Tampilkan postingan dengan label Intervensi Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Intervensi Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Oktober 2023

Strategi QIKI Agar Pikiran Jernih dan Tercegah dari Bunuh Diri



Oleh Tauhid Nur Azhar

Kerap dalam hidup kita terjebak dalam pusar keluh kesah yang menyedot kita ke dalam umbalan kekecewaan tak berujung.

Rasa tak puas, cemas, khawatir terhadap masa depan, berkelindan dengan kekesalan akan pengalaman yang telah dijalankan. Semua berkemuncak dalam sebait kemarahan yang dilisankan, ataupun meletup dalam letusan vulkanis yang masif dan emosional, hingga meninggalkan lubang kaldera yang teramat besar di hati dan jiwa kita.


Hati dan jiwa yang terluka, akan menjadi danau penampung air mata sebagaimana danau Toba menampung jutaan metrik ton air di bekas letusan kawah purbanya.

Dapat pula lelehan magma kecewa itu mengalir secara efusif dan keluar dalam bentuk tekanan solfatara. Merembes dan merasuki begitu banyak aspek kehidupan dan menggerus rasa syukur secara terstruktur, meski kita tak dapat mengidentifikasi dan mengukur dampak yang terjadi.


Tapi tentulah apapun jenis letusan dan letupan perasaan yang kita analogikan dengan erupsi gunung api; bisa meledak hebat seperti tipe letusan Plinian, ataupun yang mengeluarkan materi piroklastik seperti ada tipe Hawaiian, tetap saja rasa marah dan kecewa itu pada mulanya akan menghanguskan.

Meski pada tahap berikutnya jadilah ia pupuk yang menumbuhkan benih-benih pembelajaran yang akan berakar kokoh untuk menopang pokok-pokok pengetahuan agar mampu menghasilkan tajuk-tajuk makrifat kesadaran.

Dan apabila tajuk kesadaran itu merindang, maka kesejukan pikir pun akan datang. Berdendang riang, berbagi suara dengan lantun zikir yang membulir dalam sebentuk embun bening peradaban yang dibangun dari pemahaman akan hakikat keberadaan dan esensi kehadiran (presensi).

Dalam hening jiwa yang berkesadaran, kesiur lirih, tipis, dan subtil dari setiap helai kebahagiaan, telah mampu membangkitkan generator rasa syukur yang dikonstruksi oleh mekanisme tafakur dalam perjalanan hidup yang semangat bertadabbur.

Pada saat kita gagal menata hati dan terjerembab dalam jurang merutuki yang menggelincirkan kita dalam pusaran keluh kesah tadi, maka situasi hati akan terus terdistorsi, dan bahkan terdestruksi. Keluh kesah, kecewa, dan rasa kufur akan bersama mengubur rasa syukur dan menimbuninya dengan torehan kepedihan yang amat menyakitkan.

Hidup tak lagi indah, putus asa dan rasa lelah lahir bathin akan melanda, bahkan di penghujung hari kadang terbersit keinginan untuk bunuh diri. 

Bukankah hasrat dan syahwat untuk mengejar nikmat secara terkendali adalah fitrah bagi kita yang hidup untuk berkompetisi dan berprestasi? Fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam menimba kebajikan dari sumur pengalaman yang dipenuhi dengan air pelajaran, untuk menghasilkan bertangkup-tangkup kebaikan.

Ketika gairah hidup surut, dan segenap semangat untuk mengaktualisasi diri bermuara pada apatisme dan rasa sepi, maka dalam panduan diagnosis ICD-10, ada kemungkinan kita telah memasuki fase depresi. Adapun depresi itu sendiri terdiri dari beberapa kategori, sebagaimana penjelasan berikut ini;

1. Depresi Mayor

Depresi ini diartikan sebagai jenis depresi yang membuat penderitanya merasa sedih dan putus asa sepanjang waktu. Gejala bisa berlangsung berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Terlepas dari berapa lama gejala berlangsung, depresi berat dapat mengganggu aktivitas dan kualitas hidup penderitanya. berikut ini gejala dari depresi mayor:

• Suasana hati yang murung dan suram
• Kehilangan minat terhadap hobi atau aktivitas lain yang sebelumnya disukai
• Perubahan berat badan
• Gangguan tidur
• Sering merasa lelah dan kurang berenergi
• Selalu merasa bersalah dan tidak berguna
• Sulit berkonsentrasi
• Kecenderungan untuk bunuh diri

2. Depresi Persisten

Depresi persisten atau distimia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi depresi yang bersifat kronis. Gejala yang ditimbulkan sama dengan depresi pada umumnya, namun depresi jenis ini berlangsung lama bahkan hingga bertahun-tahun. Seseorang dapat disebut menderita depresi persisten apabila ia merasakan gejala depresi yang menetap selama setidaknya 2 bulan secara terus menerus dan hilang timbul dalam waktu 2 tahun.

3. Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat drastis. Seseorang yang memiliki gangguan bipolar bisa merasa sangat senang dan berenergi di suatu waktu, namun tiba-tiba menjadi sedih dan depresi. Pada saat berada dalam fase senang dan berenergi (mania atau hipomania), penderita bipolar akan mengalami beberapa gejala berikut ini:

• Optimis dan tidak bisa diam
• Sangat berenergi dan lebih bersemangat
• Percaya diri yang berlebihan
• Susah tidur atau merasa tidak perlu tidur
• Nafsu makan meningkat
• Banyak pikiran

Setelah berada dalam fase mania atau hipomania untuk beberapa waktu, orang yang memiliki gangguan bipolar biasanya akan masuk ke fase mood yang normal, lalu kemudian masuk ke fase depresi. Perubahan mood ini bisa terjadi dalam waktu hitungan jam, hari, atau berminggu-minggu.

4. Depresi Psikotik

Depresi psikotik ditandai dengan gejala depresi berat yang disertai adanya halusinasi atau gangguan psikotik. Penderita depresi jenis ini akan mengalami gejala depresi dan halusinasi, yaitu melihat atau mendengar sesuatu yang sebetulnya tidak nyata.

Tipe depresi ini lebih banyak terjadi pada orang tua. Meski begitu, orang yang masih muda pun bisa saja mengalaminya. Selain usia lanjut, riwayat trauma psikologis yang berat di masa kecil juga dikatakan dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami depresi psikotik.

Pada wanita sebagai makhluk Tuhan yang hebat dan unik, kondisi overthinking yang terjadi menjadi lebih kompleks dengan kehadiran sistem hormonal yang spesial, hingga dikenal pula kasus-kasus depresi pasca persalinan atau postpartum depression dan premenstrual dysphoric disorder (PMDD) dimana keduanya maujud dalam berbagai bentuk perubahan perilaku temporer yang dapat berdampak signifikan pada yang bersangkutan.

Faktor pemantik terjadinya depresi sebenarnya cukup beragam, mulai dari adanya pengaruh dari aspek genetik, seperti adanya dinamika ekspresi dari gen MTHFR, pola pengasuhan, pajanan budaya, juga pengembangan kapasitas resiliensi yang amat banyak dipengaruhi oleh pola pendidikan dan model interaksi di keluarga dan masyarakat.

Tetapi intinya, depresi dapat terjadi pada siapa saja yang mendapat tekanan multi dimensi hingga mengalami kondisi kronis kejiwaan yang tak sepenuhnya tertangani. Kesadaran akan peran tempat bersandar yang melabuh segenap nalar memberikan kita peluang untuk merasakan aliran energi tak berkadar yang dapat menebar dan menyebar hingga menumbuhkan pondasi kekuatan iman yang berakar.

Maka primary skill untuk menata rasa syukur dan mengelola potensi kufur akan bermuara pada pembeda nikmat dan azab yang akan mewarnai perjalanan kita sebagai manusia (QS Ibrahim ayat 7)

Akankah kita terbenam semakin dalam di dunia yang perlahan mengelam? Ataukah kita akan menjelma menjadi si penyelam yang menyelami samudera masalah dengan menikmati, bahkan menemukan banyak mutiara hikmah yang kelak menjadi aset kekayaan jiwa dan hati di kemudian hari?

Barangkali secara teori, mereka yang selalu mengkomparasi diri dengan lian akan menghasilkan semangat berkompetisi untuk meningkatkan raihan prestasi yang berkorelasi dengan terjadinya peningkatan kompetensi. 

Di sisi lain, dapat terjadi disrupsi yang menghadirkan kegalauan dan kekecewaan berkepanjangan. Misal dengan menyesali bentuk tubuh yang telah dikaruniakan, keluarga yang telah diberikan, ataupun berbagai kondisi yang masuk dalam circle of concern-nya Stephen Covey, terjadi di luar kuasa diri untuk mengendali. 

Kita marah karena mampu mengidentifikasi hal yang tak semestinya terjadi, dan semakin marah atau kecewa karena tak mampu dan kuasa mengubahnya sesuai dengan keinginan diri. Kita seolah dipaksa untuk menerima kondisi karena keterbatasan daya kendali.

Maka mungkin formula QIKI dapat kita coba hayati, dan jika memungkinkan kita terapkan dalam keseharian. Adapun QIKI adalah Qana'ah, Ikhlas, Kanyaah, dan Istiqomah.

Qana'ah secara definisi adalah sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Orang yang memiliki sifat qana'ah memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang melekat pada dirinya adalah kehendak Allah SWT.

Jika dilambari dengan keikhlasan dan kanyaah yang dalam bahasa Sundanya memiliki makna yang amat mendalam; cinta yang merawat dan memelihara. Cinta yang menumbuhkan sebagaimana kasih sayang seorang Ibu pada anaknya. Cinta seperti matahari yang senantiasa sabar menyinari tanpa pernah berharap kembali. Cinta yang menautkan hati dalam getar frekuensi yang memudahkan kita untuk saling berbagi secara konsisten atau istiqomah, karena semua yang melekat hidup dan diri ini semata adalah amanah yang dititipkan Allah.

Maka layaknya sebuah pendakian menuju Puncak Indrapasta yang membutuhkan bekal perjalanan, QIKI merupakan sarana yang dapat dilatih oleh manusia dalam mengarungi kehidupan ini agar senantiasa sehat secara mental dan juga hati. Bukankah saat ini kesehatan mental adalah universal human right?

Sumber gambar:

Jumat, 03 Juni 2022

Cara Mudah Menjadi Bahagia dalam 5 Menit



Oleh Nita Fahri Fitria

Pernahkah kamu merasa hidupmu begitu melelahkan dan seolah buntu? 

Rasanya setiap hari kita seolah diseret untuk tetap melakukan rutinitas yang itu-itu saja. Makan hanya karena waktunya telah tiba, mau tidak mau tetap bekerja karena tidak mungkin diam saja di rumah, dan kembali tidur karena semua orang tidur. 

Semua bergulir sesuai arus, dan kita terbawa oleh arus itu tanpa tahu akan ke mana dan harus melakukan apa.

Itulah yang dialami oleh Yeom Mi-jeong di drama Korea My Liberation Notes yang baru saja merampungkan episode terakhirnya. 

Sebagai seorang gadis yang pendiam, Mi-jeong terbiasa memendam perasaannya dan memikirkan banyak hal secara berulang. 

Dalam diamnya Mi-jeong kerap membayangkan hal-hal yang tidak perlu. Mi-jeong semakin merasa buntu karena ibu, ayah, dan kakak-kakaknya bukanlah orang yang bisa diajak bicara. 

Hari-harinya di tempat kerja juga hanya membuat Mi-jeong semakin lelah dan nyaris kehilangan jati diri.

Suatu hari Mi-jeong dan dua rekan di kantornya terpaksa membuat sebuah komunitas karyawan karena hanya mereka bertiga yang tidak bergabung dengan komunitas manapun di kantor tersebut. Padahal komunitas karyawan tersebut adalah fasilitas perusahaan agar mereka bisa memiliki aktivitas menyenangkan di luar pekerjaan. Mi-jeong dan kedua rekannya tadi akhirnya membuat kegiatan komunitas yang mereka namai sebagai “Haebang Club” atau Klub Pembebasan.

Setiap anggota klub wajib menuliskan isi hati dan pikiran yang dianggap menjadi tirani bagi dirinya sendiri, lalu tulisan tersebut akan diceritakan kepada satu sama lain. Uniknya mereka sepakat untuk hanya saling mendengarkan cerita saja, sehingga tidak boleh saling berkomentar atas cerita yang dibacakan. 

Tujuan pembebasan setiap anggota klub juga beragam. Mi-jeong sendiri ingin bebas dari perasaan terjerat oleh hidup yang memuakkan. Ia mengaku ingin bisa merasakan senang dan lepas seperti orang lain.

Uniknya, semakin Mi-jeong jujur dengan dirinya, ia pun semakin bersinar. Mi-jeong mulai berani mengambil langkah besar dalam hidupnya dan mulai menemukan makna dari “bebas” yang selama ini diidamkan. 

Pada salah satu adegan, Mi-Jeong berkata pada kekasihnya bahwa ia cukup mendapatkan rasa bahagia selama lima menit saja dalam sehari. Ya, lima menit yang dapat mengubah harinya. 

“Aku merasa senang dalam tujuh detik saat membukakan pintu toserba untuk seorang pelajar dan dia mengatakan ‘terima kasih’. Saat aku membuka mata di pagi hari dan menyadari bahwa ini adalah hari Sabtu, aku merasa senang selama sepuluh detik. Isilah lima menit dalam sehari dengan hal-hal seperti itu.”

Dialog lain yang tak kalah menarik adalah saat seorang rekan di Haebang Club berkata, “Aku hanya berhasil menemukan alasan mengapa aku merasa tersiksa”, lalu Mi-jeong menjawab, “Kurasa itulah hal yang penting, (yaitu) mengetahui masalah kita sendiri.”

Oh rupanya inilah kunci bebas dari penjara pikiran ala Yeom Mi-jeong. Iya, jujur dan menemukan apa yang sebetulnya kita pikirkan dan rasakan. Karena dari sanalah kita bisa menemukan cara untuk bebas. 

Kadang, kita bergelut dengan harapan ingin bahagia tanpa tahu apa yang sebetulnya membuat kita merasa tidak bahagia. Bagaimana bisa kita sampai pada suatu tujuan tanpa tahu cara untuk mencapainya?

Yeom Mi-jeong yang awalnya menulis catatan pembebasan untuk mengisi kegiatan di Haebang Club pada akhirnya menemukan cara untuk jujur pada diri sendiri sehingga akhirnya menemukan strategi untuk mendapatkan vitamin Bahagia selama lima menit yang ia ceritakan pada kekasihnya. 

Ia menemukan bahwa kebahagiaan kadang terletak pada hal-hal kecil yang bisa menghangatkan hati.

Lalu apakah setelah ini Mi-jeong menjadi bebas sepenuhnya? 

Sepertinya tidak. Karena hidup terus berjalan dan masalah akan tetap datang silih berganti. Akhir dari drama ini sendiri pun termasuk kategori open ending yang menggambarkan kondisi terkini setiap karakter yang sudah menemukan titik bebas dan tetap akan berjalan selangkah demi selangkah untuk terus melanjutkan hidup.

Pada akhirnya, kisah Yeom Mi-jeong dan karakter lain di My Liberation Notes ini terangkum dalam sebuah kesimpulan…

“Meski hidup sesekali akan menjebak kita pada jeratan yang lain, setidaknya kita tidak sepenuhnya terjebak karena kita sudah tahu bagaimana cara untuk bebas. Kita bisa merasakan bebas dan kadang bisa juga kembali merasa terjebak. Tapi yang terpenting adalah kita bisa merasakan kemajuan.”

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Kamis, 27 Agustus 2020

Sikap Mindfulness: Melepas Jubah Malaikat




Oleh Duddy Fachrudin 

Manusia selalu senang dengan ciri atau atributnya. Ciri tersebut dapat berupa gelar dan profesi yang disematkan, pakaian yang dikenakan, harta yang dimiliki, tahta yang diduduki, dan pernak-pernik lainnya. Karena senang tersebut tidak jarang ciri tersebut akhirnya melekat pada diri seseorang dan dibawa kemanapun ia pergi.

Jon Kabat-Zinn, pengembang Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) bercerita dalam bukunya Wherever You Go There You Are bahwa ia tidak pernah menggunakan jubah malaikatnya selama berpraktek menjadi seorang dokter.

“Ketika saya mulai bekerja di pusat kesehatan, saya diberi tiga jas panjang berwarna putih yang di sakunya bersulamkan tulisan ‘Dr. Kabat-Zinn/ Departemen of Medicine’. Semuanya tergantung di balik pintu saya selama lima belas tahun, tanpa terpakai.”

Apa yang dilakukan Jon Kabat-Zinn tentu memiliki alasan tertentu. Baginya jas putih adalah simbol yang tidak diperlukan dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter.

Seorang dokter akan disebut dokter karena pelayanannya yang tulus, bukan karena jas malaikat tersebut. Bahkan siapapun orang yang memberikan bantuan secara ikhlas layak disebut dokter, begitu kata Patch Adams, seorang dokter pendiri Gesundheit Institute.

Kebahagiaan dapat dimulai dengan melepaskan atribut yang ada pada diri kita. Dan kemudian kita menjadi manusia yang lebih berfokus pada misi hidup menebar kebermanfaatan sebaik-baiknya kepada sesama dan semesta. 

Sumber gambar: 

Jumat, 17 Juli 2020

Mindfulness Tidak Hebat-Hebat Amat



Oleh Duddy Fachrudin 

Jika ada satu intervensi psikologi yang gitu-gitu aja, cenderung membosankan, dan mungkin malah membuat stres, maka itu adalah mindfulness

Mungkin saja hasil-hasil penelitian yang membesarkan nama mindfulness itu penuh dengan bias dan konflik kepentingan. 

Mindfulness sebagai prediktor kebahagiaan, kesejahteraan psikologis, ataupun kesehatan fisik mungkin juga perlu dipertanyakan keabsahannya. 

Bukankah berlatih mindfulness dan mengembangkan kehidupan yang mindful, aslinya tidak mengharapkan apa-apa? 

Maka jangan terlena rayuan orang-orang yang mengatakan mindfulness adalah jurus jitu dalam menyelesaikan kecemasan, depresi, atau permasalahan psikologis lainnya. 


Mindfulness mengajak individu untuk tidak menilai. Namun, manusia tidak bisa tidak melakukan penilaian atau evaluasi. Termasuk tulisan ini yang penuh dengan penilaian. 

Masih banyak alternatif tritmen atau intervensi lain yang bisa digunakan, yang lebih mudah, instan, dan berdampak ketimbang mindfulness

Mindfulness bukan apa-apa. Bukan strategi keramat. 

Mindfulness tidak hebat-hebat amat. 

Sumber gambar:

Selasa, 14 Juli 2020

Non-Judgement: Apa Salahnya Menjadi Janda?



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Ada stigma dan penilaian yang acapkali disematkan pada sekelompok orang atau komunitas. Misalnya saja terjadi pada wanita yang menjadi janda, khususnya mereka yang mendapatkan status tersebut karena perceraian. 

Tentu hal ini perlu dikaji secara holistik dan multiaspek agar tidak terjadi stigma kurang produktif pada kelompok tertebut. Perjalanan hidup manusia kan dinamis. Stigma ini juga mendera para penderita Covid, pelaku poligami, pengidap HIV, dan banyak lagi pada mereka yang kita anggap berbeda. 

Padahal kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka alami dan apa yang melatarbelakangi pilihan hidup mereka tersebut. Kita terlalu nyaman dalam zona "menilai" dan berasumsi dengan persepsi kita sendiri secara sesuka hati. Maka berbeda menjadi masalah besar di negeri ini.

Sayangnya konteks kebersamaan yang dibangun tidak dalam kontribusi konstruktif. Padahal keberagaman justru potensi besar untuk saling mensubstitusi dan mengomplementasi. Membantu dan saling melengkapi, kalau bisa memperkaya wawasan dengan memberi ruang untuk saling belajar dan memetik hikmah dari interaksi serta pertukaran pengalaman.

Jadi tema besarnya bukan lagi #savejanda, tapi semestinya lebih ke arah #savekemanusiaan. Karena rasa kemanusiaanlah yang telah luntur dalam tradisi kita bermasyarakat. Otak kita terkapitalisasi dan pada akhirnya profit menjadi motivasi dan transaksi menjadi satu-satunya mekanisme yang diketahui.

Lihat pohon ditebang, lihat burung ditangkap, lihat apapun yang dapat menjadi sumber kenyamanan langsung diterkam. Tidak salah memang, tapi itu semua perlu niat suci untuk saling memberdayakan, bukan saling memperdayakan. Kan tugas kita adalah menjadi Khalifah. Misinya membumikan Rahmah. Karakternya harus amanah. Sikap mentalnya haruslah kaffah, Istiqomah, dan tak mengenal lelah dalam Lillah.

Wejangan bagi jiwa-jiwa yang lelah, juga yang jengah dengan kondisi yang terjajah oleh pragmatisme, pesimisme, dan melahirkan oportunisme yang mengerdilkan nilai dan makna hidup menjadi sekedar deretan angka-angka yang dianggap dapat membeli cinta serta menebus waktu agar mau sejenak membeku.

Padahal fitrahnya hanyalah satu. Terus maju. Dan kita yang tersandera dalam detik dan detak seolah tak menyadari bahwa yang berlalu itu akan hadir selalu, dan yang saat ini adalah konstruksi dari mimpi yang perlahan mulai menyetubuhi bumi dan mencumbui tubir memori. Dan masa depan adalah cakrawala harapan dengan berbagai jalan yang tersedia sebagai pilihan.

Dan kita ditakdirkan untuk menjadi makhluk persimpangan. Dimana setiap detik waktu dan setiap detak jantung memerlukan keberanian untuk memutuskan. Dan hidup dapat dipremiskan sebagai sekumpulan keputusan. Juga setumpuk penyesalan yang kerap menimbuni rasa syukur yang lantas terlupakan.

Tapi syukur itu "benih". Meski ditimbuni "tahi sapi" ia tak pernah menyesali. Karena ia tahu, tahi sapi kaya nutrisi. Maka diserapnya sajalah kepedihan dan kekecewaan yang telah menjadi "tahi" dan kerap kita emohi. Kita sembunyikan dan tutup rapat-rapat dalam septic tank lalu kita menipu diri dengan semprotan parfum wangi bebungaan.

Kentut dan tahi fitrahnya berbau busuk. Tentu untuk mengingatkan bahwa pahit dan getir adalah syarat untuk manis dan lezat. Maka yang bisa menerima tahi sebagai kompos atau biogas akan dapat tahu dan berbagai hal yang dia mau. Tapi jangan tolak dulu tahinya. Syukuri semuanya. Jangan hanya mau mengunyah yang kita suka lalu melepehkan semua yang tak kita kehendaki.

Siapa tahu dari tahi yang tidak kita kehendaki itulah benih bahagia akan tumbuh dan bertunas... 

Senin, 06 Juli 2020

11 Film Asyik Tentang Mindfulness



Oleh Duddy Fachrudin 

All this anger, man... It just begets greater anger.

Kemarahan memunculkan kemarahan yang lebih besar. 

Premis tersebut tesaji dalam film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri, sebuah kisah tentang ketidakrelaan, kurangnya penerimaan, kemarahan, dan ambisi yang meletup-letup dari seorang ibu atas kematian remaja putrinya. 

Pusaran konflik tak hanya pada kehidupan dirinya dengan para polisi yang menurutnya "tidak cakap" dalam menangani kasus anaknya. Sang ibu bernama Mildred ini pun memiliki masalah dengan dirinya sendiri yang suka minum alkohol. Kemudian seorang polisi yang rasis, dan kepala polisi yang rapuh karena kanker. 

Banyak sekali hikmah terkait mindfulness dalam film ini, seperti belajar untuk tidak reaktif, tidak menghakimi, mengembangkan kedermawanan, penerimaan, dan belajar untuk melepas (letting go) dari masa lalu. 

Three Billboards Outside Ebbing, Missouri yang memenangi berbagai penghargaan di OSCAR 2018 merupakan satu dari 11 film asyik tentang mindfulness yang sayang untuk dilewatkan. Berikut daftar ke-11 film yang bisa kita tonton di saat jeda dari kesibukan sekaligus upaya untuk mengembangkan kemampuan mindfulness kita.

  1. Capernaum (2018, IMDB: 8,4)
  2. 27 Steps of May (2019, IMDB: 8,2)
  3. Spiderman: Far From Home (2019, IMDB: 7,5)
  4. Seven Years in Tibet (1997, IMDB: 7,1)
  5. Peaceful Warrior (2006, IMDB: 7,3)
  6. How to Train Your Dragon (2010, IMDB: 8,1)
  7. Le Grand Voyage (2004, IMDB: 7,2)
  8. A Street Cat Named Bob (2016, IMDB: 7,3)
  9. Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017, IMDB: 8,2)
  10. The Lives of Others (2006, IMDB: 8,4)
  11. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020, IMDB: 7,5)
Semuanya bagus dan sarat akan pembelajaran. Namun jika boleh memilih highly recommended, tiga terbaik maka pilihannya jatuh pada Le Grand Voyage, sebuah road movie perjalanan haji seorang ayah dan anaknya menggunakan mobil dari Prancis. Lalu The Lives of Others, kisah tentang polisi intel di era Jerman Timur yang melakukan pengamatan pada kehidupan seorang penulis. Dan tentu saja Three Billboards Outside Ebbing, Missouri. 


Sumber gambar: 

Selasa, 30 Juni 2020

Mindful Diet: Memasak Dimsum Sepenuh Jiwa


Oleh Nur Yanayirah 

Kenapa mindful cooking

Karena saat saya belanja, cuci bersih bahan, bikin adonan, membentuk adonan, dan kukus, dilakukan dengan mindful, maka memasak menjadi enjoy. Penuh kesadaran dan kesabaran, fokus dan konsentrasi selama memasak. 

Mengosongkan pikiran untuk hal-hal lain, memprioritaskan untuk memasak dimsum ini, dan menikmati semua proses-nya, tidak terlalu mempedulikan bagaimana hasilnya. 

Yang penting adalah "kenikmatan dalam bekerja", hadir pada saat ini, pikiran tidak mengawang-awang ke masa lalu, atau masa depan. Hadir, sepenuh jiwa...

Dimsum Ayam Keju

Bahan:
-500 gram ayam cincang
-Keju 100 gram
-Wortel parut

Haluskan:
-Bawang merah 10 siung
-Bawang putih 5 siung
-Jahe 1 buah

Bumbu lain:
-Saus tiram 2 sachet
-Penyedap rasa bisa di skip
-Tapioka 10 sdm
-Telor 1 butir
-Daun bawang secukupnya
-Garam secukupnya
-Gula pasir secukupnya
-Kulit pangsit

Let's cook...
 
Cuci bersih ayam, lalu cincang.

Haluskan bumbu, tambahkan saus tiram, penyedap rasa, garam, gula, daun bawang cincang, tambahkan telur dan keju, aduk rata, dan taburi wortel parut.

Masukan adonan dimsum ke dalam kulit pangsit, kukus selama 35-40 menit, api sedang saja. 

Sajikan..

Hidup berkesadaran dengan melakukan mindfulness in cooking. Cukup masak yang simpel-simpel. 

Atau selain memasak teman-teman juga bisa melatih hidup mindful dengan melakukan aktivitas: menyetrika baju, melukis, menggambar, dan menjahit. Jangan terlalu pedulikan hasilnya. At least teman-teman sudah berusaha.

Dengan terbiasa melakukan ini, insya Allah kita jadi bisa lebih fokus, dan mengurangi pikiran negatif yang tidak perlu.

Sumber gambar:
Dokumentasi pribadi

Rabu, 05 Februari 2020

Pelatihan Mindfulness: 3 hari Untuk Selamanya


Oleh Duddy Fachrudin

Berapa jam saya perlu berlatih mindfulness?

Sebagian besar modul mindfulness seperti Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) atau Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT), berisi 8 sesi yang bisa dilakukan selama 2 bulan. Setiap sesi berlangsung selama 90 menit atau 1,5 jam setiap minggunya.

Artinya total 12 jam menjalani Program Mindfulness. Jika dalam modul tersebut ditambah 1 hari untuk sesi retreat maka 36 jam kita berlatih mindfulness dalam pelatihan atau program mindfulness.

Pelatihan mindfulness juga mengajak peserta untuk berlatih mindfulness secara mandiri di rumah setidaknya 45 menit dalam sehari. Body scanning, mindful breathing, stretching, walking, sitting, dan sebagainya menjadi menu formal yang bisa diterapkan dan juga dilatih sehari-hari.

Maka ada sekiranya 52 hari x 45 menit atau 2340 menit atau 39 jam yang digunakan untuk berlatih berbagai jenis latihan mindfulness secara mandiri di rumah selama 2 bulan.

Total 75 jam atau 3 hari lebih kita berlatih mindfulness dalam sebuah program pelatihan mindfulness berdasarkan pada modul-modul mindfulness.

Berlatih mindfulness memang tidak instan karena memang tujuannya mengembangkan dan membiasakan kehidupan yang mindful yang dilandasi jernihnya pikiran dan beningnya hati sehingga respon atau perilaku yang keluar adalah perilaku yang bijaksana. Selain itu tentu diiringi kesehatan mental (mental health) dan fisik yang optimal dari sebelumnya.

Setelah mendapat pelatihan mindfulness secara formal, kita bisa menjadi lebih terbiasa untuk berlatih mindfulness dan mengembangkan mindfulness dalam aktivitas sehari-hari, seperti saat makan, mandi, tidur, olahraga, beribadah, berinteraksi dengan orang lain, dan mengemudi kendaraan.

Maka ketika mengembangkan kehidupan yang mindful (mindful living) sama artinya berlatih mindfulness selamanya.

Ya. Karena mindfulness is lifestyle.

Bagaimana jika saya mengikuti pelatihan mindfulness yang hanya dua atau satu hari, bahkan setengah hari? Apakah maksimal?

Pelatihan yang sesungguhnya adalah setelah program pelatihan. Maka ikuti pelatihan mindfulness tersebut, lalu kembangkan diri dan terus berlatih setelahnya.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Kamis, 17 Mei 2018

Melakukan Dengan Rasa, Bukan Karena Tuntutan (Pengalaman Berlatih Mindfulness)

Melakukan dengan Rasa

Oleh Sinka Mutasia

Saya tidak menyangka akan mendapatkan suatu sensasi, pengalaman, serta pembelajaran yang berharga ketika mengikuti pelatihan mindfulness ini.

Awalnya, saya hanya meniatkan diri untuk belajar mindfulness karena kepentingan tesis saya. Namun, ternyata, i really need it for my personal development, lebih dari sekedar tesis.

Sebagai gambaran saya termasuk orang yang memiliki energi besar, emosi yang cenderung mudah meledak, serta memiliki target dan ambisi yang tinggi. Saya juga berusaha mengontrol atau mengendalikan kehidupan saya.

Tapi, selama ini ternyata yang saya sebut-sebut mengontrol, pada kenyataannya adalah “menekan” bagian lain dari diri saya tersebut.

Maka tak heran, jika di satu waktu ia meledak. Keluar bagaikan monster. Dan saya menjadi seseorang yang seringkali menakutkan bahkan menyebalkan.

Dengan alasan idealis dan kebaikan, saya memaksakan kehendak saya untuk orang lain. Lalu saya suka menuntut diri sendiri mencapai target yang tinggi. Namun saya sendiri tidak siap menerima kegagalan ketika ambisi itu tidak tercapai.

Tuntutan bukan hanya datang dari diri sendiri, Tuntutan dari lingkungan pun seringkali mengganggu apa yang sedang saya lakukan.

Hasilnya: pikiran saya mengembara kemana-mana, saya tidak mendapatkan apa-apa, yang saya lakukan tidak selesai, waktu untuk keluarga kurang berkualitas. Yang saya rasakan hanya lelah.

Akhirnya saya menjadi orang yang frustasi, malas menetapkan target, menjalani hidup apa adanya tanpa tujuan. Lalu seringkali menilai tentang salah benar dan berhasil atau gagal sebelum melakukan sesuatu.

Dalam mindfulness sendiri menetapkan target itu tidak salah, hidup dengan tujuan itu perlu, tapi dibalik itu kita juga sudah menyiapkan penerimaan terhadap kemungkinan adanya kegagalan atau hal di luar ekspektasi kita. Itu dia yang tidak saya lakukan—penerimaan, yang sebelumnya hanya diucapkan di bibir, tapi tidak di hati dan pikiran saya.

Disinilah saya mulai belajar menyadari sebuah proses perjalanan hidup dan menata langkah dengan lebih mindful dengan penuh rasa yang lembut, tidak terburu-buru, dan penerimaan. Dan saya mulai belajar menikmati perjalanan ini.

Ketika mulai berlatih mindfulness, semuanya diajarkan untuk disadari, dan benar-benar merasakan apa yang kita lakukan sekarang.

Saya baru benar-benar merasakan kaki saya berpijak pada bumi, benar-benar berpijak, merasakan sejuknya tanah, menggelitiknya rumput, ranting-ranting dan buah pinus yang berjatuhan.

Dengan fokus pada apa yang saya dengar, saya menerima pikiran-pikiran yang datang, menaruhnya sejenak dan kembali pada apa yang saya kerjakan.

Lalu mendengar (kembali) sekeliling saya, mengatur nafas, merasakan udara yang saya hirup bersamaan dengan semilir angin juga suara-suara.

Kemudian benar-benar merasakan asamnya kismis dan tomat yang ternyata tidak seasam yang saya bayangkan.

Mengembangkan hidup yang mindful sungguh indah. Dan saya benar-benar bersyukur bisa mempelajari hal ini.

Hal terindah lainnya, yaitu dengan saya menerima permasalahan saya, maka itu terasa menjadi lebih ringan di pundak. Pikiran saya tidak semerawut seperti benang-benang kusut. Dan sekarang saya lebih mudah menelusurinya.

Kini, saya memperbaiki niat saya kembali ketika melakukan sesuatu. Berusaha untuk melakukannya dengan segenap perasaan saya dan menikmati tiap prosesnya. Berhenti sejenak jika ada pikiran bahkan penilaian yang mengganggu. Memberinya ruang untuk dipahami dan mengerti, kemudian biarkan ia menunggu sejenak disana. Dan saya kembali mengerjakan dan fokus apa yang sedang saya jalani sekarang.

Menikmati setiap jengkal proses perjalanan ini, menyadari dan menerima setiap permasalahan yang ada. Semua ini membuat hidup saya lebih bermakna, lebih bisa menjalani dan menikmati waktu serta peran dalam keluarga.

Pada akhir pelatihan, fasilitator yang mengajarkan kami mindfulness berpesan, “Lakukanlah, selesaikanlah... karena memang kita ingin menyelesaikan dengan seluruh perasaan kita, bukan karena tuntutan.”

Sumber gambar:
http://www.newsweek.com/2015/05/08/prosthetics-can-feel-thanks-science-touch-325752.html

Kamis, 10 Mei 2018

Belajar untuk Menerima... Belajar untuk Melepas (Pengalaman Berlatih Mindfulness)

Menerima dan Melepas

Oleh Prinskasastri

“Salah saya apa? Apakah saya seburuk itu?

Bagai radio rusak, saya mengulang-ulang pertanyaan itu sendiri.

Sejak akhir tahun 2017, karena sebuah peristiwa, pikiran saya mengembara kemana-mana. Kekhawatiran berlebih akan masa depan dan ketakutan masa lalu terulang terus terngiang di kepala saya.

Saya menyadari kondisi emosi saya tidak dalam kondisi yang bagus. Saya tidak bahagia. Bahkan, saya sering menyalahkan diri saya sendiri dan orang lain yang menyebabkan kondisi saya seperti ini.

Saya marah. Saya sulit menerima kenyataan. Lalu maaf pun enggan memancar dari hati saya.

Energi saya habis. Asam lambung saya naik. Saya lelah.

Saya lelah karena selama ini telah menghukum diri saya dengan pikiran-pikiran saya sendiri. Dan saya belajar untuk pasrah. But how?

Sampai suatu hari karena tanggungjawab untuk mengerjakan tesis, saya mencari terapi yang tepat, yang bukan hanya bermanfaat bagi subjek penelitian saya, tapi juga bagi saya pribadi. Akhirnya saya menemukan mindfulness melalui teman-teman saya, media sosial, jurnal psikologi, dan blog beberapa praktisi mindfulness.

Di titik inilah saya mulai belajar mindfulness.

Mencerna konsep mindfulness dari berbagai media tidak mudah bagi saya. Untungnya, bagai mestakung, beberapa teman saya di Magister Psikologi Profesi UNISBA memiliki minat yang sama untuk belajar mindfulness. Alih-alih hanya belajar dari jurnal, buku, dan media lainnya, kami memutuskan untuk belajar mindfulness pada Kang Duddy, yang juga alumni Psikologi UNISBA, praktisi mindfulness, dan pernah melakukan penelitian mindfulness sebelumnya.

Dua hari pertama belajar mindfulness merupakan tantangan yang sangat berat bagi saya. Hal ini menjadi menantang karena selama ini saya tidak menyadari bahwa saya ternyata begitu menikmati kondisi masa lalu saya. Dan saya juga menikmati kondisi ketakutan akan masa depan. Saya lupa untuk hidup sepenuhnya di masa sekarang.

Beberapa kali melakukan meditasi duduk, saya semakin menyadari bahwa pikiran saya penuh dengan kondisi di masa lalu saya. Saya biasanya menolak dan memilih mengabaikan pikiran-pikiran yang tidak menyenangkan. Mencoba menerima dan berdamai dengannya adalah suatu hal yang baru.

Setelah dua hari kami pelatihan, saya berlatih menerapkannya sendiri di rumah. Sudah satu minggu ini saya berlatih dan praktik ini memang menjadi tugas kami sebelum kami belajar mindfulness lagi pada dua hari berikutnya.

Perubahan yang terjadi yang saya rasakan adalah energi saya yang biasanya cenderung cepat lelah semakin lama semakin baik setiap harinya. Saya sedikit demi sedikit mulai menyadari emosi yang muncul dalam diri tanpa mengabaikannya. Terkadang saya masih bersikap reaktif dalam menghadapi segala sesuatu. Namun, saya berniat untuk terus belajar dan berlatih mengembangkan hidup mindfully.

Ya. Belajar untuk menerima dan melepaskan pikiran-pikiran yang mengembara, serta hidup sepenuhnya saat ini dan di sini.

Sumber gambar:
http://www.pilgriminprada.com/the-power-of-letting-go/

Kamis, 26 April 2018

Puisi Rindu (Sebuah Metafora)


Oleh Duddy Fachrudin

Sesak itu bernama rindu,
yang menggebu tak kenal waktu,
yang menderu-deru menyiksa kalbu,
yang berusaha melepaskan segala ambisi palsu.

Berselimut rindu terbujur kaku,
menggigil aku,
lalu membeku,
sekaligus membakar sembilu nafsu sang buruh.

Sumber gambar:
https://fiadesi29.blogspot.co.id/2017/10/rindu.html


Minggu, 22 April 2018

Siklus Tenang (Sebuah Metafora)

Peaceful Life

Oleh Duddy Fachrudin

Pagi.
Ditemani kintamani lalu berbagi cerita bersama semesta. Di sini, bersama mentari tak memikirkan dunia. Di sini, bergerak tanpa bersuara. Bahagia.

Siang.
Sejenak beristirahat, menyelam ke dalam samudera jiwa. Menyapa mereka yang ada di dasar sana. Tak terlelap meski menutup mata. Menerima.

Sore.
Dan senja menampakkan dirinya. Indah tak terkira saat jingga merekah. Melepas amarah yang sempat terbawa. Cinta.

Malam.
Tidur penuh syukur atas lautan hikmah tak terkira. Tak terjebak dalam ambisi yang menyibukkan rasa. Dalam diam, hati merindu pulang ke rumah. Makna.

Sumber gambar:
http://cymantra.com/about/
   

Rabu, 21 Februari 2018

Bikin Kopi itu Meditasi (Belajar Mindfulness dari Filosofi Kopi 2)

Filosofi Kopi The Movie 2

Oleh Duddy Fachrudin

Meskipun edisi yang kedua ini tidak seindah film yang pertama, Filosofi Kopi 2 tetap menyajikan kenikmatan dan kecantikan dialog-dialognya. Apalagi ditambah soundtrack yang ciamik dari Banda Neira yang begitu meneduhkan jiwa-jiwa yang sedang terbalut kegelisahan dan kegundahan hidup. Ya, Filosofi Kopi 2 mengajak kita untuk memahami kehidupan dengan “rasa” sehingga hidup yang kita jalani benar-benar “hidup”. Inilah metafora Filosofi Kopi 2 yang dapat diinternalisasi dan dikembangkan oleh kita untuk hidup secara mindful.

0.
Ben: Kalo kita bicara soal konsistensi rasa, itu bukan soal cuma itung-itungan, tapi perasaan tiap bikin secangkir kopi.

1.
Ben: Karena buat saya bikin kopi itu meditasi, bukan matematika.

2.
Pak Seno: Tiwus itu senang main di kebun kopi. Dan ketika Tiwus sudah tidak ada, ya kami mencoba menggantikan kebun kopi seperti Tiwus. 

3.
Pak Haryo: Kopi itu bukan untuk diminum tapi untuk dinikmati. Proses menuju kenikmatan itu..., itu sama seperti kita merawat anak kita sendiri. Mulai dari bibit, kemudian menjadi tunas, menjadi bunga, dari bunga menjadi buah.. dan menjadi biji. Persis seperti merawat anak sendiri.

4.
Jody: Coba kamu lihat, emang ada yang mati sih, tapi ada anggrek yang hidup.

5.
Ben: Kenapa harus kopi? Ngambil pertanian kan nggak harus kopi?
Brie: Kenapa ya...? Cinta kayaknya...

6.
Brie: Ayah kamu bukan petani biasa Ben. Dia pemulia benih. Katanya seorang pemulia benih nggak pernah mati. Dia akan hidup di setiap benih yang dia hidupkan.

7.
Ben: Ada satu filosofi yang nggak pernah ditulis, tapi selalu ada di setiap cangkir yang dibuat di kedai ini. Setiap hal yang punya punya rasa selalu punya nyawa.

8.
Banda Neira, Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti

Jatuh dan tersungkur di tanah aku
Berselimut debu sekujur tubuhku
Panas dan menyengat
Rebah dan berkarat

Yang

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti


Di mana ada musim yang menunggu?
Meranggas merapuh
Berganti dan luruh
Bayang yang berserah
Terang di ujung sana

https://www.bioskoptoday.com/film/filosofi-kopi-2/

Senin, 19 Februari 2018

Belajar Mindfulness dari Filosofi Kopi

Filosofi Kopi The Movie

Oleh Duddy Fachrudin

Sesuai janji saya pada artikel sebelumnya, saya akan menyajikan beragam metafora yang dapat menjadi sarana kita untuk memahami mindfulness secara komprehensif.

Nah, kata-kata dan dialog berikut merupakan metafora yang diambil dari film Filosofi Kopi. Didalamnya sangat kaya akan makna serta nilai-nilai kehidupan yang mengarah kepada pada konsep mindfulness.

0.
Ben: Kopi tubruk tuh kopi yang lugu, kopi yang sederhana, tapi kalo kita mengenal dia lebih dalam, dia akan sangat memikat. Kopi tubruk tuh sama sekali tidak mempedulikan penampilan, bikinnya pun gampang tinggal diseduh, tapi tunggu sampe kecium aromanya.

1.
Ben: Kopi yang enak akan selalu menemukan penikmatnya. 

2.
Pewawancara: Kenapa nama kedai ini Filosofi Kopi?
Ben: Karena setiap jenis kopi mempunyai filosofinya sendiri. Setiap karakter dan arti kehidupan dapat kita temukan dalam secangkir kopi. Selama ada yang namanya kopi, orang-orang dapat menemukan dirinya di sini.

3.
Pewawancara: Bagaimana menurut anda sendiri makna kopi?
Ben: Kopi itu adalah kehidupannya sendiri.

4.
EL: Benerkan aku bilang juga apa. ini kopi terenak yang pernah aku minum.
Pak Seno: Ah.. moso. Nak El bilang enak itu karena pemandangan di sini bagus. Atau Nak El bilang enak karena didampingi dua lelaki ganteng ini.

Jody: Pak Seno, saya punya kedai kopi di Jakarta. Meskipun saya sebenarnya tidak bisa begitu bikin kopi, tapi ini kopi terenak yang pernah saya coba Pak. Rahasianya apa ya...?
Pak Seno: Ya nggak ada. Kopi Tiwus itu ya sebetulnya kopi biasa aja.

Ben: Saya nggak percaya Pak. Bagaimana dengan cara memanggang? Pupuk? Tingkat kelembaban tanah? Kelandaian tanah? Nggak mungkin lah nggak ada rahasianya...
Pak Seno: Ini mungkin begini ya. Istri saya itu adalah wanita Gayo yang sangat mengenal kopi dan saya sendiri adalah petani kopi turun menurun, jadi sudah biasa mengolah tanah... Nah ini istri saya. Jadi gini Bu, anak-anak ini ingin tahu apa rahasianya kopi Tiwus, padahal nggak ada apa-apa kan...

Bu Seno: Pernah kami berpikir untuk pakai pupuk pabrik tapi ternyata kurang bagus untuk tanaman, jadi ya dirawat seadanya saja, sama seperti merawat mahluk hidup pada umumnya.
Pak Seno: Ya seperti kita, manusia... hewan... itu ya perlu disayang.

5.
Pak Seno: Seandainya Tiwus itu masih hidup..., sebenarnya kami berdua itu mau mengatakan sesuatu, bahwa sebetulnya kami ini orangtua yang tidak sempurna. Saya sebetulnya mau mengatakan satu hal, kami mau minta maaf. Minta maaf sama Tiwus.

6.
El: Kamu mau bandingin diri kamu sama Pak Seno? Ini bukan soal ilmu atau pengalaman Ben. Kamu bikin kopi pake obsesi, sementara Pak Seno Pake cinta, itu bedanya kalian berdua.

7.
El: Bikin kopi tuh emang nggak bisa cuma pake kepala ya, tapi emang harus pake hati. 

8.
Ayah Ben: Ben kalau kamu memang cinta dengan kopi, teruskan. Bapak nggak apa-apa di rumah sendirian. Di sini sudah tidak ada lagi kopi. Tinggal sayuran. Yang penting kamu sudah ingat bahwa kamu punya tempat untuk pulang.

9.
Jody: Ben.. Lu sama gue tuh ibarat hati sama kepala. Hati sama kepala selalu punya masalahnya sendiri-sendiri, tapi yang satu nggak bakalan bisa survive tanpa yang lain.

10.
El: Saya keliling Asia untuk mencari kopi dan... saya justru menemukan diri saya sendiri. Saya bertemu dengan banyak ahli kopi yang luar biasa dan berpengalaman, tapi yang paling berkesan adalah pertemuan saya dengan orang-orang sederhana yang mendedikasikan diri mereka demi cinta terhadap kopi dan mengajarkan saya untuk bisa berdamai dengan diri saya sendiri.

11.
Jody: Kita nggak bakalan bisa samain kopi sama air tebu, mau sesempurna apapun lu bikin perfecto, mau pake biji apapun, kopi tetaplah kopi, pasti ada sisi pahitnya.

12.
Ben: Woy lu ngapain... yang suruh foto siapa. Buat apa, gue ga butuh publikasi. Lu nikmatin tu kopi.

13.
Kopi Tiwus: Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya.
Sumber gambar:
http://kritikusfilmgadungan.blogspot.co.id/2015/04/filosofi-kopi-2015-review.html

Minggu, 18 Februari 2018

Memahami Mindfulness dari Metafora

Metafora dalam Mindfulness

Oleh Duddy Fachrudin

Banyak cara untuk memahami mindfulness. Mereka diantaranya dengan berlatih meditasi, hidup dengan mindful, membaca literatur ilmiah atau buku populer tentang mindfulness, mendengarkan kajian instruktur mindfulness, dan menyimak metafora. Dari berbagai cara tersebut, cara terakhir merupakan cara yang paling simple dan langsung menggugah pemahaman.

Metafora adalah kiasan, imaji, dongeng, film, puisi atau apapun yang tidak menyuratkan makna sesungguhnya dari suatu hal. Tujuan dari penggunaan metafora yaitu menyampaikan values dari suatu hal atau pesan ke dalam pikiran manusia secara unconsciously.

Penggunaan metafora dalam mindfulness diperlukan dalam memahami mindfulness itu sendiri. Hal ini memudahkan individu dalam menangkap makna dari mindfulness beserta tujuan dan manfaatnya. Contoh metafora yang biasa digunakan dalam program mindfulness berbasis intervensi yaitu puisi Jalaluddin Rumi yang berjudul The Guest House:

The Guest House

This being human is a guest house.
Every morning a new arrival.

A joy, a depression, a meanness, some momentary awareness comes as an unexpected visitor.

Welcome and entertain them all!
Even if they are a crowd of sorrows, who violently sweep your house empty of its furniture, still, treat each guest honorably.
He may be clearing you out for some new delight.

The dark thought, the shame, the malice.
Meet them at the door laughing and invite them in.

Be grateful for whatever comes.
Because each has been sent as a guide from beyond.


Dari puisi ini kita lebih mudah memahami makna dari sikap-sikap mindfulness, seperti acceptance, letting go, gratitude, dan beginners mind. Menerima, melepas, bersyukur dan menghadapi hal yang baru ibarat The Guest House-nya Sang Pujangga. Karena begitu pentingnya metafora, Arnie Kozak, Ph.D seorang praktisi dan pengajar mindfulness sampai membuat buku "Wild Chickens and Pretty Tyrants: 108 Methapors for Mindfulness".

Maka pada artikel-artikel mindfulnesia berikutnya akan ditampilkan metafora-metafora dari berbagai referensi yang memudahkan Anda dalam mempelajari dan memahami mindfulness. Metafora-metafora ini juga dapat digunakan dalam intervensi atau penelitian-penelitian eksperimen mengenai mindfulness

Sumber gambar:
https://www.amazon.com/Wild-Chickens-Petty-Tyrants-Mindfulness/dp/0861715764

  

Selasa, 13 Februari 2018

Ketika Cinta Akhirnya Merubah Segalanya (Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 6, Habis)

Miracle of Love

Oleh Duddy Fachrudin

Artikel sebelumnya : Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 5

Kang Tauhid Nur Azhar kembali melanjutkan kisahnya:

"Jika setidaknya kehadiran saya dapat membahagiakan orang-orang terdekat yang jelas dan nyata membesarkan saya dengan cinta dan keikhlasan yang luar biasa, mengapa saya tidak berlaku sama dengan mereka? Bahkan lebih semestinya, meski kini saya sadar sepenuhnya bahwa itu pasti tidak bisa.

Setiap cinta punya kualitas yang berbeda. Walhasil saya seperti melihat sedikit harap. Ada lorong cahaya sempit dimana berkas cahaya berpendar di ujungnya. Usai sholat Ashar saya tertidur dalam posisi bersandar di dinding kamar yang panas. Sebentar saja. Nyaris tak terasa. Momen theta singkat mungkin. Bling-bling begitu rasanya.

Dan saya mulai membuka tumpukan modul yang bertahun-tahun menemani dan tidak bisa dimengerti. Lalu saya melihat huruf-huruf dan gambar struktur tubuh serta berbagai rumus seolah menari dalam pusaran cahaya. Telinga saya mendengar ada alunan nada lembut berintensitas rendah dan di latarnya terdengar suara beberapa dosen yang tengah bercerita saat mengajar.

Tetiba semua itu terserap dalam otak saya. Dan believe or not, saya kemudian paham.

Setelah tahun-tahun kegelapan yang membuat saya berjalan hanya dengan meraba saja, kini seolah saya dilempar ke dalam sebuah ruangan bercahaya.

Rupanya selama ini memori itu ada. Tersimpan di sudut terjauh dan terbalut debu kegelisahan yang tak berkesudahan. Lampu-lampu harapan yang semula berpijar mulai padam dan tertelan dalam kelam. Tapi kini cinta membuat segalanya menjadi nyata. Debu gelisah mulai tersaput oleh Rahmah dan setumpuk rasa bersalah mulai basah oleh sejuknya mata air kenangan kasih sayang yang telah begitu banyak orang-orang tercinta curahkan.

Tetiba saya mengerti hampir semua pelajaran yang telah saya lalui.

Dan ujian 9 mata kuliah dalam 2 hari itu berhasil saya lalui. Lulus.

Pak Dekan mengatakan bahwa keajaiban telah terjadi. Dunia telah mendapatkan keajaiban katanya. Jawa Tengah tidak hanya memiliki Borobudur. Tapi juga ada semangat pantang mundur yang ajaibnya tidak hanya dimiliki oleh diri sendiri, melainkan dapat ditularkan kepada kita semua. Demikian kata beliau.

Sejak saat itulah hingga hari ini saya "jatuh cinta" pada beliau, orang yang sangat saya hormati. Beliaulah yang mengangkat saya sebagai Dosen PNS di FK Undip bukan karena prestasi akademis saya, melainkan karena beliau ingin menunjukkan pada adik-adik angkatan bahwa perubahan bisa datang dari niat dan cinta.

Karena niat dan cinta itu pulalah saya mendapat beasiswa QUE Project dari World Bank. Dan kembali saya ternganga tak menduga karena Chicago University, Brown, George Washington, Harvard-MIT, sampai Anchorage University di Alaska mengundang saya untuk bergabung dengan mereka sebagai Ph.D student. Apa yang mereka nilai dari saya?

Sampai sekarang saya terus bertanya-tanya... mungkin ini yang namanya mindful living ya?

Who knows?"

Kisah dari Kang Tauhid Nur Azhar yang merupakan lulusan FK Undip menutup artikel "Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran". So, apa yang bisa diterapkan dari cara-cara sederhana dalam mindful learning agar Anda ketagihan belajar?

Sumber gambar:
https://www.yogajournal.com/lifestyle/6-wise-new-years-intentions

Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (Bagian 5)

Cinta, suatu hal yang mengalahkan segalanya...

Oleh Duddy Fachrudin

Cara terakhir dalam mindful learning untuk mahasiswa kedokteran, tiada lain adalah mengembangkan cinta.

Kelima, Cinta.
Segalanya akan mudah jika ada cinta, termasuk bagi mahasiswa kedokteran yang "diminta" orangtuanya untuk menjadi dokter. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ijinkan saya mengisahkan cerita yang sangat inspiratif dari Kang Tauhid Nur Azhar yang merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Undip berikut:

"Konsep ini (Cinta) meski dulu saya tidak tahu namanya pernah saya terapkan di masa studi saya. Saya pernah begitu terkejut dan terpuruk dengan cara belajar di Fakultas Kedokteran yang sangat berat dan kompetitif serta tidak memberi ruang bagi kesalahan dan kelemahan. Akibatnya saya nyaris frustasi di 2 semester pertama. IPK saya 1.9. Malah semester 1 cuma 1.4. Nilai E dan D bertaburan layaknya bintang di langit.

Memang bukan hanya saya aja sih, sekitar 60% teman seangkatan bernasib sama. Kami golongan Nasakom yang kemudian termarjinalkan dalam kompetisi percaperan pada teman seangkatan dan adik kelas. Cewek-cewek yang jadi idola saat itu nilainya juga nilai langit semua. Maklum mereka kan bidadari ya. Kami mengulang hampir semua pelajaran dan para Dewi melenggang ke kelas yang lebih tinggi.

Kemudian pada semester 4 ada proses saringan pertama yang disebut Terminasi. Jika gagal melewatinya dengan IPK 2.00 maka selamat tinggal bidadari FK. Para Terminator, demikian sebutannya memang dapat kesempatan untuk memperbaiki nilai-nilainya. Maka pada semester 4 adalah masa yang paling berat. Daya hidup merosot. Apakah pilihan saya masuk FK (yang merupakan pilihan orangtua) ini sudah benar?

Akhirnya tibalah D-Day yang menentukan nasib Terminator, yudisium PPD (Program Pendidikan Dasar). Nama saya dibacakan terakhir karena ternyata saya tidak lulus 9 mata kuliah.

Ada 1 kesempatan terakhir yang diberikan kepada semua Terminator, yaitu ujian Remedial yang akan diselenggarakan dalam waktu 2 hari. Ya, apapun mata kuliahnya yang tidak lulus, maka Remedial hanya tersedia di 2 hari itu saja.

Saya terhenyak, seperti semua teman-teman yang hadir saat itu. Mereka menatap saya dengan prihatin, "Bagaimana mungkin dia menyelesaikan ujian 9 mata kuliah dalam 2 hari dan lulus?"

Saya hanya terdiam. Beringsut ke ruang yudisium dan pulang. Di rumah masuk kamar dan sholat Dhuhur lalu berkemas dan membereskan semua baju dan buku. Menatap sekeliling kamar yang telah ditempati sekitar 2 tahun dan mulai memikirkan rencana mencari sekolah yang baru.

Terbayang wajah Ayahanda dan Ibunda yang begitu bangga saat nama saya diumumkan diterima di FK Undip yang saat itu tengah berjaya di Indonesia. Padahal sebenarnya, saya sedikit kecewa karena saya sudah diterima di IPB dan merasa pilihan FK ini sekedar memenuhi kehendak orangtua. Namun kemudian, dari titik itulah saya sadar bahwa pilihan dalam hidup itu bukan soal membuat kita bahagia, tetapi akan jauh akan jauh berkualitas rasa bahagia itu jika kita juga bisa membahagiakan orang lain. Apalagi jika  mereka adalah orang-orang yang sangat mencintai kita dan juga kita cintai.

Saat itu berkelebat dalam benak saya, "Saya ini hidup untuk siapa dan untuk apa? Jika saya hidup untuk saya, betapa kecil dan sempitnya dunia saya."

Bersambung ke bagian akhir dari Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran di sini.

Sumber gambar:
http://contemplative-studies.org/wp/index.php/2017/08/02/improve-self-compassion-with-loving-kindness-meditation/

Senin, 12 Februari 2018

Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (Bagian 4)

Staying Focus (Ilustrasi)

Oleh Duddy Fachrudin

Masuk pukul 9 pagi dan pulang pukul 14 siang. Itulah jam belajar di sekolah-sekolah Finlandia. Para siswa belajar selama lima jam dengan setiap jamnya berdurasi selama 45 menit. Setelah belajar setiap jam, mereka beristirahat selama 15 menit.

Pola belajar seperti ini dapat membuat siswa tetap mempertahankan fokus belajar dan menjaga mereka tetap berenergi selama pembelajaran. Dengan hal ini, maka belajar pun menjadi produktif, stres berkurang, dan lebih mindful.

Maka cara sederhana dalam mindful learning berikutnya yang dapat dipraktikkan mahasiswa kedokteran adalah:

Keempat, Mengatur Energi
Belajar merupakan aktivitas mental yang melibatkan otak, suatu organ yang berperan dalam berbagai fungsi psikologi yang salah satunya learning. Manajemen energi menjadi suatu hal yang penting karena berpengaruh pada tingkat kefokusan individu selama belajar. Maka dalam belajar pun tidak boleh berlebihan. Perlu adanya jeda setelah kita belajar selama 45 menit atau 1 jam. Jeda berarti mengijinkan otak untuk beristirahat sejenak.

Fenomena umum yang sering dijumpai pada mahasiswa adalah belajar dengan sistem kebut semalam (SKS). Belajar dengan cara ini membuat kita menjadi lelah dan menyebabkan stres. Maka belajar hingga membuat kita begadang bukan suatu cara yang jitu apalagi efektif. Materi yang dipelajari akan lebih cepat menguap, dan jangan heran jika saat ujian kita sering merasa "sepertinya pernah baca ini, tapi kok lupa... apa ya...".

Belajar yang terbaik adalah memperhatikan apa yang sudah seharusnya diperhatikan. Jika sedang kuliah, maka fokuslah memperhatikan materi kuliah. Lihat, dengar, dan rasakan perkuliahan tersebut. Libatkan diri secara penuh dan bertanyalah secara aktif. Ketika akan ujian, hanya meriviu materi tanpa harus begadang.

Namun kenyataannya ketika kuliah, justru mahasiswa mengerjakan tugas lain, ini yang akhirnya perkuliahan menjadi sia-sia. Ketika di rumah atau tempat kos, mahasiswa tersebut harus membaca dengan ekstra materi kuliah tersebut. Itupun bisa terjadi jika ada waktu, karena tugas-tugas lain sudah menanti di depan mata.

Maka aturlah energi. Belajar 45 menit, istirahat 15 menit. Dan bagi para pendidik, guru atau dosen, perlu menyediakan jeda selama kuliah.

Lalu fokuslah belajar. Jika kuliah hanya memperhatikan kuliah, tidak melakukan aktivitas lain. Belajarlah dengan mindful, dan bahagia saat belajar itu kelak terasa.

Bersambung ke Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (Bagian 5)

Sumber gambar:
http://centre4inspiration.com.au/workshops/mind-energy-course-3/

Senin, 05 Februari 2018

Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (Bagian 3)

Stillness (Ilustrasi)

Oleh Duddy Fachrudin

Dag dig dug perasaan tak menentu, sementara pikiran melayang jauh ke masa depan. "Bagaimana jika ujian saya gagal. Bagaimana jika saya tidak bisa menjadi dokter. Bagaimana, jika orang tua kecewa..."

Meskipun sudah berniat dalam hati untuk belajar lalu mengembangkan rasa penasaran (beginners mind) sambil menunjukkan mata melotot yang berbinar-binar pada bahan bacaan atau materi kuliah, ternyata hati ini tidak bisa dibohongi. Hati resah dan gelisah penuh dengan ketakutan serta kegagalan. Maka perlu adanya investigasi hati dan pikiran selama belajar. Apakah kita belajar dengan nyaman dan mindful, ataukah bercampur dengan gelisah dan gundah gulana?

Disinilah perlunya cara sederhana yang ketiga dalam mindful learning agar kita ketagihan belajar, tanpa stres, dan tentu saja mendapatkan nilai yang diharapkan. Cara yang pertama di bahas di sini dan cara yang kedua bisa dibaca di sini.

Ketiga, mindful breathing.
Pikiran-pikiran itu muncul begitu saja tanpa pernah diminta keluar si empunya. Mengembara jauh ke masa lalu, masa depan berselimutkan rasa takut, khawatir, cemas, dan kegagalan. Sampai akhirnya memenjarakan niat yang tulus untuk belajar dan rasa penasaran yang membuncah ruah. Inilah mind wandering yang sering menjumpai kita. Padahal pikiran-pikiran tersebut merupakan ciptaan kita sendiri atas intervensi mahluk yang iri dengki terhadap manusia, yaitu siapa lagi jika bukan syaithan.

Maka tersurat dalam Al-Qur'an pada surat pamungkas, yaitu An-Nas yang berarti manusia, dijelaskan keadaan manusia yang senantiasa berdoa memohon perlindungan dari hal yang sangat membahayakan. Apa itu?

min syarri lwaswaasi lkhannaas
dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi

alladzii yuwaswisu fii shuduuri nnaas
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia

mina ljinnati wannaas
dari (golongan) jin dan manusia
(QS. An-Nas: 4-6)

Inilah tantangan manusia, khususnya kita yang sedang mencari ilmu akan senantiasa digoda oleh bisikan-bisikan (pikiran-pikiran) yang mendistraksi proses belajar. Saat hal itu terjadi yang perlu dilakukan oleh kita adalah diam dan melakukan mindful breathing.

Ya, hanya diam sejenak kemudian bernapas dengan lembut. Lakukanlah sambil duduk, sehingga cara ini disebut DuDi: Duduk Diam atau bahasa kerennya being still. Semakin diam seseorang, maka ia mengijinkan dirinya untuk berada pada suatu sistem sempurna. Dalam termodinamika, sistem sempurna hanya terjadi ketika entropi bernilai sama dengan nol. Entropi adalah derajat ketidakteraturan pada sebuah sistem. Dan pikiran kita adalah sebuah sistem yang sangat kompleks. Maka dengan diam, kita mengijinkan pikiran kita dalam kondisi still, hening, jernih, dan bening.

Saat pikiran jernih, kita akan lebih mudah memahami ilmu, termasuk ilmu kedokteran yang tergolong sulit, yang didalamnya terdapat banyak istilah rumit yang membuat kepala melilit. Maka kita tidak perlu berkelit dari kesulitan, karena sesungguhnya dibalik itu semua ada kemudahan.

Tiga cara sederhana dalam mindful learning, khususnya untuk mahasiswa kedokteran telah dijabarkan. Apakah cukup hanya tiga cara ini? Dua cara lainnya akan dibahas ditulisan berikutnya.

Bersambung ke Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (Bagian 4)

Sumber gambar:
https://www.guidingpositivechange.com/single-post/2017/04/02/Illness-to-Stillness

Minggu, 04 Februari 2018

Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (Bagian 2)


Jadilah Mr./Mrs. Awesome

Oleh Duddy Fachrudin

Bagi Anda yang belum membaca Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (bagian 1), dapat membacanya di sini.

Mari kita lanjutkan pembelajaran mindfulness dalam bidang pendidikan ini, khususnya aplikasi mindful learning untuk mahasiswa kedokteran.

Masih ada 4 cara sederhana lainnya yang dapat dilakukan dalam mindful learning agar kita ketagihan belajar, fokus, tanpa stres, dan tentu saja mendapatkan nilai yang diharapkan. Cara pertama, yaitu niat telah dibahas di artikel sebelumnya.

Kedua, beginners mind.
"Aku suka sekolah ini!"
"Whooaa... Awsomeee!"
"Aku mencium bau petualangan!"

Kalimat pertama diucapkan Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela yang memiliki nama asli Tetsuko Kuronayagi. Sementara kalimat kedua sering dilontarkan oleh Po, alias si Panda yang suka kungfu. Dan kalimat ketiga diteriakkan oleh Monkey D. Luffy, tokoh utama dalam serial manga One Piece.

Ketiga kalimat tersebut mencerminkan rasa penasaran, ketakjuban, dan keinginan untuk mengetahui lebih lanjut terhadap apa yang ada di depan mata. Itulah beginners mind, suatu sikap pembelajar yang mengijinkan dirinya untuk mengembangkan opennes to novelty.

Belajar akan menjadi menyenangkan ketika kita "merasa bodoh" dan terus ingin tahu, seperti yang dicontohkan ketiga tokoh di atas. Bahkan seorang yang cerdas, seperti Lintang (Laskar Pelangi) pun tetap "merasa bodoh" dan ingin terus belajar meskipun harus mengayuh sepeda 30 km dari rumahnya di pesisir pantai menuju Sekolah Dasar Muhammadiyah Gantong.

Bagi mahasiswa kedokteran, mempelajari manusia berarti menyibak misteri ciptaan Tuhan yang paling indah. Tanpa adanya beginners mind, belajar akan jadi membosankan dan penuh penderitaan. Namun jika diniatkan untuk "menyelami" keindahan ciptaan-Nya, maka kita akan terkagum-kagum takjub atas segala kreasi-Nya.

Maka setelah niat dihaturkan dan termaktub dalam hati, selanjutnya kembangkanlah beginners mind agar mendapatkan manfaat yang optimal dari penerapan mindful learning ini.

Bersambung ke sini: Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (Bagian 3)

Sumber gambar:
https://wallpaper.wiki/downloas-free-awesome-face-wallpapers.html/awsome-face-image