diciptakan Tuhan sebagai anugerah kepada manusia. 

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/