Tampilkan postingan dengan label Pelatihan Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pelatihan Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Januari 2025

Menyelami Sejenak Ruang Bernama Kehidupan #bagian 1

Oleh Duddy Fachrudin 

Di akhir tahun saya mendapat tawaran mengajar psikologi untuk korporasi di empat daerah negeri ini. Dua diantaranya di luar pulau Jawa. Alhamdulillah, dari keempatnya terealisasi satu saja.

Jika keempatnya terlaksana tentu sangat senang sekali. Apalagi psikologi sebagai fondasi dalam menjalani kehidupan ini diperlukan setiap orang di jaman yang serba tak pasti. Namun karena ketidakpastian pula, ketiganya urung terjadi.

Dalam kondisi seperti ini yang bisa dilakukan hanya menerima, bahwa segalanya tidak sesuai rencana, sambil kemudian terus menata, memperbaiki diri dari ke hari sehingga siap untuk menyambut mentari.

Meski, setiap hari bisa saja yang datang tak hanya mentari. Mungkin ia yang hadir adalah kecewa dan rasa frustasi. Atau cemas serta depresi. Kata Rumi, mereka semua merupakan tamu yang perlu disambut dengan hangat dan riang gembira. Memeluk derita sama halnya merangkul bahagia.

Namun, bagaimana mungkin orang biasa seperti Judin paham mengenai konsep itu. Laki-laki yang hanya berpenghasilan 30 ribu per harinya itu harus menghadapi kenyataan yang menyayat sendinya. Hutang yang menumpuk diwariskan oleh orangtuanya. Sejak ayahnya meninggal, ia mengambil alih nahkoda rumah tangga yang oleng bagaikan Titanic setelah menabrak gunung es di lautan luas itu.

Sore itu ditemani Juwita, Judin mengungkapkan gelisahnya. “Sebenarnya kalau mau kita bertiga, ya kakak dan adikku berjuang bersama melunasi hutang-hutang itu.”

“Mbok sendiri bagaimana?” tanya Juwita.

Dalam duduknya Judin mengehela nafas teringat keinginan kuliahnya dicegah oleh ibunya sendiri. Kedua tangannya menyangga tubuhnya yang ringkih. “Andai saja aku kuliah Wit! Setidaknya aku bisa memperbaiki keadaan sekarang.”

Berkali-kali Judin menilai dirinya bodoh dan tak bisa apa-apa. Namun dibalik itu ia yang menanggung segalanya.

Kehidupan itu… sebenarnya apa? Tanya Judin dalam relung hatinya. Sementara senja mulai menyapa dirinya serta Juwita.

Pun tanya itu pula yang kemudian direnungkan oleh para pembelajar dari berbagai generasi di sebuah korporasi, suatu hari akhir tahun itu.

“Perjalanan!” seru seorang anak muda. Di satu sisi, seorang laki-laki berusia 50an, berkata bahwa hidup ialah kebersyukuran.

“Hidup itu stres ya Wit,” Judin kembali mengungkapkan keluhnya.

Bersambung…

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Sabtu, 28 Desember 2024

Kekuatan Afirmasi


Oleh Duddy Fachrudin & Mindfulnesia Walking Group 

Dalam memotivasi diri serta orang lain, kata-kata menjadi sarana yang bisa menjadi catudaya penggerak mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Buku “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” memberikan banyak contoh bagaimana afirmasi melalui kata-kata sangat dianjurkan untuk diucapkan. Seperti kisah One Piece, dimana Luffy seringkali berkata “Aku akan menjadi Raja Bajak Laut!”. Meski kemudian diremehkan dan ditertawakan, nyatanya sugesti tersebut menjadi bagian pelayaran serta petualangan yang tidak mudah dan penuh dengan tantangan.

Contoh lainnya yang dituliskan dalam buku tersebut ialah afirmasi yang selalu diucapkan oleh Mohammad Ali saat bertanding melawan George Foreman. Pertandingan itu ibarat David versus Goliath, karena Big Foreman sepertinya akan mudah meng-KO Ali yang “kecil”. Namun rupanya Ali memiliki strategi yang tiada lain mengucapkan kata-kata penuh energi. “Ayo, mana pukulanmu!”, “Pukulanmu tidak menyakitiku!”, Ali mengatakannya sembari memamerkan moncongnya di depan Foreman. Prediksi KO memang benar terjadi. Tapi berlaku untuk Foreman. Ali berhasil memukul telak lawannya di ronde ke-8, setelah sebelumnya “hanya” menghindar dari hantaman Foreman[1].

Sebagai pendaki gunung jelata yang gear pendakiannya apa adanya, afirmasi ke diri juga sangat mempengaruhi. Contoh saja begini: “Puncak memang bukan tujuan, tapi tidak sampai puncak keterlaluan”. Atau saat lelah melanda hati ini kemudian berkata, “Sedikit lagi!”. Dan benar saja saat energi sepertinya sudah habis, tiba-tiba tubuh kemudian bangkit dan melangkah lagi.

Dan sekali lagi, kekuatan kata-kata digunakan dalam pendakian kali ini. Pendakian yang dibilang tidak sulit karena gunung yang didaki bukan gunung yang berketinggian 3000 mdpl. Bukan juga 1000 hingga 2000-an mdpl dengan jalur yang “pedas”. Gunung ini, atau lebih layak disebut bukit berketinggian 451 mdpl. Jajar Sinapeul namanya.

Pendakian kali ini bertajuk “Mindfulnesia Trail Walk”, tujuannya untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental. Karena jalan kaki sendiri memang salah satu aktivitas fisik yang mudah dan murah, serta memiliki manfaat yang bagus sekali dalam meregulasi emosi. Bahkan berjalan kaki selama 10 menit saja dapat meningkatkan energi serta kualitas suasana hati[2].

Puncak Gunung Sinapeul. Itulah tujuan kami. Lokasinya tepat di atas Desa Ujungberung Blok Sinapeul. Terdapat dua cara menujunya dari rumah. Pertama ialah menggunakan kendaraan selama 20 menit dan menitipkannya di salah satu rumah warga. Kedua melalui berjalan kaki selama 2 jam menyusuri kampung, sawah, kebun, bukit kuda, hingga akhirnya tiba di blok Sinapeul. Kami memutuskan untuk menggunakan cara kedua.

Setelah hampir 10 km berjalan kaki, kami tiba di lokasi. Suatu kawasan wisata durian yang terkenal di Kabupaten Majalengka. Sebelum melanjutkan perjalanan menuju Puncak Jajar Sinapeul, kami beristirahat ditemani serabi hangat yang begitu lezat. Sekitar pukul 10.15 kami berjalan kembali dimulai dengan menyusuri kebun durian. Beberapa petani durian dijumpai, salah satunya yang kemudian bertanya tentang perjalanan kami. “Mau ke puncak Pak,” ujar kami. Dengan wajah ceria dan semangat, bapak itu membalas, “Bala…!”.

Bala. Terheran-heranlah Azru, Reno, dan Tamami. Ketiga anak muda yang berapi-api itu lantas bertanya kepada saya makna kata “bala”. Karena bapak tersebut mengucapkannya dengan wajah yang sumringah, maka saya mengira-ngira saja maknanya. “Artinya hebat, keren!” ujar saya.

Hebat. Pendakian yang keren, karena tidak ada orang lain yang mendaki saat itu. Hanya kami berempat. Kata “hebat” menjadi afirmasi sepanjang perjalanan pendakian. Sehingga segala rintangan yang menghadang, baik itu rasa lelah, medan yang curam, serbuan nyamuk, serta keinginan untuk berhenti dari mendaki bisa teratasi. Afirmasi “hebat dan keren” benar-benar ampuh menjadi catudaya “menaklukan” Gunung Jajar Sinapeul.

Gunung ini sunyi dan sepi. Sudah tidak banyak yang mendaki karena tidak ada lagi yang mengelola. Gunung ini ramai dikunjungi 4 hingga 2 tahun lalu di era pandemi. Penduduk lokal membuat jalur pendakian dan menatanya. Beberapa video pendakian Gunung Jajar Sinapeul bisa dilihat di Youtube dimana jalur pendakian jelas dan tertata rapih. Di Puncak Jajar Sinapeul, atap Jawa Barat Gunung Ciremai terlihat begitu gagah dan megah. Sementara jajaran gunung di perbatasan Cirebon Barat-Majalengka amat menawan, bagaikan Raja Ampat.

Bala. Kata itu kembali terngiang selama turun dari puncak. Langit mulai gelap yang membuat kami perlu bergegas. Namun sayangnya yang dihadapi ialah turunan curam penuh dengan dedaunan berserakan. Salah melangkah, tubuh bisa hilang keseimbangan lalu terperosok ke bawah. Meski ingin bergerak cepat, kenyataannya justru melambat.

Bala. Benarkah artinya keren atau hebat?

Hujan akhirnya mengguyur bumi. Untungnya kami sudah melalui turunan curam berduri itu. “Kita benar-benar bala! Hebat!” Apalagi Tamami dan Azru baru pertama kali naik gunung. Sementara Reno tidak menyangka medan Gunung Sinapeul diluar perkirannya. Dikiranya Sanghyangdora yang asyik dan ramah.

Bala. Akhirnya saya mencari tahu maknanya.

Bala seringkali digunakan pada kalimat “bala tantara…”, maka artinya bisa “pasukan”. Tapi sepertinya makna ini tidak sesuai dengan konteks pendakian. Sementara, bala dalam bahasa Sunda memiliki arti “berantakan”. Dalam kamus bahasa Sunda, bala memiliki arti: penuh rumput atau sampah serta bahaya.

Jadi… makna bala sejatinya suatu kondisi yang berantakan, awut-awutan, tidak tertata, tidak rapih seperti halnya gorengan bala-bala yang dibuat tanpa cetakan.

Selama perjalanan sendiri kami menjumpai jalur yang amat rimbun. Tumbuhan liar menutupi jalur pendakian. Daun-daun berserakan menutupi tanjakan/ turunan curam yang membahayakan. Sementara di jalur puncak yang menyerupai punggungan naga, ilalang menjulang setinggi badan sehingga menyulitkan pergerakan.

Ternyata… benar yang dikatakan bapak petani durian yang kami jumpai di awal pendakian. Bala pisan!
 
Referensi:
[1] Fachrudin, D. 10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia. Solo: Metagraf 2011.
[2] https://www.mentalhealth.org.uk/explore-mental-health/publications/how-look-after-your-mental-health-using-exercise#paragraph-18511

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 09 Desember 2024

Refleksi Akhir Tahun: Menemukan Tombol "Pause" yang Hilang


Oleh Astrid Nur Alfaradais 

Pernahkah kamu merasa bahwa hidup ini adalah jalanan yang macet? Hiruk pikuk dan gaduh. Semua orang sibuk, bergegas untuk mengejar sesuatu—tapi anehnya, sering kali kita tidak tahu apa yang sebenarnya diburu.

Kehidupan yang dijalani bagaikan autopilot: bangun, kerja, makan, tidur. Berulang di esok hari. Hingga tak terasa sudah berada di penghujung tahun lagi.  

Rasanya seperti ada tombol pause yang hilang di remote diri. Dan dalam rutinitas tersebut, kita acapkali tak menyadari respon yang muncul di saat riuhnya situasi. Padahal saat itu selalu ada kesempatan untuk menimbang keputusan serta memilih.


Seperti saat berada dalam kemacetan: apakah kemudian marah, membunyikan klakson, menggerutu tanpa henti, atau diam membisu?

Tapi pernahkah kamu berhenti sejenak? Memperhatikan hujan mengguyur jalanan, menyadari langit sore memerah, atau sekedar menyadari, "Oh, aku masih bernapas. Jantungku masih berdetak." Selamat, kamu telah bertemu mindfulness—sebuah tombol pause untuk kembali ke momen saat ini.

Mindfulness mengajarkan kita untuk menjadi pengemudi, bukan penumpang dalam hidup kita sendiri. Ketika kita sadar akan napas, tubuh, dan perasaan, kita sebenarnya sedang mengijinkan untuk berhenti dan menikmati perjalanan. 

Seringkali pikiran kita berlarian. Melintasi masa lalu, mengingat kesalahan, atau melompat ke masa depan, penuh dengan kecemasan. Kita lupa bahwa satu-satunya tempat di mana kita benar-benar hidup adalah di sini, saat ini. Sekarang. 

Jadi, harus mulai darimana? 

Mindfulness bisa diterapkan dengan cara sederhana di kehidupan sehari-hari dengan meniatkan diri untuk senantiasa berhenti lalu mengamati dan menyadari diri, seperti pikiran serta suasana hati. Kemudian mengambil napas secara lembut dan sadar. Merasakan udara masuk dan keluar, hening di sini, sehingga membantu untuk kembali ke momen kini. 

Saat berjalan, berikan perhatian penuh pada langkah kaki, pernapasan, serta lingkungan sekitar. Momen ini bisa menjadi latihan untuk mengasah kesadaran diri melalui gerakan. 

Dalam interaksi sosial, mindfulness berarti hadir sepenuhnya dengan lawan bicara. Mendengarkan tanpa interupsi dan menghindari memberi komentar yang bersifat penilaian. Belajar untuk memahami secara jernih setiap kata yang terucap dan mereponnya secara bijak.

Mindfulness juga berguna untuk mengelola emosi negatif. Ketika rasa marah atau takut muncul, kita boleh menyadari dan menerima sensasi fisik seperti ketegangan pada tubuh. Sembari menunggu, pulihkan melalui pernapasan dan kebijaksanaan[1]. 

Langkah-langkah ini membantu menciptakan hidup yang lebih damai dan sadar. Mencoba berhenti sejenak di jalanan hidup yang macet, membuat kita bisa mengingat bahwa meski tujuan itu penting, menjalani perjalanannya jauh lebih berarti.

Referensi:
[1] White, P. G. (2024). 5 Simple Ways to Be Mindful in Your Everyday Life. Mindworks. Retrieved from https://mindworks.org

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 30 Juli 2024

Forest Therapy: Sebuah Ikhtiar Untuk Pulih Melalui Energi Hutan

Oleh Duddy Fachrudin & Andry "Sting" Edwin Dahlan 

Aku bersandar di sini untuk terpapar 
Olehmu mentari yang memancar, 
juga pinus-pinus yang menghampar 
Menghantarkan molekular minyak atsiri ke dalam tubuh 
Untuk segera pulih serta bertumbuh

Aktivitas forest therapy

Maka sejenak saja meluangkan waktu mengunjungi sahabat, yaitu hutan-hutan yang lebat, lalu memeluknya dengan hangat. Begitulah forest therapy mengajarkan kepada kami, manusia yang penuh dengan dialektika untuk belajar secara sadar serta berikhtiar merawat diri dari berbagai inflamasi melalui energi hutan yang penuh cinta kasih. 

Salah satu bentuk terapi hutan yaitu forest bathing yang intinya melakukan aktivitas di hutan dengan sadar atau mindful. Meditasi di hutan dengan melibatkan indera dan "menyatu", serta menyelaraskan diri dengan hutan. Itulah forest bathing. Kalau di Jepang dilabeli Shinrin-yoku.

Sakit pada tubuh terkait dengan respon inflamasi, yaitu respon biologis dari sistem imun yang dipicu oleh berbagai faktor, yaitu patogen, sel yang rusak dan senyawa beracun. Mediator inflamasi seperti Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) perlu dikendalikan sehingga respon inflamasi tidak semakin berlebih dan kerusakan jaringan dapat dicegah.

Penelitian menunjukkan individu yang menjalani forest bathing memiliki kadar IL-6 dan TNF-α yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu stres oksidatif menurun akibat pengaruh senyawa terpen yang ada pada pohon.

Senyawa terpen, seperti limonene dan pinene menurunkan jumlah pelepasan berbagai sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, IL-1, dan TNF-α serta menginhibisi aktivitas faktor transkripsi yang berperan dalam inflamasi, yaitu Nuclear Factor kappaB (NF-κB). Terpen secara umum mengurangi aktivitas katalitik enzim yang terlibat dalam pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan memiliki efek antioksidan yang kuat.

Maka seperti kata Hippocrates, "nature itself is the best physician". Dokter terbaik, tiada lain alam (yang di dalamnya terdapat hutan) itu sendiri yang diciptakan Tuhan sebagai anugerah kepada manusia. 

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 08 November 2022

Oogway, Karakter Paling Brengsek di Kung Fu Panda







Oleh Duddy Fachrudin

Tahun depan, tepatnya di bulan Maret Kungfu Panda 4 rilis. What? Seriously? 

Kungfu Panda sudah sangat keren dengan ketiga filmnya. Terbukti dengan penilaian di situs IMDB yang memberi skor di atas 7 untuk kisah petualangan Po yang kocak, inspiratif, sekaligus filosofis. Dan yang terpenting teka-teki mengapa Oogway memilih Si Panda Gemoy itu menjadi Dragon Warrior telah terjawab di film yang ketiga.

Kungfu Panda sudah sangat bagus. Setidaknya menurut saya. Dan karena itu tidak berharap ada kelanjutannya.

Baiklah, namun berita tersebut sudah tersebar, bahkan menjadi trending topic di Twitter bulan Agustus yang lalu. Semoga petualangan berikutnya menyajikan kisah yang "Wooooaaaah", seperti reaksi Po ketika mendapatkan suatu pembelajaran baru dari Shifu maupun Oogway.

Master Shifu dan Master Oogway. Kedua guru Po ini punya karakter yang berbeda. Shifu yang serius dan serba terencana, sementara Oogway lebih kalem, intuitif, dan kadang-kadang konyol, plus brengsek juga. Namun karena kebrengsekan Oogway, Kungfu Panda menghadirkan makna bagi penontonnya.

Sebut saja ketika dia tiba-tiba menunjuk Po yang jatuh dari langit sebagai Pendekar Naga, sementara 5 calon yang yang telah disiapkan akhirnya menjadi sia-sia. Karena itu pula Shifu protes kepadanya bahwa jatuhnya Po persis di depan Oogway sebagai kebetulan belaka. Oogway sudah mau memilih Tiger sebagai pewaris Manuskrip Rahasia. Itulah yang ada dalam benak Shifu.

Bayangkan anda di posisi Shifu saat itu lalu melihat keputusan Oogway. Pasti bingung, kesal, kecewa, marah, menolak dan tidak menerima. Brengsek bukan Oogway ini?

Kebrengsekan Oogway berlanjut saat Shifu diminta melatih Po yang "hanya kebetulan" untuk menjadi Dragon Warrior. Lalu Si Kura-Kura ini dengan enaknya mengatakan kepada Shifu di suatu malam di bawah Pohon Persik, "You must continue without me." Dan kemudian Oogway menghilang alias moksa.

Brengsek bukan. Dia yang nunjuk Po, Shifu yang melatih, tapi kemudian dia menghilang. Ngasih kerjaan itu namanya.

Dan saran Oogway kepada Shifu yang begitu campur aduk pikiran dan perasannya itu sebelum moksa hanyalah: "You must believe..." atau dengan redaksi lain, Shifu, kamu harus percaya bahwa Si Gendut Panda yang suka makan itu dapat memenuhi takdirnya sebagai Pendekar Naga yang ditunggu-tunggu keberadannya dan bisa menjadi solusi memberikan kedamaian bagi semua penduduk Valley of Peace.

Assseeem tenan iki Oogway.

Tapi untungnya Shifu yang berarti Guru tersebut mau belajar.

Meski syuuulit menerima keputusan Oogway yang brengsek, ia perlahan membangun raport alias hubungan yang harmonis dengan Po. Pada akhirnya Master Shifu bisa melatih Po dengan cara yang unik dan berbeda. Bahkan ketika Po diminta menguasai inner peace, Po berhasil. Lalu saat Po akhirnya ditugaskan untuk mengajar kungfu dan melatih chi-nya, ia pun bisa.

Memang, hal-hal ajaib dapat bermula dari kebrengsekan. Dan tulisan ini pun mungkin sesuatu yang brengsek bagi anda.

Hikmahnya, terbukalah dengan berbagai pengalaman. Kalau kata mindfulness: kembangkan sikap beginners mind dan jangan terlalu terburu-buru menilai atau menghakimi.

Anak anda, murid anda, bawahan anda, klien anda bisa memenuhi takdir terbaiknya melalui anda.

How? You must believe...

Overload Pesan WA dan Bikin Cemas, Apa yang Bisa Dilakukan?



Oleh Dwi Ayu Elita K. 

WhatsApp (WA) adalah aplikasi perpesanan gratis paling populer di dunia. Penggunaan yang mudah dan cepat dengan dukungan internet memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan menerima ribuan pesan atau panggilan telepon dalam sehari. 

Ketika WA hadir menggantikan email sebagai media penyampai pesan, dunia terkagum-kagum dengan kecanggihan aplikasi ini dalam memberikan kepastian pengiriman pesan. Kurang dari satu detik begitu kita menekan logo “kirim pesan”, segera muncul penanda apakah pesan tersebut terkirim atau sudah terbaca oleh penerima. Tidak hanya itu, kita juga bisa mengetahui jam dan menit terakhir orang yang kita hubungi aktif menggunakan WA. 

Menengok feature pengiriman pesannya yang sebegitu menjanjikan kepastian pesan itu terkirim dengan cepat, tepat dan terkontrol statusnya, beramai-ramai masyarakat dunia segera menginstal aplikasi itu. Termasuk saya, dan tentu saja anda, bukan? 

Dikutip dari portal berita Kompas, aplikasi WA sendiri telah diunduh sebanyak 2 miliar di seluruh dunia dan pesan yang dikirimkan lewat WA per harinya dapat mencapai sebanyak 100 juta (Stephanie, 2020).

Dalam dunia kerja, seluruh sektor bisnis dan beragam jenis pekerjaan semuanya menggunakan WA. Surat elektronik yang sebelumnya bertahun-tahun digunakan sebagai media berkirim pesan paling modern di era digital digeser penggunaannya oleh aplikasi ini. Melalui WA setiap para profesional dapat mengirimkan dokumen surat digital, file, berbagai berkas keputusan dan tentu saja berbagai perintah kerja semua dilakukan melalui WA.

Akan tetapi seperti mata koin yang selalu mempunyai dua sisi, selain memiliki banyak manfaat, tidak dipungkiri penggunaan WA pun juga mempunyai dampak negatif. Apa perubahan yang Anda rasakan sebagai pekerja semenjak komunikasi formal informal kita beralih dari email ke WA?

Bagaimana rasanya ketika seketika private boundaries kita dimonitor sepanjang waktu oleh dunia eksternal di luar diri kita?

Bagaimana rasanya ketika 24 jam atasan kita bisa mengirimkan pesan perihal pekerjaan dan mereka berharap kita segera merespon pesannya?

Rasanya seperti diserang kapan saja, dimana saja, siapapun bisa menjangkau keberadaan kita. Bahkan di saat seharusnya kita memiliki hak untuk beristirahat serta berkumpul dengan keluarga tercinta. Parahnya lagi, ketika kita kurang cekatan merespon pesan yang dikirim oleh rekan kerja atau atasan di kantor, label tidak berdedikasi segera disematkan pada nama kita. 

Ternyata kecepatan berkirim pesan pekerjaan belakangan ini justru menjadi beban bagi sebagian besar pekerja.

Blabst & Diefenbach (2017) dalam penelitiannya tentang “WhatsApp and Wellbeing: A study on WhatsApp usage, communication quality and stress” menemukan bahwa intensitas dan frekuensi penggunaaan aplikasi pengirim pesan instan seperti WA beresiko menurunkan derajat kesejahteraan psikologis. 

Eksperimen yang dilakukan oleh Blabst & Diefenbach (2017) menunjukkan bahwa penggunaan aplikasi pengirim pesan instan dalam frekuensi tinggi meningkatkan tension atau ketegangan di dalam diri penggunanya. Tanpa kita sadari, bisa jadi kita mengalami WhatsApp Anxiety (WA-A).

Whatsapp Anxiety ini membuat penderitanya merasakan takut saat melihat notifikasi pesan WA, gelisah saat pesan yang sudah dikirimkan tak kunjung mendapatkan balasan, dan juga cemas ketika melihat banyaknya pesan yang belum terbaca karena berpikir dengan begitu banyaknya chat yang belum terbaca itu ia tertinggal berbagai macam informasi.

Lalu pertanyaan berikutnya, apa yang harus kita lakukan sebagai pekerja di tengah gempuran keharusan akan kesegeraan saat ini termasuk dalam menanggapi pesan pekerjaan yang membludak setiap harinya baik melalui personal chat maupun group WA?

Salah satu yang bisa kita lakukan untuk membantu diri kita sendiri untuk mengatasi kecemasan ini adalah berlatih mindfulnes

Teknik mindfulness merupakan teknik yang berfokus pada kondisi kesadaran dan pengalaman saat ini dengan penuh penerimaan (Germer, Siegel, & Fulton, 2005). Teknik ini menekankan pada kesadaran, menyadari sepenuhnya terhadap hal-hal yang terjadi saat ini diterima sepenuhnya tanpa penilaian dengan mengabaikan pengalaman lain (Mace, 2008).

Kecemasan yang ditandai dengan istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut dapat diatasi dengan penerapan mindfulness (Atkinson, Atkinson, & Hilgard, 2001).

Dari beberapa jenis latihan mindfulness yang ada, setidaknya dua latihan mindfulness sederhana berikut dapat membantu kita lebih berkesadaran di tengah kesibukan pekerjaan dan pesan WA yang membanjiri gadget kita yaitu, 3 minutes breathing dan sitting practice. Keduanya bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun oleh siapapun. 

Pada teknik 3 minutes breathing, kita merasa lebih tenang, rileks, menjadi lebih fokus, dapat berkonsentrasi dan memiliki pikiran yang baik. Sementara itu, teknik sitting practice membuat kita menjadi lebih tenang, terhindar dari perasaan negatif dan rileks. 

Latihan mindfulness yang diterapkan membuat keadaan otak individu memasuki kondisi gelombang alfa. Ketika otak individu berada pada gelombang alfa, mengakibatkan penurunan kecemasan dan meningkatkan perasaan tenang dan positif (Brown & Ryan, 2003).

Referensi:
Atkinson, R.L.,Atkinson, R.C., & Hilgard, E.R. (2001). Pengantar Psikologi. Jilid Dua. Alih Bahasa : Widjaja Kusuma. Batam : Interaksara.

Blabst,N. & Diefenbach,S. 2017. Whatsapp And Wellbeing: A Study On Whatsapp Usage, Communication Quality And Stress. DOI:10.14236/ewic/HCI2017.85

Brown, K. W., & Ryan, R. M. (2003). Perils and Promise in Defining and Measuring Mindfulness: Observations from Experience. Clinical Psychology: Science and Practice. https://doi.org/10.1093\/clipsy\/bph078

Germer, C. K., Siegel, R. D., & Fulton, P. R. (2005). Mindfulness and psychotherapy. New York: Guilford Press.

Stephani, C. (2020, September). WhatsApp Saat Ini, 2 Miliar Pengguna 100 Miliar Pesan Per Hari. Kompas.com. Diakses dari https://tekno.kompas.com/

Mace, C. (2007). Mindfulness and mental health: Therapy, theory and science. Routledge.

Sumber gambar:
\

Minggu, 30 Oktober 2022

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Perjalanan lintas masa mereka yang menggunakan jentera anti tesis ruang waktu, membawa ke sebuah daerah yang dulu masuk ke area pusat peradaban Liyangan. Belum sampai sana sebenarnya, tepatnya di Papringan.

Lokus yang menjadi laboratorium hidup untuk kearifan budaya yang bersifat holistik dan menjadi etalase cara hidup arif bijaksana yang waskita terhadap berbagai piweling dan pertanda dari alam.

Pendekatan pemenuhan kebutuhan yang berkepedulian dan kapasitas untuk menjadi pengendali keinginan tanpa mengeksploitasi, apalagi manipulasi, secara berlebihan dan tak beretika ketika berinteraksi dengan alam.

Alam takambang menjadi guru bukanlah sekedar pameo ataupun peribahasa bersayap yang terbang membumbung tinggi seperti Alap Alap. Ia justru menjadi Lumbricus yang membumi dan bersanggama langsung dengan kenyataan, tetapi mampu mewarisi ilmu visi Alap Alap sebagaimana yang dimiliki oleh Bala Sanggrama pengawal Raden Wijaya raja pertama Majapahit yang keturunan Jawa Sunda. Ayahnya dalam beberapa manuskrip dikenal sebagai Rakyan Jayadarma yang berasal dari Sunda Galuh, dan Ibunya adalah Dyah Lembu Tak keturunan Ken Arok pendiri Singhasari.

Kakawin Negarakertagama, Pararaton, dan prasasti Kudadu menjelaskan tentang asal usul dan sepak terjang Raden Wijaya dalam mendirikan Emporium Majapahit, yang kelak dikenal dengan doktrin penyatuan Nusantara.

Kembali kepada Papringan dan beberapa daerah yang dengan kesadaran penuh mulai belajar untuk mengenali kembali kearifan terdahulu yang antara lain maujud dalam tradisi yang diwariskan sebagai pesan kebudayaan yang menjadi pengingat dan perekat dari generasi berikutnya yang heterogen. 

Pesan ini antara lain maujud dalam sebentuk craftmanship dan kecerdasan natural yang dapat memanfaatkan segenap potensi alam dengan cara yang sederhana, tepat guna, dan tidak mendorong terjadinya dampak ikutan yang tidak diharapkan seperti limbah dan kerakusan yang senantiasa menjadi bagian dari konteks potensi komoditas.

Papringan dengan tokoh penggerak seperti Mas Singgih yang ahli pemanfaatan bambu, dapat menjadi contoh tentang kebersahajaan cara hidup yang justru dapat mengalir sejalan dengan arus semesta yang menubuh dalam berbagai fenomena alam yang penuh dengan tanda.

Papringan atau perbambuan yang menjadi jenama sebuah pasar dengan produk dan cara bertransaksi unik, bukanlah semata sebuah jenama belaka, ia adalah laboratorium tentang nilai.

Pasar yang berlokasi di dusun Ngadiprono, desa Ngadimulyo, kecamatan Kedu yang di masa lalu masuk dalam wilayah Bagelen, ini adalah sebuah media interaksi nilai yang dapat menjadi media kontemplasi terhadap pola interaksi kita dengan alam selama ini.

Jika bangsa Jepang memiliki shokunin waza, maka bangsa Indonesia dengan berbekal warisan berupa capaian budaya dan cendekia yang sedemikian luar biasa pada zamannya, tentulah juga memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengelola segenap potensi intelijensia dan ketrampilan dalam mengelola sumber daya yang tersedia dalam ruang hidupnya.

Semangat inilah yang semestinya jangan sampai mengalami kondisi pati obor, alias tercerabut dari tradisi cendekia bangsa yang meski maju dalam tatanan masyarakat dunia, tetapi juga semestinya dapat menyumbang konsep dan karya adiluhung melalui sebentuk karya dan model hidup welas wasis waskita yang cerdas bernas sekaligus ikhlas. 🙏🏿💕

Sumber gambar:

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Aja mung dadi wong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya wong sing ugi bisa lan pinter rumangsa.

Peka terhadap kondisi, sadar berkenyataan, bersikap dan berbuat dengan olahan kejernihan pikiran yang menghasilkan kesejukan dalam kebersamaan.

Karena pada dasarnya manusia itu hanya memanen apa yang telah dikerjakan, dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan. Segenap peristiwa dalam kehidupan sesungguhnya adalah pelajaran yang mau kita terima dan kerjakan PR nya, atau mau kita abaikan. 

Lucunya rangkaian dari peristiwa yang merupakan kurikulum pendidikan kemanusiaan itu, konten dan objektifnya kita tentukan sendiri. Karena hidup ini adalah Learning Management System atau LMS dengan Personal and Community Learning Objective yang turut kita kembangkan berdasarkan pilihan sikap dan kedalaman cara berpikir, juga sekhusyu' apa kita berzikir.

Bukankah menungsa mung ngunduh wohing pakarti?

Pakarti dalam kinerja, karya, dan olah rasa, teutama dalam hubungan antar sesama makhluk ciptaan Tuhan di semesta. Tidak eksploitatif manipulatif secara abusif, juga pandai menata dan mengelola titipan yang telah diamanahkan sebagai khalifah yang wajib menghadirkan rahmah.

Sepi ing pamrih, rame ing gawe, banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli.

Presensi yang menghadirkan kehangatan, dan bukan ancaman. Kehadiran yang membahagiakan, bukan yang membahayakan.

Untuk menyelami dan menghirup atmosfer ilmu itu, bisa singgah di Papringan.

Sahabat saya bersama kroninya yang ahli dalam soal konservasi berbagai warisan budaya arsitektur heritage, sedang melakukan tour de central Java yang berpusar di sekitar pegunungan sakral bangsa Medang. Ungaran, Telomoyo, Sindoro, Sumbing, minus Merapi dan Merbabu.

Mereka berkelana dan memanja indera dengan sajian romansa eklektika yang dipenuhi dengan berbagai kisah nostalgia tentang masa jaya sebuah peradaban yang pernah hadir di Nusa Jawa.

Nusa silang budaya kata Denys Lombard, sejarawan yang bukunya tentang sejarah Nusantara laris manis tanjung kimpul. Bahkan melebihi karya-karya ilmiah populer cendekiawan kita sendiri. Tak apa tentunya, karena ilmu kan bersifat egaliter, universal, dan bebas kepemilikan. 

Tersedia banyak tanda bagi mereka yang punya niat belajar dan berkenan membaca dan menyimak isinya tanpa terjebak sebatas menghafal jenama dan pariwaranya saja.

Dalam parikan Jawa sifat bangga akan bungkus dan kosong saat ditanya soal isi kerap disampaikan sebagai pengingat bagi para generasi penerus, wa bil khusus, generasi yang sudah teramat banyak difasilitasi teknologi.

Kecepatan dan intensitas informasi yang ditandai dengan tingginya volume transmisi, seperti rumus Claude Shannon ya, membuat prosesor analitik kita tak sempat mengendapkan data, apalagi mengurainya menjadi ekstrak ilmu yang dapat dipertautkan secara silogisme untuk merajut makna yang sebenarnya terwakili dalam berbagai bentukan pesan semiotika.

Budaya kulit atau lapis superfisial yang terwakili oleh status ataupun feed serta mikro blog yang hanya berkisar sekitar 160 karakter, telah membuat kita mengukur setiap fenomena melalui "baju" yang dikenakannya saja.

Kembali kepada duo Hasti dan Hesti yang berasal dari dunia yang berbeda, Holland (yang bukan bakery) dan Tahura Bandung, rupanya mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Yang satu punya ilmu terkait konservasi dan pemuliaan situs atau artefak bersejarah, satunya lagi punya jejaring di berbagai kalangan untuk bisa memberi akses petualangan time traveling mereka.


Sumber gambar:

Selasa, 05 April 2022

Mindful Journey: Merbabu, Sebuah Pejalanan yang Dirindu (Bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin

Beruntungnya Marto bisa wisuda dan menjadi psikolog. Pengujinya dulu melihat pemuda cengengesan itu tak layak mengobati permasalahan kesehatan mental orang lain. Metodenya tidak berdasar keilmuan psikologi, campur sari, oplosan teknik sana sini. Namun kegigihan dan keikhlasan membantu orang lain membantunya berada di gedung wisuda nan megah. Bapak ibunya yang tak mengerti apa-apa tentang kuliah anaknya itu senyum-senyum bahagia.

Ia berencana merayakan keberhasilannya dengan naik gunung seminggu kemudian. Diajaknya Dayat yang baru saja kehilangan ibunya. Awalnya Dayat menolak, hatinya masih bersedih dan tersayat. Bagaimana mungkin ia jalan-jalan bahagia sementara masih berselimut duka.

"Wis percoyo karo aku..." kata Marto berusaha menentramkan kegelisahannya.

Mengembara berputar-putar pikiran Dayat. Teringat dirinya saat kecil diajak ibunda tercinta mengalas ke hutan mencari kayu bakar di sebuah gunung. Wajahnya sumringah dan mulutnya tak pernah berhenti berkelakar. Mbah Jan yang menemani sering menimpali dengan ayat-ayat Qur'an, Wal-jibāla arsāhā. Matā'al lakum wa li`an'āmikum. (An-Nazi'at: 32-33)

Padang Sabana di Gunung Merbabu

Dayat memandangi Marto, lalu menangguk setuju. Kedua pemuda itu lantas menyiapkan perbekalan dan barang-barang untuk mendaki Merbabu. 

Gunung Merbabu terletak di tiga kabupaten, Magelang, Boyolali, dan Semarang. Puncak Merbabu tidak hanya satu. Setidaknya ada tiga puncak yang terkenal, yaitu Kenteng Songo, Triangulasi, dan Syarif. Ada lima jalur yang bisa ditempuh pendaki menuju puncak tersebut, yaitu Thekelan, Wekas, Cunthel, Suwanting, dan Selo. 

Marto dan Dayat memutuskan untuk mendaki Merbabu melalui Selo. Hujan gerimis selama pendakian sejak basecamp hingga pos 3 menemani langkah manis mereka. Meski puncak sebagai tujuan, menikmati perjalanan merupakan esensi pendakian. Itulah yang diajarkan Mbah Jan, Huwallażī ja'ala lakumul-arḍa żalụlan famsyụ fī manākibihā wa kulụ mir rizqih, wa ilaihin-nusyụr. (Al Mulk: 15)

Bersambung...

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Minggu, 07 November 2021

Metafora: Harta Karun dan 3 Pertanyaan


Oleh Duddy Fachrudin 

Dikisahkan terdapat sebuah warisan peninggalan kerajaan di masa lalu. Warisan tersebut adalah harta karun yang paling berharga. Para arkeolog di seluruh dunia mencarinya karena mendengar kabar bahwa dengan memiliki harta karun itu akan membuatnya bahagia

Sampai akhirnya, seorang arkeolog bersama timnya berhasil menemukannya di kedalaman 100 meter dari permukaan bumi di dekat reruntuhan istana kerajaan.

Harta karun itu disimpan dalam sebuah kotak yang digembok dengan sangat kuatnya. Perlu satu hari sang arkeolog beserta timnya untuk membuka kotak itu. 


Akhirnya kotak itu terbuka... dan isinya adalah... bukan emas, bukan perak, bukan pula permata kerajaan, melainkan sebuah batu pipih yang lebar berwarna putih yang ditulis dengan huruf Cina kuno.

Tulisan tersebut ternyata berupa 3 pertanyaan kaisar. Berikut pertanyaannya:
1. Kapan saat-saat yang paling penting dalam hidupku?
2. Siapa orang yang paling penting dalam hidupku?
3. Pekerjaan apa yang paling penting di dunia ini?

Arkeolog dengan dibantu seorang ahli bahasa selesai membaca ketiga pertanyaan itu. Ia tampak bingung dan berkata dalam hati, ‘Apa maksud dari pertanyaan-pertanyaan ini?’ 

Karena bingung ia meletakkan kembali batu itu ke dalam kotak. Saat ia mengembalikan batu ke dalam kotak, ia melihat rangkaian kalimat yang ditulis sangat kecil. Langsung saja, ia memberi tahu ahli bahasa dan memintanya untuk membacakan kalimat-kalimat itu. 

Secara hati-hati, dengan menggunakan kaca pembesar ia mengucapkan kata demi kata:

1. Saat-saat terpenting dalam hidupku adalah saat ini
2. Orang yang paling penting dalam hidupku adalah siapapun orang yang bersamaku saat ini
3. Pekerjaan yang paling penting di dunia adalah melayani

Referensi:

Sumber gambar:

Rabu, 20 Oktober 2021

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 2)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Terlepas dari berbagai metodologi ilmiah yang berkembang tersebut, Semmelweis melihat bahwa kasus kematian di bangsal persalinan tentulah ada mekanisme sebab akibatnya. Untuk menemukan jawaban atas hipotesis sementaranya itu Semmelweis melakukan pengamatan dan pencatatan yang cukup detil terkait dengan berbagai kondisi, kegiatan, dan prosedur medis, serta berbagai peristiwa yang terjadi di kedua bangsal.

Semula Semmelweis menaruh curiga pada posisi pasien terkait prosedur medis yang dilakukan. Hal tersebut mengemuka karena ia melihat adanya perbedaan posisi pasien di kedua bangsal. Tetapi setelah dilakukan perubahan dan posisi pasien di kedua bangsal disamakan tetap saja perbandingan tingkat kematian tidak berubah.

Semmelweis berpikir keras dan mencoba mencari faktor penyebab lain yang dapat menjadi alasan rasional terjadinya ketimpangan tingkat kematian tersebut. Tak lama ia melihat bahwa ada kemungkinan kehadiran pendeta dan ritualnya setiap ada kematian di bangsal persalinan dapat memicu stres dan tekanan mental yang berakibat fatal pada pasien. 

Semmelweis melihat adanya perbedaan ritual di bangsal yang ditangani dokter dan di bangsal persalinan bidan. Sebenarnya pemikiran Semmelweis ini sudah menjangkau pendekatan psikoneuroimunologi yang saat ini berkembang pesat. Sayangnya saat itu setelah upaya meminimalisir ritual dan mengubah pola kunjungan rohani, ternyata tetap tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari perbandingan angka kematian semula.

Semmelweis tak menyerah apalagi putus asa, ia terus berusaha mencoba mencari alasan paling rasional yang menjadi penyebab utama tingginya angka kematian di bangsal para dokter dan mahasiswa kedokteran. Hingga pada suatu hari Semmelweis mendapat kabar duka tentang kematian koleganya, seorang patolog, yang diduga akibat terkontaminasi dan terinfeksi patogen saat melakukan autopsi. Dan kejadian semacam itu jamak terjadi pada jaman itu. Patolog yang seyogianya bertugas mencari sebab sebab kematian melalui proses autopsi, kerap sakit dan bahkan meninggal karena tertular dari jenazah yang diautopsi.

Melihat kondisi tersebut Semmelweis mendapatkan suatu titik cerah. Dari catatan hasil observasinya, Semmelweis menemukan bahwa para dokter dan mahasiswa kedokteran selain menjalankan tugas klinik, juga mendapatkan penugasan untuk melakukan autopsi.

Ada kemungkinan pasca proses autopsi para dokter dan mahasiswa kedokteran yang langsung menangani persalinan justru menjadi vektor pembawa patogen infeksius ke pasiennya. Di zaman modern kondisi ini dikenal sebagai infeksi nosokomial.

Untuk membuktikan dan mencegah terjadinya kejadian serupa terus berlangsung, Semmelweis memperkenalkan metoda desinfeksi dengan menggunakan klorin/chlorine (Cl2) atau bentuk sediaannya NaOCl (sodium hipochloride). Hasil riset dan eksperimentasi kliniknya berhasil. Angka kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter dan mahasiswa kedokteran menurun seiring dengan diberlakukannya protokol mencuci tangan dengan klorin sebelum melakukan tindakan persalinan.

Sumber gambar:

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Pandemi mengajarkan pada kita normalitas baru dalam beraktivitas dan berinteraksi di antara sesama manusia. 3M, 5M, bahkan 6M. Di antara M itu mencuci tangan menjadi salah satu M yang dianggap berperan signifikan dalam upaya mengurasi resiko penularan.

Kisah kita berawal dari soal cuci mencuci tangan, tetapi izinkanlah saya membawa kita semua mengembara menelusuri lorong waktu, kembali ke tahun 1846.

Alkisah pada tahun 1846 di Viena General Hospital seorang dokter Hungaria bernama Ignaz Semmelweis bertugas. Semmelweis bukanlah seperti klinisi pada umumnya, ia klinisi yang kritis dan gemar meneliti serta selalu mencari hubungan sebab akibat dari berbagai fenomena yang kerap dihadapi di rumah sakit.

Salah satu hal yang menarik perhatiannya adalah perbedaan angka kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter dan mahasiswa kedokteran dengan bangsal yang ditangani bidan. Tingkat kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter 5x lebih tinggi dibandingkan di bangsal yang ditangani bidan. Fakta ini amat mengganggu pikiran Semmelweis yang tak puas dengan berbagai penjelasan yang ada.

Meski pada masa itu metodologi penelitian klinis belumlah berkembang sebagaimana yang kita kenal hari ini, Semmelweis dengan jeli telah melihat adanya kemungkinan faktor-faktor penyebab tertentu yang mendasari terjadinya perbedaan tingkat kematian tersebut.

Pada abad ke X dunia sains telah diperkenalkan berbagai upaya validasi hasil pengamatan dan penerapan berbagai metoda untuk mencari hubungan baik asosiatif, korelatif, maupun kausalistik dengan model sampling dan pengujian yang dapat menjamin objektivitas, oleh seorang ahli optik Timur Tengah yang juga penemu kamera Obscura, Abu Ali Al Hasan Ibnu Haytham yang biasa dipanggil Al Haytham saja. 


Al Haytham adalah cendekiawan polimat yang berasal dari Basrah (kini masuk wilayah Irak). Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Aristoteles (384 SM–322 SM), Euclid yang hidup sekitar abad ke-4 SM, Ptolemy (90–168), ilmuwan Fisika Yunani Galen (129–200), Al-Kindi (801–873), Banu Musa yang hidup di abad ke-9, Thabit ibn Qurra (826–901), Ibrahim ibn Sinan (908–946), Al-Quhi, dan Ibn Sahl (940–1000). Intinya pendekatan bermetodologis ala Al Haytham inilah yang kemudian melahirkan revolusi sains dengan berbagai implikasi terapannya.

Perkembangan konsep metodologi ilmiah dan penelitian sendiri berlanjut berabad abad kemudian yang antara lain dikembangkan oleh Francis Bacon yang memperkenalkan metoda induksi. Dalam magnum opus-Novum Organum atau instrumen baru, Bacon ber­argumentasi bahwa meskipun pada umumnya filsafat menggunakan silogisme deduktif untuk menginter­pretasikan alam, terutama menurut logika Aristotelian, seorang filsuf dan ilmuwan seharusnya juga memulai penalaran induktif dari fakta ke aksioma, lalu ke hukum fisika.

Dimana metoda deduksi yang selama ini dikenal adalah metoda dengan proses penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum untuk mencapai kesimpulan logis tertentu. Sedangkan metoda induksi ala Bacon adalah mengambil simpulan yang bersifat umum dari data dan fakta yang bersifat khusus.

Halaman Selanjutnya >>>

Senin, 13 September 2021

Pelatihan Intervensi Psikologi Berbasis Mindfulness: Acceptance and Commitment Therapy


Oleh Duddy Fachrudin 

Lasse Rouhiainen dalam bukunya yang sangat fresh yang terbit di tahun 2019 yang berjudul Artificial Intelligence: 101 Things You Must Know Today About Our Future menuliskan 11 skills yang dibutuhkan di masa depan. 

Salah satu keterampilan tersebut ialah mindfulness, suatu kemampuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap suatu hal.

Jauh sebelum Rouhiainen mencantumkan mindfulness sebagai keterampilan penting di era masa kini dan mendatang, 15 tahun sebelumnya, mindfulness menjadi komponen utama bersama acceptance, metakognitif, personal values, dan spiritual dalam terapi “third wave cognitive behavioral”[2,3]. 

Salah satu terapi berbasis third wave, yaitu Acceptance and Commitment Therapy (ACT) mengakomodasi mindfulness sebagai tools untuk mencapai psychological flexibility dan terlepas dari penderitaan psikologis[3].

Penderitaan psikologis (psychological suffering) dalam ACT bermula ketika individu kaku secara psikologi[3]. Sebagai contoh penderita depresi yang mengembangkan experiential avoidance melalui alkohol sebagai pelarian sekaligus solusi semu atas permasalahan psikologisnya. 

Pada titik ini yang diperlukan adalah mengetahui akar masalah dengan berhenti sejenak mengamati dan menyadari (mindful) pikiran, menerimanya, tapi juga tidak terjerat dengannya, lalu mengembangkan tujuan dan nilai-nilai penting penuh makna serta mengarahkan perilaku sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan. 

Itulah ACT yang mengajarkan individu untuk berpindah dari kekakuan psikologi menuju fleksibilitas psikologi.

Pada era yang serba tidak pasti saat ini dan isu mengenai kesehatan mental yang semakin menjadi perhatian, keterampilan-keterampilan dalam ACT perlu dikembangkan individu. 

Pelatihan ACT memfasilitasi siapapun para pembelajar untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang menunjang fleksibilitas psikologi, yaitu mindfulness, acceptance, cognitive defusion, self as context, dan living with values, serta committed action yang dapat diaplikasikan kepada diri sendiri maupun orang lain.

Terdapat tiga capaian pembelajaran yang dapat dicapai peserta pelatihan ACT: 1) peserta dapat memahami konsep dan cara kerja ACT; 2) peserta dapat membuat desain modul ACT; dan 3) peserta dapat menggunakan dan mempraktikkan elemen-elemen keterampilan dalam ACT dalam permasalahan psikologi sederhana.


Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Referensi:

[1]   Fachrudin D. #2019HidupLebihMindful (internet). Mindfulnesia. 2019 (dikutip 8 September 2021). http://www.mindfulnesia.id/2019/01/2019hiduplebihmindful.html

[2]   Hayes SC, & Hoffman SG. Third wave of cognitive behavioral therapy and the rise of process-based care. World Psychiatry. 2017; 16(3): 245-246. DOI:1 0.1002/w ps.20442

[3]   Luoma JB, Hayes SC, & Walser RD. Learning ACT: An acceptance and commitment therapy skills training manual for therapists. Oakland: New Harbinger, 2017.


Sumber gambar:

Senin, 30 Agustus 2021

Hidup Seimbang ala dr. Song Hwa


Oleh Nita Fahri Fitria 

Memasuki episode kesepuluh pada musim keduanya, Serial Korea Hospital Playlist masih saja menjadi kesayangan banyak orang. Drama ini disebut sebagai drama yang punya efek “healing” bagi penonton akibat jalan cerita yang menyentuh. Menyoroti kehidupan lima orang dokter spesialis yang bersahabat sejak lama, Hospital Playlist juga banyak menggambarkan nilai-nilai kehidupan dari kisah para pasien dan tentu saja para tenaga medis di sekitar lima tokoh utamanya.


Chae Song-hwa adalah pemeran utama wanita yang merupakan seorang dokter spesialis bedah syaraf. Karakternya yang cerdas, baik, dan suka menolong, membuat Chae Song-hwa dikagumi banyak orang. Uniknya, meski memiliki pekerjan segudang tapi Song-hwa selalu Nampak ceria dan Bahagia. Dia benar-benar tahu bagaimana cara menjalani hidup yang bahagia…

Jika kita amati lebih detail, Chae Song-hwa punya beberapa kebiasaan yang membantunya untuk tetap seimbang. Apa saja itu?

Pertama, Chae Song-hwa adalah individu yang objektif. Mungkin sifat ini terbentuk karena ia adalah seorang dokter berpengalaman yang juga senang belajar. Seorang dokter memang terlatih untuk menilai sesuatu secara objektif karena perlu mengambil keputusan penting terkait kondisi pasien. Chae Song-hwa menunjukkan objektivitas itu dengan sangat baik. Ia adalah senior yang baik dan senang membantu juniornya, tapi di sisi lain ia juga akan dengan tegas menegur dan menyampaikan kesalahan apa yang dilakukan oleh juniornya dengan akurat. Inilah yang membuatnya dihormati oleh banyak orang.

Kedua, Chae Song-hwa punya kesadaran yang baik akan kebutuhan dirinya. Meski terkesan nggak enakan saat ada yang meminta bantuannya, tapi Song-hwa sejatinya memahami batasan untuk menjaga dirinya tetap seimbang. Di season pertama, Chae Song-hwa mengalami masalah kesehatan yang cukup serius akibat beban kerja yang berat. Ia kemudian mengajukan pindah tugas ke cabang rumah sakit di daerah yang tingkat kesibukannya lebih ringan. Chae Song-hwa mengatakan, “Aku sakit dan aku butuh istirahat.”. Hal ini juga ia lakukan saat tengah kalut setelah mengetahui bahwa ibunya sakit keras, Song-Hwa dengan tegas membatalkan semua janji temu dan memberikan jeda untuk dirinya sendiri agar ia bisa benar-benar mengalirkan kegalauannya akibat kondisi sang ibu.

Ketiga, Chae Song-hwa punya hobi tidak melakukan apapun dan menikmati waktu mengalir begitu saja. Chae Song-hwa punya hobi berkemah sendirian. Setelah mendirikan tenda dan menyeduh secangkir kopi, ia akan duduk dengan nyaman sambil menikmati suasana area perkemahan yang ia datangi. Selain itu, Chae Song-hwa juga punya hobi duduk diam sembari menikmati rintik hujan dari balik jendela. Ia benar-benar hanya duduk diam dengan mata berbinar memandangi air yang turun dari langit.

Memiliki pandangan yang objektif membuat kita lebih mudah menata pikiran agar tidak ruwet akibat mudahnya menilai sesuatu. Kita akan terlatih untuk melihat dari sudut pandang yang luas sehingga tidak perlu terjebak dalam situasi overthinking yang melelahkan. Punya batasan dan kesadaran akan apa yang diperlukan oleh diri sendiri juga amat penting agar kita tahu kapan harus berhenti sejenak untuk memberi ruang napas pada diri. 

Dan salah satu cara terbaik memberi ruang napas pada diri adalah dengan tidak melakukan apa-apa, tetapi hadir seutuhnya menjalin keterhubungan dengan diri sendiri untuk mengisi ulang energi yang kita butuhkan untuk melanjutkan hidup.

Sumber gambar:

Senin, 02 Agustus 2021

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 3, Habis)




Oleh Duddy Fachrudin 

Waras adalah maturitas yang meretas dari rahim keheningan.

Itulah mengapa Nabi bermeditasi di Gua Hiro lalu diperintahkan padanya untuk “membaca” atau iqro. Iqro... apa yang perlu dibaca? Perintah ini tentu tidak hanya tertuju padanya, melainkan kita semua umat manusia.

Melalui sunyi pula, Raden Mas Said bertransformasi menjadi Sunan Kalijaga yang bijaksana, yang mengajarkan kepada kita untuk waskita di jaman kalatidha melalui kidung wahyu kalasebo, syair cinta yang sarat akan hikmah.

Hening, mentafakkuri dan mentadabburi diri adalah saat-saat yang tepat untuk kembali ke “rumah”. Di kala hiruk pikuk gempita dunia, menyelami diri adalah ekstase menyejukkan yang mengobati derita.

Masa-masa di rumah saja selama pandemi corona seharusnya menjadi momen peningkatan kualitas kewarasan diri. Namun bagi sebagian orang, menyepi dalam sunyi adalah aktivitas yang membosankan. Wajar, karena manusia jaman sekarang begitu mengagungkan materialisme. Mereka tidak menyadari sumber atau awal petaka kehancuran diri dan umat manusia adalah buta akan alam ruhaninya dan terpedaya dengan hedonisme.

Mereka yang waras juga bertindak dan berperilaku menahan diri, berempati, dan mencegah transmisi selama pandemi. Keengganan untuk peduli merupakan wujud dari patologi dalam diri yang kemudian menyebar lebih luas ke ranah sosial.

Maka waras adalah soal regulasi diri, tentang mempuasai hasrat yang dapat menimbulkan gawat. Manusia waras bertindak dan hidup dengan seimbang, proporsional, tidak berlebihan, selaras, dan harmonis.

Kolaborasi dikedepankan, eksploitasi demi kepentingan pribadi disingkirkan. Thus, kualitas waras memproduksi welas (asih).

Welas adalah cinta dan kelembutan, yang berfokus pada aktivitas memberikan kebermanfaatan bagi sesama dan semesta. Jika tahapan manusia di level waras sebagai seorang hamba, maka pada tingkatan ini (welas) adalah khalifah.

Manusia yang khalifah memiliki makna sebagai wakil mandatori Tuhan untuk mengelola wilayah bernama bumi seisinya dengan segenap cinta.

Selama proses tersebut (mengelola), terdapat kecenderungan pada diri manusia untuk berbuat destruktif. Manusia mengikuti hawa nafsunya dan kembali lupa (baca: kembali tidak waras) bahwa dirinya manusia.

Maka, terdapat peringatan dalam bentuk ujian, musibah, bencana, atau wabah seperti corona yang diberikan Tuhan kepada manusia saat lalai menjalankah misinya dengan baik.

Di saat itulah, proses wawas-waskita-waras-welas menjadi daur yang perlu ditempuh (kembali) oleh manusia.

Ingat bahwa sesungguhnya kita ini bukan stasi. Kita, manusia yang memegang janji-janji, terikat waktu dan ruang, yang mendamba tenang, dan merindu untuk pulang.

Sumber gambar:

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 2)




Oleh Duddy Fachrudin 

Pengamatan yang baik menghasilkan kejernihan (clarity), yang kemudian disebut waskita. Ibarat air yang tak lagi bergelombang menampilkan riak, pikiran yang waskita begitu tenang, bening, dan indah. Maka tak heran jika keputusan atau apapun yang diproduksi pikiran ialah kebijaksanaan.

Kebijaksanaan melampaui kecerdasan. Orang yang bijaksana sangat jarang dijumpai karena mereka pun tersembunyi dan kadang enggan menampilkan diri. Namun, tentu ada juga yang memang sengaja “ditampilkan” oleh Tuhan dengan tujuan sebagai teladan.

Dunia dan Michael Hart mencatat manusia paling berpengaruh sekaligus bijaksana adalah Muhammad Saw. Saat berhijrah ke Madinah, beliau menawarkan solusi dan kolaborasi demi kesejahteraan bersama alih-alih eksploitasi.

Eksploitasi? Di dunia yang katanya modern, justru eksplorasi berlebihan atas pemenuhan kebutuhan ini yang kemudian dikedepankan. Neokapitalisme menggerus keseimbangan sosial. Jurang perbedaan semakin membentang. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin jatuh miskin.

Lalu, dimanakah letak kebijaksanaan? 

Padahal orang-orang cerdas sangat banyak jumlahnya di dunia ini. Bukankah ini menjadi ironi tersendiri?

Artinya, nirkebijaksanaan atau nirkewaskitaan memicu ketidakwarasan komunal. Sebaliknya, jika kewaskitaan dikembangkan dan pelihara, maka bukan hanya individu tersebut yang “waras”, melainkan lingkungan sekelilingnya.

Kondisi waras atau sehat dimaknai sebagi suatu kondisi yang sejahtera, merdeka atau bebas dari penyakit secara biopsikososiospiritual.

Menjadi manusia yang manusia atau waras berarti bertumbuh dan berkembang secara adaptif sesuai potensi luhur yang disematkan pada diri manusia. Sebaliknya ketidakwarasan ditunjukkan dari suatu respon maladaptif akibat “kegagalan” individu tersebut memahami fungsi dan peran dirinya di dunia.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 1)




Oleh Duddy Fachrudin 

Das Leben der Anderen atau The Lives of Others memenangkan Academy Award (OSCAR) tahun 2007 untuk nominasi Best Foreign Films. Situs Rottentomatoes memberikan skor 93%, sementara IMDB merating 8,4 sudah cukup membuktikan bahwa film berasal dari Jerman ini memiliki kualitas cerita yang tidak biasa.

Sebelum tembok Berlin runtuh, Jerman Timur atau Republik Demokratik Jerman (RDJ) dikuasai oleh Uni Soviet. Stasi yang merupakan Intelijen dan Polisi Rahasia bertebaran di masyarakat dan memata-matai siapapun yang dianggap mencurigakan sebagai pembelot atau pengkhianat.

Das Leben der Anderen berkisah tentang seorang Stasi berwatak dingin namun kesepian yang mengawasi seorang penulis drama teater. Rumah sang penulis disadap dan segala gerak geriknya diikuti.

Selama proses mengintai banyak hal yang dijumpai olehnya. Drama kisah cinta penulis dengan kekasihnya, pergolakan hidupnya, hingga fakta alasan dibalik penugasan spionase yang diberikan atasannya. Ia juga mendengarkan alunan sonata for a good man melalui piano yang dimainkan oleh sang penulis.

Pengamatan yang dilakukannya menimbulkan pergolakan batin. Ia menyadari bahwa sang penulis memang melakukan hal yang tidak semestinya, yaitu menulis suatu hal yang menjadi rahasia negara dan diterbitkan di sebuah majalah di wilayah Jerman Barat. Namun tulisan itu mengandung kebenaran dan memang layak diketahui oleh orang lain di seluruh dunia. Ia pun memahami alasan dibalik penugasan spionase yang diberikan atasannya, yaitu demi kepentingan naik jabatan dan mengambil teman wanita sang penulis dengan cara yang picik.

Proses niteni secara objektif perlahan mulai mengikis sisi gelapnya, dinginnya, kakunya pribadi dirinya sebagai seorang stasi. Perlahan ia bertransformasi menjadi seorang manusia yang memiliki skala prioritas mengedepankan hati nurani dan menjunjung kebenaran dan kejujuran.

The Lives of Others memang berkisah tentang menjadi manusia. Melepaskan topeng diri memerlukan prasyarat laku bernama pengamatan. Dalam bahasa Jawa, mengamati atau mengawasi disebut wawas. Banyak manusia yang “lupa” bahwa dirinya adalah manusia yang memiliki potensi hanif (lurus) dan penuh dengan kasih sayang. 

Mereka senantiasa dibutakan oleh kebahagiaan semu yang melekat di dunia. Bahkan untuk sekedar jeda, mengamati diri dan situasi adalah bagian dari ibadah terpuji.

Bukankah Allah Swt., berkata, wa fii anfusikum afalaa tubsiruun (QS. Adz-Dzariyat: 21), wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad (QS. Al Hasyr: 18), dan berkali-kali berpesan kepada manusia untuk memperhatikan tanda-tanda serta penciptaan langit dan bumi.

Dalam kaidah mindfulnes, melakukan pengamatan adalah langkah pertama yang perlu dilakukan seorang individu. Proses ini dilatih setiap hari dalam berbagai kondisi, baik saat duduk, berdiri (bergerak), maupun berbaring.

Dengan wawas secara intensif, ia mempelajari, menelaah, kemudian menyadari seutuhnya pikirannya, perasaannya, gerak-gerik niatnya, sensasi tubuhnya, perilakunya, hingga kebiasaan-kebiasannya. Ia menyadari sekelilingnya, dunia makro yang beraneka ragam, penuh dengan pilihan yang dapat menjerumuskan, menyesatkan, atau meningkatkan derajat ketaqwaannya sebagai manusia. 


Sumber gambar:

Selasa, 29 Juni 2021

Kesesatan Logika Dibalik Pengambilan Keputusan



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Jika dalam konteks neurosains kita mengenal keputusan yang diambil berdasar pendekatan reward based alias mengacu pada pertimbangan keuntungan yang menjadi motif utama, dan ini diperankan antara lain oleh struktur sub kortikal seperti ventral tegmental area, nukleus akumben dan beberapa struktur lain yang membentuk pleasure center dan hedonic circuit, maka dalam ranah filosofi berpikir kita mengenal beberapa fallacy yang tentu saja terkait dengan peran sistem neurobiologi tersebut.

Tentu saja kita membuat keputusan tidak hanya berorientasi pada satu aspek saja. Tak hanya reward yang menjadi pertimbangan, melainkan juga value dan goal tentu saja. Apakah ini sifatnya linier? Tidak juga, ketiga sifat itu bisa muncul secara paralel dan dominansi ataupun sinergi harmoni dimunculkan melalui komposisi perimbangan fungsi. Jika value diolah di area korteks orbito frontal, maka goal dikelola di korteks prefrontal khususnya daerah dorso lateral bersama dengan korteks anterior singulata. Harmonia in progressio dapat tercipta jika faktor referensi dari sistem memori dan preferensi dari sistem afeksi dapat memberikan kontribusi sesuai proporsi.

Kenyataannya dalam hidup, demi mengedepankan pencapaian secara instan kerap kali kita memanipulasi fakta dengan kemampuan kognisi dari sektor default mode network, khususnya yang terkait theory of mind, dimana permainan logika dapat digunakan untuk mendistorsi kerangka logika orang lain yang menjadi mitra kita berinteraksi.

Proses menyesatkan dan membangun kesesatan ini beberapa di antaranya sangat menarik untuk dikaji. Mari kita sedikit berkenalan dengan beberapa mekanisme dan model penyesatan logika tersebut.

Post Hoc Ergo Propter Hoc

Terjadi sesudah "itu" pasti disebabkan oleh "itu". Pola pikir sebab akibat yang kerap melihat sebuah runtutan kronologis sebuah peristiwa berdasar lini masa akan membawa simpulan prematur yang rentan untuk mengalami sifat abortif.

Contoh: ada orang melepas baju di tengah jalan (mungkin orang dengan gangguan jiwa) dan beberapa saat kemudian turun hujan. Kita membangun opini dengan narasi bahwa peristiwa melepas baju tersebutlah penyebab turunnya hujan. Apakah premis ini salah? Belum tentu, tetapi tentu perlu pembuktian lebih lanjut yang disertai dengan pendekatan bermetodologi dengan dasar referensi valid yang dapat menjadi acuan.

Contoh lain misal adanya penampakan spiral di langit yang dapat diamati oleh sebagian besar penduduk penghuni kepulauan di Samudera Pasifik. Beberapa ahli menyatakan bentukan spiral itu terjadi karena selang tidak berapa lama sebelumnya ada peluncuran wahana antariksa negara Cina. Tentu ini memerlukan klarifikasi berupa pembuktian berdasar data objektif terkait, misal waktu peluncuran, data lintasan trajektori, dan data tentang berbagai model fenomena atmosfera yang dapat ditimbulkan oleh lintasan wahana antariksa.

Terkait proses vaksinasi juga dapat menjadi contoh yang baik. Sesaat setelah divaksin seseorang kejang lalu meninggal dunia. Hampir semua kalangan akan berpendapat ini adalah kondisi ikutan pasca imunisasi (KIPI). Investigasi dilakukan dengan fokus mencari sebab yang dapat ditimbulkan oleh proses imunisasi. Sah-sah saja, tetapi temtunya penyelidikan harus dilakuan secara holistik integratif yang mampu menguak semua potensi penyebab kematian pada yang bersangkutan. Audit forensik yang bersifat investigatif harus bebas asumsi yang dibangun oleh mekanisme fallacy.

Argumentum Ad Ignorantiam

Sesuatu yang belum terbukti benar pasti salah, atau sesuatu yang belum terbukti salah pasti benar. Penggunaan kata pasti yang bersifat deterministik di sini bersifat pengabaian terhadap berbagai fakta dan pengetahuan yang belum kita dapatkan. Sudut pandang yang terbentuk menjadi amat sempit dan bersifat asumstif bahkan sarat dengan sifat presumption atau praduga yang bermotif. Biasanya argumentasi ini dilakukan untuk melakukan pembenaran terbalik (retrospeksi) terhadap suatu keyakinan dengan cara membangun logika bahwa belum ada pembuktian (baik salah maupun benar) sebagai faktor pelegitimasi bahwa secara diametral apa yang kita yakini itu benar dan apa yang orang yakini itu salah.

Contoh: ada obat yang diberikan saat ini dan setelah seminggu dipakai tidak menunjukkan efek samping. Yang memberi obat langsung mengklaim bahwa obatnya sangat aman dan sama sekali tidak memiliki efek samping yang membahayakan. Pernyataan ini didukung tidak adanya komplain dan laporan terkait efek samping penggunaan obat tersebut selama 1 minggu. Apakah pernyataan ini sudah pasti benar hanya karena tidak ada bukti kalau salah? Tentu tidak. Maka dalam riset obat dan berbagai terapi medis lainnya dilakukan uji klinis dengan mempertimbangkan representasi sampel melalui proses sampling acak dan terukur disertai jumlah sampel minimal yang memenuhi kaidah representatif, termasuk dengan memasukkan berbagai cuplikan dari berbagai kondisi nyata sebagai bagian dari proses pengujian klinis. Dan tentu saja mempertimbangkan pula waktu dan berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi.

Strawman Fallacy

Membuat simpulan yang menyudutkan dengan berdasar pada pengalihan fokus dari pernyataan yang dilontarkan.

Dalam perdebatan ataupun diskusi terkait sebuah persoalan, terkadang sifat kompetitif tak dapat terhindari. Pelontar gagasan dan penyanggah akan saling serang dan bahkan saling menjatuhkan. Jika salah satu peserta mulai mengungkit sisi buruk personalitas lawannya ini dapat dianggap pengalihan yang bersifat ad hominem.

Sementara jika penyanggah memelesetkan pernyataan pelontar pernyataan sehingga menimbulkan simpulan yang keliru ini masuk ke dalam Strawman Fallacy.

Contoh: Seorang mahasiswa magister ilmu psikologi menyampaikan bahwa wanita berpenampilan menarik adalah salah satu faktor yang menjadi pertimbangan munculnya motif perundungan. Maka penyanggah mengajukan sebuah simpulan bahwa pembicara mengatakan bahwa wanitalah yang mengundang perundungan terhadap dirinya.

Tentu kompleksitas kasus ini tidak sesederhana itu dan dalam konteks ini sebenarnya penyanggah pun paham sepenuhnya akan hal tersebut, akan tetapi melakukan teknik Strawman semata untuk menjatuhkan pembicara atau membangun opini publik ke arah yang berbeda dengan kenyataan.

Ignorantio Elenchi 

Membuat kesimpulan yang tidak sesuai premis.

Kondisi di atas (Strawman) terkait erat dengan argumentasi ignorantio elenchi, dimana bukan saja seseorang dapat dengan sengaja membuat sebuah kesimpulan yang menyesatkan dari sebuah pernyataan, melainkan juga dapat membuat kesimpulan yang sama sekali mengabaikan premis yang diajukan.

Contoh: seorang peneliti pangan menyampaikan bahwa konsumsi ikan, daging, telur, dan susu perkapita di Indonesia amatlah rendah. Lalu ada seorang pengamat mengatakan berdasar premis tersebut bahwa bangsa Indonesia amat menggemari tahu dan tempe.

Tu Quo Que

Kamu juga melakukan apa yang aku lakukan bukan? Argumentasi pembenaran melalui mekanisme proyeksi balik. Dimana kita saling menyandera karena masing-masing memiliki data kelemahan yang kita miliki.

Contoh: saat kita melarang seorang teman merokok di area publik, dan dia berkata: "sudahlah, bukankah kamu kemarin juga meludah sembarangan di taman ?"

Generalisasi Induktif 

Pengambilan simpulan terburu-buru dari data yang relatif kecil dan tidak layak menjadi sampel yang representatif.

Contoh: ketika seseorang bertemu dengan orang dari suku tertentu yang jika berbicara intonasinya tinggi, meski hanya bertemu 3 orang saja, ia telah menyimpulkan bahwa orang suku ini kalau berbicara itu berintonasi tinggi.

Atau contoh lainnya misalkan ketika saya bertanya pada 5 orang di sekitar kita (keluarga dan sahabat) apakah saya layak untuk maju sebagai kandidat kepala desa? Maka kelimanya menjawab sangat layak, dan saya percaya bahwa pernyataan mereka adalah representasi harapan publik desa.

Melihat pola-pola penyesatan logika di atas, sepertinya kok kita familier sekali ya? 

Karena memang dalam kehidupan yang bersifat kompetitif dan sarat motif kepentingan tentu manusia yang merupakan makhluk cerdas prokreatif akan mengembangkan berbagai strategi manipulatif untuk mencapai apa yang diinginkan dan menjadi tujuannya. 

Maka jernihlah (mindful), bijaklah dalam menilai dan mengambil keputusan sehingga kita senantiasa dapat menjadi pribadi yang rasional dan proporsional.

Sumber gambar:

Kamis, 03 Desember 2020

Saya dan Mindfulness: Mengubah Derita Menjadi Bahagia


Oleh Mira Seba

Saya adalah seorang psikolog dan praktisi. Lebih dari 20 tahun saya mendedikasikan diri menangani masalah psikologis. Selama itu pula saya sangat berbahagia karena hasil kerja saya sangat diapresiasi baik oleh klien secara langsung maupun oleh teman, keluarga dari klien dan juga dari kolega serta para guru saya. 

Saya menangani klien dari berbagai negara, khususnya di kawasan Asia dan Australia. Juga rentang usia, anak-anak 5 tahun hingga usia tua. Saya pun merasa dibutuhkan. Saya merasa memiliki ‘eksistensi’ di lingkungan professional psikologi. 

Saya adalah seorang yang sangat periang, orang yang susah sedih, ‘tukang’ bercanda dan saya juga memiliki minat yang sangat tinggi untuk membantu orang lain. 

Di sela-sela kesibukan pekerjaan formal yang saya miliki saya masih sempat mengambil cuti untuk menjadi relawan ke tempat-tempat bencana alam atau mengunjungi masyarakat butuh pertolongan baik secara materi maupun psikologis.

Sampai beberapa tahun yang lalu, datanglah suatu kejadian yang merubah saya secara drastis. 

Di tempat saya bekerja, terjadi pergantian manajemen. Pimpinan diambil alih oleh orang asing. 

Pekerjaan saya, kemampuan saya sama sekali tidak dianggap ‘ada’. Metodenya dianggap kuno, tidak masuk akal, dan lain-lain. Kemudian, diputuskan saya tidak ‘dipakai’ lagi dengan tiba-tiba datang pengganti saya yang masih sangat junior dan tidak dengan latar belakang dari keilmuan psikologi pula.

Saya merasa terhina, diabaikan, marah, dan sedih. Lantas menjadi murung, malas bertemu orang-orang. Sulit tidur dan tekanan darah terus dalam posisi rendah sehingga saya terus menerus dilanda pusing ‘kleyengan’. Padahal tugas ke luar kota dan ke luar negeri masih sangat tinggi. Saya menjadi tidak produktif dan lebih ‘pendiam’. 

Itu semua terjadi selama dua tahun.

Akhirnya saya tidak bisa bertahan, hingga tahun lalu saya mengambil pensiun dini. Tetapi persoalan bukannya berhenti, malah sebaliknya bertambah. Seperti perasaan bingung mau apa dan bagaimana mulainya. 

Perasaan marah, kecewa, sedih malah bertambah. Saya terus menerus menyalahkan orang lain (bos baru, teman-teman yang tidak sepaham dengan saya, teman-teman yang tampak lebih beruntung dari saya, dan seterusnya).

Butuh waktu untuk menjadi ‘sehat’ lagi. Saya sudah terbiasa berada dalam kondisi dimana pemikiran saya selalu ‘diterima’ bahkan selama ini saya dicari dan diminta pendapat dan sarannya, serta "mengobati" orang lain ketika menjadi relawan trauma healing.

Kini saya belajar untuk mengobati luka batin saya sendiri.  

Ternyata ‘mengobati’ diri sendiri itu jauh lebih sulit. 

Di sela-sela menyembuhkan diri, saya tetap menerima klien yang datang kepada saya. 

Suatu hari saya mendapat klien yang nasibnya jauh lebih tidak sebaik dibanding saya. Nah inilah titik baliknya. Saya membandingkan nasib saya dengan nasib klien ini, saya merasa sangat ‘beruntung’.

Merasa ‘lebih beruntung’ mendorong saya melakukan perenungan untuk memasuki kondisi mindfulness

Saya memulai dengan berwudhu lalu duduk memejamkan mata merasakan dan memperhatikan nafas. Bersyukur masih diberi nafas ini. Kemudian mulai berbicara dengan diri saya sendiri.

Saya menuliskan situasi yang spesifik yang memunculkan pemikirian dan emosi negatif. Saya mengajak diri saya sendiri untuk hidup di saat ini dengan menerima dan membiarkan saya merasakan ‘enak dan tidak enaknya’ kondisi baru yang saya miliki saat ini. Menjalani hidup di saat ini , tanpa banyak ‘beban’, tidak ambisius sambil tetap bekerja dalam situasi yang baru. 

Saya sepenuhnya pasrah dan percaya bahwa rejeki dan nasib saya seperti umat manusia lainnya , semuanya sudah digariskan oleh Sang Pemiliki Kehidupan ini. 

Kenapa juga harus bingung dan takut ‘nanti’ akan begini dan akan begitu? Mencemaskan suatu hal yang belum tentu terjadi. Kalau pun terjadi ya terima saja, yang pentig sudah usaha maksimal. 

Itu yang ditanamkan pada pikiran saya.

Saat ini dengan penuh syukur saya sudah menjadi saya yang dulu lagi. 

Kemudian saya juga mencari teman, profesional yang ahli dalam bidang mindfulness untuk ‘refreshing’ kemampuan (keahlian), berdiskusi dan utamanya sharing pengalaman. 

Ya, hal yang ‘menyenangkan’ setelah pensiun adalah saya memiliki banyak waktu bertemu dengan teman-teman satu profesi, para dosen dan praktisi.
 
Akhirnya sampailah saya pada informasi tentang adik kelas yang mendalami CBT dan mindfulness yaitu Sakti dan Duddy Fachrudin. Segera saya kontak Sakti untuk mengikuti pelatihan mindfulness. Mengikuti pelatihannya, memberikan lagi pengalaman melakukan body scan yang sudah lama tidak saya lakukan. 

Dari keduanya saya juga mendapatkan penjelasan ilmiah dan pengetahuan dasar tentang mindfulness berbasis terapi kognitif (MBCT). Tidak lupa kiriman buku-buku ilmiah khusus tentang mindfulness menambah semangat untuk menjadi lebih ‘terampil’ mempraktikannya.

Mengembangkan mindfulness berarti mengubah luka derita menjadi bahagia.

Sumber gambar:
      

Jumat, 23 Oktober 2020

Terapi Mindfulness: Agar Menerima dan Mencintai Diri (Self-Love)



Oleh Duddy Fachrudin 

Kadang-kadang tidak mudah menerima diri sendiri dan mencintai diri ini apa adanya. 

Kita sering melihat diri ini serba kekurangan: kurang tampan/ cantik, kurang anggun, kurang pede, kurang sejahtera, kurang kaya, dan sebagainya. Dan untuk menutupi berbagai kekurangan itu, kita seolah-olah menjadi orang lain. 

Kita ibarat memakai topeng yang menyembunyikan wajah sendiri.

Awalnya dengan menyembunyikan "wajah" kita, seolah-olah kita bahagia. Namun sesungguhnya kebahagiaan yang semu. 

Ini terlihat dari sebuah film yang berjudul 200 Ponds of Beauty yang mengisahkan seorang gadis tambun dan jelek, namun memiliki suara emas yang bernama Hanna. Ia sosok di belakang layar dari seorang penyanyi yang memiliki suara pas-pasan namun cantik dan seksi. Perpaduan dua orang yang berbeda fisik dan suara itu menghasilkan kolaborasi yang menawan. Namun karena suatu hal, Hanna sakit hati dan ia memutuskan untuk melakukan operasi plastik pada tubuhnya.

Bak dewi baru turun dari kayangan. Hanna menjadi bidadari nan anggun memesona seluruh jagad raya. Dengan penampilan barunya, ditambah suara emasnya, Hanna menjadi bintang baru industri musik dunia. Ia pun menyembunyikan identitasnya dan menggantinya menjadi Jenny. 

Ternyata popularitas yang diraih Jenny membuatnya lupa akan dirinya. Ia membuang dirinya dan seolah tak mengenal lagi dirinya. Silau kemilau dunia keartisan pun membuatnya lupa pada sahabat sejatinya, bahkan ayahnya sendiri.

Untungnya Jenny mulai sadar bahwa menjadi orang lain ternyata tidak baik. Jenny merindukan dirinya sebagai Hanna yang apa adanya, mencintai sahabat dan juga ayahnya, serta anjingnya yang selalu menemaninya. 

Hanna kemudian melepas topeng palsunya dengan mengatakan kepada semua orang bahwa ia bukanlah Jenny, namun Hanna yang gemuk dan jelek yang melakukan operasi plastik. Dan ia bahagia kembali menjadi seorang Hanna meski banyak fansnya kemudian membencinya.

Topeng-topeng palsu secara tidak sadar sering kita gunakan sehari-hari... itulah yang sesungguhnya membuat orang tidak bahagia di dunia ini. 

Maka biarkan kita menerima dan mencintai diri (self-love) ini apa adanya. 

Ya memang beginilah diriku dan kemudian berkata, “Terima Kasih Tuhan atas segala kreasi yang kauciptakan pada diriku ini.” 


Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/