Tampilkan postingan dengan label Mindfulness Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindfulness Indonesia. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Juli 2020

11 Film Asyik Tentang Mindfulness



Oleh Duddy Fachrudin 

All this anger, man... It just begets greater anger.

Kemarahan memunculkan kemarahan yang lebih besar. 

Premis tersebut tesaji dalam film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri, sebuah kisah tentang ketidakrelaan, kurangnya penerimaan, kemarahan, dan ambisi yang meletup-letup dari seorang ibu atas kematian remaja putrinya. 

Pusaran konflik tak hanya pada kehidupan dirinya dengan para polisi yang menurutnya "tidak cakap" dalam menangani kasus anaknya. Sang ibu bernama Mildred ini pun memiliki masalah dengan dirinya sendiri yang suka minum alkohol. Kemudian seorang polisi yang rasis, dan kepala polisi yang rapuh karena kanker. 

Banyak sekali hikmah terkait mindfulness dalam film ini, seperti belajar untuk tidak reaktif, tidak menghakimi, mengembangkan kedermawanan, penerimaan, dan belajar untuk melepas (letting go) dari masa lalu. 

Three Billboards Outside Ebbing, Missouri yang memenangi berbagai penghargaan di OSCAR 2018 merupakan satu dari 11 film asyik tentang mindfulness yang sayang untuk dilewatkan. Berikut daftar ke-11 film yang bisa kita tonton di saat jeda dari kesibukan sekaligus upaya untuk mengembangkan kemampuan mindfulness kita.

  1. Capernaum (2018, IMDB: 8,4)
  2. 27 Steps of May (2019, IMDB: 8,2)
  3. Spiderman: Far From Home (2019, IMDB: 7,5)
  4. Seven Years in Tibet (1997, IMDB: 7,1)
  5. Peaceful Warrior (2006, IMDB: 7,3)
  6. How to Train Your Dragon (2010, IMDB: 8,1)
  7. Le Grand Voyage (2004, IMDB: 7,2)
  8. A Street Cat Named Bob (2016, IMDB: 7,3)
  9. Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017, IMDB: 8,2)
  10. The Lives of Others (2006, IMDB: 8,4)
  11. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020, IMDB: 7,5)
Semuanya bagus dan sarat akan pembelajaran. Namun jika boleh memilih highly recommended, tiga terbaik maka pilihannya jatuh pada Le Grand Voyage, sebuah road movie perjalanan haji seorang ayah dan anaknya menggunakan mobil dari Prancis. Lalu The Lives of Others, kisah tentang polisi intel di era Jerman Timur yang melakukan pengamatan pada kehidupan seorang penulis. Dan tentu saja Three Billboards Outside Ebbing, Missouri. 


Sumber gambar: 

Rabu, 11 Maret 2020

Mengatasi Overthinking dengan MBCT (Pelatihan Mindfulness, MBCT Batch #7)


Oleh Duddy Fachrudin

Overthinking. Ada yang pernah mengalami? Atau memang sudah menjadi bagian hidup sehari-hari?

Kenyatannya, beberapa klien yang saya tangani dalam 3 tahun belakangan mengalaminya.

Overthinking kemudian menjelma menjadi gangguan kecemasan, panik, depresi, kecanduan, PTSD, dan permasalahan kejiwaan lainnya. Karena mental gaduh gelisah, fisik pun lelah.

Pikiran yang tidak terkendali ini terus melompat-lompat menggerus produktivitas serta keseimbangan hidup. Mereka mengembara jauh pada hal-hal yang tak nyata.

"Namun bagaimana saya mengatasinya? Bukankah pikiran itu saya yang menguasainya? Mengapa malah saya dikuasai olehnya?", tanya adinda dalam relung hatinya.

Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT) adalah elaborasi mindfulness dan cognitive behavior therapy (CBT) yang didesain selama 8 minggu untuk mengatasi berbagai permasalahan mental.

Dalam workshop MBCT, kita mempelajari modul MBCT sekaligus mencoba mendesain MBCT versi kita yang bisa digunakan oleh diri kita sendiri maupun orang lain.

Peserta workshop terbuka bagi siapapun, baik profesional di bidang kesehatan, psikolog, psikiater, pimpinan organisasi/ perusahaan, HRD, guru BK, mahasiswa, dan sebagainya.

MBCT batch #7, 28-29 Maret 2020, more info 089680444387 atau di sini.


Sumber gambar:
Dokumen pribadi

Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Maka kita manusia adalah makhluk yang bahagia sekaligus menderita. Punya cinta sekaligus teraniaya. Tersandera dalam pilihan, terjebak dalam pusar keputusan. Terbudak oleh puser kenikmatan, dan terus berlari dari kenyataan, karena itu amat menyakitkan. 

Maka menjadi ksatria, kata Marinta si anak Matahari, adalah kehendak watak yang setia pada kejernihan hati dan kebeningan pikir. Bening yang hening dan hening yang bening. Boleh kalah tetapi merasa menang, khususnya pada saat yang dihadapi adalah pertempuran mengatasi pemberontakan dalam diri. 

Boleh juga menang dan merasa menang, karena pada hakikatnya manusia akan selalu berada di fase interstitia... makhluk dua dunia yang selalu dapat bermetamorfosa. Makhluk antara 0 dan 1, antara ada dan tiada. 

Lalu mengapa harus mengada? Apalagi mengada-ada? Padahal menjadi "ada" itu punya alasan sempurna. 

Yen tanana sira iku, Ingsun tanana ngarani, mung sira ngarani ing wang, dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira, aranira aran mami. 

Karena kita adalah lukisan sempurna yang menggambarkan kehadiran-Nya tentu saja. Karena sifat tan keno kinoyo ngopo sudah semestinya terintegrasi ke dalam susunan sel-sel tubuh, darah, dan syaraf dan maujud dalam wadag yang berpikir dan mengonstruksi kesadaran soal takdir dan hadir. 

Maka menyelami kemanusiaan adalah mereguk Tirta Pawitra Mahening Suci yang sumbernya hanya bisa didapatkan jika kita jujur pada diri sendiri. Saat kita dapat melihat dengan jernih sosok "Dewa Ruci", homunculus, yang terproyeksi pada sekumpulan memori dan persepsi tentang siapa "aku" itu. 

"Aku" yang asli tanpa atribut syahwati karena sekedar takut mati dalam kondisi tak berarti. Karena pati jroning urip itu keniscyaan yang membuat hidup kita itu tak ubahnya bak sesosok zombie. Atau vampir penyedot energi hanya demi eksistensi. Menjadi Rara Kenyot yang menyedot segenap daya linuwih semesta hanya agar teraktualisasi selamanya. 

Selamanya yang maya dalam nyata. Semua terjadi karena manusia terpenjara dalam cinta yang terkomoditisasi, lalu melahirkan hasrat untuk dimiliki. Cinta yang tak lagi mengalir mengikuti takdir. Menepati janji pada ruang dan waktu untuk selalu maju dan berlalu. Cinta dan Berada itu mengalir...


Sumber gambar:

Rabu, 20 Maret 2019

Pikiran Saya Doing or Being Mode Ya? (MBCT Workshop Batch 3)



Oleh Duddy Fachrudin

Seorang kolega, sahabat, sekaligus guru bercerita tentang pengalamannya mendapatkan klien yang "aneh" menurutnya. Penasaran dengan kata "aneh" tersebut saya membuka kedua telinga menyimak sebaik mungkin.

"Klien tersebut seorang pengusaha, datang dengan mobil bagus, lalu menemui saya..." ujar kolega saya. "Lalu ia berkata, 'Saya takut miskin'..."

Mendengar cerita tersebut saya terperangah, how come? Bagaimana mungkin ia mengatakan hal yang realitanya adalah sebaliknya?

Namun hal itu sangat mungkin karena ia berada pada doing mode.

Doing mode merujuk pada cara kerja pikiran yang serba otomatis, berfokus pada masa lalu dan masa depan, menghindari ketidaknyamanan, dan pikiran tersebut seolah-olah realita yang sebenarnya.

Doing mode kadang bermanfaat dalam kehidupan individu, tapi seringnya ia menggangu karena menjadi penjara yang membelenggu. Doing mode berpotensi berulang yang kemudian menjadi ruminasi (rumination thought).

Kebalikan doing mode adalah being mode. Cara kerja pikiran ini lebih terjaga, tertata, dan tidak terburu-buru. Pikiran hanyalah sebuah bentuk imaji mental, bukan sebuah kenyataan. Individu yang mengembangkan being mode lebih menyadari pikiran yang datang dan mengolahnya menjadi sebuah keputusan yang tepat.

Memunculkan being mode dalam keseharian seolah mudah, namun nyatanya butuh latihan, apalagi bagi mereka yang memiliki gangguan, seperti depresi dan kecemasan.

Itulah mengapa doing vs being mode menjadi satu sesi yang amat penting dalam Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT). Di sesi ini, klien diajarkan untuk mengenali dan menyadari pikirannya, apakah itu termasuk dalam doing mode atau being mode. Setelah berkenalan dengan pikirannya sendiri (yang kenyataannya lebih banyak doing mode), tahap selanjutnya adalah berlatih mindfulness.

Banyak jenis latihan mindfulness yang bisa dilakukan, seperti breathing, body scan, dan walking. latihan-latihan tersebut bukan hanya dilakukan selama sesi bersama terapis, namun juga di rumah. Sampai akhirnya, klien dapat mengevaluasi sendiri, "Pikiran saya masih sering berada pada mode doing atau sudah being ya?"

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Selasa, 28 Agustus 2018

Event Mindfulness: Metode Mindfulness-Based Strength Practice (MBSP)


Oleh Duddy Fachrudin

Tiga puluh sembilan orang menjadi partisipan sebuah penelitian psikologi. Mereka kemudian dibagi menjadi dalam dua kelompok: 19 orang menjadi kelompok eksperimen, sementara 20 orang bergabung dalam kelompok kontrol.

Kelompok eksperimen diberikan intervensi psikologi, sementara kelompok kontrol tidak.

Partisipan diberikan self-report mengenai well-being, yaitu: Satisfaction With Life Scale, Flourishing Scale, Positive Psychotherapy Inventory, dan Signature Strengths Inventory Scale.

Kuesioner tersebut diberikan kepada dua kelompok penelitian sebelum dan sesudah intervensi psikologi.

Pertanyaan sederhananya adalah apakah ada perbedaan yang signifikan skor well-being antara kelompok eksperimen dan kontrol? (baca hasil dan diskusinya di sini)

Penelitian yang dilakukan Ivtzan, Niemic, dan Briscoe (2016) ini menggunakan Mindfulness-Based Strength Practice (MBSP) sebagai intervensi psikologi yang diberikan kepada kelompok eksperimen selama  8 minggu secara daring.

MBSP sendiri merupakan intervensi yang memadukan antara konsep mindfulness dengan psikologi positif. It's sounds interesting.

Dan metode MBSP dapat dipelajari beberapa hari lagi di sebuah workshop yang merupakan rangkaian dari event Kongres HIMPSI di bulan september.


So, it's time to enjoy the moment, 
cultivating happiness and flourishing, 

keep positive :)

Referensi:
Ivtzan, I., Niemiec, R. M., & Briscoe, C. (2016). A study investigating the effects of Mindfulness-Based Strengths Practice (MBSP) on wellbeing. International Journal of Wellbeing, 6(2), 1-13. doi:10.5502/ijw.v6i2.557

Sumber gambar:
http://picbear.online/himpsipusat

Jumat, 03 Agustus 2018

Yes, Akhirnya Merasakan "Living In The Moment" [Pengalaman Berlatih Mindfulness]


Oleh Oka Ivan Robiyanto

Gegara video pemandangan super lambat berdurasi 6 menit itu pikiran saya semakin mengembara.

"Apa maksudnya ini?"

"Saya kan mau belajar mindfulness berbasis terapi kognitif, kenapa dikasih video yang nggak jelas seperti ini?"

Saya mengikuti pelatihan ini agar saya mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dan target seminar proposal cepat terealisasi.

Namun, nyatanya selama pelatihan hari pertama pikiran saya terus dibayangi target. Ditambah video itu... "Oh sepertinya gua dikadalin nih sama pematerinya..." 

Alhasil, pada hari itu, saya belum bisa merasakan hidup dengan memberikan perhatian sepenuhnya di setiap momen.

Pada pelatihan pertama, kami memang belum berlatih mindfulness. Kami banyak berdiskusi mengenai mindfulness dari berbagai pengalaman dan juga dari literatur-literatur ilmiah sesuai dengan tujuan pelatihan ini, yang salah satunya untuk kepentingan penelitian.

Pada hari kedua, barulah saya dan teman-teman berlatih mindfulness.

Hari itu diawali dengan apa yang disebut sebagai mindful walking. Berjalan dengan penuh kesadaran, bagaimana kaki ini melangkah dan merasakan apa yang tersentuh oleh kaki kami sebagai peserta.

Kasar, basah, kotor, pegal yang terasa oleh kaki ini ditambah suara angin hingga kendaraan yang melintas di sekitar wilayah pepohonan tempat kami berjalan. Lalu juga tampak kucing yang sedang tidur berbaring dan suara-suara tonggeret yang bertengger di pepohonan pinus disekitarnya.

Seolah saya bisa memberikan perhatian penuh saat mindful walking... 

Tapi pikiran ini ternyata masih mengembara pada proposal, pekerjaan yang tertunda, serta keinginan mengabadikan pemandangan nan asri ini melalui kamera.

Rasa cemas pun mulai muncul seiring pikiran yang mengembara tersebut. Namun, saat latihan mindful walking berikutnya pikiran ini mulai bisa ditata hanya untuk merasakan langkah kaki dan apa yang terinjak dibawahnya.

Saat otot-otot paha ini melangkah secara bergantian, tumit yang menyentuh tanah dilanjutkan dengan jari-jari kaki yang menyentuh ranting-ranting yang berserakan sungguh amat terasa.

Perasaan nyaman dan tenang pun mulai muncul meskipun sesekali pikiran ini kembali mengembara ke tempat lain namun bisa kembali lagi untuk merasakan sentuhan pada kaki ini. 

Selain berlatih mindful walking di hutan pinus yang asri itu, kami juga berlatih mindful hearingmindful eating, breathing, meditasi duduk, dan body scanning.

Pikiran mengembara tetap muncul, bahkan tidak jarang berupa judgement. Sensasi tidak nyaman terjadi, seperti pusing. Puncaknya ketika latihan body scan, rasa pusing dan mual tersebut tidak tertahankan, yang akhirnya membawa saya untuk segera bangun di pertengahan sesi dan berlari menuju ke toilet.

Lega terasa karena sudah membuang racun yang bersarang di dalam tubuh.

Rasa mual ini terjadi mungkin karena saya cemas akan target proposal atau juga karena minum kopi saat sesi coffe break.

Maka saat ada sesi berlatih mindfulness lagi yaitu pada pelatihan hari keempat (pelatihan hari ketiga membahas desain intervensi mindfulness), saya tidak minum kopi, dan tentunya saya juga melepaskan kecemasan saya. Dan, I'm really fine and yes, finally i feel "living in the moment".

Non-striving kuncinya. Tidak berambisi karena semua akan sampai pada waktunya.


Sumber gambar:
http://healthcoachpenny.com/strive-to-non-strive/

Rabu, 01 November 2017

Investasi Kesehatan Mental, Perlukah?


Oleh Duddy Fachrudin

Orang-orang biasa bertanya pada dirinya, “Bisakah saya menjadi lebih baik?”, namun mereka jarang bertanya, “Bisakah saya menjadi lebih buruk?”

Teknologi informasi memudahkan hidup kita. Inovasi disruptif membawa kita menjadi lebih cepat, lebih smart, dan lebih menghemat waktu terhadap aktivitas kehidupan kita. Layanan transportasi online misalnya, memudahkan kita menuju tempat yang kita tuju. Maka, semua orang setuju, bahwa era digital informasi ini memiliki dampak positif dan membuat kehidupan kita menjadi lebih baik.

Namun, era baru ini juga memiliki ekses yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental kita. Gangguan tidur, stres, depresi (dan berakhir dengan bunuh diri), permasalahan pada atensi dan memori (akibat multitasking), kecemasan sosial (FOMO), narsis yang patologis, dan adiksi internet serta sosial media merupakan sederet permasalahan yang mungkin terjadi pada individu yang kurang mampu “berselancar” dengan baik di era digital informasi. Maka, Scott Becker, Ph.D dari MSU Counseling Center memaparkan dengan gamblang atropi yang terjadi pada beberapa bagian otak (seperti halnya korteks prefrontal dan insula) akibat kekurangmampuan individu hidup di era digital informasi.

Korteks prefrontal merupakan bagian otak yang menjadi pembeda manusia dengan mahluk lainnya. Pengambilan keputusan, pengendalian impuls (dorongan), perencanaan, dan kebijaksanaan ada di dalamnya. Sementara insula merupakan bagian yang berhubungan dengan empati dan compassion (kasih sayang). Lalu, apa jadinya jika pada kedua bagian tersebut terjadi atropi atau penyusutan?

Maka kemampuan “berselancar” dan beradaptasi di era digital informasi menjadi kebutuhan yang layak dipertimbangkan bahkan disejajarkan dengan kebutuhan pokok kita. Dan salah satu dari kemampuan “berselancar” itu adalah ability to live in the present moment, seperti yang dikatakan Abraham Maslow, psikolog ternama dunia. Investasi terhadap kesehatan mental Anda saat ini akan menentukan kehidupan Anda berikutnya di masa yang akan datang.

Sumber gambar: 
Dokumen pribadi

Minggu, 01 Oktober 2017

Mindful Walking: Ketika Jalan Kaki Begitu Menggoda..

Latihan mindful walking @Sharing Session IPK Jabar

Oleh Duddy Fachrudin

Pernahkah terlintas bahwa jalan kaki perlu dilatih? Sebagian orang mungkin berkomentar, “Jalan kaki kok perlu training, dari dulu jalan kaki begitu-begitu saja dan tidak ada yang perlu diubah dari kebiasaan ini.”

Ya, tidak ada salahnya dengan komentar tersebut. Tapi coba sekali-kali nongkrong di mall dan mengamati orang-orang yang sedang berlalu lalang. Lihat cara jalan mereka. Ada yang jalan sambil wajahnya menunduk melihat handphone, lalu ada jalan dengan langkah kaki panjang, kemudian jalan kaki dengan kedua kaki yang dilebarkan (lebih lebar dari pinggul), berjalan kaki dengan kedua kaki dibuka keluar membentuk sudut tertentu atau kaki yang ke dalam sehingga seperti membentuk O. Sebagian orang juga memiliki cara jalan yang dipengaruhi alas kaki, seperti sepatu hak tinggi, sepatu yang solnya sudah aus, alas kaki yang solnya terlalu tipis dan terlalu tebal.

Kesimpulannya.. ternyata cara berjalan kaki orang berbeda-beda dan sebagian besar tidak disadari.

Jalan kaki nyatanya perlu disadari. Bahasa kerennya mindful walking, berjalan dengan penuh kesadaran. Kita benar-benar menyadari dan merasakan diri kita yang sedang berjalan kaki. Dan yang lebih penting mindful walking menyehatkan fisik dan psikis. Mengapa?

Teut, dkk (2013) dari Universitas Berlin meneliti pengaruh mindful walking terhadap stres psikologis. Hasilnya partisipan yang melakukan mindful walking selama 4 minggu menunjukkan stres psikologis yang menurun dibanding kelompok kontrol. Maka pelajaran yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu saat kita stres maka berjalan kakilah secara sadar.

Teknik mindful walking memiliki persamaan dengan bagaimana berlatih tai chi. Keseimbangan tubuh benar-benar diperhatikan. Kedua kaki sejajar dengan tulang pinggul (bukan pinggul). Kedua kaki lurus ke depan (tidak membentuk sudut tertentu), melangkah kaki secara proporsional (tidak terlalu panjang juga tidak terlalu pendek) dan tumit terlebih dahulu menyentuh tanah kemudian dilanjutkan dengan memompa bantalan kaki. Kita benar-benar merasakan adanya tekanan pada kaki lalu menyadarinya. Berjalan secara rileks dan hanya berjalan.

Berjalan kakilah... karena jalan kaki merupakan obat terbaik bagi manusia, begitu kata Hipokrates.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Referensi:
Teut, M., Roesner, E.J., Ortiz, M., Reese, F., Binting, S., Roll, S., Fischer, H.F., Michalsen, A., Willich, S.N., & Brinkhaus, B. (2013). Mindful walking in psychologically distressed individuals: A randomized controlled trial. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, DOI : 10.1155/2013/489856

Sumber gambar:
Dokumen pribadi

Senin, 25 September 2017

Berdamai dengan Masa Depan


Oleh Duddy Fachrudin

Om Einstein bilang bahwa satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian. Kata-katanya diamini bahkan sudah menjadi suatu konstanta tersendiri bagi seluruh penduduk bumi. Bagaimana tidak, karena ketidakpastian ini orang-orang mencari yang namanya kepastian.

Selama terombang ambing dalam lingkaran ketidakpastian, perasaan gelisah dan gundah gulana terus membuncah. Bahkan perasaan tersebut kemudian dapat terakumulasi dalam kekhawatiran, kecemasan serta ketakutan yang akut dalam mengarungi kehidupan di masa depan.

Masih terngiang dengan pembunuhan yang dilakukan seorang ibu terhadap tiga orang anaknya 11 tahun yang lalu di Bandung. Karena ketakutan tidak dapat membahagiakan mereka di masa depan, sang ibu membunuh mereka agar dapat “menyelamatkan” mereka dari kehidupan yang tidak pasti ini.

Karena ketidakpastian pula supir angkot melakukan demo dan mogok beroperasi serta meminta para pejabat daerah untuk tidak memberi ijin taksi online yang “mengambil” lapak mereka. Dengan adanya kepastian dan jaminan yang termanifestasi dalam sebuah kebijakan, berharap hati para supir angkot yang gelisah kembali tenang.

Namun ketidakpastian akan selalu hadir di esok hari.


Maka berdamai dengan masa depan berarti menerima ketidakpastian yang hadir dalam hidup kita dengan cara mengoptimalkan potensi prokreasi yang sesuai visi dan misi penciptaan manusia. Dan dalam perjalanannya tersebut kita perlu senantiasa berhenti sejenak melepas penat sekaligus mengistirahatkan otak seraya bertutur kepada-Nya:

“Tuhan, kuatkan aku untuk mengubah hal-hal yang dapat aku ubah. Ikhlaskan aku untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah. Dan jernihkan pikiran serta hatiku untuk dapat membedakan keduanya.”

Sumber gambar:
http://adoubleshotofrecovery.com/thoughts-on-acceptance/

Senin, 18 September 2017

Mindful Lansia: Bidadari Surga


Oleh Duddy Fachrudin


Dikisahkan dalam Kungfu Panda, Po Sang Dragon Warrior dan teman-teman seperjuangannya harus menghadapi suatu senjata yang dapat menghancurkan masa depan kung fu. Po yang polos dan baru saja belajar kung fu bingung kemudian bertanya kepada gurunya, Shifu, “Bagaimana caranya (kung fu) menghentikan sesuatu yang ia sendiri dapat menghancurkan kung fu?”

Lalu Shifu menjawabnya dengan, “Segalanya mungkin jika kau memiliki inner peace.”

Dalam dunia yang semakin sibuk ini, setiap orang saling mengejar ambisi. Dan karena arus informasi yang tiada henti melalui berbagai media, kita sulit menjumpai hingga memiliki inner peace (kedamaian jiwa).

Setelah kekisruhan ekonomi melanda Eropa dan Amerika, orang-orang dari Barat kini gemar mencari serta menemukan ketenangan dan kedamaian jiwa di Timur. Tibet, Thailand, Myanmar, dan Indonesia dengan Bali-nya konon menjadi destinasi mereka untuk menemukan kedamaian jiwa.

Kini orang-orang mencarinya. Namun perlu diketahui bahwa kedamaian jiwa tidak akan pernah menghampiri kita saat diri kita sibuk dengan ambisi dunia, menjadi sempurna, terus mengejar dan menumpuk materi, serta haus akan pujian. 

Ia juga tidak akan pernah menyapa hati saat kita dilanda ketakutan, kekhawatiran akan masa depan, memiliki kemarahan dan kekecewaan di masa lalu, iri dan dengki terhadap orang lain, sombong dan membanggakan diri, serta masih melekati diri dengan dunia.

Ijinkan saya bercerita dengan seorang lansia di Panti Werdha. Usianya sudah 81 tahun. Meskipun jalannya sudah bongkok, ia masih dapat bercerita dengan runtut mengenai berbagai peristiwa di masa lalunya. Ia adalah seorang kakak dari keempat adiknya dan selalu amanah terhadap pesan orang tuanya untuk selalu menjaga adik-adiknya.

Sang Lansia memenuhi harapan orang tuanya. Ia bukan hanya menjaga adik-adiknya, tapi juga menemani orang tuanya saat mereka pulang kembali kepada-Nya. Ketika hal itu terjadi ia berusia 34 dan 36 tahun atau tepatnya pada tahun 1967 dan 1969. Setelah bakti pada orang tuanya, ia masih menjadi kakak tercinta dengan merawat keponakan-keponakannya sambil merangkai dan menjual bunga.

Ketika saya menanyakan mengenai keluarganya (suami atau anak-anaknya), ia mengatakan, “Saya nggak punya keluarga Nak. Paling adik-adik atau keponakan kalau datang ke sini 4 bulan sekali.” Saya tidak melanjutkan bertanya mengenai hal itu, karena kemudian ia memberikan pelajaran berharga bagi saya, “Yang penting kita dekat dengan Allah. Saya nggak punya keinginan apa-apa.”

Hati Sang Nenek begitu tenang dan jiwanya diliputi awan kedamaian. Pada tahun 1996 ia masuk ke Panti Werdha atas keinginannya sendiri. Lantas tubuhnya tak berdiam diri dengan meringkuk di kursi. Namun ia merangkai bunga, mencuci pakaian teman-temannya, menyapu halaman, berbagi rasa dengan para pengunjung panti dan melakukan aktivitas lainnya yang penuh makna.

Sebelum adzan menyahut merdu, ia meminta ijin untuk kembali ke kamarnya yang sederhana untuk memanaskan air, dan shalat duhur. Setelah beberapa lama berselang saya menghampiri kamarnya dengan maksud pamit pula, namun ia terlihat masih khusyuk berdo’a di atas kasurnya dengan mukena masih melekat di wajahnya.

Kedamaian jiwa saya jumpai di sebuah Panti Werdha, pada hati seorang lansia yang kelak menjadi bidadari surga yang penuh cahaya.

Sumber gambar:
http://mozaik.inilah.com/read/detail/2331426/kenapa-suamiku-di-dunia-direbut-bidadari-surga

Minggu, 20 Agustus 2017

The Mindful Entrepreneurs


Oleh Sendy Ardiansyah & Duddy Fachrudin

Steve Jobs terkenal sebagai sosok pengusaha sukses, penemu yang inovatif, pemimpin yang memiliki visi, serta presenter handal. Jika orang menyebutkan kata iphone, ipod, dan Apple, memori kita biasanya tertuju pada namanya. Padahal ada satu orang yang memiliki jasa yang sangat besar dibalik kesuksesan Apple. Sosok sederhana yang menyukai komputer dan dia merupakan otak dibalik produk-produk Apple. Dialah partner Jobs yaitu Steve Wozniak.

Karakter Wozniak tidak seperti Jobs yang memiliki ambisi yang tinggi terhadap sesuatu. Ia sangat kalem, tenang, dan bahkan cenderung berhati-hati dan sedikit takut, serta tidak terburu-buru bertindak. Saat ia diajak Jobs untuk merintis Apple tahun 1976, ia masih bekerja sebagai engineer di Hewlett Packard (HP). Dan ketika tahun 1977, saat seorang investor siap membiayai Apple, ia masih enggan keluar dari perusahaan itu. Akhirnya, dengan menimbang usulan dari berbagai pihak dekatnya, Wozniak bersedia keluar dari HP dan fokus membangun Apple.




Lalu, siapa yang tidak mengenal Bill Gates? Ia pengusaha sukses yang drop out dari Harvard dan banyak menjadi contoh di berbagai buku dan seminar bisnis. Orang terkaya nomor 1 saat ini tersebut memang keluar dari Harvard, namun ia tidak dilakukan dengan terburu-buru. Dalam bukunya yang berjudul Originals, Adam Grant menuturkan bahwa Bill Gates menjual program software saat tingkat dua, dan menunggu setahun penuh sebelum akhirnya berhenti kuliah. Bahkan pada saat itu pun, pria berkaca mata itu belum benar-benar keluar. Ia menyeimbangkan portofolio resiko dengan mengajukan cuti formal yang disetujui pihak kampus. Ia juga meminta orang tuanya tetap membiayainya.

Pikirannya begitu matang dan penuh perencanaan. Bill Gates merintis usahanya dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini dilakukan agar ia dapat meminimalisir resiko yang mungkin terjadi.

Hal yang sama dilakukan oleh duo maut pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin. Keduanya kompak membangun Google dengan perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa. Mereka tetap menempuh program doktoralnya meskipun telah menemukan Google. Bahkan karena ingin fokus pada penelitian doktoralnya, mereka berdua mencoba menjual Google. Namun calon pembelinya menolak tawaran yang diajukan mereka yang “hanya” kurang dari dua juta dolar dalam bentuk saham.

Kurang lebih satu dekade yang lalu, seminar-seminar bisnis sangat marak di Indonesia. Tidak jarang di event tersebut peserta diajarkan untuk jangan terlalu banyak berpikir dan take action segera memulai bisnis. Bahkan ada satu dua pemateri yang mengajarkan berhutang kepada pesertanya agar bisnis cepat terealisasi dan balik modal serta untung cepat. Teorinya mulailah dengan otak kanan dan mengabaikan otak kiri.

Namun, dan konteks ilmu neurosains, tidak ada bagian otak yang bekerja sendiri. Keduanya bekerja bersamaan. Yang membedakan otak kanan dan kiri adalah mengenai fungsi koordinasi gerak. Otak kanan mengatur gerakan organ bagian kiri, dan otak kiri sebaliknya.

Oleh karenanya sangat tidak tepat jika memulai bisnis tanpa berpikir dan modal nekat. Atau berbisnis dengan coba-coba, yaitu coba ini coba itu. Karena hal ini banyak orang yang baru merintis usahanya kehilangan arah, kehilangan waktu banyak, dan akhirnya bangkrut.

Lalu, mengapa tidak mencontoh apa yang dilakukan Wozniak, Bill Gates, dan duo pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin saja? Mereka adalah para pengusaha mindful (the mindful entrepreneurs), yang dicirikan dengan penuh perencanaan, pertimbangan, hati-hati dan tidak terburu-buru dalam bertindak, serta dapat memilah fokus. Para pengusaha yang mindful lebih mungkin sukses daripada mereka yang tidak mindful dan penuh ketergesaan. Selain itu, menurut Adam Grant, mereka lebih orisinal, yang menurut kamus Merriam-Webster berarti:

Sesuatu dengan karakter tunggal atau unik; seseorang yang berbeda dari orang lain dengan cara yang memikat atau menarik; seseorang berkapasitas inisiatif atau inventif.

Referensi:
Grant, A. (2016). Originals: How non-conformists move the world. Penerbit: Viking, Imprint of Penguin Random House.

Sumber gambar:
https://www.inovasee.com/buat-kamu-para-fresh-graduate-inilah-3-pekerjaan-yang-paling-disarankan-oleh-bill-gates-24237/

Kamis, 17 Agustus 2017

Mindful Parenting: Ayah, Bunda, Ijinkan Aku Menangis..


Oleh Nita Fahri Fitria

“Ssst... jangan nangis!”, Ayah dan Bunda pernah mengucapkan kalimat tersebut kepada ananda? Apa yang salah dengan menangis sehingga kita merasa perlu melarang ananda menangis?




Menangis, khususnya pada periode anak-anak adalah sesuatu yang bersifat alamiah, bahkan perlu dialami oleh setiap anak sebagai penanda bahwa ia mencapai salah satu tugas perkembangan emosi dengan baik. Ya, menangis adalah bagian dari tahap perkembangan emosi anak. Pada fase bayi, menangis menjadi salah satu cara anak berkomunikasi pada orang dewasa. Pada fase berikutnya (usia balita hingga pra-sekolah), menangis memiliki fungsi yang lebih kompleks, yakni sebagai bentuk ekspresi atas rasa sedih, takut, sakit, atau marah. Dan sekali lagi, ini amatlah wajar dan menandakan bahwa emosi ananda berkembang sesuai usia.

Dari mana datangnya larangan menangis? Saya tidak tahu persisnya apa alasan banyak orang dewasa yang “alergi” dengan tangisan anak. Setidaknya ada beberapa faktor yang saya simpulkan dari hasil pengamatan saya, di antaranya; suara tangisan yang dianggap mengganggu, malu (saat anak menangis di depan umum), ada urusan lain yang dianggap lebih prioritas, atau tidak tahu penyebab anak menangis dan bingung cara mengatasinya.

Dengan beberapa kondisi tersebut, biasanya reaksi orang dewasa terhadap anak yang menangis adalah; marah, dengan cepat memberi keinginan anak, mencari pengalihan, atau justru mengabaikan tangisannya sampai anak berhenti karena lelah. Kecuali karena kondisi khusus pada anak, reaksi-reaksi tersebut justru malah memicu anak untuk menjadikan tangisan sebagai “senjata” untuk menaklukan orang tua.

Letak masalah sebetulnya bukan pada menangis, karena sekali lagi menangis adalah sesuatu yang amat wajar. Maka, saat anak menangis kita perlu sepenuhnya sadar bahwa ia sedang dalam kondisi tidak menyenangkan. Jadi buatlah dia nyaman terlebih dahulu.

Dengan menyadari kondisi tersebut akan membantu kita untuk tetap tenang menghadapi tangisannya. Peluk atau usaplah punggung atau kepala ananda dengan tenang. Pada kasus tertentu, proses ini memakan waktu agak lama, jadi bersabarlah sebentar. Biarkan dia menangis sambil terus kita dampingi hingga tangisannya reda. Setelah itu barulah ajak ia berbicara tentang apa yang membuatnya menangis serta diskusikan solusinya dengan tenang. Jika anak menangis karena terluka, fokuslah mengobati lukanya dan dampingi ia menangis hingga reda tangisannya.

Proses ini penting untuk menumbuhkan kemampuan anak mengatasi masalah. Alih-alih menunjukkan bahwa kita cemas menghadapi tangisannya, bersikap tenang dan sabar justru membantu kita memberikan teladan tentang bagaimana bersikap saat menghadapi situasi sulit. Ingat, bahasa non-verbal (mimik muka, gestur tubuh, intonasi suara) justru lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Memeluk atau membelainya dengan penuh kasih sayang adalah pesan bahwa kita siap mendampinginya dalam situasi tidak menyenangkan tersebut. Dan terakhir, berkomunikasi setelah tangisannya reda juga baik untuk mengasah kemampuan logisnya.

Poin-poin di atas adalah poin kunci untuk membentuk kesehatan emosi anak pada level berikutnya. Semakin anak bertumbuh, maka semakin banyak konflik yang dihadapinya. Maka ini adalah fondasi dan harus kuat agar kita punya generasi yang punya daya tahan terhadap masalah, atau istilahnya resilien. Anak-anak yang didukung untuk menyampaikan emosi secara wajar, diajarkan untuk bersikap tenang serta mencari solusi atas masalahnya maka dia akan belajar untuk mengatasi konflik yang dihadapi dengan lebih baik dibanding dengan anak-anak yang tidak mendapatkan pendampingan yang tepat saat menangis.

Jadi ayah, bunda sudah siap mendampingi ananda menangis?

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://photographyblogger.net/live-laugh-cry-smile-20-pictures-of-human-emotion/

Selasa, 15 Agustus 2017

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 6, habis)


Oleh Duddy Fachrudin




Kesimpulan

17 Agustus 1945 dipilih Soekarno sebagai hari pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dengan penuh pertimbangan dan ketenangan. Pelaksanaannya yang meski dilakukan dengan tempo singkat dan sederhana, namun tak ada kericuhan maupun pemberontakan dari tentara Jepang. Semuanya berjalan tertib dan tenteram. Merdeka dan kemudian sejahtera (baca: terbebas dari penjajahan)

Beginilah hidup seharusnya dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hidup yang sangat singkat ini (60-70 tahun) perlu diisi dengan ketenangan yang tercermin dari pikiran dan emosi yang tertata sehingga melahirkan kata-kata santun dan bijaksana dan perilaku yang berakhlak mulia seperti sabar, syukur, merasa cukup, dan ikhlas serta ridha atas ketentuan-Nya. Untuk itu kita perlu mengembangkan hidup mindful, dengan cara menelisik gerak-gerik hati, niat serta pikiran yang terlintas. Mengecek nafsu-nafsu duniawi yang ingin dituruti segera yang berpotensi destruktif mengacaukan tatanan ketenangan. Kemudian menyadari hal itu sepenuhnya lalu berfokus pada kehidupan akhirat yang pastinya juga tertuju pada Allah Swt. Memberi perhatian penuh pada Allah Swt. berarti menginternalisasi sifat-sifatnya, khususnya cinta kasih. Karena sifat itu pula yang akhirnya menjadikan kita khalifah di muka bumi. Menjadi pribadi-pribadi yang menebarkan kebermanfaatan positif

Ketenangan batin akan menciptakan ketenangan pada dunia luar kita. Disaat itulah kesejahteraan tercipta. Inilah kesejahteraan yang utama. Semoga rakyat Indonesia di seluruh pelosok negeri serta para pemimpinnya mengoptimalkan potensi ini.

1 2 3 4 5 < Sebelumnya

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 5)


Oleh Duddy Fachrudin




Mindfulness dan Ketenangan: Merdeka dari Jeruji Pikiran

Ketidaktenangan hidup bersumber dari pikiran yang terlalu mengembara dan terlalu banyak tuntutan serta keinginan yang harus dipenuhi dengan sesegera mungkin. Keinginan-keinginan ini biasanya bersumber dari kebutuhan dasar manusia. Abraham Maslow, salah satu tokoh psikologi terkenal menciptakan teori tentang kebutuhan manusia (motivasi) berdasarkan jenjang, dari yang paling dasar hingga yang paling atas dengan model piramida.



Kebutuhan manusia yang paling dasar (basic needs) adalah kebutuhan fisiologis, seperti makan, minum, dan seks. Kebutuhan ini lebih mirip dengan kebutuhan instingtif dan bertahan hidup. Jika kebutuhan ini tercapai maka manusia membutuhkan rasa aman. Manusia membutuhkan keamanan sehingga perlu melindungi dirinya. Oleh karenanya manusia memiliki keinginan akan kepastian. Hal ini juga mirip dengan kebutuhan bertahan hidup. Kemudian kebutuhan diatasnya adalah kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki sebagai manusia yang berjiwa sosial. Manusia butuh bersosialisasi, berbaur dan mendapatkan kasih sayang.

Manusia juga ingin dianggap ada keberadaannya oleh kelompoknya. Jika kebutuhan ini tercapai, maka manusia membutuhkan penghargaan diri dengan kata lain ingin dihargai oleh orang lain. Kebutuhan yang kelima adalah kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Kebutuhan ini dapat dipenuhi jika empat kebutuhan dibawahnya tercapai. Maslow kemudian menyempurnakan teorinya dengan menambahkan kebutuhan terakhir pada puncak piramida yaitu kebutuhan spiritual (meta need), yaitu tentang kebutuhan keterhubungan dengan suatu Dzat Yang Maha Segalanya.

Jika kita melihat kenyataan pada kehidupan manusia memang seperti Piramida Maslow. Kita melakukan sesuatu termotivasi karena untuk mengenyangkan perut. Jika dapur sudah mengepul, kita butuh rumah yang membuat kita aman dari hujan, kalau perlu rumah pun ditembok tinggi hingga sulit bagi pencuri memasuki rumah kita. Kita pun mengasuransikan kesehatan kita agar jika terjadi sesuatu pada diri kita, maka perusahaan asuransi yang membayarnya. Setelahnya kita bergaul, bersosialisasi, mencintai dan ingin dicintai. Lalu kita ingin dihargai, atau bahkan dipuji atas hasil kerja keras kita. Dan selanjutnya kita mengkreasikan segala potensi dalam wujud aktualisasi diri, menghasilkan karya di dunia ini. Setelah semuanya terpenuhi... namun ternyata hati ini masih hampa dan tidak tenteram. Di masa tua kita mendekat kepada-Nya.

Mazhab kelima dalam psikologi adalah transpersonal, yang lahir dari kebutuhan spiritual dimana mindfulness termasuk di dalamnya. Salah satu tokohnya yang mempelopori ternyata Maslow. Konon kabarnya di akhir hayatnya Maslow kecewa dengan teori yang sudah dibuatnya. Piramida kebutuhan itu bukan berdiri seperti mengerucut ke atas membentuk segitiga, namun piramida itu harusnya dibalik.




Dengan kondisi piramida terbalik ini maka kebutuhan pertama dan utama adalah berhubungan dan berinteraksi dengan Tuhan, yaitu Allah Swt. bukan kebutuhan fisiologis. Segala aktivitas termotivasi karena Allah, untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk mengenal-Nya, dan untuk mendapatkan ridha-Nya. Berfokus dan mendekatkan diri kepada Allah menghadirkan ketenangan.

Muhammad Rasulullah Saw., orang nomor satu dari 100 tokoh paling berpengaruh di dunia menurut Michael Hart, bersabda:

“Barangsiapa bangun pagi dan dunia ini menjadi perhatian utamanya, maka Allah Swt. akan membuat dia berserakan dan terpecah; dia akan merasakan perasaan panik dan rugi; serta dia hanya akan mendapatkan dunia ini sesuai dengan apa yang sudah ditakdirkan untuknya. Akan tetapi, barangsiapa bangun pagi dan perhatian utamanya adalah akhirat, maka Allah Swt. akan membuat dia merasa fokus dan utuh; Allah Swt. akan memberinya suatu perasaan sebagai pribadi mandiri; serta hasil-hasil duniawi sudah pasti mendatanginya.”

Dengan pikiran dan hati terfokus pada Allah, maka ego (keakuan) yang berisi keinginan dan nafsu duniawi pada diri kita perlahan luntur. Kita dapat mengelola rasa dari berbagai keinginan dan perasaan termasuk ketidakpuasan terhadap kehidupan yang membelenggu. Kita pun melangkah dengan penuh ketenangan dan kedamaian. Tak ada kekhawatiran maupun ketakutan.

Inilah kondisi yang merdeka sesungguhnya. Hidup mindful (memberi perhatian penuh) pada Allah Swt. membuat kita terbebas dari jeruji pikiran yang menjerat. Fokus dan tujuan kita hanya tertuju pada-Nya, sehingga pada akhirnya kita manusia berhasil memposisikan diri sebagai hamba yang tidak memiliki apa-apa namun begitu memiliki tugas mulia menjadi wakil-Nya di dunia. Kesadaran dan penerimaan sebagai khalifah menghadirkan potensi cinta yang tiada lain menjadi manusia-manusia yang rahmatan lil ‘alaamiin.

Selanjutnya, kebijaksanaan menaungi setiap gerak geriknya. Ucapannya penuh hikmah. Hidupnya untuk memberi, berbagai, dan melayani. Hatinya selalu teringat akan kematian. Dan ia begitu rindu akan perjumpaan dengan-Nya.

Kesejahteraan berawal dari hadirnya suatu ketenangan. Itulah kekayaan dan keberlimpahan. Hati kita kaya karena kita dekat dengan Sang Maha Kaya. Sehingga kita tidak perlu khawatir tidak diberi rizki (harta, sehat, keamanan, dan sebagainya). Semua sudah diperhitungkan oleh-Nya. Jadi cukup berikhtiar sebaiknya, berdo’a dengan merendahkan diri, dan mendekat kepada-Nya.


1 2 3 4 Sebelumnya <> Berikutnya 6

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 4)


Oleh Duddy Fachrudin




Kesejahteraan dan Neurofisiologi Mindfulness

Kesejahteraan (well-being) identik dengan kebahagiaan yang biasanya diperoleh dari kepemilikan harta, menjadi sehat, status sosial yang meningkat, jabatan yang tinggi, interaksi sosial yang hangat serta kenyamanan dan keamanan tinggal di lingkungan rumah. Kebahagiaan ini umumnya bersifat subjektif sehingga para pakar menyebutnya sebagai subjective well-being. Hal tersebut tidak terlepas dari penilaian individu terhadap perasaan yang sedang dialaminya maupun kepuasan hidup yang sedang dijalani.

Harta, menjadi sehat, status sosial, dan sebagainya sebenarnya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan bukan kesejahteraan itu sendiri. Selain faktor-faktor tersebut, faktor kepribadian ternyata sangat mempengaruhi kesejahteraan individu.

Berkaitan dengan faktor kepribadian ini, ternyata individu dengan kepribadian neuroticism memiliki hubungan langsung dengan kondisi bahagia atau tidak bahagia (Diener, 2009). Neuroticism merupakan salah satu dimensi kepribadian yang mencerminkan tingkat sejauh mana seseorang memiliki kestabilan emosi dan mampu mengatasi situasi yang menekan. Individu yang memiliki skor tinggi pada neuroticism mudah merasa gelisah dan menderita secara emosional, termasuk kesedihan, permusuhan, dan iri dengki. Sebaliknya, yang memiliki skor rendah tergolong individu yang stabil secara emosi, tenang, dan ulet dalam menghadapi kegagalan (Wiseman, 2014). Individu yang berlatih mindfulness dapat mengembangkan kepribadian yang matang secara emosi sehingga mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (kontak sosial) sehingga lebih puas dan memiliki emosi yang lebih positif. Mengapa hal itu dapat terjadi?

Pribadi-pribadi yang bertindak dan beraksi secara mindful, tidak akan reaktif dan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otak bagian korteks prefrontal (Greeson & Brantley, 2009). Korteks prefrontal memiliki fungsi luhur, yaitu dalam berpikir, berencana, mengambil keputusan secara bijaksana, memusatkan perhatian, ketabahan dan kesabaran, pengendalian impuls, kesadaran diri, belajar dari pengalaman, mengungkapkan emosi, dan mengembangkan empati atau kasih sayang (Amen, 2011).

Mekanisme respon terhadap suatu situasi secara mindful akan melibatkan bagian otak korteks prefrontal tersebut. Sebagai contoh orang yang memiliki kecemasan atau emosi yang berlebihan. Stimulus yang diterima panca indera melalui saraf kranial dan batang otak akan diteruskan ke sistem limbik. Thalamus, suatu bagian dalam sistem limbik yang berfungsi sebagai stasiun relay akan mengirimkan pesan kepada korteks otak. Korteks prefrontal yang aktif akan bekerja sesuai fungsinya, mengolah data, mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana sebagai respon dari stimulus yang diterima. Respon tersebut kemudian dikirimkan kembali pada sistem limbik, batang otak melalui medula spinalis, sistem saraf otonom dan endokrin, lalu sistem parasimpatik, bagian-bagian tubuh, hingga akhirnya keluar sebagai sebuah perilaku yang bijaksana.

Respon yang tidak mindful, termasuk respon takut, khawatir, atau kecemasan lainnya tidak melibatkan bagian korteks prefrontal. Bagian sistem limbik yang bernama amigdala yang berisi memori negatif akan lebih banyak berperan dalam memberikan respon terhadap suatu stimulus yang masuk ke dalam otak. Respon tersebut dikirimkan ke batang otak, lalu dikirimkan ke sistem saraf simpatik yang bekerja sama dengan berbagai hormon kecemasan. Respon kemudian dilanjutkan ke bagian organ yang menghasilkan simtom-simtom kecemasan dan akhirnya dalam bentuk perilaku cemas, menghindar, khawatir, panik, atau tidak bijaksana.

Berlatih mindfulness memungkinkan terjadi perubahan aktivitas pada bagian otak tertentu. Hal ini karena otak manusia bersifat plastis atau yang biasa dikenal dengan neuroplastisitas. Konsep neuroplatisitas merujuk pada kemampuan otak untuk berubah secara struktural dan fungsional akibat dari input dari lingkungan (Setiabudhi, 2015).

Sebagai bukti bahwa terjadi neuroplatisitas adalah adanya peningkatan atau penurunan aktivitas pada bagian otak tertentu. Sara Lazar, seorang neurosaintis dari Harvard melakukan penelitian dengan membandingkan otak kelompok orang yang berlatih mindfulness dengan meditasi (meditator) dan non-meditator. Kelompok meditator adalah orang umum yang biasa melakukan meditasi selama kurang lebih satu jam setiap harinya. Sementara non-meditator merupakan kelompok yang tidak berlatih meditasi sama sekali.

Lazar menemukan di beberapa area kortikal pada kelompok meditator lebih tebal daripada kelompok non-meditator. Dua area kortikal yang menjadi perhatian Lazar adalah korteks prefrontal dan insula. Seperti yang telah dipaparkan, korteks prefrontal memiliki fungsi kognitif yang luhur seperti pengambilan keputusan dan penilaian secara bijaksana. Insula terhubung dengan kemampuan beremosi secara sosial dan kesadaran diri (self-awareness) (Baime, 2011).

Pengaruh meditasi mindfulness tidak hanya pada tataran organ seperti otak, namun juga struktur tubuh manusia yang lebih kecil yaitu sel. Pada sebuah sel terdapat berbagai organela, salah satunya adalah mitokondria. Menurut Nishihara (2015) mitokondria adalah organ kecil sel yang berfungsi dalam metabolisme energi dan berada di dalam semua butiran sel selain sel darah merah.

Pada tubuh manusia terdapat 60 triliun sel dan pada masing-masing terdapat 800-3000 mitokondria. Mitokondria menggunakan semua bahan yang ada di dalam tubuh seperti vitamin, mineral, asam amino esensial, lemak esensial, air, oksigen, dan asam piruvat yang merupakan hasil penguraian glukogen untuk menghasilkan energi. Pada pengertian lain, mitokondria adalah pabrik atau tempat produksi energi sebagai penunjang kehidupan (Nishihara, 2015). Penelitian Bhasin, dkk. (2013) menunjukkan meditasi dapat meningkatkan produksi energi yang dilakukan mitokondria.

Pengaruh mindfulness juga berlaku pada kualitas panjang pendeknya telomer. Pikiran yang tidak mindful atau mengembara identik dengan melamun, tidak fokus, dan pikiran itu tidak berada pada saat ini. Pikiran tersebut kembali pada masa lalu atau melayang jauh ke masa depan. Seseorang yang pikirannya mengembara menjadi tidak mindful terhadap apa yang sedang dikerjakannya. Seringkali pikiran yang “melompat-lompat” itu membuat pemiliknya mengembangkan kekhawatiran, kecemasan, atau kekecewaan. Hal ini yang dapat menganggu kehidupan individu itu sendiri, karena hidup yang dipenuhi dengan perasaan-perasaan itu menjadi tidak berkualitas.

Pikiran yang suka berkelana dan mengembara di sini bukan suatu pemikiran ide-ide kreatif atau visi masa depan yang kemudian dieksekusi dalam suatu produk yang berkualitas atau aksi yang positif yang bermanfaat bagi banyak orang. Pikiran mengembara ibarat suatu pikiran yang terjebak dalam suatu perangkap. Pikiran tersebut melibatkan ego individu, yang artinya ego atau aku sangat mendominasi dalam pikiran. Sebagai contoh seorang wanita yang sebentar lagi menikah merasa cemas dan khawatir pernikahannya tidak berlangsung baik. Ia memiliki pikiran “aku tidak cukup baik sebagai seorang istri”. Pikiran tersebut muncul karena ia melihat berita-berita perceraian di televisi.

Pikiran yang mengembara tidak hanya membuat gelisah dan gundah gulana hingga berujung nestapa serta tidak bahagia. Pikiran tersebut dapat mempengaruhi kondisi kesehatan fisik yang menjadi semakin buruk. Sebuah penelitian dari Epel, dkk. (2012) menyebutkan pikiran yang mengembara memiliki hubungan dengan penuaan sel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan orang yang pikirannya sering mengembara memiliki telomer yang lebih pendek pada sel darah putih. Telomer merupakan bagian dari kromosom dari suatu sel dan berfungsi sebagai pelindung pada ujung kromosom. Semakin telomer cepat rusak, maka kromosom dan juga sel juga akan cepat rusak. Pola tersebut akan mempercepat penuaan.

Pikiran yang mindful merupakan antitesis dari pikiran yang mengembara. Jika pikiran yang mengembara dapat mempercepat penuaan, maka semakin sering berlatih mindfulness dan mengembangkan pikiran yang mindful maka dapat menghambat penuaan.

1 2 3 Sebelumnya <> Berikutnya 5 6

Referensi:
Amen, D. G. (2011). Change your brain change your life. (Nukman, E.Y., terj). Bandung: Qanita (Karya asli terbit 1998)

Baime, M. (2011, Juli). This is your brain on mindfulness. Shambala Sun. http://www.nmr.mgh.harvard.edu/~britta/SUN_July11_Baime.pdf diakses pada tanggal 2 Februari 2015.

Bhasin, M. K., Dusek, J. A., Chang, B. H., Joseph, M. G., Denninger, J. W., Fricchione, G. L. Benson, H., & Libermann, T. A. (2013). Relaxation response induces temporal transcriptome changes in energy metabolism, insulin secretion, and inflammatory pathways. PLos ONE, 8(5), e62817, doi: 10.1371/journal.pone.0062817.

Epel, E. S., Puterman, E., Lin, J., Blackburn, E., Lazaro, A., & Berry Mendes, W. (2012). Wandering minds and aging cells. Clinical Psychological Science, XX(X), 1-9, doi: 10.1177/2167702612460234.

Diener, E. (Ed.). (2009). The science of well being: The collected works of Ed Diener. New York: Springer Science & Business Media.

Greeson, J., & Brantley, J. (2009). Mindfulness and anxiety disorders: Developing a wise relationship with the inner experience of fear. Dalam F. Didonna (Ed.), Clinical handbook of mindfulness (hal. 171-188). New York: Springer Science & Business Media.

Nishihara, K. (2015). Keajaiban mitokondria: Menyembuhkan penyakit-penyakit yang belum ada obatnya (Wardani, D.K., terj). Bandung: Qanita (Karya asli terbit 2013)

Wiseman, R. (2014). 59 detik yang membuat anda menjadi lebih kreatif, lebih meyakinkan, lebih menarik, dan lebih bahagia. (Wulansari, D., terj). Tangerang: Kelompok Pustaka Alvabet (Karya asli terbit 2009)

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 3)


Oleh Duddy Fachrudin




Konflik Bagian Diri

Jika kita bercermin atau melihat ke dalam diri kita sendiri, adakah karakter-karakter diri atau subkepribadian (bagian-bagian diri) kita yang mirip dengan karakter Golongan Muda atau Golongan Tua yang tergambar dalam perdebatan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan? Jawabannya pasti ada. Bahkan karakter Golongan Muda maupun Golongan Tua ada di dalam diri kita. Dan tak ayal perdebatan atau konflik pun sering terjadi.

Permasalahan psikologis utama yang terjadi pada diri manusia adalah konflik dalam diri. Dan hampir setiap hari manusia mengalami konflik. Saat bangun pagi, sebagian besar dari kita menengok jam lalu setelah mengetahui pukul berapa kita bangun, bagian diri kita berkata, “Oh masih jam 3 pagi”, lalu dengan refleksnya kita menarik selimut dan bersiap tidur kembali. Tiba-tiba sebelum kita terlelap lagi, terdengar sesuatu di dalam hati, “Hei... kenapa kau tidur lagi. Ayo bangun dan sholat tahajud.” Itulah konflik antar bagian diri, dan dapat kita temui dalam kehidupan sejak bangun hingga bersiap untuk tidur kembali.

Konflik lainnya dapat dijumpai saat seorang kepala keluarga yang ingin menyelenggarakan resepsi pernikahan sesuai budaya di daerahnya anaknya namun terkendala dana. Di satu sisi perlu ada resepsi karena hal itu sudah menjadi budaya bagi masyarakat sekitar, namun hatinya berkata sebenarnya ia tidak memiliki uang yang cukup dan ingin resepsi sederhana saja. Akhirnya dalam forum keluarga, acara resepsi sesuai budaya daerah diputuskan untuk dilaksanakan meskipun harus berhutang. Pada hari-H satu keluarga berbahagia, namun setelah acara itu selesai, sang kepala keluarga sering terpikir hutang tersebut. Hati dan pikirannya gelisah dan tidak tenang.

Contoh lainnya, seorang kolega penulis menceritakan dirinya memiliki klien seorang pengusaha yang ketika datang ke kliniknya membawa mobil bagus dan berpakaian rapih. Namun ketika ditanya mengenai masalahnya, klien tersebut menuturkan, “Saya takut miskin.” Bagaimana mungkin seorang pengusaha yang penghasilan dari bisnisnya sangat berlimpah lalu mengatakan, “Saya takut miskin”?

Faktanya memang mungkin. Dan sesungguhnya, terjadinya konflik tersebut karena munculnya keinginan-keinginan yang ingin segera dipenuhi. Maka konflik itu terus terjadi jika orang itu tidak mengenali keinginan-keinginannya secara sadar, atau dalam perspektif lebih luas tidak memahami dirinya sendiri.

Mindfulness

Konflik dalam diri terjadi karena pertentangan antara dua atau lebih bagian diri dalam diri kita. Saat terjadi konflik antar bagian diri, kita perlu menyadari kehadiran bagian-bagian diri tersebut. Lalu memahami apa tujuan yang diinginkan bagian-bagian diri tersebut. Dan terakhir diri kitalah yang mendamaikan mereka dengan kebijaksanaan tertinggi.

Kata kunci yang tepat dalam hal ini adalah awareness atau kesadaran. Dalam disiplin ilmu psikologi terdapat berbagai pendekatan atau metode yang tepat dalam mengelola konflik berbasis kesadaran. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah mindfulness. Berbagai jenis latihan dalam mindfulness meliputi meditasi, melakukan satu aktivitas pada satu waktu (contoh makan hanya makan saja tidak disertai aktivitas lain), berlatih mendengarkan, berdoa, bertualang di alam, merenungkan penciptaan lagit dan bumi, melakukan suatu hal positif untuk pertama kalinya, mengembangkan sikap pemula (beginners mind) atau vuja de (melihat suatu hal yang pernah dilihat sebelumnya namun dengan perspektif yang berbeda), serta tai chi atau menari dengan harmonis.

Mindfulness berorientasi pada kesadaran, perhatian, dan penerimaan. Menjadi sadar dan memahami sepenuhnya serta menerima diri termasuk bagian-bagian diri perlu dilatih dan diupayakan. Mengapa? Agar kita tidak terpeleset dalam mengambil keputusan saat terjadi konflik internal. Maka untuk itu kita perlu memberi perhatian atau mengecek pikiran, emosi, maupun niat-niat yang muncul dalam keseharian.

Pikiran yang muncul biasanya bersifat otomatis karena hasil dari tautan-tautan memori sejak masa awal kehidupan yang kemudian berkolaborasi dengan stimulus yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Pikiran otomatis berpotensi menghasilkan perilaku yang reaktif, terburu-buru atau tergesa-gesa, dan cenderung tanpa pertimbangan.

Menerapkan mindfulness berarti meingijinkan jeda sesaat sebelum bertindak. Kita mulai mengamati pikiran atau apapun yang muncul lalu mengenalinya, menerimanya, menimbang berbagai konsekuensi yang mungkin muncul atas keputusan yang kita ambil, dan pada akhirnya merespon secara bijaksana (Carmody, Baer, Lykins, & Olendzki, 2009; Shapiro, Carlson, Astin, & Freedman, 2006). Respon tersebut merdeka atau terbebas dari segala belenggu kekecewaan atau kemarahan di masa lalu maupun kekhawatiran atau ketakutan di masa depan.

1 2 Sebelumnya <> Berikutnya 4 5 6

Referensi:
Carmody, J., Baer, R. A., Lykins, E. L. B., & Olendzki, N. (2009). An empirical study of the mechanisms of mindfulness in a mindfulness-based stress reduction program. Journal of Clinical Psychology, 65(6), 613-626, doi: 10.1002/jclp.20579.

Shapiro, S. L., Carlson, L. E., Astin, J. A., & Freedman, B. (2006). Mechanisms of mindfulness. Journal of Clinical Psychology, 62, 373–386.

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 2)


Oleh Duddy Fachrudin




Kemerdekaan, Kesejahteraan, dan Ketenangan

Meskipun muncul rasa was-was dan gelisah akan munculnya tentara Jepang, rakyat yang berkumpul dengan setia menanti momen proklamasi itu. Setelah menunggu kedatangan partnernya, yaitu Bung Hatta, Soekarno menuju mimbar dan mikrofon yang telah disiapkan. Bendera merah putih telah siap untuk dikibarkan. Seorang petugas Pembela Tanah Air (PETA) mengatur barisan. Dan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun dilakukan sesuai dengan isinya yaitu dalam tempo sesingkat-singkatnya, bahkan dilakukan secara sederhana tanpa protokol resmi.

Hari itu menjadi hari yang paling penting dalam sejarah Indonesia. Sebuah momen yang telah mengubah status bangsa, yang sebelumnya adalah negara jajahan menjadi negara yang sepenuhnya merdeka. Inilah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang telah lama dan ditunggu-tunggu karena ratusan tahun Indonesia dijajah oleh berbagai bangsa seperti Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Kesejahteraan yang diperoleh dari hasil perjuangan para pahlawan bangsa yang terus menerus. Kesejahteraan itu bernama kemerdekaan.

Jika menilik kembali bagaimana detik-detik proklamasi yang secara singkat telah diceritakan pada awal tulisan ini, bahwa terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat antara Golongan Muda dan Golongan Tua. Golongan Muda ingin sesegera mungkin proklamasi dilakukan dengan tanpa pertimbangan yang matang. Namun ternyata Golongan Tua sebaliknya, semuanya perlu diperhitungkan dan tidak perlu terburu-buru.

Ketenangan pada akhirnya memainkan peran penting dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Golongan Tua yang dipimpin Soekarno. Keputusan maupun saran-saran yang muncul merupakan hasil dari pertimbangan-pertimbangan yang holistik, konstruktif, dan futuristik yang merujuk fokus bukan hanya saat ini tapi juga masa depan. Maka sesungguhnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan dalam tempo singkat itu merupakan buah dari ketenangan pikiran dan emosi dari pemimpin-pemimpin revolusi tersebut.

1 Sebelumnya <> Berikutnya 3 4 5 6

Senin, 14 Agustus 2017

Edisi Kemerdekaan: Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin




Menyusul pernyataan kekalahan Jepang dari Sekutu di Kapal USS Missouri sehari sebelumnya, Rabu, 15 Agustus 1945 Pukul 22.00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur 56, Golongan Muda yang dipimpin Chaerul Saleh berusaha meyakinkan Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan dengan sesegera mungkin. Sukarni yang juga termasuk Golongan Muda mendukung rencana Saleh. “Kita harus merebut kekuasaan!”, begitu ucapnya dengan lantang di depan para tokoh yang hadir malam itu (Soebardjo, 1978). Mereka menolak pemberiaan kemerdekaan dari Jepang yang seyogyanya direncanakan pada tanggal 24 Agustus 1945. Para tokoh yang termasuk Golongan Tua mendengarkan aspirasi mereka.

Malam semakin larut dan Golongan Muda terus menuntut Soekarno dan Hatta untuk secepatnya menyatakan kemerdekaan dengan cara mereka. Namun, Soekarno-Hatta yang mewakili Golongan Tua tidak sepakat dengan cara tersebut yang terkesan terburu-buru dan tidak terorganisir. Terlebih jika revolusi dilakukan secara tergesa-gesa dapat menimbulkan pertumpahan darah di kalangan rakyat sipil. Apalagi Soekarno berpendapat kekuatan mereka termasuk tentara Indonesia yang tidak banyak itu akan mudah dikalahkan tentara Jepang. Maka Golongan Tua memilih jalan kerjasama dengan pemerintah Jepang mengenai Proklamasi Kemerdekaan melalui PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Jiwa-jiwa yang bergejolak pada Golongan Muda tidak menerima hal itu. Mereka menganggap Soekarno dan Golongan Tua telah terbawa pengaruh Jepang dan mereka tidak menginginkan kompromi dengan PPKI karena jelas-jelas forum tersebut dibuat oleh Jepang. Golongan Muda mengambil tindakan nekat dengan “menculik” Soekarno dan Hatta pada pagi harinya ke Rengasdengklok.

Dibawanya Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok yang merupakan kota kecil dekat Karawang itu dengan maksud mengamankan dan meminta kedua tokoh itu dengan segera menyatakan kemerdekaan secara resmi tanpa pengaruh Jepang. Namun, Soekarno dengan didampingi Hatta tetap dengan rencananya. Siang itu kembali terjadi perdebatan sengit. Golongan Muda kembali menekan Soekarno. Mereka menginginkan revolusi dilaksanakan malam harinya. Soekarno sempat marah, namun beberapa detik kemudian mereda. Dengan tenang ia menjelaskan rencana Proklamasi Kemerdekaan yang telah dibuatnya di Saigon.

Semua orang mendengarkan rencana Soekarno. Pemimpin Revolusi itu merencanakan Proklamasi akan dinyatakan pada tanggal 17. Tentu, dipilihnya tanggal 17 bukan tanpa alasan. Tanggal tersebut jatuh pada hari Jum’at yang merupakan hari yang penuh berkah dan memiliki banyak keutamaan di dalamnya. Angka 17 juga merujuk pada tanggal diturunkannya Al-Qur’an. Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam menunaikan sholat wajib lima waktu yang total rakaatnya berjumlah 17. Pada saat itu merupakan bulan Ramadhan yang melengkapi keistimewaan jika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Golongan Muda dan Tua lantas bersatu. Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Dan seorang Perwira Angkatan Laut Jepang bernama Laksamana Maeda pun turut membantu dengan “menyediakan” rumahnya sebagai tempat penyusunan teks proklamasi. Dengan segera, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo, trio perumus teks proklamasi itu menyusun untaian kalimat demi kalimat bersejarah dalam secarik kertas.

Menjelang subuh, tanggal 17 Agustus 1945, teks proklamasi yang telah disusun dibacakan kepada para tokoh lainnya yang menunggu dengan antusias. Sajuti Melik lalu mengetiknya disaat yang lain menyantap sahur yang disediakan empunya rumah. Lantas kemudian terjadi diskusi mengenai siapa yang menandatangani teks tersebut. Dan akhirnya diputuskan bahwa Soekarno dan Hatta sebagai wakil bangsa yang menorehkan tandatangan pada naskah agung itu (Soebardjo, 1978).

Sinergi dan kolaborasi para tokoh dari dua Golongan dalam waktu yang terus memburu, memacu adrenalin memunculkan ide-ide, termasuk ide dari Sukarni yang memberi masukan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dilakukan di lapangan IKADA. Namun, sekali lagi dengan pertimbangan yang sehat, Soekarno menolaknya dengan alasan bahwa lapangan tersebut merupakan tempat umum yang memiliki potensi munculnya benturan antara rakyat dengan tentara Jepang. Soekarno mengusulkan pembacaan proklamasi dilakukan di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56 pada pukul 10.00 WIB.

> Berikutnya 2 3 4 5 6

Refensi:
Soebardjo, A. (1978). Lahirnya republik Indonesia. Jakarta: Kinta.

Senin, 07 Agustus 2017

Mindful Diet: Mindset Hidup Sehat dan Pesan Konfusius


Oleh Duddy Fachrudin

Apa yang membedakan dokter yang biasa-biasa saja dengan dokter yang luar biasa? Pakar kesehatan atau dokter yang biasa-biasa saja adalah mereka yang memberikan intervensi pengobatan sesuai dengan penyakit yang dialami pasien tanpa memberikan nasihat-nasihat mengenai gaya hidup sehat yang baik. Sementara pakar kesehatan atau dokter yang luar biasa adalah mereka yang memberikan nasihat mengenai gaya hidup yang baik kepada para pasien, menuliskan tips-tips gaya hidup sehat dalam buku, bahkan menganjurkan kepada mereka untuk dapat merawat dirinya sendiri (self care).

Para pakar kesehatan yang luar biasa memberi nasihat kepada pasien bahwa pasienlah yang menentukan kesehatan mereka. Bahkan pasien tidak perlu tergantung pada para dokter, obat-obatan, atau suplemen untuk menjadi sehat. Diri kitalah yang menentukan kesehatan kita. Hal ini dikarenakan tubuh manusia didesain dengan sangat canggih oleh Allah Swt. Di dalam tubuh manusia sudah tersedia perangkat organ yang berfungsi dalam menjaga kesehatan tubuh, seperti jantung, lambung, usus, dan hati. Bahkan di dalam perut manusia terdapat ratusan miliar bakteri baik yang bertindak sebagai pasukan penjaga perdamaian dan keamanan dari serangan virus dan bakteri jahat.




Orang sehat adalah mereka yang sadar akan potensi tubuhnya dan menggunakannya sebaik mungkin. Sebaliknya orang sakit adalah bertindak semena-mena pada tubuhnya sendiri. Gaya hidup masa kini berpotensi membuat orang cenderung merusak tubuhnya, seperti dengan memakan makanan cepat saji, makan dengan terburu-buru, tidur larut malam karena terlalu banyak bekerja, dan sebagainya.

Memiliki tubuh yang sehat dan menjaga berat badan berada dalam kondisi ideal dimulai dari mindset bahwa “Akulah yang bertanggungjawab atas kesehatanku”. Dengan mindset tersebut kita menyadari sepenuhnya bahwa kesehatan menjadi prioritas dalam hidup kita. Konfusius, filsuf terkenal dari Tiongkok berkata, “Ada 3 jenis kematian pada orang yang mempersingkat hidupnya sendiri. pertama, saat mereka tidak menjalani hidup dengan normal. Mereka tidak mengatur apa yang mereka makan. Mereka membuat lelah diri mereka secara berlebihan atau terlalu malas sehingga mereka merusak tubuh mereka sendiri, menjadi sakit dan meninggal...”

Maka memiliki mindset “Akulah yang bertanggungjawab atas kesehatanku” adalah sangat penting. Dokter bukan orang yang bertanggungjawab apalagi penentu kesehatan Anda. Obat dan suplemen adalah opsi terakhir untuk menjaga kesehatan. Dan opsi pertama dan utama untuk menjaga kesehatan adalah dengan menjalani gaya hidup sehat.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://colemanhealthandlifestylecenter.com/courses/

Jumat, 28 Juli 2017

Depresi dan 300 Juta Penduduk Dunia (Bagian 2-Selesai)


Oleh Kadek Widya Gunawan




Terkait karakteristik gangguan, depresi memiliki variasi gejala tertentu yang salah satunya dapat terlihat dari gender individu. Menurut hasil kajian dari National Institute of Mental Health, Amerika Serikat (2016), perempuan lebih sering mengalami gangguan depresi daripada laki-laki. Hal ini terkait dengan siklus kehidupan dan pengaruh hormon pada perempuan. Perempuan yang mengalami depresi umumnya menunjukkan gejala kesedihan, perasaan tidak berharga, serta munculnya perasaan bersalah yang teramat sangat. Sedangkan pada laki-laki yang mengalami gangguan depresi, umumnya menunjukkan gejala sangat kelelahan, emosi tidak stabil yang terkadang termanifestasi dalam sikap mudah marah. Laki-laki dengan gangguan depresi juga mudah kehilangan ketertarikan dalam pekerjaan ataupun aktivitas yang disenanginanya, adanya masalah dalam siklus tidur, serta timbul berbagai perilaku negatif termasuk penyalahgunaan narkoba dan alkohol. Banyak laki-laki yang tidak mengenali gejala depresinya dan gagal dalam mencari pertolongan. Data dari National Institute of Mental Health di Amerika juga menunjukkan bahwa meskipun banyak perempuan yang berakhir dengan bunuh diri, namun jumlah pelaku bunuh diri dengan gender laki-laki ternyata lebih tinggi. Tingginya angka bunuh diri pada laki-laki disinyalir merupakan dampak dari ketidakmampuan laki-laki untuk mengenali gejala depresinya.

Selain dari segi gender, segi usia juga menjadi faktor pembeda terhadap pengaruh dari gangguan depresi pada individu. Orang yang berada pada usia paruh baya dan usia tua, biasanya menunjukkan gejala yang kurang jelas terkait depresi dan individu pada usia ini juga memiliki karakteristik penolakkan yang tinggi terhadap perasaan sedih. Namun, individu usia paruh baya biasanya memiliki kondisi medis tertentu, seperti darah tinggi ataupun sakit jantung, yang bisa saja disebabkan oleh /atau bahkan berkonstribusi terhadap tingkat depresi yang dialaminya. Lalu, anak-anak yang mengalami depresi menunjukkan sikap berpura-pura sakit, menolak untuk pergi ke sekolah, tidak mau jauh dari orangtuanya atau bahkan menunjukkan ketakutan yang mendalam akan kematian orangtuanya. Sedangkan, remaja dengan gangguan depresi biasanya terlibat masalah di sekolah, serta menjadi sangat sensitif secara emosional. Remaja dengan depresi juga biasanya menunjukkan gejala dari gangguan lain seperti kecemasan, gangguan makan, serta penyalahgunaan narkotika dan alkohol (National Institute of Mental Health, 2016).

Gangguan depresi memang merupakan gangguan kesehatan yang kompleks dan terkadang sulit untuk mengetahui apakah kita ataupun orang-orangg terdekat kita mengalaminya. Karena berbeda dengan gangguan kesehatan lain, orang-orang yang berjuang menghadapi depresi bisa saja terlihat sehat dalam kesehariannya. Namun dibalik senyum mereka, tersimpan jiwa pejuang yang sedang berusaha melawan suatu racun di dalam diri. Oleh karena itu dengan mengetahui gejala umum serta karakteristik gangguan depresi, diharapkan kita bisa lebih sadar dengan diri dan orang-orang terdekat sehingga, kita bisa mencari pertolongan atau memberikan support pada orang-orang terdekat yang kita kasihi.

Referensi:
Carne, K. (2017). Seven secrets of mindfulness: How to keep your everyday practice alive. London: Rider.

National Institute of Mental Health. (2016). Depression Basics. Bethesda: U.S. Department of Health and Human Services NIH Publication.

Hooton, C. (2017). Chester Bennington discusses his depression in 'final' interview: 'I can either just give up and f*cking die or I can fight'. http://www.independent.co.uk. 28 Juli 2017.

World Health Organization. (2017). Depression. http://www.who.int. 28 Juli 2017.

Sumber Gambar:
https://tinybuddha.com/blog/10-thinking-patterns-that-can-lead-to-depression/