Tampilkan postingan dengan label Aplikasi Mindfulness Buat Orangtua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aplikasi Mindfulness Buat Orangtua. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Agustus 2021

Mindful Parenting: Warisan Terbaik Orang Tua Adalah...


Oleh Duddy Fachrudin 

Sebelum lebaran tahun ini saya kedatangan seorang wanita muda. Ia mengaku pernah didiagnosis depresi dan bipolar. Selama sebulan terakhir ia melakukan meditasi bersama temannya di Jakarta. Wanita itu bisa merasakan ketenangan saat meditasi, namun ketika berhadapan dengan sumber stresnya, yaitu ibunya sendiri, ketenangan itu menjauh darinya.

Ibunya. Ya, ibunya adalah stressor utama.

Menurut tantenya yang mengantar wanita muda ini menemui saya, bahwa ibunya menitipkan ia ke kakek-neneknya sejak usia 2 hingga 9 tahun. Sebelum itu ibunya banyak mengalami konflik dengan ayahnya. Perceraian dipilih sebagai jalan akhir. Sang ibu kemudian fokus melanjutkan studi dan karier dalam bidang kedokteran kecantikan. Singkatnya, pola asuh dinomorduakan.

Hubungan sang ibu dan anak disharmonis. Kurangnya pemahaman tentang pola pengasuhan dan ketidaktepatan dalam penerapannya memperburuk relasi antara mereka berdua. Saling menghakimi dan menang sendiri, serta menutup diri dari berbagai perspektif hanya meluaskan konflik yang tak kunjung usia.

Experiential avoidance dengan merokok dan meminum minuman beralkohol yang kemudian dilakukan wanita ini memang menghasilkan ketenangan. Namun, rasa itu hanya sesaat, palsu, dan pastinya tidak akan pernah menjadi solusi bagi penderitaannya. 

Ibunya juga pasti merasakan hal yang sama. Tapi bingung dan tidak tahu cara menyelesaikan permasalahan ini. 

Siklus berulang atau fraktal tentang disharmonis dan disfungsi keluarga mungkin terjadi selama nirdukungan dalam membenahi mental masing-masing. Padahal keluarga memainkan peran vital bagi pembentukan kesehatan mental individu di dalamnya. Maka warisan terbaik keluarga atau orangtua kepada anaknya bukanlah harta mereka, melainkan keindahan perilaku yang mereka pancarkan dalam setiap gerak pengasuhan.


Wanita ini berencana pergi ke Ubud, Bali dan melanjutkan meditasinya sambil mengerjakan skripsi. Sementara tantenya masih terheran-heran dengan rencananya tersebut. "Ke Bali, meditasi? Untuk apa? Meditasi kan ritual agama hindu?," tanya tantenya yang juga adik kandung dari ibu wanita muda ini. 

Saya hanya bilang, "good" kepada wanita muda ini, lalu bertanya mengenai skripsinya. 

She seemed pleased with my attention. Dan ketika saya mendengarkan penjelasannya, she felt good... she felt happy to be heard. Seolah-olah selama ini ia jarang didengarkan oleh keluarganya. 

Lantas saya bertanya kepada tantenya, "Pernahkah ia dipeluk selama ini?". Sang tante hanya diam. Maka biarkan wanita ini memeluk masa lalu dan dipeluk ketenangan melalui meditasi.   

Sumber gambar: 

Selasa, 05 November 2019

Adiksi Kehidupan dan Mindful Parenting


Oleh Duddy Fachrudin

Mbah Kabat-Zinn bilang kalau mindful parenting itu pekerjaan yang paling abot (berat) di dunia ini, tapi mindful parenting juga pekerjaan yang memiliki potensi kepuasan dan kebahagiaan yang paling dalam sepanjang hidup...

Berat karena di jaman penuh distraksi ini orangtua menghadapi tantangan untuk bisa memberikan perhatian penuh kepada anak-anaknya.

Distraksi bukan hanya dari adiksi akan smartphone, melainkan juga adiksi kehidupan bernama pekerjaan, uang atau materi lainnya, serta ambisi yang membius menghanyutkan sekaligus melupakan.

Tak terasa waktu terus berlalu dan seakan semua baik-baik saja hingga sang anak berkata dalam hatinya: 

"Ayah Bunda kok ga pernah merhatiin aku ya? Ga pernah nanya teman-temanku. Ga pernah tau keterampilan bersepeda ku sudah sampai mana."

Ayah bunda tak pernah ada, meski hanya sebagai sandaran punggungku saat bermain hape setelah lelah bersepeda.

Maka interaksi interpersonal bukan hanya tercipta melalui kata belaka, namun sentuhan dan pelukan hangat akan menanamkan memori indah di hipokampus sang anak. "Aku dicintai," begitu katanya dalam hati.

Dan perhatian yang diberikan orangtua dalam bentuk afeksi yang hangat ini menjadi faktor protektif dari munculnya perilaku negatif pada anak. Sebut saja menggunakan narkoba, seks bebas, tawuran, dan sebagainya yang bersifat reaktif.

Kehangatan, kelembutan, dan cinta dari ayah bunda akan membentuk karakter positif pada anak. Maka sesungguhnya bukan barang mewah atau liburan ke luar negeri yang dibutuhkannya. 

Mereka hanya ingin hati orangtuanya terkoneksi dengan hatinya.

Sumber gambar:

Minggu, 22 September 2019

Mindful Parenting: Menjadi Ayah dan Ibu untuk Semua Anak (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Ayah dan bunda tentunya pernah membaca petikan ayat dalam Al-Qur’an bahwa semua anak terlahir suci?

Iya setiap anak terlahir dengan fitrah manusia yang selalu condong pada kebaikan. Kemudian anak-anak bertumbuh dan mengalami banyak hal sejak hari pertamanya di dunia. Ia mendapatkan asupan gizi, pengaruh lingkungan, pendidikan, serta berbagai contoh perilaku dari orang di sekitar yang tidak semuanya baik. 

Anak-anak belajar dan melakukan berbagai eksperimen sebagai bagian dari caranya untuk “hidup”. Menangis, merengek, memukul, mencubit, berteriak, dan sebagainya. Anak-anak juga pandai meniru apapun yang ia lihat dari berbagai sumber.

Jadi, saat ada anak yang memukul, berkata kasar, dan sebagainya, bisakah kita menyalahkan si anak sebagai unsur tunggal keburukan itu? Tentu saja tidak. Karena mereka masih perlu banyak waktu untuk belajar. 

Bahkan orang dewasa yang berbuat dosa pun, selalu Allah buka kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Apalagi anak-anak yang belum 100% berhasil menginstal nilai-nilai baik dalam kehidupan sehingga masih trial and error dalam menampilkan perilaku. 

Jadi, apakah adil jika kita menilai buruk seorang anak hanya karena satu kali pukulan yang ia lakukan pada anak kita? Ingat, mereka masih belajar, dan berhak diberi waktu serta teladan agar mengetahui sikap baik yang seharusnya ditampilkan.

Banyak kasus bullying yang setelah ditelusuri dengan teliti, kemudian akhirnya ditemukan bahwa pelaku bully juga adalah korban dari pengasuhan yang tidak tepat.

Mari menjadi orang tua yang berkesadaran (mindful) dan penuh kasih (compassionate) untuk semua anak. Mereka yang kita cap sebagai anak nakal, adalah anak-anak tidak berdosa yang tengah belajar bagaimana caranya untuk hidup. Kita punya kewajiban untuk menyelamatkan masa depan si “anak nakal” itu dengan memberinya kasih sayang.

Ijinkan anak-anak untuk berteman dan memberikan kasih sayang kepada siapa saja. Sembari kita kuatkan fondasi akhlaqnya agar tidak mudah terpengaruh hal-hal negatif. Jangan sampai kita berusaha melindungi anak kita, tapi di waktu yang bersamaan kita malah membunuh karakter anak lain.

Rasulullah Saw. telah memberikan contoh yang sangat nyata bagiamana memberi kasih sayang bahkan kepada seorang nenek tua yang setiap hari mengungkapkan kebenciannya pada Baginda Rasul. 

Berkasih sayang adalah akhlaq utama seorang muslim. Dan kasih sayang adalah energi yang dahsyat yang dapat kita berikan pada seluruh anak Indonesia.

Tidak ada anak yang nakal, mereka hanya sedang belajar bagaimana mengekspresikan diri. Mereka sedang belajar untuk hidup. 

Jika yang mereka lakukan salah, maka tugas kita membenarkannya. Jika mereka terjebak dalam gelap, tugas kita memberinya terang.

Sumber gambar:

Mindful Parenting: Menjadi Ayah dan Ibu untuk Semua Anak (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Mawar mengejutkan gurunya saat ia tiba-tiba menangis tersedu. Mawar mengadu bahwa sudah beberapa hari ini ia tidak diajak main oleh Melati. Setiap kali Mawar mengajak Melati bermain, pasti Melati langsung kabur dan bermain dengan anak yang lain.

Masih menurut pengakuan Mawar, konon Melati tidak mau main dengan Mawar selamanya. Guru mendapati jawaban yang sangat mengejutkan saat bertanya pada Melati, iya, katanya ia tidak sudi lagi bermain dengan Mawar karena dilarang ibunya. 

Karena Mawar kurang pintar dalam pelajaran, jadi Ibu melarang Melati untuk dekat-dekat dengan Mawar karena takut Mawar akan memberi dampak buruk bagi Melati. 

Dan keterkejutan sang guru semakin menjadi saat ibunda Melati memberikan jawaban yang sama persis dengan anaknya. Sementara Mawar menjadi semakin pemurung sejak kehilangan salah satu teman terbaiknya.

Apakah kasus Mawar dan Melati ini nyata? Ya. Kurang lebih ada banyak kasus serupa di Indonesia. 

Ada anak-anak yang sengaja dihindari karena disinyalir akan memberi dampak buruk bagi anak yang lainnya. Tentu tujuan dari ibu dan ayah sangatlah mulia. Mereka ingin melindungi anak mereka dari dampak buruk saat bergaul dengan anak yang “tidak baik”.

Ayah dan bunda... Sebelum melarang anak kita bermain dengan si A, si B dan seterusnya, mari kita renungkan beberapa hal sederhana...

Saat kita kecil dulu, apakah kita pernah melakukan kesalahan pada teman kita? Pernahkah kita bertengkar hingga memukul atau mencubit teman kita? 

Saat kita kecil dulu, bagaimana rasanya saat tidak ada yang mau menemani kita bermain? Pernahkah kita berusaha memahami perasaan anak yang kita larang bermain dengan anak kita? 

Bagaimana rasanya jadi dia yang dikucilkan dari lingkungan sosialnya? Apakah rasa terkucilkan yang dialami mahluk mungil itu akan berdampak semakin buruk pada kesehatan mentalnya? 

Bagaimana jika ia kemudian menjadi semakin penyendiri dan benar-benar tidak bisa hidup dalam lingkungan sosial?

Banyak kasus pelaku kekerasan berawal dari trauma masa kecil. Dan jangan sampai kita turut andil menciptakan para pelaku kekerasan dengan memberi anak-anak kecil tak berdosa sebuah trauma dengan mengucilkannya dari lingkungan sosial.

Tapi kan si A itu suka mukul, si B itu bicaranya kasar, si C itu gak pinter, nanti nular ke anak saya! 


Sumber gambar:

Kamis, 18 Juli 2019

Mindful Parenting: Menata Ekspresi (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Anak-anak perlu belajar menjadi pribadi yang solutif nan kalem. Agar ia pandai move on saat dewasa. Maka mari mulai tata ekspresi kita.

Saat anak melakukan kesalahan, cobalah untuk menarik nafas dalam dan panjang sembari istighfar. Dampingi anak bertanggung jawab atas kesalahannya sambil tetap menahan agar tidak dulu mengeluarkan kata-kata yang membuatnya justru ketakutan. 

Misal saat anak menjatuhkan sesuatu, cukup ajak dia merapikan kembali. Saat suasana sudah rapi, kita sudah lebih tenang, barulah kita ajak ia diskusi. 

Tidak lupa kita selipkan pesan cinta bahwa, apapun yang kamu lakukan, mama selalu sayang sama kamu. Ini penting agar anak sadar akan kesalahannya tapi di satu sisi ia tetap tenang dan merasa dicintai.

Yang menarik, rupanya menata ekspresi ini juga diperlukan saat anak melakukan sebuah kebaikan. Usahakan untuk tidak senang berlebihan saat anak mencapai sesuatu baik di sekolah maupun di rumah. Beri apresiasi secukupnya, tidak perlu pakai sorak sorai berlebihan. 

Kenapa? Karena saat ia tidak mencapai prestasi tertentu, dia akan cemas kalau ayah bundanya tak akan sesenang saat ia mencapai suatu prestasi. 

Ada satu kisah yang sangat menarik dari seorang ayah yang memiliki anak pemain baduk. Sang ayah selalu mendukung anaknya dan bahkan selalu menyimpan foto sang anak saat masuk surat kabar. Tapi di hadapan anaknya, ia berusaha bersikap sewajar mungkin baik saat anaknya menang maupun saat anaknya kalah. Ia ingin menunjukkan bahwa yang membuat ia mencintai anaknya bukanlah karena ia menang pertandingan, tapi karena ia mencintai anaknya apa adanya, entah saat menang ataupun kalah. 

Bereaksi berlebihan saat ia menang hanya akan membebaninya saat ia kalah.” 
–Choi Soo Mong- Reply Me 1988.


Sumber gambar:

Mindful Parenting: Menata Ekspresi (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Ayah, Bunda, pernakah mengalami kegagalan terbesar dalam hidup? 

Mari kita sejenak menelusuri apa yang kita rasakan saat itu. betapa kecewa dan hancurnya hati ini seolah dunia terhenti seketika. 

Itu dulu, nyatanya saat ini kita masih hidup dan masih bisa tertawa, bukan? Perlahan kita dapat bangkit dan menyembuhkan luka-luka yang menyayat hati dan bahkan bisa jadi kita saat ini sudah lebih baik dalam berbagai hal di banding saat itu.

Dalam kajian Psikologi, itulah yang disebut dengan resiliensi atau daya lenting. Kemampuan yang memungkinkan seseorang bersikap lentur sehingga ia bisa bangkit dari keterpurukan dan menata kembali hidupnya pasaca kemalangan tersebut. 

Menurut Grothberg, resiliensi bukanlah trik sulap, melainkan sebuah proses yang dibangun sejak masa kanak-kanak. Ya, sejak masa kanak-kanak. Jadi kemampuan untuk move on, untuk berdamai dengan masa lalu dan memaafkan mantan itu dibangun sejak anak dalam buaian.

Proses terpenting dari pembentukan resiliensi adalah menghadapi konflik, melakukan kesalahan, dan mengalami berbagai perdebatan. Jadi jika hari ini anak kita memecahkan gelas, berebut mainan dengan si adik, atau berdebat sengit soal siapa yang duduk di kursi depan dan belakang mobil, maka inilah kesempatan emas bagi kita untuk membentuk daya resiliensinya.

Salah satu cara terampuh adalah dengan menata ekspresi kita saat menghadapi berbagai keruwetan itu.

Kita kadang terlupa, ketika anak melakukan kesalahan lalu kita otomatis berteriak dan membuat anak trauma melakukan kesalahan. Belum lagi ditambah pidato 60 menit dengan kecepatan bicara layaknya Valentino Rossi saat bertanding di arena. Lalu tatapan penuh makna intimidatif dan tangan yang setia bertengger di pundak. 

Apakah ini efektif? Ya, efektif membuat anak takut dan mencari jalan pintas saat terkena masalah berikutnya. And we know that, short cut would never works.

Sumber gambar:

Senin, 12 November 2018

Mindful Parenting: [Refleksi Hari Ayah] Bapak Juara Satu Sedunia (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Terlalu banyak kebaikan beliau yang bisa saya ceritakan, tapi saya hanya ingin memberikan gambaran, kira-kira sedalam apa perasaan saya kepada beliau melalui kisah singkat berikut:

Alkisah di penghujung 70'an saya terbaring sakit berminggu-minggu. Tak ada dokter yang dapat menyembuhkan, termasuk Kakek dan Nenek saya yang seorang dokter dan juga guru besar.

Saat itu Bapak tengah menempuh program Masternya di IHE Delft. Pada akhirnya para dokter bersimpulan bahwa apa yang saya derita adalah manifestasi psikosomatis yang terjadi karena saya menahan rindu kepadanya.

Maka berangkatlah anak kecil ini ke negeri Holland. Belasan jam penerbangan dan beberapa kota dilintasi. Ajaib, setelah bertemu dengan Bapak di bandara Schiphol seolah semua penyakit mendadak sirna!

Tentu semua kita memiliki kenangan berbeda dengan Ayahanda. Tapi susah-senang dan apapun yang beliau lakukan pada kita, marilah kita belajar untuk percaya, bahwa apapun sikap dan perlakuan orangtua, hampir dapat dipastikan bahwa niatnya adalah untuk kebaikan anak dan keluarga.

Saya pernah menulis ini dalam sebuah buku bergenre sastra, tentang seorang Ibu yang dianggap tak beradab karena meninggalkan anaknya di pintu depan pintu asuhan. Tapi ternyata di balik keputusan besar itu sang Ibu terluka dan menjerit dalam hatinya, tak kuat menghadapi perpisahan dengan anaknya. Ia meyakini bahwa dengan segala keadaan yang dihadapi, menitipkan anak bukanlah karena ia ingin lepas dari tanggungjawab, melainkan dengan dititipkanlah maka masa depan anak masih ada peluang untuk terjaga.

Berat baginya, karena merindu. Berat baginya karena tak lama lagi hujan hujat akan membantainya dan memberinya identitas baru sebagai orangtua yang tak tahu malu. Memang demikianlah orangtua, demi anak apapun dilakukannya. Tak malu lagi saat berutang demi membelikan buku pelajaran anaknya. Tak jeri lagi saat di malam buta berlari kian kemari mencari dokter dan obat bagi anak-anaknya.

Jutaan peluh dan airmata telah membasahi tubuh renta mereka. Maka kini saatnya kita yang muda dan rindu Bapak, mulai belajar bagaimana cara menjadi manusia yang seutuhnya, yang mau menerima sekaligus tergerak untuk selalu menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan.

Love U Bapak, dari kami anak-anakmu yang merindu...

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:
https://isha.sadhguru.org/in/en/wisdom/article/fathers-sons-karan-johar-conversation-sadhguru

Mindful Parenting: [Refleksi Hari Ayah] Bapak Juara Satu Sedunia (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Semalam teman saya yang gagah, yang pernah mengabdi sebagai tentara infanteri dan tentu tangguh sekali, berkata bahwa ia rindu Ayahnya.

Banyak hal yang hanya dapat dikenangnya. Banyak hal yang hanya bisa dibaginya dengan sang Ayah; suka, duka, derita, juga gembira. Demikianlah adanya. 

Ternyata saya pun mengalami hal serupa. Saya memang anak Bapak dalam artian harfiah. Anak yang menempel pada Bapaknya. Anak yang beruntung karena memiliki idola yang bisa dibanggakan bukan karena harta, jabatan, ataupun sekedar kerupawanan. 

Bapak yang justru sederhana, bersahaja, dan apa adanya. Pejuang diam yang tak pandai merangkai kata. Yang menunjukkan kasih sayang dengan menggendong sepanjang jalan saat lutut saya terluka kena knalpot motor yang membara. Atau hanya duduk diam melihat saya berenang di sungai Toraut di tengah hutan Dumoga. 

Bapak yang hanya berbinar saat anaknya menjadi murid teladan kabupaten dan pada akhirnya propinsi. Bapak yang duduk tenang saat anaknya diwisuda sebagai lulusan terbaik sekaligus generasi pertama program Pascasarjana disiplin ilmu yang baru ada di Indonesia. 

Tidak banyak bicara tapi jujur dalam laku dan lurus dalam perbuatan. Kadang itu semua melebihi ribuan kata manis berbunga-bunga yang lebih tepat menghiasi halaman-halaman buku cerita. 

Bapak tidak pernah menasehati soal kejujuran dan integritas, namun dibawanya saya ke tempat kerja dan melihat bahwa beliau membongkar semua konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang direncanakan. 

Beliau tidak pernah mengumbar janji dan jargon manis dalam bentuk orasi, tidak, tapi setiap kali berpindah tempat tugas banyak orang melepas kami sekeluarga dengan linangan air mata. 

Dan sampai saat ini setelah Bapak tiada, kemana pun saya pergi di Indonesia selalu ada sahabat-sahabat dan anak didik Bapak yang dengan tulus hati menyambut saya dengan tangan terbuka. Terkadang melebihi saudara. Satu kalimat pendek yang sudah saya hafal karena selalu diulang oleh para rekan Bapak: "...saya banyak belajar dari Pak Sus." Itulah nama panggilan Bapak saya. 

Bagi saya itu hal yang aneh. Bapak saya jarang bicara panjang lebar, hanya senyum dan mendengarkan lalu sesekali melontarkan pandangan dan rencana yang detil. Hemat dalam kata berlimpah dalam karya. 

Usai gempa besar melanda Sulawesi Tengah, beberapa sahabat keluarga mengirimkan foto-foto dari karya konstruksi Bapak berupa rumah panggung yang utuh tidak kurang suatu apa. 

Dan Bapak pun tidak banyak bertanya saat saya mohon izin untuk menikah di usia yang amat muda. Hanya senyum dan mendoakan pilihan saya adalah yang terbaik. 

Bahkan Bapak sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan saat saya memilih untuk menekuni aktivitas yang bersifat akademis tinimbang menjadi orang klinis yang hidupnya bisa dijamin kinyis-kinyis. 


Sumber gambar:
https://isha.sadhguru.org/in/en/wisdom/article/fathers-sons-karan-johar-conversation-sadhguru

Rabu, 03 Oktober 2018

Mindful Parenting: Ayah Bunda, Temani Aku Bertualang!


Oleh Duddy Fachrudin

Michael Resnick Ph.D, dkk, menyatakan remaja yang merasa dicintai dan terhubung dengan orangtua mereka lebih jarang hamil di luar nikah (atau MBA), memakai narkoba, bertindak agresif dan destruktif, serta bunuh diri.

Kok bisa? Tentu saja bisa, karena orangtua sibuk bekerja dan memiliki waktu yang sangat sedikit sekali untuk berinteraksi bersama anaknya. Ketika sang anak berusia remaja, rata-rata orangtua berusia 35-45 tahun di mana mereka sedang berada pada level top di tempat kerja atau bisnisnya.

Kita bisa menengok sejenak beberapa kasus-kasus seperti itu di mana orangtua memiliki waktu dengan anaknya hanya pada hari minggu. Suatu hal yang wajar jika sang anak stres dan mengalihkan masalahnya ke hal-hal negatif.

Pada situasi seperti ini bukan jalan-jalan ke Bali atau Singapura yang dibutuhkan anak. Namun attachment yang sehat serta penuh kasih sayang dan cinta yang diharapkan diberikan ayah-bundanya. Ia rindu akan oksitosin, atau hormon cinta yang dikeluarkan sang bunda saat dirinya lahir ke dunia. Ia pun rindu akan cinta sang ayah yang dibalut dengan pesona diamnya, seperti ayah Ikal—ayah juara satu sedunia.

Maka jika orangtua sibuk, siapa yang kelak melantunkan ayat-ayat-Nya serta mendongengkan kisah-kisah para nabi dan sahabat Rasululullah?

Ya, melayani. Sebagai orangtua, kita perlu melayani anak-anak kita dengan cinta. Menjadi teman serta pemandu perjalanan. 

Dan melayani dapat meningkatkan rasa cinta, benarkah?

Masih berkisah tentang keluarga. Mengapa keluarga? Karena keluarga merupakan sistem interaksi dan pendidikan awal manusia. Hasil pembelajaran yang didapat di keluarga akan menentukan kehidupan anak di masa depan.

Suatu hari aku bertualang meniti bebatuan dalam eloknya riak sungai. Menaiki jembatan bambu yang bergoyang menggerus keseimbangan. Suara alam, jangkrik, atau burung begitu terdengar merdu. Sementara cahaya matahari yang menyembul malu-malu dari balik pohon-pohon rimba.

Sampainya di tujuan setelah menempuh perjalanan panjang, terlihat sebuah keluarga: Ayah, Bunda, dan 2 buah hatinya. Yang satu sekitar 7 tahun, satunya lagi yang dalam dekapan hangat Bundanya, masih sekitar 2 tahun.

Mereka menapaki jalur naik-turun yang sama denganku! Mereka tersenyum bahagia, dan mungkin juga sesekali bertahmid memuji keagungan karya cipta-Nya. Ketika meniti jembatan bergoyang itu, terpancar sinergi dan kolaborasi cinta agar tidak terjatuh. 

Memang benar dalam Islam, bahwa salah satu memperkuat ikatan dan rasa cinta adalah dengan berjalan jauh bersama. Ketika rihlah penuh cinta, momen-momen indah akan bersemayam di hipokampusnya masing-masing. Emosi bahagia tumpah ruah ke sekujur tubuh yang lelah. 

Aku belajar dari keluarga itu, keluarga yang terlihat sederhana. Saat keluarga lain menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, mereka dengan senyum dan tawa melakukan petualangan.

Rasa cinta kepada pasangan atau anak-anak akan semakin meningkat. Ayah dengan Bunda, Ayah Bunda dengan anak-anaknya, serta sebaliknya. Kelak suatu hari di masa depan, sang anak akan bertutur kisah bahagia saat mereka mendaki rimba dengan Ayah Bundanya tercinta. "Inilah perjalanan kita, perjalanan cinta," begitu mereka mengakhiri kisahnya.

*Sebuah refleksi Hari Kesehatan Mental Dunia setiap 10 Oktober. Mari peduli dan sadar akan pentingnya mental health anak-anak kita.

Sumber gambar:
https://www.outsideonline.com/2099776/why-you-should-hike-your-baby-and-how-do-it

Minggu, 05 Agustus 2018

MIndful Parenting: Menjalani Kehamilan dengan Mindful (Sebuah Pengalaman berlatih Mindfulness)


Oleh Delima Amiyati

Beberapa hari belakangan ini jadwalku memang padat. Revisi tesis dan laporan HIMPSI menjadi "makanan" sehari-hariku.

Selain tanggungjawabku sebagai mahasiswa, aku pun perlu memberikan perhatian pada kehamilanku yang sudah menginjak lebih dari 5 bulan.

Sungguh terasa berat jika dipikirkan menjalani dua peran sekaligus tanpa ada yang membantu. Aku tinggal di Bandung sendiri, jauh dari keluarga dan suamiku bekerja di Jakarta.

Namun, daripada berkeluh kesah, lebih baik menjalaninya dengan suka cita.

Dan untuk itu, aku belajar untuk hidup mindful

Efeknya sungguh menyenangkan. Saat mengerjakan revisi tesis misalnya, entah mengapa beragam ide tulisan tumpah ruah dan mengalir begitu saja. Biasanya aku lama dalam mengerjakan revisi, kini sejak mempraktikkan mindfulness, mengerjakannya lebih lancar dan juga cepat.

Saat asik-asiknya mengetik, janin dalam perutku bergerak-gerak. Biasanya aku langsung berhenti menulis, menutup laptop, dan kemudian merebahkan diri.

Namun kini...

Aku mengamatinya sejenak, menyadarinya, merasakannya, dan menerima sensasi tersebut lalu tetap melanjutkan mengetik revisi. 

Meskipun dalam kondisi hamil, aku menjadi lebih produktif, energi lebih berlimpah, dan dapat menikmati setiap momen saat mengerjakan tesis.

Lewat hidup yang berkesadaran (living mindfully) ini, aku sebagai Bumil bisa lebih menerima dan mengelola kekhawatiran yang muncul, lebih berpikir positif, dan bersyukur dengan kondisi yang saat ini aku alami serta jalani.

Maka, "la-in syakartum la-adziidannakum wala-in kafartum inna 'adzaabii lasyadiid." (QS. Ibrahim: 7)

Setiap momen merupakan suatu berharga dan patut untuk dinikmati dan disyukuri. Ketika living mindfully, kita akan melihat banyak keajaiban terjadi di dalam kehidupan kita.

Sumber gambar:
http://www.bamboofamilymag.com/summer-2012/mindful-pregnancy-traditional-chinese-medicine-an-approach-t.html

Senin, 20 November 2017

Mindful Parenting: Ayah, Bunda, Ijinkan Kami Bertengkar

(Ilustrasi) Anak Bertengkar

Oleh Nita Fahri Fitria

Ayah dan Bunda pernah mendengar rengekan si kecil yang mengadu karena berebut mainan dengan temannya? Bersyukurlah, karena itu artinya salah satu tugas perkembangan ananda untuk berperan dalam kehidupan sosial sudah mulai berkembang. Justru jika anak yang sudah sekolah dan dia tidak pernah bertengkar sekalipun dengan teman, Anda perlu bertanya apakah dia punya teman di sekolah atau tidak? Apakah dia bisa terlibat dalam permainan dengan temannya atau tidak?

Jadi jangan buru-buru berburuk sangka jika teman si kecil nakal dan melarangnya bermain lagi. Justru di saat ananda melaporkan masalah dengan temannya adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengajarkan banyak hal, yaitu mulai dari memfilter masalah, mencari solusi, bertoleransi, sampai menumbuhkan jiwa pejuang pada anak kita.

Maka melindungi atau menghindarkan anak dari konflik dengan teman sebayanya bukanlah solusi yang bijak jika ayah dan bunda ingin menjadikan anak-anak kita menjadi generasi pahlawan. Justru kita perlu mendorong mereka untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Ajak ananda berdiskusi, bagaimana caranya bertoleransi dengan teman yang sedang marah, bagaimana caranya untuk menunjukkan sikap saat ada teman yang memukul, bagaimana caranya memaafkan teman yang tidak sengaja mendorong, bagaimana caranya meminta maaf dan mengakui kesalahan saat kita yang salah, dan sebagainya.

Yakinkan bahwa konflik dengan teman itu hal yang biasa dan mungkin terjadi dalam hidupnya kelak setelah masa kanak-kanak. Namun bagaimana kita menghadapi konflik, itulah yang perlu kita ajarkan. Dan upayakan agar kita menanamkan kemampuan untuk bersikap netral saat terjadi konflik, “Jika terjadi pertengkaran dengan teman, bukan berati teman kamu nakal lho, kamu dan dia hanya sedang punya kinginan yang berbeda," Sederhana kan?

Sekali lagi, kita tidak bisa menjamin bahwa kita akan selalu ada untuk mereka. Kita bisa menua, bahkan meninggal suatu hari nanti, atau mungkin besok lusa. Jika kita tinggalkan anak-anak dalam kondisi terbiasa dibela, terbiasa dilindungi, akankah mereka bertahan tanpa kita? Tugas kita bukanlah menjadi superhero abadi, melainkan melahirkan pahlawan-pahlawan baru.

“Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka dan khawatir terhadap kesejahteraanya. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An-Nisa: 9).

Maka mari kita ijinkan dan dampingi anak-anak bertengkar dengan temanya. Mari kita ijinkan dan dampingi mereka menyelesaikan masalahnya sendiri dengan bertoleransi, meminta maaf, dan bersikap tangguh.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://www.tipsanakbayi.com/2016/04/cara-mengatasi-anak-sering-bertengkar-dengan-adik.html

Jumat, 19 Mei 2017

Mindful Parenting: Mengajarkan Jeda Pada Anak Sehingga… (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Bagi orangtua yang memiliki anak usia pra-sekolah yang perilakunya cenderung impulsif jangan menghakimi atau menilainya dengan label negatif seperti “anak nakal”.

Cobalah untuk memberikan pendampingan melibatkan emosi positif. Perlu diingat bahwa bahasa non verbal seperti ekspresi, intonasi dan gerak tubuh itu justru 70% lebih masuk ke dalam memori anak dibanding bahasa verbal.

Jadi perlu diperhatikan saat kita berkata, "Sabar, Nak", pastikan kita mengatakannya dengan intonasi dan eskpresi yang lembut agar memorinya menangkap secara utuh apa itu sikap sabar.

Saat kita sedang mengantri di kasir, pastikan untuk menggenggam erat tangannya sambil kita tetap dalam barisan antri.

Pada momen inilah amat jitu bagi kita untuk mengajarkan apa itu sabar dan sikap toleran pada orang lain. Sabar berarti mengajarkan perlunya jeda sejenak pada orangtua dan anak-anak. 


Selain perlunya mengantri dengan sabar, aktivitas saling berbagi juga dapat diupayakan orangtua agar anak-anak mengurangi impulsifnya.

Anak dapat diajarkan berbagi makanan untuk diberikan kepada temannya, atau saudara-saudaranya. Khusus yang terakhir, aktivitas berbagi dapat menjadi upaya preventif dari munculnya sibling rivalry pada anak.

Belajar untuk jeda juga bisa dilakukan dengan menyenangkan seperti melibatkan anak pada suatu proses aktivitas, misalnya memasak di rumah.

Anak yang terbiasa mengikuti proses seperti memasak dia akan belajar memberi jeda antara keinginan yang belum terpuaskan dengan proses.

Begitu juga dengan mengijinkan dan mengajarkan anak mengurus dan menata barang-barangnya sendiri. Anak mulai belajar bertanggung jawab sepenuhnya melakukan hal tersebut. 

Lalu, apalagi materi pelajaran jeda pada anak? Jalan kaki, iya jalan kaki. Sederhana, bukan? 

Berjalan membuat anak terlibat secara aktif dalam sebuah perjalanan dan memberikan anak kesempatan untuk menikmati suasana di sekitar dengan lebih lambat dan detil.

Berbeda dengan saat di dalam motor atau mobil. Maka ajaklah anak Anda berjalan kaki sesering mungkin.

Seorang murid penulis yang tadinya terkendala soal kesabaran ini kemudian rutin diajak berjalan kaki oleh ibunya, setelah hampir satu semester anak ini kemudian secara ajaib mulai pandai membaca.

Kok bisa? Iya karena selain secara kebutuhan biologis bahwa bergerak aktif berpengaruh positif pada otak, kegiatan berjalan mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan kesiapan untuk berada dalam proses.

Sehingga saat anak mulai belajar huruf di mana ia butuh berkonsentrasi dan berada dalam proses panjang maka sikap ini sudah terbentuk sehingga dia siap untuk belajar. 

Last but not least, saat anak sedang situasi menunggu giliran, ajak anak untuk berhitung pelan-pelan untuk membuatnya tetap "awas" saat menunggu.

Pola menjaga kesadaran ini penting agar anak tahu apa arti dari menunggu. Jika dalam kegiatan bercerita dengan teman atau saudaranya, coba mengajak anak untuk tertib dengan mengacungkan tangan sebelum bicara.

Ini sederhana, tapi efeknya luar biasa dan sudah diuji coba. Hal tersebut bisa mengajarkan anak untuk menghargai orang lain dan memberi jeda pada dirinya sendiri sebelum berbicara. 

Jadi, apa yang mungkin terjadi jika orangtua mulai mengajarkan jeda pada anak? Mungkinkah jika anak tersebut kelak akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang positif dan berkata-kata dengan santun dan lemah lembut? Semoga.

Sebelumnya 1

Sumber gambar:
https://www.opencollege.info/how-to-stop-child-temper-tantrums/

Mindful Parenting: Mengajarkan Jeda Pada Anak Sehingga… (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Apa yang mungkin terjadi jika Anda menyalakan keran air sepanjang hari? Maka tentu saja, air akan meluap dan memenuhi kamar mandi bahkan ruangan-ruangan lain di rumah Anda. Dengan kata lain dapat terjadi banjir di rumah Anda.

Banjir itu pula yang nampak pada banyaknya komentar pada sebuah postingan foto selebritis yang terkena skandal atau berita politik yang penuh pro dan kontra.

Komentar-komentar yang mengalir tanpa jeda, melelebar ke mana saja, memasuki setiap celah, menggenangi hampir semua permukaan. Komentar yang kadang tanpa pertimbangan rasa bahkan moral. 

Inilah realita dunia sekarang.

Dunia yang penuh dengan informasi, tanpa sekat, tanpa batas, dan setiap orang dapat mengaksesnya. Dunia yang banjir informasi, termasuk banjir komentar, baik yang positif maupun negatif.

Sayangnya manusia lebih suka memberikan penilaian secara negatif, baik itu kata-kata yang menyerang, memaki, menyindir, dan menghakimi.

Mengomentari dengan kalimat yang destruktif memiliki pola yang khas, yakni tiba-tiba, tanpa perencanaan, tanpa pertimbangan, reaksi yang terlalu spontan dan biasanya disertai dorongan yang menggebu-gebu atau impulsif. 

Reaktif dan impulsif tidak sepenuhnya buruk karena bayi hingga usia pra-sekolah sering melakukannya.

Hal ini masih wajar karena mereka berada pada periode yang belum bisa meregulasi emosi dengan baik.

Jadi jika anak-anak di Taman Kanak-kanak masih sulit untuk fokus pada hal yang butuh konsentrasi lama, atau tiba-tiba bicara sebelum lawan bicaranya selesai bicara, serta tindakan lain yang bersifat spontan tanpa pertimbangan, maka hal ini masih tergolong wajar.

Itulah kenapa, di sekolah sangat penting anak diajarkan mengantri, memakai mainan bersama teman atau saling berbagi, diajak sering-sering mendengarkan cerita, tidak lain adalah agar anak belajar mengelola dorongan dalam dirinya untuk tidak bersikap impulsif. 




Jika pada masa anak pemberian stimulasi ini gagal maka bisa jadi perilaku tersebut terbawa sampai dewasa.

Perilaku impulsif ringan pada orang dewasa misalnya berbelanja di luar rencana karena dorongan diskon.

Perilaku impulsif yang lebih serius bisa nampak pada perilaku yang dibahas pada awal tulisan ini, yaitu bertindak atau berkata-kata yang bersifat menyerang pada orang lain, tanpa mempertimbangan rasa, nilai-nilai moral, dan agama.

Terjadi kehilangan kontrol dan seperti air yang mengalir tanpa jeda. Jika perilaku ini tidak ditangani serius bisa mengarah pada permasalahan yang lebih besar. 

Berikutnya 1 2

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
https://www.opencollege.info/how-to-stop-child-temper-tantrums/