Tampilkan postingan dengan label Kesehatan Mental. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan Mental. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 September 2024

Hari Pencegahan Bunuh Diri: Dialektika Fufu Fafa


Oleh Duddy Fachrudin 

Berat tak terasa dalam sukma bergembira
Sudah yang berlalu menggelora bahagia
Berat terasa lepaskan semua

Cerita kelabu kini cerah dan ceria
Gelap tlah berlalu engah kini menggelora
Berat terasa lepaskan semua

(Ayushita)

Lagu Fufu Fafa yang dinyanyikan Ayushita 11 tahun lalu berkisah tentang dua keadaan yang dialami seorang manusia. Ada kelabu, ada ceria. Berat terasa, kemudian menggelora bahagia. Fufu Fafa! Di saat ada fufu, di sana ada fafa. Intinya, dalam kehidupan manusia, sejatinya ada tesis dan antitesis. keduanya merupakan suatu kebenaran. Dialektika!

Sigmund Freud memberikan contoh dialektika mengenai eros dan thanatos. Eros merupakan dorongan untuk hidup, sementara thanatos sebaliknya, dorongan untuk mati. Konsep ini bisa dijelaskan dengan pengalaman kita dulu saat masih sekolah. Ketika masuk sekolah, ada keinginan untuk libur. Sementara saat libur, rindu sekolah.

Tesis dan antitesis selalu hadir dalam hidup manusia, bukan untuk saling menegasikan, tapi memperkaya sudut pandang. Karena setelah melihat keduanya, manusia dapat mengelaborasi atau mengintegrasi yang kemudian mewujud dalam sebuah refleksi. 

Jadi, wajar sebenarnya ada dorongan untuk mati. Namun, perlu diingat juga bukan berarti yang ingin mati juga benar-benar tidak ingin hidup. Loh-loh…

Kembali lagi pada konsep dialektika, aku ingin mati saja… dan aku ingin melihat timnas Indonesia bisa tampil di Piala Dunia. Kalau kita lihat secara gestalt pernyataan itu, maka dibalik keinginan untuk mati, ada dorongan untuk hidup.

Jadi, diterima saja bahwa faktanya saat ini pikiran bunuh diri berseliweran dalam ruang imaji manusia. Hal terpenting ialah memunculkan dorongan untuk tetap hidup pada mereka. Hal-hal sederhana bisa menjadi eros, seperti ingin makan burjo di Warmindo, melihat akhir dari One Piece, mendaki gunung, atau ya… ingin tahu kisah selanjutnya dari fufufafa di negeri ini. Khusus yang ini ialah drama fufufafa, bukan judul lagu Ayushita, Fufu Fafa.

Dalam satu sesi konseling dan psikoterapi dengan pendekatan Dialectical Behavior Therapy (DBT), Marsha Linehan berkisah tentang dialektika ini:

Saat kliennya ingin bunuh diri, Oma Linehan bertanya dan meminta pendapatnya, bagaimana jika kliennya mengetahui saudara atau keponakannya ingin mengakhiri hidupnya. Kliennya kemudian menjawab bahwa ia ingin menolongnya, mencegahnya dari bunuh diri. Akan diajaknya saudaranya untuk bercerita, menemui psikolog, dan memberikan dukungan apapun agar ia tetap hidup.

Lihat. Seorang manusia yang ingin mati pun akan mencegah seseorang dari bunuh diri!

Fufu Fafa, bukan?

Sumber gambar:

Minggu, 25 Agustus 2024

Forest Therapy: Forever Young dan Nir Adigung



Oleh Duddy Fachrudin 

Di jaman penuh eksposur, jiwa perlahan berkeping hancur. Pikiran berkonflik saling membentur. Oh… diri yang lacur! Tidak eling dengan wasiat leluhur. Untuk membaur dalam tadabur serta tafakur. Maka sejenak hati terhubung kembali dengan nature. Sebagai wujud cinta dan tanda syukur.

Berlebihnya eksposur informasi yang tidak diiringi dengan kemampuan untuk mengelola atensi menghadirkan permasalahan psikologi. Mulai dari fokus yang makin berkurang hingga adiksi. Rasmus Hougaard, pakar mindful leadership menamakannya PAID atau Pressure - Always on - Information overload - Distraction. Stres karena distraksi akibat banjirnya informasi.

Meski otak manusia sangat canggih dan diberkahi kemampuan switch atensi, namun PAID nyatanya membuat individu semakin mindless, tidak hadir sepenuhnya pada saat ini. Pikiran larut dan kemudian meloncat tak menentu secara otomatis mengikuti arah stimulus. Keseimbangan energi tergerus, waktu habis untuk mengembara di langit dopamin yang amat membius.

Memang fenomena ini tidak sama persis terjadi pada semua orang. Sebagian individu mampu membuat jarak dengan PAID dan sumber stres lain yang memburu dengan mengembangkan keterampilan mindfulness. Latihan meditasi serta menumbuhkan sikap mindfulness seperti tidak tergesa, menerima, dan terbuka menjadi menu harian yang sayang untuk dilewatkan.

Ada yang berlatih menyadari napas. Ada pula yang tak melekatkan diri dengan identitas. Dan juga ada yang menjadikan hutan sebagai ruang beraktivitas. Ragam latihan mindfulness dengan tujuan yang sama, yaitu eling lan awas.

Beraktivitas di hutan tidak sekedar bermain, seperti halnya outbond yang mengasyikkan. Berada di hutan sengaja diniatkan, untuk hadir di antara rimbunnya pepohonan, sejuknya udara, serta komorebi yang memancar begitu indahnya. Terapi ini mengembangkan keterampilan mindfulness dengan grounding berjalan tanpa alas kaki, lalu meditasi, serta menggerakkan tubuh melalui yoga atau tai chi, kemudian ditutup dengan hug tree disertai afirmasi yang menentramkan hati.

Kondo wa kondo. Ima wa ima. Sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Menyadari sepenuhnya di sini. Menikmati saat ini tanpa menghakimi, tanpa tergesa untuk pergi. Seperti maknanya, forest berarti for rest. Untuk beristirahat, melepas penat. Semakin manusia mampu meletakkan stres, semakin ia dapat menahan laju karies tubuhnya.

Bagaimana bisa Yura?

Sejenak mari berkelana pada fondasi yang membangun kesehatan manusia. Ada tiga poin yang jika dijaga serta dikelola dapat membuat manusia awet muda.

Pertama, pencegahan dari stres oksidatif. Tubuh manusia sejatinya akan rusak karena oksidasi radikal bebas. Stres oksidatif ditandai dengan ketidakseimbangan pada ion positif dan negatif. Melalui barefoot atau nyeker di hutan, tubuh akan menyerap ion negatif yang kemudian dapat mencegah timbulnya kerusakan pada sel. Paparan ion negatif yang berasal dari hutan juga dapat mengurangi gejala depresi, mengaktifkan sistem pada tubuh, dan berperan sebagai antioksidan dan antiinflamasi.

Kedua, peningkatan sistem imun. Bayangkan tubuh sebagai suatu negara, sementara sistem imun adalah penjaganya yang bertugas sebagai pertahanan dari kemungkinan serangan musuh berupa organisme patogenik. Tentara sistem imun perlu melakukan latihan sehingga kualitasnya baik. Dan kuncinya terletak pada keseimbangan mikrobiota dalam usus manusia. Itulah mengapa 70% sistem imun terletak di usus manusia.

Flora baik dalam usus merupakan sparing partner sistem imun—seperti sel Natural Killer (NK), yang aktivitasnya meningkat dan menjaga tubuh dari serangan sel kanker. Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh inisiator pengobatan melalui media hutan di Jepang, dr. Qing Li, dimana shinrin-yoku atau forest bathing secara signifikan meningkatkan jumlah sel NK dan juga granulysin (GRN), perforin, granzyme (Gr) A/B-expressing cells.

Ketiga optimalisasi dan keseimbangan hormon. Stres yang kronis dapat menyebabkan disregulasi Hipothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis, jalur neuroendocrine system yang bertugas dalam pengaturan respon stres. Kerja HPA Axis pun menjadi terganggu yang menyebabkan ketidakseimbangan pada hormon, misalnya saja kortisol yang disekresikan secara berlebihan. Stres yang tidak tertangani menyebabkan inflamasi lalu menghadirkan pelbagai penyakit fisik dan mental. Melalui paparan senyawa terpen atau minyak atsiri saat melakukan hug tree timbul efek relaksasi sehingga terjadi penurunan stres.

Maka, hutan yang kaya cahaya matahari, air, mineral tanah, serta molekul penyembuh yang ada di pepohonan merupakan nutrisi bagi jiwa dan fisik manusia. Hutan sejatinya teman hidup terbaik yang diciptakan Tuhan sebagai ecotherapist bagi manusia. Deforestasi akibat eksploitasi industri sama dengan membunuh manusia itu sendiri.

Globalisasi serta modernitas memiliki konsekuensi migrasi masyarakat dari pedesaan ke perkotaan. Urbanisasi menjanjikan kehidupan yang lebih mapan secara finansial dan pekerjaan. Namun paparan stres di perkotaan juga jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan yang dekat dengan hutan.

Pada akhirnya manusia memiliki kecenderungan lahiriah untuk terkoneksi dengan alam. Kembali berinteraksi dengan hadir sepenuhnya adalah ciri manusia biophilia, yang mencari kesehatan dan ketenangan. Saat paparan stres minim, telomer yang ada di dalam DNA tidak mudah rusak. Hal ini berimplikasi pada penundaan terhadap penuaan. Marian Gold, vokalis Alphaville bilang, “Forever young… I wanna be forever young…”

Selain itu, hutan yang juga lekat dengan gunung merupakan guru terbaik bagi kualitas batin manusia. Tidak heran jika ada sebuah idiom “Dididik di gunung, sangkan teu adigung”. Diajar oleh gunung supaya tidak sombong sebagai manusia. Tidak semena-mena memiliki kuasa dan merasa dirinya mahluk yang lebih dari segalanya.

Saat manusia terkoneksi dengan alam atau hutan, ia terkoneksi dengan Tuhan.

Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/07/forest-therapy-sebuah-ikhtiar-untuk.html

Jumat, 03 Juni 2022

Cara Mudah Menjadi Bahagia dalam 5 Menit



Oleh Nita Fahri Fitria

Pernahkah kamu merasa hidupmu begitu melelahkan dan seolah buntu? 

Rasanya setiap hari kita seolah diseret untuk tetap melakukan rutinitas yang itu-itu saja. Makan hanya karena waktunya telah tiba, mau tidak mau tetap bekerja karena tidak mungkin diam saja di rumah, dan kembali tidur karena semua orang tidur. 

Semua bergulir sesuai arus, dan kita terbawa oleh arus itu tanpa tahu akan ke mana dan harus melakukan apa.

Itulah yang dialami oleh Yeom Mi-jeong di drama Korea My Liberation Notes yang baru saja merampungkan episode terakhirnya. 

Sebagai seorang gadis yang pendiam, Mi-jeong terbiasa memendam perasaannya dan memikirkan banyak hal secara berulang. 

Dalam diamnya Mi-jeong kerap membayangkan hal-hal yang tidak perlu. Mi-jeong semakin merasa buntu karena ibu, ayah, dan kakak-kakaknya bukanlah orang yang bisa diajak bicara. 

Hari-harinya di tempat kerja juga hanya membuat Mi-jeong semakin lelah dan nyaris kehilangan jati diri.

Suatu hari Mi-jeong dan dua rekan di kantornya terpaksa membuat sebuah komunitas karyawan karena hanya mereka bertiga yang tidak bergabung dengan komunitas manapun di kantor tersebut. Padahal komunitas karyawan tersebut adalah fasilitas perusahaan agar mereka bisa memiliki aktivitas menyenangkan di luar pekerjaan. Mi-jeong dan kedua rekannya tadi akhirnya membuat kegiatan komunitas yang mereka namai sebagai “Haebang Club” atau Klub Pembebasan.

Setiap anggota klub wajib menuliskan isi hati dan pikiran yang dianggap menjadi tirani bagi dirinya sendiri, lalu tulisan tersebut akan diceritakan kepada satu sama lain. Uniknya mereka sepakat untuk hanya saling mendengarkan cerita saja, sehingga tidak boleh saling berkomentar atas cerita yang dibacakan. 

Tujuan pembebasan setiap anggota klub juga beragam. Mi-jeong sendiri ingin bebas dari perasaan terjerat oleh hidup yang memuakkan. Ia mengaku ingin bisa merasakan senang dan lepas seperti orang lain.

Uniknya, semakin Mi-jeong jujur dengan dirinya, ia pun semakin bersinar. Mi-jeong mulai berani mengambil langkah besar dalam hidupnya dan mulai menemukan makna dari “bebas” yang selama ini diidamkan. 

Pada salah satu adegan, Mi-Jeong berkata pada kekasihnya bahwa ia cukup mendapatkan rasa bahagia selama lima menit saja dalam sehari. Ya, lima menit yang dapat mengubah harinya. 

“Aku merasa senang dalam tujuh detik saat membukakan pintu toserba untuk seorang pelajar dan dia mengatakan ‘terima kasih’. Saat aku membuka mata di pagi hari dan menyadari bahwa ini adalah hari Sabtu, aku merasa senang selama sepuluh detik. Isilah lima menit dalam sehari dengan hal-hal seperti itu.”

Dialog lain yang tak kalah menarik adalah saat seorang rekan di Haebang Club berkata, “Aku hanya berhasil menemukan alasan mengapa aku merasa tersiksa”, lalu Mi-jeong menjawab, “Kurasa itulah hal yang penting, (yaitu) mengetahui masalah kita sendiri.”

Oh rupanya inilah kunci bebas dari penjara pikiran ala Yeom Mi-jeong. Iya, jujur dan menemukan apa yang sebetulnya kita pikirkan dan rasakan. Karena dari sanalah kita bisa menemukan cara untuk bebas. 

Kadang, kita bergelut dengan harapan ingin bahagia tanpa tahu apa yang sebetulnya membuat kita merasa tidak bahagia. Bagaimana bisa kita sampai pada suatu tujuan tanpa tahu cara untuk mencapainya?

Yeom Mi-jeong yang awalnya menulis catatan pembebasan untuk mengisi kegiatan di Haebang Club pada akhirnya menemukan cara untuk jujur pada diri sendiri sehingga akhirnya menemukan strategi untuk mendapatkan vitamin Bahagia selama lima menit yang ia ceritakan pada kekasihnya. 

Ia menemukan bahwa kebahagiaan kadang terletak pada hal-hal kecil yang bisa menghangatkan hati.

Lalu apakah setelah ini Mi-jeong menjadi bebas sepenuhnya? 

Sepertinya tidak. Karena hidup terus berjalan dan masalah akan tetap datang silih berganti. Akhir dari drama ini sendiri pun termasuk kategori open ending yang menggambarkan kondisi terkini setiap karakter yang sudah menemukan titik bebas dan tetap akan berjalan selangkah demi selangkah untuk terus melanjutkan hidup.

Pada akhirnya, kisah Yeom Mi-jeong dan karakter lain di My Liberation Notes ini terangkum dalam sebuah kesimpulan…

“Meski hidup sesekali akan menjebak kita pada jeratan yang lain, setidaknya kita tidak sepenuhnya terjebak karena kita sudah tahu bagaimana cara untuk bebas. Kita bisa merasakan bebas dan kadang bisa juga kembali merasa terjebak. Tapi yang terpenting adalah kita bisa merasakan kemajuan.”

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 12 April 2022

Mindful Journey: Ketika Anak Jaksel Naik Gunung (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Air bergemericik, dan beburung pagi yang morning person banget seolah hadir menjadi healing process untuk mereka-mereka yang burn out karena overwhelmed dalam mengelola trust dan mental health issue.

Maklumlah dinamika kehidupan itu kadang lempeng tapi lebih sering mengejutkan, reality bites, dan itu bisa sangat stressful dan painful.

Kadang support system kita juga tidak benar-benar care dengan kita. Bahkan orang yang kita anggap bestie saja, dan kita harap bisa at least memberi sepatah dua patah word of affirmation, eh malah suka guilt tripping dan yang lain malah clingy.

Masih mending kalo enggak emotional abuse atau melakukan silent treatment yang menyakitkan. Toxic relationship itu literally ga sehat banget guys.

Kalau sudah begini memang healing dan self love perlu jadi consideration deh. Perlu positive vibes dan personal space yang proper. Somehow kita memang harus menghindari environment atau circle yang terlalu banyak diisi mereka yang kerap verbally abuse atau bersifat judgemental dan oversharing yang gak penting. Jangan juga terlalu memaksa diri menjadi social butterfly agar bisa masuk banyak circle, ga guna.


Mending cari hidden gem kayak di gunung ini, dan ga terlalu sering staycation yang sebenarnya di sana-sana juga. Beri kesempatan jiwa kita self healing dengan socmed detox, dan ga ada salahnya kalau sekali-sekali kita jadi gate keeping yang nggak spill out yang kita tahu.

Saatnya menikmati me time dan beri diri kita bonus self reward, hindari timeline yang salty dan destruktif. IMO, pergi nyepi ke secret place kayak remote area yang masih nature banget gitu tuh sesuatu.

Ga usah FOMO, dan dicap social awkward, figuratively ini ibarat Robinson Crusoe yang bertualang untuk mengexplore kapasitas dirinya sendiri sih. Semacam self journey untuk mengenal inner soul sebenernya.

Ok, in a fact gemericik air dan kicau burung itu stimulan neurofisiologi banget. Lalu tetiba rasa sejuk melanda qolbu saat awan mendung mulai merintikkan gerimis. Alam gunung seolah sedang tersenyum manis.

Kabut, gemericik sungai dan rintik gerimis berpadu dengan kicau burung, kini menyatu dengan aroma tanah yang menguar.

Petrichor melanda pusat hidu di otak kita. Petra itu batu dan ichor itu cairan para dewa. Sementara sains modern menjelaskan bahwa petrichor adalah bau tanah pertama saat hujan menyapa dan melepas geosmin yang merupakan produk metabolit dari milyaran bakteri aktinobakter dari spesies Streptomyces.

Dan anehnya aroma itu compatible dengan kinerja otak kita. Aroma itu menghanyutkan kita dalam rindu tanpa lagu, tapi lewat orkestrasi bau.

Aroma itu membawa pesan cinta nan sarat makna, dengan pesan nyata bahwa rindu adalah hak semua penghuni semesta.

Lalu bagaimana aroma itu dapat menstimulasi pusat asosiasi di otak kita? Sampai ada rasa, sampai muncul cinta.

Halaman Berikutnya >>>

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 30 Maret 2021

Pesan Sunan Gunung Jati untuk Transformasi Layanan Konseling Mahasiswa


Oleh Duddy Fachrudin 

Setahun yang lalu, World Economic Forum (WEF) merilis top 10 skills yang perlu dimiliki para pekerja pada tahun 2025. Keterampilan-keterampilan tersebut dibagi ke dalam 4 aspek: problem solving, self-management, working with people, dan technology use & development.

Dari 10 keterampilan, terdapat keterampilan yang tergolong "newbie". Keterampilan di dalam aspek self-management yang meliputi active learning & learning strategies dan resilience, stress tolerance, & flexibility termasuk di dalamnya. Keduanya menempati rangking 2 dan 9 dalam top 10 skills tersebut. 

Kedua skills tersebut terselip diantara keterampilan-keterampilan yang sudah familiar sejak tahun-tahun sebelumnya seperti analytical thinking & innovation, complex problem solving, leadership, & creativity. Namun, di era disrupsi, active learning & resilience ditambahkan seiring dengan perubahan jaman yang sangat cepat dan uncertainty

Isu kesehatan mental pegawai juga tidak lepas dari pengamatan WEF dan menjadi alasan pentingnya sumber daya manusia memiliki resiliensi dan toleransi terhadap stres yang tinggi, yang didalamnya juga terintegrasi dengan kecerdasan emosional. World Health Organization (WHO) sendiri sudah mewanti-wanti adanya pandemi baru di masa depan berupa depresi yang menyerang siapa saja dan mengakibatkan disabilitas dalam kehidupan individu itu sendiri.

Jauh-jauh hari, satu dari 40 dawuh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati kepada anak cucunya adalah selalu mawas diri. Dalam ranah psikologi, mawas diri (self-awareness) adalah kemampuan mengamati diri, baik pikiran, laku, dan perasaan. Ini penting bukan hanya dalam mencegah korupsi, tapi juga upaya dalam mengembangkan kesehatan mental di dunia yang tidak pasti. Al-Qur'an menyebut mawas diri sebagai wa fii anfusikum afalaa tubsiruun yang mengajak manusia untuk tadabbur dan tafakkur ke dalam diri sehingga tidak terjebak dalam ilusi dan delusi.

Pertanyaan sesungguhnya dimanakah tempat untuk belajar mawas diri?

Keluarga melalui ayah bunda seyogyanya menjadi sarana perkembangan psikologis anak-anaknya. Namun tidak jarang mereka luput atau bahkan tidak tahu atau tahu tapi tidak mau karena terlalu sibuk dengan segala aktivitasnya. Padahal salah satu kunci keberhasilan seorang anak (yang kemudian menjadi remaja) adalah memiliki keterampilan mawas diri. Ia mengenal dan memahami emosi, pikiran, dan bagaimana mengelolanya menjadi perilaku yang adaptif dan berdaya guna bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Maka, di sinilah peran Tim Pelaksana Bimbingan Konseling (TPBK) di setiap universitas yang menjadi wadah mahasiswa untuk mengenal diri dan membimbing dalam pengembangan kesehatan mental mereka. Setelah lulus, kelak para mahasiswa sudah memiliki bekal kompetensi keterampilan resiliensi dan memiliki toleransi terhadap stres yang tinggi yang bisa meningkatkan performansi dan menjadi solusi, yang akhirnya maujud dalam prestasi. 

Adanya layanan konsultasi dan konseling kesehatan mental bagi mahasiswa bukan lagi perihal akreditasi, tapi merupakan bagian terpadu dari health promoting university. Ini salah satu kunci menuju World Class University.  

Sumber gambar:

Kamis, 01 Oktober 2020

Belajar Mengajar dan Health Promoting University




Oleh Duddy Fachrudin 

Dua hari itu di sudut Bandung nan dingin, kami--saya dan senior saya dan juga psikolog di salah satu fakultas di UGM, Mba Dina Wahida--bersua sekaligus ngobrol-ngobrol sedikit tentang Health Promoting University (HPU). 

Kebijakan mempromosikan kesehatan dalam ruang lingkup sivitas akademika merupakan suatu upaya yang tepat di kala individu menghadapi ragam varian stressor dan juga potensi penyakit yang dapat menghambat tujuan pendidikan.

Ini bukan hanya soal kampus bebas rokok, penyediaan fasilitas olahraga, dan menciptakan ekosistem hijau yang sehat, melainkan juga mengembangkan kebiasaan hidup sehat. Selain itu, menempatkan psikolog di fakultas atau universitas juga menjadi hal yang esensial untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental. 

Sembari diskusi, pikiran saya melayang jauh ke masa lalu, melintasi waktu. Teringat pada sosok yang secara tidak langsung ikut mempromosikan kesehatan di sela-sela aktivitas belajar mengajar...

###

“Bukan tujuanlah esensi dari sebuah perjalanan, melainkan ‘berlayar’ dan ‘berpetualang’-lah nilai terpenting dari kehidupan.” (Tauhid Nur Azhar)

Apa yang Anda pikirkan ketika melihat seorang dosen masuk ke dalam kelas mengajar tanpa membawa buku teks, malah membawa komik, memakai jins belel, dan kemeja yang tampak lusuh. 

Mungkin sebagian dari Anda akan mempertanyakan kualitas keilmuannya, atau Anda kemudian berkata, “Kok ada ya dosen seperti ini?”

Pada kenyataannya memang ada dosen seperti itu, salah satunya Tauhid Nur Azhar atau Kang Tauhid—biasa kami memanggilnya. 

Beliau mengajar mata kuliah Biopsikologi dan Psikologi Faal pada semester satu dan dua. 

Aneh bin ajaibnya kami sekelas begitu nyaman dengan Kang Tauhid, bukan hanya karena penampilannya yang berbeda daripada dosen-dosen yang lain, namun pembawaannya yang lembut, dan cara mengajar yang menyenangkan. Kehadirannya pun ditunggu-tunggu oleh para mahasiswanya.

Kang Tauhid tentu memiliki alasan mengapa beliau berpenampilan tidak seperti dosen pada umumnya. Bukankah membawa komik ke kampus, memakai jins belel, dan kemeja lusuh adalah cerminan seorang mahasiswa pada umumnya? 

Kang Tauhid memposisikan dirinya sebagai seorang mahasiswa. Maka tentu saja tidak ada sekat antara seorang mahasiswa dengan mahasiswa yang lainnya. 

Karena penampilannya tersebut, Kang Tauhid bahkan pernah dianggap seorang mahasiswa senior yang sedang mengulang mata kuliah oleh mahasiswanya.

Satu hal lagi mengapa kami mehasiswanya begitu nyaman saat diajar oleh Kang Tauhid adalah beliau tidak menekankan hasil dalam bentuk angka, namun esensi kuliah atau belajar adalah menikmati prosesnya. “Bukan tujuanlah esensi dari sebuah perjalanan, melainkan ‘berlayar’ dan ‘berpetualang’-lah nilai terpenting dari kehidupan,” begitu kata beliau.

Sehingga saat berlayar, atau bertualang, kita akan menemukan berbagai hal yang tak terduga. Kita takjub dan terperangah saat memandang keindahan lautan. Pada kesempatan yang lain mungkin kita terdampar di sebuah pulau tak bertuan. Dan dengan segala upaya, ikhtiar, dan do’a kita berjuang menaklukan badai lautan, hingga pada saatnya kapal yang kita nahkodai bermuara pada pelabuhan bernama kebersyukuran. 

### 

Maka pleasure experience itu seyogyanya hadir tidak hanya ketika menikmati es krim, tapi juga belajar. Ketika proses belajar dan mengajar adalah kebahagiaan, setiap tekanan yang menimbulkan stres berlebihan dan menggerus keseimbangan dapat terkelola dengan baik. 

Pada akhirnya, strategi ini dapat berperan sebagai meningkatkan kualitas kesehatan mental as part of kesehatan holistik bagi seluruh sivitas akademika di lingkungan universitas. 

Sumber gambar: 

Senin, 28 September 2020

Keajaiban Dunia dan Kesehatan Mental




Oleh Duddy Fachrudin 

Alkisah di sebuah kelas SD sudut kampung terpencil negara ini, ibu guru bertanya kepada murid-murid kelas enamnya yang cerdas-cerdas, "Hayooo anak-anak, siapa yang bisa menyebutkan keajaiban dunia?"

Seorang anak laki-laki yang duduk di sudut kelas mengacungkan tangannya, "Aku mau jawab Buuu..." Sang ibu guru melirik muridnya, "Ya Faul... silahkan..."

"Keajaiban dunia itu Candi Borobudur, Danau Toba, Menara Eiffel, Piramida, Taj Mahal, Ka'bah, Tembok Besar China, dan Colosseum," kata Faul. Beberapa saat kemudian setelah Faul menyebutkan keajaiban dunia, tiba-tiba seorang temannya mengacungkan tangannya, "Aku mau menambahkan guru..."

"Aisyah, silakan sebutkan keajaiban dunia yang lainnya," kata ibu guru.

"Bu guru... keajaiban dunia itu ketika aku melihat, mendengar, merasakan... menyentuh, berjalan, bermain, dan mencintai."

Seluruh kelas terdiam, termasuk ibu guru.

Lalu di saat keheningan tercipta, dan rasa telah merasuk di dada, seorang anak mengacungkan tangannya... "Keajaiban dunia itu... adalah diri manusia sendiri."

###

Menyadari diri kita ajaib itu sungguh ajaib.

Mengapa? Karena inilah pintu gerbang dari samudera kebersyukuran. 

Kita tidak lagi membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa cukup dengan diri kita sendiri dan apa yang kita miliki. Dan kita tak lagi mengeluh ini itu kepada Tuhan Yang Memberi Kehidupan ini.

Hidup ini pemberian ajaib. 

Dan tubuh dengan segala yang tersembunyi di dalamnya yang juga sangat ajaib ini adalah suatu anugerah paling indah yang Tuhan ciptakan.

Sayangnya manusia sering lupa bahwa dirinya ajaib. 

Hal itu terjadi karena manusia sering mencari ke luar dirinya. 

Mencari untuk memuaskan kehidupannya. Sehingga tak kadang karena hal ini pula hidupnya tergerus. Pikiran, perasaan, dan tubuhnya tak lagi selaras. Jiwanya tak lagi harmonis.

Maka orang yang bahagia sesungguhnya berhenti mencari. 

Ia mulai menggali ke dalam dirinya. Menyelam ke dasar lautan hati untuk menemukan mutiara terindah yang diciptakan Tuhan. 

Khusyu merindu dalam keheningan dan tak lagi berkeinginan. 

Oh cinta ini...
hanya ragu tentang waktu 
apa yang ku tunggu,

Hidup untuk ku tepati

Sumber gambar: 
https://www.instagram.com/duddyfahri/ 

Senin, 20 Juli 2020

Metafora: Keluarga



Oleh Duddy Fachrudin 

Laki-laki berusia 45 tahun itu berjalan gontai. Wajahnya kuyu, namun tetap berusaha memperlihatkan senyumnya kepada saya. 

Senyumnya layu. 

Tampak bibir dan gigi-giginya menghitam akibat tar yang ia nikmati dalam belasan puntung rokok setiap harinya. Ia duduk di sebelah saya. 

Tangan kanannya diangkat dan diusapkan ke wajah tirus dan kepalanya yang beruban. Nafasnya begitu berat. 

Lalu, tak lama kemudian ia berucap, “Apa yang terjadi pada saya? Kenapa saya begini?” 

Sejak 3 hari bertemu dengannya, hanya kalimat itu yang ia lontarkan dari mulutnya. 

Hiburan satu-satunya di bangsal hanya sebuah televisi. 

Sore itu, sebelum mentari tenggelam dan adzan berkumandang kami menonton tv. Tidak ada acara yang menarik, hanya berita biasa seputar artis yang mempertontonkan gaya hidupnya yang berkecukupan. 

Tiba-tiba laki-laki itu berkata, “Dulu saya begitu, tapi sekarang...”, lagi-lagi tangan kanannya diangkat dan jemarinya mengusap wajah dan kepalanya. “Kenapa saya sakit seperti ini?” lirih laki-laki itu lagi.

Dua tahun yang lalu, tubuhnya masih tegak dan berjalan dengan penuh semangat. Ia masih bekerja di sebuah pabrik gula di sebuah kota di Jawa Timur. Namun dua kecelakaan motor dan peristiwa keracunan pestisida membuat hidupnya berubah. 

Kinerja fisiknya menurun. Tangannya kaku dan sering bergetar. Penglihatannya kabur dan tubuhnya lemas. Kondisi fisik mempengaruhi kinerjanya di pabrik. Dan ia pun di PHK oleh perusahaan.

Sebelum kejadian-kejadian itu hidupnya bahagia, berkecukupan, dan senantiasa berinteraksi secara sosial dengan keluarga dan tetangganya. 

Saat ini jiwanya begitu rapuh, depresif, dan hampa. Semuanya tampak hancur baginya. Satu-satunya yang ingin dilakukannya adalah bertemu dengan istri dan anak-anaknya.

Saya bertemu dengannya selama kurang lebih 3 minggu, menemaninya dan mengajaknya berbincang-bincang layaknya seorang kawan. 

Di sela-sela itu, saya menyempatkan diri untuk menemui keluarganya—istri dan ketiga anaknya serta saudara-saudaranya. Tak lupa saya meminta ijin untuk mengambil foto mereka.

Di akhir pertemuan dengannya, saya memberikan foto istri dan anak-anaknya. Tampak wajahnya tersenyum dan rona bahagia memancar di wajahnya. 

Ia lalu bercerita bahwa ia sudah boleh pulang dengan syarat mengurangi frekuensi merokoknya. Laki-laki itu menceritakan rencana-rencana yang akan dilakukannya setelah kembali ke keluarga. Saya senang dengan perkembangan ini.

Saya mohon pamit kepadanya karena memang waktu praktek telah usai. Kami berpisah dengan masing-masing mengucapkan terima kasih. 

Satu hal yang tak terduga adalah ketika ia mengatakan, “Salam untuk keluarga” kepada saya. 

Sumber gambar: 

Rabu, 15 April 2020

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Belum lama ini sehubungan dengan perkembangan wabah atau pageblug yang diperantarai virus SarsCoV-2, Sultan HB X menyampaikan petuah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang sangat relevan dalam memaknai kondisi yang terjadi saat ini; Mangasah Mangising Budi, Memasuh Malaking Bumi

Maknanya adalah; mengasah ketajaman akal-budi, membasuh malapetaka bumi. Ini sejalan dengan dalil: 

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Ruum: 41) 

Pageblug ini adalah sebuah peringatan, sekaligus sebuah proses pembelajaran komprehensif yang menempatkan manusia di posisi untuk melakukan proses kontemplasi dan secara paralel "dipaksa" untuk berpikir sistematik dalam menemukan solusi yang bersifat sistemik. 

Ketidak berimbangan pada proses eksploitasi dalam rangka mengakomodir pemenuhan kebutuhan akan rasa aman yang berlebihan, telah menempatkan manusia dalam posisi gagal mensyukuri dan menahan diri dalam mengambil manfaat di semesta sebagaimana yang telah dijanjikan. 

Padahal segenap potensi alam yang telah diciptakan Allah Swt., tak lain dan tak bukan dimaksudkan untuk diolah hingga memiliki nilai tambah serta dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari berkah. 

Kajian tafsir, baik tafsir bil ma'sur maupun tafsir birra'yi dari berbagai ayat Allah tentang potensi sumber daya alam, menunjukkan bahwa memang semestinya manusia dapat mengolah dan mengambil manfaat dari semua yang telah diciptakan Allah hingga dapat menghadirkan banyak hal yang bersifat maslahat. 

Tetapi sekali lagi, jika saya boleh menyitir nasehat Sultan HB X, masalah kita terkait naluri impulsi serakah tak terlepas dari karakter 3G berikut: golek menange dewe (mencari menangnya sendiri), golek butuhe dewe (mencari kebutuhan sendiri), dan golek benere dewe (mencari benarnya sendiri). 

Karena teknologi teleko sudah berkembang, izin saya menambahi menjadi 5G ya: golek senenge dewe, dan golek slamete dewe

Egosentrisme yang lahir dari kinerja survival tools di otak manusia. Ketika spektrum naluri limbikiyah telah memancarkan sinar yang berintensitas tinggi, maka spektrum waskita perlahan berpendar menuju pudar karena terinferensi gelombang yang didominasi kecemasan yang berenergi reduksi yang condong mengeliminasi. 


Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Mimpi apa saya? Di malam yang mendadak basah ini saya juga mendadak gelisah, resah, dan gundah...

Apakah ini nyata? Demikian sebaris tanya bak running text terus saja berulang di dalam benak saya seolah menjadi cameo pengisi ruang. 

Ya undangan kehormatan Dhian, seorang akademisi ISI Surakarta, membuat saya terdampar dan terkapar lemas di pantai-pantai sadar tak berbalut lagi selembar nalar. 

Sungguh sajian malam ini kurang ajar... Asu, kata Mas Butet, yang semalam duduk tepat di depan saya. 

Diawali terbukanya gerbang mistika yang penuh dengan mustika lewat mantra musika Kua Etnika yang menggetarkan sukma, dimulailah sebuah perjalanan spiritual menuju gua garba cinta dan asal muasal manusia. 

Mbak Silir dengan intonasi yang bisa semilir sekaligus berhembus kencang menghilir, membuai gendang telinga untuk larut dalam rima demi rima yang dibangkitkan dari pusara cerita oleh sang penyulap, kata Landung Simatupang anak Batak asli Jogja. 

Marinta Si Anak Matahari yang mewarisi radiasi hasil fusi saripati Tanah Karo dengan puser bumi tanah Jawa, Solo, membungkus kasunyatan dalam aliran gairah syahwat nalar nan gawat sampai tak terasa ada yang mengerut dalam cawat. Sirna lah nafsu yang berbaju hasrat. Lahirlah sejuta tanda tanya nan menggoda, meski sebagian besarnya tersandera retorika dan akan larut dalam pekatnya haeno tiga dunia nyata. 

Kasunyatan...yang nyata sesungguhnya yang maya. Yang lapar sesungguhnya indera. Yang kuasa sesungguhnya raga yang menjadi daya wadag adalah boga. Dan hidup adalah maha daya yang tak terperdaya oleh cinta maya. 

Adalah air, adalah rasa, adalah eter yang mengisi setiap jengkal ruang semesta. Persetan dengan Schopenhauer dengan majas idea nya. Persetan dengan Heidegger yang terlalu centil dengan ajaran Husserl tentang fenomena...

Belajarlah mencari apa yang terlukis dan tertulis di jiwa. Dan Jawa adalah Jiwa yang bermata, Mata Jiwa. Mata yang menembus sifat fana dan berkelindan dengan para malaikat yang baka. 

Wujud, qidam, baqa... eksistensi materi adalah bagian dari konstruksi hati yang mencari. Yang dicari tak pernah pergi, tapi kita mencintai proses mencari. Karena esensi mencari adalah mengenali yang hakiki. Mengagumi dan mengamati dari setiap sudut persepsi.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:
https://funnyjunk.com/channel/wallpapers/A+collision+of+dark+and+light/pLstDcY/

Rabu, 05 Februari 2020

Pelatihan Mindfulness: 3 hari Untuk Selamanya


Oleh Duddy Fachrudin

Berapa jam saya perlu berlatih mindfulness?

Sebagian besar modul mindfulness seperti Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) atau Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT), berisi 8 sesi yang bisa dilakukan selama 2 bulan. Setiap sesi berlangsung selama 90 menit atau 1,5 jam setiap minggunya.

Artinya total 12 jam menjalani Program Mindfulness. Jika dalam modul tersebut ditambah 1 hari untuk sesi retreat maka 36 jam kita berlatih mindfulness dalam pelatihan atau program mindfulness.

Pelatihan mindfulness juga mengajak peserta untuk berlatih mindfulness secara mandiri di rumah setidaknya 45 menit dalam sehari. Body scanning, mindful breathing, stretching, walking, sitting, dan sebagainya menjadi menu formal yang bisa diterapkan dan juga dilatih sehari-hari.

Maka ada sekiranya 52 hari x 45 menit atau 2340 menit atau 39 jam yang digunakan untuk berlatih berbagai jenis latihan mindfulness secara mandiri di rumah selama 2 bulan.

Total 75 jam atau 3 hari lebih kita berlatih mindfulness dalam sebuah program pelatihan mindfulness berdasarkan pada modul-modul mindfulness.

Berlatih mindfulness memang tidak instan karena memang tujuannya mengembangkan dan membiasakan kehidupan yang mindful yang dilandasi jernihnya pikiran dan beningnya hati sehingga respon atau perilaku yang keluar adalah perilaku yang bijaksana. Selain itu tentu diiringi kesehatan mental (mental health) dan fisik yang optimal dari sebelumnya.

Setelah mendapat pelatihan mindfulness secara formal, kita bisa menjadi lebih terbiasa untuk berlatih mindfulness dan mengembangkan mindfulness dalam aktivitas sehari-hari, seperti saat makan, mandi, tidur, olahraga, beribadah, berinteraksi dengan orang lain, dan mengemudi kendaraan.

Maka ketika mengembangkan kehidupan yang mindful (mindful living) sama artinya berlatih mindfulness selamanya.

Ya. Karena mindfulness is lifestyle.

Bagaimana jika saya mengikuti pelatihan mindfulness yang hanya dua atau satu hari, bahkan setengah hari? Apakah maksimal?

Pelatihan yang sesungguhnya adalah setelah program pelatihan. Maka ikuti pelatihan mindfulness tersebut, lalu kembangkan diri dan terus berlatih setelahnya.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Kamis, 16 Januari 2020

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Dan dendam melahirkan kecemasan kronis. Kata "kronis" tersebut sejatinya diambil dari nama Kronos. 

Sakit hati yang berkronologis. Kronos yang menikahi Rea dihantui kecemasan bahwa keturunannya juga akan mengkhianati dirinya. Ia memakan semua anaknya, kecuali Zeus yang disembunyikan Rea dan ditukar batu. 

Maka hanya batu dan Zeus yang tak lekang oleh siklus dendam berkesinambungan. 

Lalu mengapa manusia terlahir dengan luka yang siap untuk menganga karena pusaran dosa? 

Bukankah kita suci dan terlahir dalam kondisi nan fitri, tapi mengapa kita begitu terpesona pada daya tarik yang kekuatannya akan membuka kembali luka lewat jalan duka. 

Kehilangan karena mencari yang telah dimiliki. Kelelahan karena mengejar pada yang berlari sejengkal saja di belakang kita: masalah. 

Sebenarnya apapun itu nama sandingannya secara metonimia, masalah adalah masalah. Ia selalu akan membersamai kita saat ini dan sesaat kemudian segera bermetamorfosa menjadi masa lalu, bukan?

Maka masalah yang tersisa pastilah sejengkal di belakang, dan ia akan terus ikut berlari selama kita terus berlari. 

Bahkan maslah takkan pernah menjauh sedikitpun, kecuali kita berhenti dan berbalik untuk menghadapi. 

Sayangnya bagi sebagian besar dari kita, konsep itu masih terus betah menjadi sekedar wacana yang terangkum dalam kalimat inspiratif nan kontemplatif dari para "coach" kehidupan. 

Sejujurnya sayapun masuk kategori kelompok pelari, yang sesekali mencoba berani untuk berhenti, belajar menghadapi, dan... pada akhirnya memilih untuk melanjutkan balap lari dengan masalah yang kalau demikian tentu tidak akan pernah kalah, meski juga tak punya peluang untuk menang. 

Kondisi semacam ini tak perlu terlalu berimajinasi tinggi untuk mengetahui hasil akhirnya. Sudah jelas kita akan terkapar kelelahan dan ditimbuni masalah yang telah menyertai kita di sepanjang "pelarian"...


Sumber gambar:

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Sejarah peradaban manusia terlahir dari luka. Tentang khianat pada realita. Tentang ketakutan Kronos akan arti niscaya hingga ia ingin menciptakan keadaan nirkala.

Timeless... tanpa waktu. 

Dan Kronos pun rela memakan semua anaknya dari Rea karena tersandera dalam kutukan masa lalu. 

Masa lalu yang tak terbunuh oleh waktu. Malah masa lalu itu bertumbuh seiring dengan semesta yang menua. Semesta dan sejarah dari segalanya. 

Dalam karyanya Theogonia. Asal usul segala sesuatu diceritakan oleh Hesiodos. 

Dia mulai dengan Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan misterius. Dari Khaos ini muncullah Gaia atau Gê (Dewi Bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah Eros (Cinta), Tartaros (Perut Bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks (Malam). 

Niks bercinta dengan Erebos dan melahirkan Aither (Langit Atas) dan Hemera (Siang). Tanpa pasangan pria (partenogenesis), Gaia melahirkan Uranus (Dewa Langit) dan Pontos (Dewa Laut). 

Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka, terlahirlah para Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria, yaitu Koios, Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan Okeanos, serta enam Titan wanita, yaitu Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dan Tethis. 

Karena satu dan lain hal Gaia berselisih pandang dengan Uranus yang mengisolasi anak-anak mereka yang buruk rupa (Cyclops, raksasa bermata satu). Gaia murka dan meminta Kronos menyiksa ayahnya yang "kabur" dari kenyataan dan tak ingin terperangkap oleh keadaan. Karena Uranus dianggap Kronos--anaknya sendiri, sebagai pengecut, maka Kronos memotong penis Uranus. 

Maka setiap kisah mitos pastilah mencemari Daidalos... beratnya menanggung derita dunia yang menua dengan begitu banyak noda nista dan begitu banyak semburan ludah berbisa dari kata-kata beracun yang mematikan.

Sumber gambar:

Minggu, 03 November 2019

Kamu, Kesalahan yang Harus Aku Hapus (Cegah Depresi dengan STOP)


Oleh Duddy Fachrudin

Tidak dipungkiri setiap manusia pernah berbuat alpa. Kesalahan di masa lalu kerap kali menghantui dan menjadikan individu merasa bersalah berlebihan.

Akhirnya timbul penilaian-penilaian negatif yang menjerumuskannya ke dalam penjara pikiran.

Aku merasa tidak berguna.
Masa depanku suram.
Kehidupan ini adalah kesunyian tak berujung.

Depresi dicirikan oleh pandangan negatif terhadap diri, masa depan, dan juga dunia. Oleh Mbah Aaron T. Beck tiga perspektif itu disebut Negative Triad.

Maka saat salah satunya terlintas dalam pikiran kita, lakukanlah STOP:

S: Stop, lakukanlah pause atau jeda. Diam sejenak untuk tidak melakukan apa-apa. Hal ini meminimalisir dari berbuat reaktif.

T: Take a breath, tarik napas, amati dan sadari udara yang masuk dan keluar. Berikan perhatian penuh (mindful) pada napas.

O: Observe, amati pikiran yang muncul. Misal Negative Triad itu muncul kita berkata: "oh ada pikiran saya yang mengatakan bahwa saya tidak berguna". Mengijinkan pikiran itu hadir tanpa penilaian. Lama-lama pikiran itu akan menghilang dengan sendirinya.

P: Proceed, lanjutkan aktivitas, misal dengan membuat teh atau kopi, atau sejenak berjalan kaki, atau berbicara dengan seorang kawan.

Maka tak perlu melarikan diri dari masa lalu kan. Praktikkan STOP dan berfokus menghapus bayang-bayang kamu (baca: masa lalu yang kelam) dengan melakukan berbagai kebaikan di masa sekarang dan selanjutnya.

Wa aqimis sholaata torafayin-nahaari wa zulafam minal-laiil, innal hasanaati yudz-hibnas-sayyi'aat, dzalikaa dzikroo lidzaakiriin. (QS. Hud: 114)

Mari peduli dengan kesehatan mental kita dan kesehatan mental orang lain.

Sumber gambar:

Selasa, 13 Agustus 2019

Dialog Imajiner Den Mas Yudho


Oleh Tauhid Nur Azhar

Seperti kayu yang mengikhlaskan dirinya menjadi abu ketika api perlu urup untuk menguripi.

Pengorbanan bukanlah kesia-sian, melainkan kesadaran tertinggi untuk memahami arti "hadir" dan mencintai.

Ada, Berada, dan Tiada semua hanyalah makna yang dibingkai kata-kata. Direnda menjadi rajutan perca dalam teater kala yang tepinya disulami bordir sementara.

Maka apa salahnya menjadi abu?

Apa salahnya mencintai api yang lalu melumat aku?

Karena aku, sang kayu, tahu. Tanpa aku tak ada kamu (api), dan tak ada panas yang lahir dari rahim ikhlas.

Bukankah semesta fana ini semata hanyalah lingkaran panas (baca tenaga) yang membangkitkan raga (baca; makhluk)?

Dan tak ada yang kuasa mencegah apapun yang telah menjadi kehendak-Nya.

Maka kayu, api, abu, dan kamu.. ya kamu.. yang tetap ada, karena ada yang rela tiada, hanyalah semata wayang berjiwa yang jumawa seolah digdaya dalam menguntai rasa menjadi cerita.

Meski punya nalar, kita kerap tak sadar bahwa semua cerita ditulis sekehendak penulisnya. Dan Sang Penulis adalah Qulillâ humma mâlikal mulki.

Wa tukhrijul hayya minal mayyiti wa ma tukhrijul mayyita minal hayya... Ada yang pergi dan mati untuk lahir dan hadirnya kehidupan, demikian pula sebaliknya. 

Dan pada gilirannya semua hanyalah sebaris ingatan tanpa penubuhan. Menjadi ada karena tiada, dan sementara menjadi tanda bahwa setiap ada akan menjadi tiada kecuali yang Satu jua...

Sumber gambar: 
Dokumen pribadi

Selasa, 28 Mei 2019

Mindful Diet: Mikrobiota Saluran Cerna dan Kerja Otak Kita


Oleh Tauhid Nur Azhar

Bakteri komensal atau flora normal di saluran cerna dapat memproduksi berbagai jenis metabolit seperti Kolin dan Asam Lemak rantai pendek/ short chain fatty acid (SCFA). Dimana SCFA dihasilkan melalui proses fermentasi karbohidrat kompleks seperti serat tumbuhan secara anaerob atau tanpa oksigen.

Asam lemak rantai pendek yang dihasilkan antara lain adalah asam butirat, asam asetat, asam propionat (PPA). PPA memiliki titik tangkap fisiologis penting seperti terlihat dalam proses sinyal transduksi, sintesis neurotramsmiter, metabolisme lipid, modulasi ekspresi gen melalui fosforilasi dan asetilasi histon. 

PPA berperan dalam meningkatkan sensitivitas insulin dan memodulasi reaksi alergi melalui stimulasi pada sitokin anti inflamasi / IL-10 dan mensupresi/ inhibisi sitokin proinflamasi seperti IL-1 alfa, TNF alfa, IL-6, dan NO. 

Sementara peran SCFA lain dalam meningkatkan kapasitas kognitif dan kinerja sistem syaraf pusat dapat dipelajari pada fungsi asam butirat (BTA), dimana bersama PPA merupakan inhibitor dari enzim histon deasetilase (HDAC), suatu enzim yang bertugas memotong gugus asetil pada histon. 

Jika berbicara konsep kesetimbangan homesotatik dari sistem biologis, maka jika ada suatu fungsi ditekan maka akan ada fungsi kompensata yang mensubtitusi. Maka jika HDAC diinhibisi, HAT atau histon asetil transferase akan disintesis. 

Proses asetilasi histon berhubungan dengan transkripsi gen-gen tertentu, termasuk gen-gen yang terlibat dalam proses pembelajaran dan pembentukan memori. Hiperasetilasi pada promotor dari gen-gen terkait proses belajar dan pembentukan memori akan meningkatkan transkripsi gen tersebut. 

Asam butirat yang dihasilkan sebagai metabolit dari mikroba saluran cerna ternyata juga dapat menstimulasi hiperasetilasi histon di sel-sel neuron yang terdapat di hipokampus dan korteks frontalis, termasuk prefrontal cortex (PFC). 

Dan hiperasetilasi yang dipicu oleh BTA itu terkait dengan ekspresi gen brain derived neutrophic factor (BDNF) yang antara lain berperan dalam mengatur mekanisme plastisitas dan pembentukan sinaps/ sinaptogenesis. 

Beberapa bakteri komensal dan flora normal seperti genus lactobacillus dan bifidobacterium dapat mensitesa berbagai jenis neurometabolit seperti GABA, melatonin, noradrenalin, dan asetilkolin. 

Escherichia, bacillus, dan sacharomyces memproduksi noradrenalin, sementara candida, streptococcus, escherichia, dan enterococcus memproduksi serotonin. 

Bacillus bisa mensintesis dopamin dan lactobacillus dapat mensintesis asetilkolin. Selain neurometabolit flora normal atau mikrobiota usus juga dapat menghasilkan gas NO yang punya peran amat penting di berbagai sistem fisiologi. 

Genus lactobacillus diduga merupakan jenis mikrobiota yang dapat menghasilkan NO. Gas NO sendiri punya banyak fungsi keren secara fisiologis, mulai dari vasodilatasi pembuluh darah, regulasi tekanan darah, aktivasi sistem imun mukosal, sampai terlibat dalam fungsi kognitif terkait memori dan pembelajaran. 

Secara vis aversa, mikrobiota usus juga terlibat dalam proses pengelolaan stres. Jika stres berkepanjangan yang ditandai dengan peningkatan kortisol dan derivat katekolamin seperti norepinefrin, maka akan terjadi peningkatan permiabilitas usus yang berdampak pada gangguan ekosistem mikrobiota saluran cerna. 

Peningkatan kadar katekolamin juga, dalam hal ini NE ternyata dapat menstimulasi gen virulensi yang membuat koloni E. Colli menjadi patogen. Semula E. Colli adalah bakteri komensal yang tidak berulah, tetapi dalam kondisi stres bisa terpicu untuk bersifat patogen. Maka gangguan saluran cerna adalah salah satu simptom yang kerap dijumpai pada mereka yang mengalami stres secara berkepanjangan. 

Karena populasi mikrobiota yang disebut sebagai probiotik itu juga bergantung pada asupan nutrisi baginya dan bagi manusia host-nya maka tak pelak apa yang kita makan akan menentukan seperti apa populasi mikrobiota di saluran cerna kita, dan apa dampak keberadaan mereka pada sistem faali tubuh kita sebagaimana tulisan saya di atas. 

Sebagai gambaran sederhana saja, hasil riset seorang psikiater dari Belgia, Lukas van Oudenhove, menunjukkan bahwa seseorang akan lebih baik mood nya meski berada dalam tekanan atau kesedihan jika di dalam menu dietnya terdapat komposisi asam lemak. Sate selap gajih asal tidak berlebih rupanya bagus juga ya sebagai obat anti "baper".

Sumber gambar:

Rabu, 10 Oktober 2018

Bunuh Dirilah Sehingga Kau Bercahaya


Oleh Duddy Fachrudin

"Terserah, apakah ini dosa, heroisme, atau justru pengecut. Bahwa saya mau bunuh diri! Karena saya tidak mau membunuh orang lain, seberapa sakitpun hati saya oleh pengkhianatan dan penghinaan manusia. Tapi yang saya bolehkan untuk dibunuh hanyalah diri saya sendiri. 

Saya bersyukur perjalanan saya untuk bunuh diri sudah selesai dan tuntas.

Beberapa lama saya mencampakkan om-om dan mas-mas semua ke dalam kegelapan. Karena saya memang gelap. Hati saya gelap, pikiran saya gelap.., kehidupan saya di sini dan di belakang saya juga gelap.

Dan puncak kegelapan saya adalah semua orang seantero negeri ini menyebarkan fitnah bahwa Rayya adalah bintang yang gemerlap dan bercahaya..."

Monolog sunyi nan inspiratif menghentak kesadaran ini di ucapkan dengan lembut oleh Rayya, seorang bintang, artis terkenal yang kemudian mengalami transformasi jiwa.

Ia, dengan segala kemegahannya tak terima ketika dicampakkan oleh seorang laki-laki yang nyatanya telah beristri. Egonya tersakiti, berontak menolak kalah dari derita.

Egonya yang tinggi termelekati dengan rupa-rupa duniawi. Maka sakitlah ia, saat pikiran dan rasa tak kunjung menerima. 

Aku seorang artis besar, bahkan aku dapat membeli laki-laki yang diinginkanku.. Begitulah Rayya.

Untungnya, Arya, seorang biasa nan bijaksana datang menjadi cermin baginya.

Rayya yang mengalami gejolak jiwa ingin bunuh diri. Dan Arya membantunya... menolongnya untuk benar-benar membunuh dirinya--menghancurkan egonya.

Film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya bukan hanya menyuguhkan keindahan alam di sepanjang perjalanan mereka berdua, bertukar kata dari ujung barat Jawa hingga Bali.

Film ini mengajak kita untuk melakukan perjalanan jiwa, mencari jati diri, dan kemudian menemukan mutiara terindah yang bersemayam dalam diri manusia.

Kelak, mereka yang telah menemukannya, hatinya bercahaya.

Arya, bersama orang-orang sederhana telah memantulkan cahaya kepada Rayya, sehingga "dirinya" telah hancur berkeping-keping.

Kemudian Rayya melanjutkan monolognya:

"Budhe pengasuh anak-anak Salam. Tua, tuli, mengabdi kepada pendidikan kemanusiaan di pelosok kesunyian. Di hadapan beliau, Rayya hanya perawan kencur yang kolokan.

Ibu-ibu yang berjualan di pasar. Dengan ringan meletakkan dunia ini di telapak tangannya dan menertawakan Rayya yang menyangka bahwa menjadi bintang adalah segala-galanya.

Si Slamet di perempatan jalan. Menari-nari gembira, menjogetkan rasa syukur yang tanpa batas dan tanpa syarat.

Nenek penjual karak. Aku pikir yang ia junjung di atas kepalanya itu adalah wadah makanan jualannya. Ternyata yang ia junjung adalah martabat.

Ibu-ibu dan anak-anak pekerja pemecah batu. Yang berkantor di gedung terik matahari. Telah menipu saya mentah-mentah. Karena di balik tangan dan jari jemari mereka yang lemah tersembunyi jiwa yang agung dan mental yang tangguh.

Merekalah cahaya yang sesungguhnya. Merekalah cahaya di atas cahaya. Sekarang, sejalan kita berjuang menaklukkan kegelapan. Bersama kita belajar memantulkan cahaya di atas cahaya."

Inilah Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, a road movie bertema mindfulness terbaik versi mindfulnesia.id, yang mengajak kita "membunuh diri" kita, melepaskan kelekatan dunia, menjadi manusia bahagia yang bercahaya.

Menuju Cahaya - Hari Kesehatan Mental Sedunia, 10 Oktober 2018


Sumber gambar:
http://videoezyindonesia.blogspot.com/2014/03/new-release-vei-rayya-cahaya-di-atas.html

Rabu, 01 November 2017

Investasi Kesehatan Mental, Perlukah?


Oleh Duddy Fachrudin

Orang-orang biasa bertanya pada dirinya, “Bisakah saya menjadi lebih baik?”, namun mereka jarang bertanya, “Bisakah saya menjadi lebih buruk?”

Teknologi informasi memudahkan hidup kita. Inovasi disruptif membawa kita menjadi lebih cepat, lebih smart, dan lebih menghemat waktu terhadap aktivitas kehidupan kita. Layanan transportasi online misalnya, memudahkan kita menuju tempat yang kita tuju. Maka, semua orang setuju, bahwa era digital informasi ini memiliki dampak positif dan membuat kehidupan kita menjadi lebih baik.

Namun, era baru ini juga memiliki ekses yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental kita. Gangguan tidur, stres, depresi (dan berakhir dengan bunuh diri), permasalahan pada atensi dan memori (akibat multitasking), kecemasan sosial (FOMO), narsis yang patologis, dan adiksi internet serta sosial media merupakan sederet permasalahan yang mungkin terjadi pada individu yang kurang mampu “berselancar” dengan baik di era digital informasi. Maka, Scott Becker, Ph.D dari MSU Counseling Center memaparkan dengan gamblang atropi yang terjadi pada beberapa bagian otak (seperti halnya korteks prefrontal dan insula) akibat kekurangmampuan individu hidup di era digital informasi.

Korteks prefrontal merupakan bagian otak yang menjadi pembeda manusia dengan mahluk lainnya. Pengambilan keputusan, pengendalian impuls (dorongan), perencanaan, dan kebijaksanaan ada di dalamnya. Sementara insula merupakan bagian yang berhubungan dengan empati dan compassion (kasih sayang). Lalu, apa jadinya jika pada kedua bagian tersebut terjadi atropi atau penyusutan?

Maka kemampuan “berselancar” dan beradaptasi di era digital informasi menjadi kebutuhan yang layak dipertimbangkan bahkan disejajarkan dengan kebutuhan pokok kita. Dan salah satu dari kemampuan “berselancar” itu adalah ability to live in the present moment, seperti yang dikatakan Abraham Maslow, psikolog ternama dunia. Investasi terhadap kesehatan mental Anda saat ini akan menentukan kehidupan Anda berikutnya di masa yang akan datang.

Sumber gambar: 
Dokumen pribadi

Minggu, 08 Oktober 2017

Let’s Talk Well-Being in The Workplace


Oleh Duddy Fachrudin

Let's talk well-being-Hari Kesehatan Mental Sedunia

Parjo : Min aku wis ora kuat nyambut gawe

Dalimin : Ono opo toh Jo?
Parjo : Aku kesel iki... diparingi kerjaan sing ora cocok karo jobdesku
Dalimin : Oalah...

Mari sedikit membicarakan well-being di tempat kerja.

Well-being sendiri dapat diartikan suatu kondisi kesejahteraan individu. Bukan kesejahteraan secara materi, melainkan lebih ke arah psikologis yang domainnya lebih ke arah afeksi dan kognisi. Perasaan bahagia, stres, serta puas dan tidaknya Anda pada pimpinan merupakan bagian dari well-being, khususnya di tempat kerja. Dalam dialog Parjo dan Dalimin, kita bisa menangkap curhatan Parjo kepada Dalimin yang merasa lelah karena di tempat kerjanya disuruh mengerjakan tugas-tugas yang tidak sesuai dengan jobdesknya. Ini suatu kondisi yang tidak nyaman yang dialami Parjo, dan realitanya kasus-kasus serupa banyak terjadi di berbagai lingkungan kerja.

Maka, kajian-kajian well-being mulai diperhatikan oleh organisasi, baik level pemerintah maupun swasta. Psikolog-psikolog klinis mulai dilibatkan untuk menangani stres kerja, burnout, dan ketidakbahagiaan yang muncul selama individu bekerja. Program-program stress reduction, happiness at work, dan work engagement frekuensinya diperbanyak dibandingkan dengan program-program lain. Hal tersebut menjadi sebuah investasi penting bagi perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan motivasi kerja sumber daya manusianya. Bahkan demi hal itu, organisasi mulai berani menerapkan suatu hal yang tidak biasa, yaitu memangkas jam kerja dari biasanya 8 jam ke 6 jam saja setiap harinya. Atau tetap bekerja selama 8 jam, namun 20% dari jam kerja tersebut boleh digunakan untuk mengerjakan hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Ya, itu terjadi di Google, salah satu perusahaan terbaik dunia.

Saat ini bukan banyaknya waktu yang mempengaruhi kinerja dan produktivitas seseorang, melainkan kemampuan menggunakan energi secara efektif yang menjadi pembeda antara yang produktif dan tidak produktif. Antara yang stres dan flow saat bekerja.

Terlalu banyak bekerja akan menggerus keseimbangan pada aspek fisik tubuh kita. Masih ingat dengan seorang copywriter yang meninggal setelah 30 jam bekerja? Atau berita mengenai dua orang karyawan Jepang yang lembur lebih dari 100 jam kemudian meninggal: yang satu karena serangan jantung, satunya lagi bunuh diri.

Mari bicarakan kesejahteraan di tempat kerja kita. Semoga Hari Kesehatan Mental Sedunia, 10 Oktober 2017 ini menjadi momen untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan (well-being) sumber daya manusia di organisasi kita.

Sumber gambar:
http://himpsi.or.id/31-semua-kategori/menu/publikasi/106-let-s-talk-wellbeing-program-himpsi-dalam-rangka-hari-kesehatan-mental-sedunia-10-oktober-2017

Jumat, 06 Oktober 2017

Bangkit dari Depresi Setelah Membaca Cerita Ini


Oleh Duddy Fachrudin

Depresi oh depresi. Gangguan ini diperkirakan menjadi penyakit yang mematikan setelah penyakit jantung di tahun 2020. Berita-berita saat ini menunjukkan penderita depresi yang memutuskan bunuh diri. Mulai dari artis hingga remaja biasa. Mulai Robin Williams, Chester Bennington, hingga saat ini yang menjadi trending yaitu seorang remaja putri yang bunuh diri di atas rel kereta kereta api di Cibinong, Bogor. “Aku merasa tidak ada artinya,” begitu salah satu statusnya di media sosial sebelum ia bunuh diri.

Menjelang Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober, kita perlu melakukan refleksi atau bahkan mendesain ulang kebutuhan hidup kita. Jika saat ini kebutuhan hidup kita berkisar pada kebutuhan dasar seperti makan, minum, lalu kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai, Kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan belajar dan mengaktualisasikan diri, maka sudah sepatutnya kita menambahkan satu kebutuhan penting dalam hidup. Kebutuhan tersebut yakni kesehatan mental (mental health).

Maka cerita inspiratif dari dunia One Piece karangan sensei Oda yang diambil dari buku “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” ini dapat menjadi asupan dan nutrisi akan kebutuhan kesehatan mental. Khususnya terhindar dan terlepas dari jeratan depresi:

Cerita inspiratif dari Nico Robin, salah satu karakter dalam One Piece

Dengar baik-baik Robin... Mungkin sekarang kau sendirian. Tapi, kelak... Kau pasti akan bertemu teman! Laut sangat luas... Kelak kau pasti akan bertemu! Teman-teman yang akan melindungimu. TIDAK ADA SEORANG PUN DI DUNIA INI YANG DILAHIRKAN BENAR-BENAR SENDIRIAN!
(Haguar D. Sauro kepada Robin di Pulau Ohara)

Nico Robin dianggap wanita iblis yang dapat menghancurkan dunia oleh Angkatan Laut. Oleh karena itu ia berada dalam daftar buruan sejak umurnya 8 tahun sebesar 79 juta Berry. Untuk bisa mempertahankan hidupnya, ia harus masuk berbagai organisasi, namun setiap organisasi yang ia masuki hancur kecuali dirinya. Sejak kecil Robin dianggap pembawa sial dan monster oleh penduduk pulau Ohara, padahal ia hanya seorang bocah yang memiliki minat terhadap buku dan arkeologi. 

Robin memiliki impian untuk mengungkap poneglyph yang bisa menceritakan sejarah yang sebenarnya. Namun, gara-gara label “wanita iblis”, “pembawa sial”, dan “monster” yang ia terima sejak kecil, masyarakat dunia menjauhinya. Ia tidak memiliki teman yang bisa diajak berbagi dan berjuang bersama-sama mewujudkan impiannya. Satu-satunya yang bisa mengerti dirinya adalah ibunya dan para sarjana Arkeolog Ohara. Namun, setelah pemerintah dunia menghancurkan Pulau Ohara, ia benar-benar tidak memiliki siapapun. 

Robin menerima banyak penolakan atas eksistensinya. Keberadaan dirinya sudah seperti kejahatan bagi masyarakat dunia. Dan ketika di Enies Lobby, ia sudah pasrah dengan kehidupan, yang ia inginkan hanya kematian meskipun Luffy dan kawan-kawannya berusaha membebaskannya dari CP 9. Hal itu terjadi akibat penolakan-penolakan yang ia terima, sehingga ia merasa sebagai beban dan pembawa sial jika bergabung bersama Bajak Laut Topi Jerami. Meskipun begitu, dalam hatinya sangat bahagia bersama sahabat-sahabatnya yang bisa menerima dirinya. 

Saat Robin sudah pasrah akan kematian, Luffy berkata, “Robin!!! Aku belum mendengarnya langsung darimu. Katakan, AKU INGIN HIDUP!!!”. 

Robin tergetar hatinya, matanya memancarkan air mata. Di saat orang-orang mengatakan ia tidak pantas untuk hidup, Luffy mengatakan sebaliknya. Di saat penduduk dunia menolak keberadaannya, Luffy dan teman-temannya menerima dan mendukung impian-impiannya. Ia bahagia... ia sangat bahagia mendengarnya, namun ia dalam posisi yang sangat sulit. Jika ia bergabung dengan Bajak Laut Topi Jerami, keselamatan teman-temannya terancam. 

Keheningan melanda Enies Lobby. Luffy menunggu jawaban dari Robin. Akhirnya Robin berkata, “Kalau sekarang aku dijinkan untuk mengatakan harapanku... Aku... AKU INGIN HIDUP! Bawa aku ke laut bersama kalian!”

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Referensi:
Fachrudin, D. (2011). 10 pesan tersembunyi & 1 wasiat rahasia. Solo: Metagraf.

Sumber gambar:
https://imgflip.com/i/1fcowy