Tampilkan postingan dengan label Mindful Parenting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindful Parenting. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Agustus 2021

Mindful Parenting: Warisan Terbaik Orang Tua Adalah...


Oleh Duddy Fachrudin 

Sebelum lebaran tahun ini saya kedatangan seorang wanita muda. Ia mengaku pernah didiagnosis depresi dan bipolar. Selama sebulan terakhir ia melakukan meditasi bersama temannya di Jakarta. Wanita itu bisa merasakan ketenangan saat meditasi, namun ketika berhadapan dengan sumber stresnya, yaitu ibunya sendiri, ketenangan itu menjauh darinya.

Ibunya. Ya, ibunya adalah stressor utama.

Menurut tantenya yang mengantar wanita muda ini menemui saya, bahwa ibunya menitipkan ia ke kakek-neneknya sejak usia 2 hingga 9 tahun. Sebelum itu ibunya banyak mengalami konflik dengan ayahnya. Perceraian dipilih sebagai jalan akhir. Sang ibu kemudian fokus melanjutkan studi dan karier dalam bidang kedokteran kecantikan. Singkatnya, pola asuh dinomorduakan.

Hubungan sang ibu dan anak disharmonis. Kurangnya pemahaman tentang pola pengasuhan dan ketidaktepatan dalam penerapannya memperburuk relasi antara mereka berdua. Saling menghakimi dan menang sendiri, serta menutup diri dari berbagai perspektif hanya meluaskan konflik yang tak kunjung usia.

Experiential avoidance dengan merokok dan meminum minuman beralkohol yang kemudian dilakukan wanita ini memang menghasilkan ketenangan. Namun, rasa itu hanya sesaat, palsu, dan pastinya tidak akan pernah menjadi solusi bagi penderitaannya. 

Ibunya juga pasti merasakan hal yang sama. Tapi bingung dan tidak tahu cara menyelesaikan permasalahan ini. 

Siklus berulang atau fraktal tentang disharmonis dan disfungsi keluarga mungkin terjadi selama nirdukungan dalam membenahi mental masing-masing. Padahal keluarga memainkan peran vital bagi pembentukan kesehatan mental individu di dalamnya. Maka warisan terbaik keluarga atau orangtua kepada anaknya bukanlah harta mereka, melainkan keindahan perilaku yang mereka pancarkan dalam setiap gerak pengasuhan.


Wanita ini berencana pergi ke Ubud, Bali dan melanjutkan meditasinya sambil mengerjakan skripsi. Sementara tantenya masih terheran-heran dengan rencananya tersebut. "Ke Bali, meditasi? Untuk apa? Meditasi kan ritual agama hindu?," tanya tantenya yang juga adik kandung dari ibu wanita muda ini. 

Saya hanya bilang, "good" kepada wanita muda ini, lalu bertanya mengenai skripsinya. 

She seemed pleased with my attention. Dan ketika saya mendengarkan penjelasannya, she felt good... she felt happy to be heard. Seolah-olah selama ini ia jarang didengarkan oleh keluarganya. 

Lantas saya bertanya kepada tantenya, "Pernahkah ia dipeluk selama ini?". Sang tante hanya diam. Maka biarkan wanita ini memeluk masa lalu dan dipeluk ketenangan melalui meditasi.   

Sumber gambar: 

Minggu, 14 Maret 2021

Mindful Parenting: Ketika Mencintai Bukan Lagi Sekedar Alat untuk Dicintai




Oleh Tauhid Nur Azhar 

V: 

Halo Pak Tauhid, apa kabarnya? Semoga baik dan sehat selalu ya pak.

Kalo berkenan saya mau menanyakan kelanjutan pertanyaan saya mengenai arti “cinta” menurut science setahun yang lalu pak.

Jadi kesimpulannya kalau kita bicara sains, cinta antara manusia itu semuanya selalu transaksional ya pak? Bagaimana dengan rasa cinta orangtua dengan anaknya yang rela berkorban nyawa?

Apa benar artinya jika semakin seorang manusia mengerti banyak berbagai ilmu pengetahuan mengenai bagaimana sistem kehidupan ini bekerja, berpikir logis rasional dan disertai rasa syukur penuh dalam menjalani hidupnya yang sesaat karena cukup memahami esensi dari hidup, ketika orang tersebut mencapai kemerdekaan secara bathin, maka orang tersebut lebih “mampu” mengasihi tanpa bersifat transaksional?

Yang artinya ketika manusia sudah mencapai kesadaran tingkat tinggi dalam hidupnya lebih mampu mengasihi manusia lain secara non transaksional karena kondisi bathinnya yang sudah cukup “penuh”.

Seperti cerminan Tuhan sebagai entitas yang membentuk ‘segalanya’ dan merupakan sumber ‘tak terbatas’ dari segala hal itu menjadikannya sebagai entitas kasih yang tak terbatas juga. Yang mana dibutuhkan entitas entitas lain yang masih berkekurangan, entah itu energi maupun informasi.

Maaf kalau bahasa saya agak dangkal, mengingat background saya yang non akademis, semoga Pak Tauhid bisa memahami maksud saya hehe.

Dan saya terbuka pak dengan penjelasan sains diluar peran agama supaya pikiran saya bisa lebih terbuka.

Mohon pencerahannya ya Pak.

Karena saya khawatir kalau menyampaikan sesuatu tanpa dasar dan salah pada banyak orang malah jadi batu sandungan.

Terima kasih sebelumnya ya pak Tauhid jika berkenan meluangkan waktu.

T: 

Siap. Alhamdulillah. Senang sekali bisa menyambung diskusi ini. Cinta yang selama ini kerap dibahas memang secara konotatif maupun denotatif kerap dikaitkan dengan kepemilikan dan berlakunya hak istimewa dalam relasi yang seolah disepakati. Di tataran ini tentu sifat transaksional tak terhindari dan menjadi sebuah keniscayaan yang senantiasa membayangi. Tetapi konsep cinta ini juga sebagaimana semua definisi dan persepsi di semesta, ia dinamis dan bertumbuh. 

Cinta transaksional itu berada di level dimana kita justru tengah mengarungi konsep mencintai secara solipsitik, mencintai diri sendiri yang memang merupakan fitrah kita juga untuk larut dalam egosentrisme. 

Kita cenderung mencintai dengan bermotif protektif dan reflektif. Apa yabg kita cintai adalah subjek ataupun objek yang memproyeksikan dan merefleksikan pemenuhan kebutuhan dan keinginan preferentif kita (sesuai kecenderungan dan selera yang dibangun dari proses belajar melalui pemaknaan terhadap pengalaman). 

Kita butuh hiburan yang dapat dipenuhi melalui pemahaman terhadap konsep dan nilai estetika, maka kita memburu kecantikan dan kerupawanan sebagai proyeksi objektifnya. Maka kita mengembangkan preferensi dan selera untuk menyukai berbagai kriteria subjektif pada objek tertentu sebagai sebentuk indikator bahwa cinta itu bersyarat dan memerlukan prasyarat. Ada ketentuan yang berlaku. Ini masih dalam domain transaksional, yang anehnya meski terkesan dangkal tapi esensial dan justru sangat fundamental, alias memang diperlukan dan dibutuhkam sebagai penunjang kehidupan. 

Maka manusia di otaknya dikaruniai memori primordial tentang warna, bau/aroma, bentuk tertentu yang terasosiasi dengan makanan, misalnya, adalah cara atau alat survival yang memang dikaruniakan untuk mengakomodir kebutuhan terhadap pemenuhan hajat hidup tersebut. Dalam salah sebuah riset terkait kompatibilitas genomik dan imunitas, ternyata orang cenderung memilih pasangan yang memiliki karakter imunitas saling bertolak belakang, agar dapat memiliki library gen imun yang lebih kompleks sebagai warisan kepada generasi penerusnya.

Artinya ketika kita mencintai sesuatu dengan berbagai term and condition yang diberlakukan, itu adalah kewajaran karena merupakan bagian dari kebutuhan primordial terkait dengan respon defensif untuk mempertahankan kehidupan. Yang tentu juga merupakan ekspresi lain dari mensyukuri nikmat hidup.

Dalam konteks cinta yang bertumbuh akan muncul suatu proses pengayaan yang diawali dengan bertambahnya pengetahuan akan esensi dari eksistensi. Kita akan selalu bertanya tentang hakikat keberadaan dan kehadiran dan mulai mampu mengidentifikasi beberapa faktor yang menghadirkan kelelahan dan keresahan yang mendistorsi hidup melalui gelombang kegelisahan, kecemasan, dan kekhawatiran. 

Lalu kita pun mulai menyadari bahwa respon agresi dan tindakan-tindakan preemptive yang dilakukan dengan alasan prevensi itu bersifat menyerang dan mendahului (kompetisi) seperti tergambar dalam idiom si vis pacem parabelum

Tapi justru dalam lautan distorsi itu cinta terpurifikasi. Seolah berbagai dinamika interaksi itu adalah sebuah rektor purgatory yang memberikan efek sentrifugal sehingga kita terpental ke alam Paradiso (Dante Alegori). Kita jadi memiliki referensi tentang kesementaraan dan relativitas, lalu mulai mencari kesejatian. 

Jadi semua itu proses, seperti tergambar dalam tingginya kadar hormon oksitosin di kelompok rubah Lyudmilla yg terepresentasi dalam sebentuk kuatnya ikatan kekeluargaan di antara rubah tersebut. Tetapi sebagai konsekuensinya, kehadiran kadar oksitosin yang tinggi itu juga mendorong munculnya sifat xenofobia di keluarga itu. Takut dan curiga berlebih pada sesamanya yang bersifat asing. Sesama dapat diartikan memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama, dan karena asing adalah kata lain bukan bagian dari kita, maka tentu ini akan mendatangkan potensi membahayakan bukan? 

Maka politik identitas secara psikologi massal juga dapat mengarah ke sana, menimbulkan ketakutan dan kebencian pada sesama yang dianggap dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan dan kepentingan.

Di sisi lain saat hubungan telah mampu melampaui motif egosentrisme dalam pemenuhan kebutuhan, maka akan lahir altruisme yang berdasar pada komponen empati sebagai bagian dari esensi eksistensi. Ketulusan dan keikhlasan yang dilambari kesabaran adalah tingkatan kesadaran di mana nalar telah mulai tercerahkan dalam memetakan tujuan. 

Kesementaraan dan kepentingan telah mampu ditempatkan secara proporsional agar dapat menjadi energi penggerak aktualisasi diri yang ditandai dengan kebermanfaatan dan kebermaknaan. Pada akhirnya hidup ini kan bermakna jika bermanfaat, dan itu diberi batasan "kalau sempat". Dan dalam kesementaraan itulah konsepsi cinta transaksional akan kandas karena semua dalam relativitas akan berbatas.

Dan kita tidak bisa meretas apalagi mengubah kepastian yang telah digariskan secara tegas. Maka kita akan mulai merasakan bahwa cinta dalam konteks melepas, berbagi, dan memberi justru membuat ruang luas yang membuat kita sulit kalah oleh lelah. Sulit marah karena salah. Sulit menyerah karena masalah.

Pandemi membuat sebagian dari kita rela mengorbankan rasa cintanya terhadap kebebasan berkumpul, bernafas tanpa masker, dan tak perlu mencuci tangan karena mereka termasuk kelompok beresiko rendah atau bahkan mungkin kelompok yang telah mendapat vaksin. Mereka mulai memikirkan esensi dari eksistensinya dan konsekuensi dari setiap pilihannya terhadap suatu konstelasi yang tak terkurung entitas personal individual. 

Di titik inilah mulai muncul kesadaran bahwa makna keberadaan kita hanya bisa "dibaca" melalui proyeksi yang terpantul dari subjek dan objek yang menerima pancaran "gelombang" kita. Kita adalah sekumpulan persepsi reflektif dari mitra interaksi kita. Di sanalah kita bercermin dan melihat bayang diri kita yang sesungguhnya.

Maka kita akan memulai "siaran" melalui gelombang aktivitas kita dengan harapan akan mendapatkan pantulan terbaik yang dapat melegitimasi niat yang telah dieksekusi. 

Kok masih terdengar seperti sebuah transaksi? 

Karena memang kita hidup dalam alam yang terbentuk dari proses interaksi. Tapi jangan khawatir, transaksi nirlaba akan membawa kita terbebas dari tekanan yang melahirkan kecemasan dan kekhawatiran. 

Di level inilah nalar sadar sesuai kadar akan menjadikan makna hidup berakar. Dan cinta serta proses mencintai sudah lagi tak peduli akan imbal balik ataupun apresiasi. Mencintai bukan lagi sekedar alat untuk dicintai, melainkan semata untuk mensyukuri eksistensi diri ❤️ 

Sumber gambar:

Senin, 20 Juli 2020

Metafora: Keluarga



Oleh Duddy Fachrudin 

Laki-laki berusia 45 tahun itu berjalan gontai. Wajahnya kuyu, namun tetap berusaha memperlihatkan senyumnya kepada saya. 

Senyumnya layu. 

Tampak bibir dan gigi-giginya menghitam akibat tar yang ia nikmati dalam belasan puntung rokok setiap harinya. Ia duduk di sebelah saya. 

Tangan kanannya diangkat dan diusapkan ke wajah tirus dan kepalanya yang beruban. Nafasnya begitu berat. 

Lalu, tak lama kemudian ia berucap, “Apa yang terjadi pada saya? Kenapa saya begini?” 

Sejak 3 hari bertemu dengannya, hanya kalimat itu yang ia lontarkan dari mulutnya. 

Hiburan satu-satunya di bangsal hanya sebuah televisi. 

Sore itu, sebelum mentari tenggelam dan adzan berkumandang kami menonton tv. Tidak ada acara yang menarik, hanya berita biasa seputar artis yang mempertontonkan gaya hidupnya yang berkecukupan. 

Tiba-tiba laki-laki itu berkata, “Dulu saya begitu, tapi sekarang...”, lagi-lagi tangan kanannya diangkat dan jemarinya mengusap wajah dan kepalanya. “Kenapa saya sakit seperti ini?” lirih laki-laki itu lagi.

Dua tahun yang lalu, tubuhnya masih tegak dan berjalan dengan penuh semangat. Ia masih bekerja di sebuah pabrik gula di sebuah kota di Jawa Timur. Namun dua kecelakaan motor dan peristiwa keracunan pestisida membuat hidupnya berubah. 

Kinerja fisiknya menurun. Tangannya kaku dan sering bergetar. Penglihatannya kabur dan tubuhnya lemas. Kondisi fisik mempengaruhi kinerjanya di pabrik. Dan ia pun di PHK oleh perusahaan.

Sebelum kejadian-kejadian itu hidupnya bahagia, berkecukupan, dan senantiasa berinteraksi secara sosial dengan keluarga dan tetangganya. 

Saat ini jiwanya begitu rapuh, depresif, dan hampa. Semuanya tampak hancur baginya. Satu-satunya yang ingin dilakukannya adalah bertemu dengan istri dan anak-anaknya.

Saya bertemu dengannya selama kurang lebih 3 minggu, menemaninya dan mengajaknya berbincang-bincang layaknya seorang kawan. 

Di sela-sela itu, saya menyempatkan diri untuk menemui keluarganya—istri dan ketiga anaknya serta saudara-saudaranya. Tak lupa saya meminta ijin untuk mengambil foto mereka.

Di akhir pertemuan dengannya, saya memberikan foto istri dan anak-anaknya. Tampak wajahnya tersenyum dan rona bahagia memancar di wajahnya. 

Ia lalu bercerita bahwa ia sudah boleh pulang dengan syarat mengurangi frekuensi merokoknya. Laki-laki itu menceritakan rencana-rencana yang akan dilakukannya setelah kembali ke keluarga. Saya senang dengan perkembangan ini.

Saya mohon pamit kepadanya karena memang waktu praktek telah usai. Kami berpisah dengan masing-masing mengucapkan terima kasih. 

Satu hal yang tak terduga adalah ketika ia mengatakan, “Salam untuk keluarga” kepada saya. 

Sumber gambar: 

Selasa, 05 November 2019

Adiksi Kehidupan dan Mindful Parenting


Oleh Duddy Fachrudin

Mbah Kabat-Zinn bilang kalau mindful parenting itu pekerjaan yang paling abot (berat) di dunia ini, tapi mindful parenting juga pekerjaan yang memiliki potensi kepuasan dan kebahagiaan yang paling dalam sepanjang hidup...

Berat karena di jaman penuh distraksi ini orangtua menghadapi tantangan untuk bisa memberikan perhatian penuh kepada anak-anaknya.

Distraksi bukan hanya dari adiksi akan smartphone, melainkan juga adiksi kehidupan bernama pekerjaan, uang atau materi lainnya, serta ambisi yang membius menghanyutkan sekaligus melupakan.

Tak terasa waktu terus berlalu dan seakan semua baik-baik saja hingga sang anak berkata dalam hatinya: 

"Ayah Bunda kok ga pernah merhatiin aku ya? Ga pernah nanya teman-temanku. Ga pernah tau keterampilan bersepeda ku sudah sampai mana."

Ayah bunda tak pernah ada, meski hanya sebagai sandaran punggungku saat bermain hape setelah lelah bersepeda.

Maka interaksi interpersonal bukan hanya tercipta melalui kata belaka, namun sentuhan dan pelukan hangat akan menanamkan memori indah di hipokampus sang anak. "Aku dicintai," begitu katanya dalam hati.

Dan perhatian yang diberikan orangtua dalam bentuk afeksi yang hangat ini menjadi faktor protektif dari munculnya perilaku negatif pada anak. Sebut saja menggunakan narkoba, seks bebas, tawuran, dan sebagainya yang bersifat reaktif.

Kehangatan, kelembutan, dan cinta dari ayah bunda akan membentuk karakter positif pada anak. Maka sesungguhnya bukan barang mewah atau liburan ke luar negeri yang dibutuhkannya. 

Mereka hanya ingin hati orangtuanya terkoneksi dengan hatinya.

Sumber gambar:

Minggu, 22 September 2019

Mindful Parenting: Menjadi Ayah dan Ibu untuk Semua Anak (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Mawar mengejutkan gurunya saat ia tiba-tiba menangis tersedu. Mawar mengadu bahwa sudah beberapa hari ini ia tidak diajak main oleh Melati. Setiap kali Mawar mengajak Melati bermain, pasti Melati langsung kabur dan bermain dengan anak yang lain.

Masih menurut pengakuan Mawar, konon Melati tidak mau main dengan Mawar selamanya. Guru mendapati jawaban yang sangat mengejutkan saat bertanya pada Melati, iya, katanya ia tidak sudi lagi bermain dengan Mawar karena dilarang ibunya. 

Karena Mawar kurang pintar dalam pelajaran, jadi Ibu melarang Melati untuk dekat-dekat dengan Mawar karena takut Mawar akan memberi dampak buruk bagi Melati. 

Dan keterkejutan sang guru semakin menjadi saat ibunda Melati memberikan jawaban yang sama persis dengan anaknya. Sementara Mawar menjadi semakin pemurung sejak kehilangan salah satu teman terbaiknya.

Apakah kasus Mawar dan Melati ini nyata? Ya. Kurang lebih ada banyak kasus serupa di Indonesia. 

Ada anak-anak yang sengaja dihindari karena disinyalir akan memberi dampak buruk bagi anak yang lainnya. Tentu tujuan dari ibu dan ayah sangatlah mulia. Mereka ingin melindungi anak mereka dari dampak buruk saat bergaul dengan anak yang “tidak baik”.

Ayah dan bunda... Sebelum melarang anak kita bermain dengan si A, si B dan seterusnya, mari kita renungkan beberapa hal sederhana...

Saat kita kecil dulu, apakah kita pernah melakukan kesalahan pada teman kita? Pernahkah kita bertengkar hingga memukul atau mencubit teman kita? 

Saat kita kecil dulu, bagaimana rasanya saat tidak ada yang mau menemani kita bermain? Pernahkah kita berusaha memahami perasaan anak yang kita larang bermain dengan anak kita? 

Bagaimana rasanya jadi dia yang dikucilkan dari lingkungan sosialnya? Apakah rasa terkucilkan yang dialami mahluk mungil itu akan berdampak semakin buruk pada kesehatan mentalnya? 

Bagaimana jika ia kemudian menjadi semakin penyendiri dan benar-benar tidak bisa hidup dalam lingkungan sosial?

Banyak kasus pelaku kekerasan berawal dari trauma masa kecil. Dan jangan sampai kita turut andil menciptakan para pelaku kekerasan dengan memberi anak-anak kecil tak berdosa sebuah trauma dengan mengucilkannya dari lingkungan sosial.

Tapi kan si A itu suka mukul, si B itu bicaranya kasar, si C itu gak pinter, nanti nular ke anak saya! 


Sumber gambar:

Kamis, 18 Juli 2019

Mindful Parenting: Menata Ekspresi (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Anak-anak perlu belajar menjadi pribadi yang solutif nan kalem. Agar ia pandai move on saat dewasa. Maka mari mulai tata ekspresi kita.

Saat anak melakukan kesalahan, cobalah untuk menarik nafas dalam dan panjang sembari istighfar. Dampingi anak bertanggung jawab atas kesalahannya sambil tetap menahan agar tidak dulu mengeluarkan kata-kata yang membuatnya justru ketakutan. 

Misal saat anak menjatuhkan sesuatu, cukup ajak dia merapikan kembali. Saat suasana sudah rapi, kita sudah lebih tenang, barulah kita ajak ia diskusi. 

Tidak lupa kita selipkan pesan cinta bahwa, apapun yang kamu lakukan, mama selalu sayang sama kamu. Ini penting agar anak sadar akan kesalahannya tapi di satu sisi ia tetap tenang dan merasa dicintai.

Yang menarik, rupanya menata ekspresi ini juga diperlukan saat anak melakukan sebuah kebaikan. Usahakan untuk tidak senang berlebihan saat anak mencapai sesuatu baik di sekolah maupun di rumah. Beri apresiasi secukupnya, tidak perlu pakai sorak sorai berlebihan. 

Kenapa? Karena saat ia tidak mencapai prestasi tertentu, dia akan cemas kalau ayah bundanya tak akan sesenang saat ia mencapai suatu prestasi. 

Ada satu kisah yang sangat menarik dari seorang ayah yang memiliki anak pemain baduk. Sang ayah selalu mendukung anaknya dan bahkan selalu menyimpan foto sang anak saat masuk surat kabar. Tapi di hadapan anaknya, ia berusaha bersikap sewajar mungkin baik saat anaknya menang maupun saat anaknya kalah. Ia ingin menunjukkan bahwa yang membuat ia mencintai anaknya bukanlah karena ia menang pertandingan, tapi karena ia mencintai anaknya apa adanya, entah saat menang ataupun kalah. 

Bereaksi berlebihan saat ia menang hanya akan membebaninya saat ia kalah.” 
–Choi Soo Mong- Reply Me 1988.


Sumber gambar:

Mindful Parenting: Menata Ekspresi (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Ayah, Bunda, pernakah mengalami kegagalan terbesar dalam hidup? 

Mari kita sejenak menelusuri apa yang kita rasakan saat itu. betapa kecewa dan hancurnya hati ini seolah dunia terhenti seketika. 

Itu dulu, nyatanya saat ini kita masih hidup dan masih bisa tertawa, bukan? Perlahan kita dapat bangkit dan menyembuhkan luka-luka yang menyayat hati dan bahkan bisa jadi kita saat ini sudah lebih baik dalam berbagai hal di banding saat itu.

Dalam kajian Psikologi, itulah yang disebut dengan resiliensi atau daya lenting. Kemampuan yang memungkinkan seseorang bersikap lentur sehingga ia bisa bangkit dari keterpurukan dan menata kembali hidupnya pasaca kemalangan tersebut. 

Menurut Grothberg, resiliensi bukanlah trik sulap, melainkan sebuah proses yang dibangun sejak masa kanak-kanak. Ya, sejak masa kanak-kanak. Jadi kemampuan untuk move on, untuk berdamai dengan masa lalu dan memaafkan mantan itu dibangun sejak anak dalam buaian.

Proses terpenting dari pembentukan resiliensi adalah menghadapi konflik, melakukan kesalahan, dan mengalami berbagai perdebatan. Jadi jika hari ini anak kita memecahkan gelas, berebut mainan dengan si adik, atau berdebat sengit soal siapa yang duduk di kursi depan dan belakang mobil, maka inilah kesempatan emas bagi kita untuk membentuk daya resiliensinya.

Salah satu cara terampuh adalah dengan menata ekspresi kita saat menghadapi berbagai keruwetan itu.

Kita kadang terlupa, ketika anak melakukan kesalahan lalu kita otomatis berteriak dan membuat anak trauma melakukan kesalahan. Belum lagi ditambah pidato 60 menit dengan kecepatan bicara layaknya Valentino Rossi saat bertanding di arena. Lalu tatapan penuh makna intimidatif dan tangan yang setia bertengger di pundak. 

Apakah ini efektif? Ya, efektif membuat anak takut dan mencari jalan pintas saat terkena masalah berikutnya. And we know that, short cut would never works.

Sumber gambar:

Selasa, 12 Februari 2019

Ikhlas Melepas: Selamat Jalan Orang-Orang Tercinta


Oleh Tauhid Nur Azhar

Selamat jalan mereka yang terkasih. Sungguh hidup pada hakikatnya hanyalah sebuah persinggahan singkat tapi sangat indah dan penuh makna yang terangkum dalam kenangan...

Kadang kita bertanya mengapa Allah mengaruniakan kita ingatan? Memori dan kenangan yang merajai hipokampus dan amigdala kita. Lalu karenanya kita merindu pada mereka yang terpisah jarak dan waktu. Orang-orang yang kita cintai, mereka yang memberi arti dalam hidup kita, mereka yang tidak sekedar singgah tapi juga memberikan banyak hal indah yang mengkristal menjadi kenangan. 

Meski kadang cinta dan rindu itu seolah mampu menaklukkan waktu, pada nyatanya tak ada yang abadi di dunia yang memang fana ini. Semua akan pergi dan kita harus belajar ikhlas untuk melepas. 

Usia akan melaju dan kita pun akan kehilangan sekurangnya 5 perkara: muda, sehat, kaya, sempat, saudara dan sahabat , dan pada gilirannya kita akan sendiri meski tak sepi untuk mempertanggungjawabkan secara mandiri apa yang telah kita rencanakan, lakukan, dan lalui dalam kehidupan. 


كُلُّ نَفۡسٍ۬ ذَآٮِٕقَةُ ٱلۡمَوۡتِ‌ۖ ثُمَّ إِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. (QS. Al Ankabut: 57)


كُلُّ نَفۡسٍ۬ ذَآٮِٕقَةُ ٱلۡمَوۡتِ‌ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوۡنَ أُجُورَڪُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ‌ۖ فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَ‌ۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلۡغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. 
(QS Ali Imran : 185)

Rasulullah Saw. memberikan kita panduan yang bernas tapi sangat cerdas, mengingat manusia pada dasarnya eksploitatif, egois, serakah, dan tak mau susah dalam ibadah dan riyadah. Maka indikator keberhasilan hidup kita dibuat sederhana: seberapa bermanfaat kita bagi semesta dan sesama? Khoirunnas anfauhum linnas. 

Karena kita cerdas dan manipulatif maka kita kerap menimbulkan kerusakan di muka bumi. Sifat tamak yang eksploitatif tak terarah sering mendestruksi keseimbangan dalam kehidupan. Akibatnya dunia lambat laun rusak dan mengalami pelapukan katastropik yang analog dengan kondisi patologis degeneratif pada tubuh manusia. 

Maka sekedar seulas senyum yang dapat hangatkan suasana sudah teramat sangat berdayaguna bagi sesama. Di dunia yang lelah ini nasehat Ayah dan kasih sayang Ibu yang senantiasa mendoakan dengan cucuran air mata di sepertiga malam adalah telaga berkah: Danau Kautsar yang penuh dengan linangan kenangan dan banjir peluh tanpa keluh. 

Semua terseduh dalam doa yg hadirkan teduh... itulah makna dari hadirnya orang-orang yang kita kasihi yang mungkin hari ini sudah terlebih dahulu kembali ke hadirat Illahi. 

Kenanglah mereka dengan senyum, dengan zikir, dan dengan pikir... bahwa kebaikan, kehangatan, dan cinta mereka yang tuluslah yang telah menghantar kita menjadi pribadi yang mampu memaknai arti hadir dan indahnya hidup di karunia usia yang tengah kita jalani ini.

Al Fatihah untuk mereka semua yang telah ikhlas mencintai kita apa adanya...

Sumber gambar:
https://picgra.com/user/duddyfahri/10148958272

Senin, 12 November 2018

Mindful Parenting: [Refleksi Hari Ayah] Bapak Juara Satu Sedunia (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Terlalu banyak kebaikan beliau yang bisa saya ceritakan, tapi saya hanya ingin memberikan gambaran, kira-kira sedalam apa perasaan saya kepada beliau melalui kisah singkat berikut:

Alkisah di penghujung 70'an saya terbaring sakit berminggu-minggu. Tak ada dokter yang dapat menyembuhkan, termasuk Kakek dan Nenek saya yang seorang dokter dan juga guru besar.

Saat itu Bapak tengah menempuh program Masternya di IHE Delft. Pada akhirnya para dokter bersimpulan bahwa apa yang saya derita adalah manifestasi psikosomatis yang terjadi karena saya menahan rindu kepadanya.

Maka berangkatlah anak kecil ini ke negeri Holland. Belasan jam penerbangan dan beberapa kota dilintasi. Ajaib, setelah bertemu dengan Bapak di bandara Schiphol seolah semua penyakit mendadak sirna!

Tentu semua kita memiliki kenangan berbeda dengan Ayahanda. Tapi susah-senang dan apapun yang beliau lakukan pada kita, marilah kita belajar untuk percaya, bahwa apapun sikap dan perlakuan orangtua, hampir dapat dipastikan bahwa niatnya adalah untuk kebaikan anak dan keluarga.

Saya pernah menulis ini dalam sebuah buku bergenre sastra, tentang seorang Ibu yang dianggap tak beradab karena meninggalkan anaknya di pintu depan pintu asuhan. Tapi ternyata di balik keputusan besar itu sang Ibu terluka dan menjerit dalam hatinya, tak kuat menghadapi perpisahan dengan anaknya. Ia meyakini bahwa dengan segala keadaan yang dihadapi, menitipkan anak bukanlah karena ia ingin lepas dari tanggungjawab, melainkan dengan dititipkanlah maka masa depan anak masih ada peluang untuk terjaga.

Berat baginya, karena merindu. Berat baginya karena tak lama lagi hujan hujat akan membantainya dan memberinya identitas baru sebagai orangtua yang tak tahu malu. Memang demikianlah orangtua, demi anak apapun dilakukannya. Tak malu lagi saat berutang demi membelikan buku pelajaran anaknya. Tak jeri lagi saat di malam buta berlari kian kemari mencari dokter dan obat bagi anak-anaknya.

Jutaan peluh dan airmata telah membasahi tubuh renta mereka. Maka kini saatnya kita yang muda dan rindu Bapak, mulai belajar bagaimana cara menjadi manusia yang seutuhnya, yang mau menerima sekaligus tergerak untuk selalu menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan.

Love U Bapak, dari kami anak-anakmu yang merindu...

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:
https://isha.sadhguru.org/in/en/wisdom/article/fathers-sons-karan-johar-conversation-sadhguru

Mindful Parenting: [Refleksi Hari Ayah] Bapak Juara Satu Sedunia (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Semalam teman saya yang gagah, yang pernah mengabdi sebagai tentara infanteri dan tentu tangguh sekali, berkata bahwa ia rindu Ayahnya.

Banyak hal yang hanya dapat dikenangnya. Banyak hal yang hanya bisa dibaginya dengan sang Ayah; suka, duka, derita, juga gembira. Demikianlah adanya. 

Ternyata saya pun mengalami hal serupa. Saya memang anak Bapak dalam artian harfiah. Anak yang menempel pada Bapaknya. Anak yang beruntung karena memiliki idola yang bisa dibanggakan bukan karena harta, jabatan, ataupun sekedar kerupawanan. 

Bapak yang justru sederhana, bersahaja, dan apa adanya. Pejuang diam yang tak pandai merangkai kata. Yang menunjukkan kasih sayang dengan menggendong sepanjang jalan saat lutut saya terluka kena knalpot motor yang membara. Atau hanya duduk diam melihat saya berenang di sungai Toraut di tengah hutan Dumoga. 

Bapak yang hanya berbinar saat anaknya menjadi murid teladan kabupaten dan pada akhirnya propinsi. Bapak yang duduk tenang saat anaknya diwisuda sebagai lulusan terbaik sekaligus generasi pertama program Pascasarjana disiplin ilmu yang baru ada di Indonesia. 

Tidak banyak bicara tapi jujur dalam laku dan lurus dalam perbuatan. Kadang itu semua melebihi ribuan kata manis berbunga-bunga yang lebih tepat menghiasi halaman-halaman buku cerita. 

Bapak tidak pernah menasehati soal kejujuran dan integritas, namun dibawanya saya ke tempat kerja dan melihat bahwa beliau membongkar semua konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang direncanakan. 

Beliau tidak pernah mengumbar janji dan jargon manis dalam bentuk orasi, tidak, tapi setiap kali berpindah tempat tugas banyak orang melepas kami sekeluarga dengan linangan air mata. 

Dan sampai saat ini setelah Bapak tiada, kemana pun saya pergi di Indonesia selalu ada sahabat-sahabat dan anak didik Bapak yang dengan tulus hati menyambut saya dengan tangan terbuka. Terkadang melebihi saudara. Satu kalimat pendek yang sudah saya hafal karena selalu diulang oleh para rekan Bapak: "...saya banyak belajar dari Pak Sus." Itulah nama panggilan Bapak saya. 

Bagi saya itu hal yang aneh. Bapak saya jarang bicara panjang lebar, hanya senyum dan mendengarkan lalu sesekali melontarkan pandangan dan rencana yang detil. Hemat dalam kata berlimpah dalam karya. 

Usai gempa besar melanda Sulawesi Tengah, beberapa sahabat keluarga mengirimkan foto-foto dari karya konstruksi Bapak berupa rumah panggung yang utuh tidak kurang suatu apa. 

Dan Bapak pun tidak banyak bertanya saat saya mohon izin untuk menikah di usia yang amat muda. Hanya senyum dan mendoakan pilihan saya adalah yang terbaik. 

Bahkan Bapak sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan saat saya memilih untuk menekuni aktivitas yang bersifat akademis tinimbang menjadi orang klinis yang hidupnya bisa dijamin kinyis-kinyis. 


Sumber gambar:
https://isha.sadhguru.org/in/en/wisdom/article/fathers-sons-karan-johar-conversation-sadhguru

Mindful Parenting: [Refleksi Hari Ayah] Maaf, Ayah Tunggu di Luar Saja Ya...


Oleh Nita Fahri Fitria

Maaf Ayah, usiaku sudah tujuh tahun.

Terima kasih karena ayah masih mau menemaniku ke kamar mandi, tapi ayah tunggu di luar saja ya...

Di usiaku yang ketujuh ini, bahkan ayah sudah tidak boleh melihat kemaluanku.

Aku malu ayah, jadi aku harus belajar menjaga auratku, termasuk di depan ayah.

Terima kasih karena ayah masih mau membantuku memakai baju, tapi ini saatnya aku untuk memakai bajuku sendiri.

Biarlah sedikit lamban, biarlah sedikit berantakan, tapi ini saatnya aku belajar bertanggung jawab menjaga auratku.

Ijinkan aku terbiasa menjaga aurat sejak di dalam rumah, agar saat aku tumbuh dewasa, aku pandai menjaga diri saat di luar rumah.

Tegaslah padaku ayah, agar aku juga bisa tegas saat ada pria lain yang mencoba macam-macam padaku.

Aku masih putri kecil kesayangan ayah, tapi mulai saat ini ayah cukup tunggu di luar saja ya...

Sumber gambar: 
https://www.cbc.ca/parents/learning/view/my-daughter-is-beautiful-and-im-going-to-tell-her-so

Rabu, 03 Oktober 2018

Mindful Parenting: Ayah Bunda, Temani Aku Bertualang!


Oleh Duddy Fachrudin

Michael Resnick Ph.D, dkk, menyatakan remaja yang merasa dicintai dan terhubung dengan orangtua mereka lebih jarang hamil di luar nikah (atau MBA), memakai narkoba, bertindak agresif dan destruktif, serta bunuh diri.

Kok bisa? Tentu saja bisa, karena orangtua sibuk bekerja dan memiliki waktu yang sangat sedikit sekali untuk berinteraksi bersama anaknya. Ketika sang anak berusia remaja, rata-rata orangtua berusia 35-45 tahun di mana mereka sedang berada pada level top di tempat kerja atau bisnisnya.

Kita bisa menengok sejenak beberapa kasus-kasus seperti itu di mana orangtua memiliki waktu dengan anaknya hanya pada hari minggu. Suatu hal yang wajar jika sang anak stres dan mengalihkan masalahnya ke hal-hal negatif.

Pada situasi seperti ini bukan jalan-jalan ke Bali atau Singapura yang dibutuhkan anak. Namun attachment yang sehat serta penuh kasih sayang dan cinta yang diharapkan diberikan ayah-bundanya. Ia rindu akan oksitosin, atau hormon cinta yang dikeluarkan sang bunda saat dirinya lahir ke dunia. Ia pun rindu akan cinta sang ayah yang dibalut dengan pesona diamnya, seperti ayah Ikal—ayah juara satu sedunia.

Maka jika orangtua sibuk, siapa yang kelak melantunkan ayat-ayat-Nya serta mendongengkan kisah-kisah para nabi dan sahabat Rasululullah?

Ya, melayani. Sebagai orangtua, kita perlu melayani anak-anak kita dengan cinta. Menjadi teman serta pemandu perjalanan. 

Dan melayani dapat meningkatkan rasa cinta, benarkah?

Masih berkisah tentang keluarga. Mengapa keluarga? Karena keluarga merupakan sistem interaksi dan pendidikan awal manusia. Hasil pembelajaran yang didapat di keluarga akan menentukan kehidupan anak di masa depan.

Suatu hari aku bertualang meniti bebatuan dalam eloknya riak sungai. Menaiki jembatan bambu yang bergoyang menggerus keseimbangan. Suara alam, jangkrik, atau burung begitu terdengar merdu. Sementara cahaya matahari yang menyembul malu-malu dari balik pohon-pohon rimba.

Sampainya di tujuan setelah menempuh perjalanan panjang, terlihat sebuah keluarga: Ayah, Bunda, dan 2 buah hatinya. Yang satu sekitar 7 tahun, satunya lagi yang dalam dekapan hangat Bundanya, masih sekitar 2 tahun.

Mereka menapaki jalur naik-turun yang sama denganku! Mereka tersenyum bahagia, dan mungkin juga sesekali bertahmid memuji keagungan karya cipta-Nya. Ketika meniti jembatan bergoyang itu, terpancar sinergi dan kolaborasi cinta agar tidak terjatuh. 

Memang benar dalam Islam, bahwa salah satu memperkuat ikatan dan rasa cinta adalah dengan berjalan jauh bersama. Ketika rihlah penuh cinta, momen-momen indah akan bersemayam di hipokampusnya masing-masing. Emosi bahagia tumpah ruah ke sekujur tubuh yang lelah. 

Aku belajar dari keluarga itu, keluarga yang terlihat sederhana. Saat keluarga lain menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, mereka dengan senyum dan tawa melakukan petualangan.

Rasa cinta kepada pasangan atau anak-anak akan semakin meningkat. Ayah dengan Bunda, Ayah Bunda dengan anak-anaknya, serta sebaliknya. Kelak suatu hari di masa depan, sang anak akan bertutur kisah bahagia saat mereka mendaki rimba dengan Ayah Bundanya tercinta. "Inilah perjalanan kita, perjalanan cinta," begitu mereka mengakhiri kisahnya.

*Sebuah refleksi Hari Kesehatan Mental Dunia setiap 10 Oktober. Mari peduli dan sadar akan pentingnya mental health anak-anak kita.

Sumber gambar:
https://www.outsideonline.com/2099776/why-you-should-hike-your-baby-and-how-do-it

Minggu, 05 Agustus 2018

MIndful Parenting: Menjalani Kehamilan dengan Mindful (Sebuah Pengalaman berlatih Mindfulness)


Oleh Delima Amiyati

Beberapa hari belakangan ini jadwalku memang padat. Revisi tesis dan laporan HIMPSI menjadi "makanan" sehari-hariku.

Selain tanggungjawabku sebagai mahasiswa, aku pun perlu memberikan perhatian pada kehamilanku yang sudah menginjak lebih dari 5 bulan.

Sungguh terasa berat jika dipikirkan menjalani dua peran sekaligus tanpa ada yang membantu. Aku tinggal di Bandung sendiri, jauh dari keluarga dan suamiku bekerja di Jakarta.

Namun, daripada berkeluh kesah, lebih baik menjalaninya dengan suka cita.

Dan untuk itu, aku belajar untuk hidup mindful

Efeknya sungguh menyenangkan. Saat mengerjakan revisi tesis misalnya, entah mengapa beragam ide tulisan tumpah ruah dan mengalir begitu saja. Biasanya aku lama dalam mengerjakan revisi, kini sejak mempraktikkan mindfulness, mengerjakannya lebih lancar dan juga cepat.

Saat asik-asiknya mengetik, janin dalam perutku bergerak-gerak. Biasanya aku langsung berhenti menulis, menutup laptop, dan kemudian merebahkan diri.

Namun kini...

Aku mengamatinya sejenak, menyadarinya, merasakannya, dan menerima sensasi tersebut lalu tetap melanjutkan mengetik revisi. 

Meskipun dalam kondisi hamil, aku menjadi lebih produktif, energi lebih berlimpah, dan dapat menikmati setiap momen saat mengerjakan tesis.

Lewat hidup yang berkesadaran (living mindfully) ini, aku sebagai Bumil bisa lebih menerima dan mengelola kekhawatiran yang muncul, lebih berpikir positif, dan bersyukur dengan kondisi yang saat ini aku alami serta jalani.

Maka, "la-in syakartum la-adziidannakum wala-in kafartum inna 'adzaabii lasyadiid." (QS. Ibrahim: 7)

Setiap momen merupakan suatu berharga dan patut untuk dinikmati dan disyukuri. Ketika living mindfully, kita akan melihat banyak keajaiban terjadi di dalam kehidupan kita.

Sumber gambar:
http://www.bamboofamilymag.com/summer-2012/mindful-pregnancy-traditional-chinese-medicine-an-approach-t.html

Senin, 07 Mei 2018

Mindful Parenting: O... Anak (Ananda, Adinda, Ijinkan Ayah dan Bunda Belajar Padamu...)

Interaksi Orangtua dan Anak


Oleh Tauhid Nur Azhar

O... Anak. Pujangga besar jazirah Arab, Khalil Gibran, pernah mengambil judul yang sama untuk menggambarkan betapa berartinya kehadiran anak bagi kedua orangtuanya. Sebuah hubungan bathin yang kompleks, sarat dengan berbagai aspek emosi, penolakan atau resistensi, tapi juga berkelindan dengan kerinduan dan muara dari semua kebahagiaan sekaligus air mata cinta. Sarang dari rasa bangga, samudera dari segenap peluh yang tercurah demi meraih sepotong bahagia.

Senyum anak adalah celah pintu surga bagi orangtua, dan tangis pilu anak adalah desir angin neraka yang mengiris hati kedua orangtua. Sampai tubuh renta luluh lantak kehabisan daya, orangtua selalu punya deposito cinta bak sumur tanpa dasar yang mata airnya menolak untuk kering.

Meski kerap kecewa dan disakiti karena tingkah polah anaknya, orangtua akan selalu menjadi tempat pulang di saat dunia anak runtuh dan putus asa menyergap dirinya. Selalu ada Ibu, selalu ada Ayah, selalu ada rumah.

Di sekitar tahun 2005-an saya pernah menulis sebuah puisi tentang seorang anak yang bermimpi dan dalam mimpinya ia berkisah pada Ibu gurunya tentang sebuah rumah. Tentang kerinduan untuk pulang. Bukan karena rumahnya yang sederhana nan bersahaja serta dikenal karena berpintu merah, tapi karena hati yang ada di dalamnya.

Karena rindu tak peduli warna pintu, ia hanya ingin mengetuk pintu hati yang ia tahu di dalamnya dipenuhi oleh kehangatan  cinta. O.... anak. O.... Ibu. O.... Ayah.

Ini bukan lagi masalah menghadirkan dan dihadirkan atau dipaksa dihadirkan tanpa kehendak di luar kemauan. Ini adalah persoalan kenyataan, ini adalah fakta bahwa kita ada dan menjadi ada karena kita saling memiliki sesama.

Maka Luqmanul Hakim yang dimuliakan Allah Swt. hingga mendapat kehormatan menjadi nama surat ke-31 yang diturunkan di Mekkah (Makkiyah) serta terdiri dari 34 ayat, menasehati anak dan dirinya sendiri tentang keutamaan hidup. Keistimewaan menjadi manusia.

"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” [QS. Luqman: 13].

Maka apa yang diajarkan Lukman sebagai bagian paling fundamental dalam kehidupan? Tauhid. Mengesakan Allah. Integritas hidup. Kesetiaan pada nilai. Loyalitas akal pada iman. Bahwa hidup harus punya tujuan. Bahwa ruang tercipta untuk dijalani. Bahwa waktu ada karena kita harus maju. Maka Tauhid adalah nilai total yang tak dapat ditawar. Kita hidup berawal dan berakhir dari satu titik. Ahad.

Menurut Luqman itulah modal selamat. Dan syarat selamat itu tak pelak adalah taat, kesetiaan pada nilai yang harus dibangun dari proses berinteraksi dengan semua elemen yang dihadirkan dalam kehidupan.

Belajar taat, mau menerima, dan berusaha memahami dari berbagai sudut pandang tentang peran diri dapat dimulai dengan menyayangi dan mengasihi orangtua yang separuh dari masing-masing dirinya maujud dalam diri kita.

Kita adalah representasi nilai cinta mereka berdua. Kita adalah kristalisasi doa mereka, bukan hanya cinta. Maka kita adalah mereka adalah kami. Kami yang akan bersama pulang ke rumah kita semua.

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” [QS. Luqman: 14].

Demikianlah gelombang daya menjalar dan menghadirkan gerak saling menjaga, memelihara, dan merawat akhlaq dan adab, hingga tercipta peradaban mulia saat segenap komponen semesta bertasbih sesuai dengan kapasitasnya. Janganlah kita berpaling dari sesama, janganlah kita lelah dalam mencintai dan merawat nilai inti kemanusiaan yang senantiasa berlomba dalam mencipta kebajikan.

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Luqman: 18].

Maka anak mengajarkan kita tentang cara memperlakukan manusia. Tidak ingkar, tidak mungkar, tidak zalim. Anak mengajarkan kita bahwa kita sesama manusia mungkin tidak akan pernah dapat saling mengerti, apalagi memahami, tapi sekurangnya kita dapat membuka ruang hati untuk dapat menerima dan memberi ruang bagi perbedaan persepsi.

Karena cara kita memandang dunia terkadang tidak sama. Amat bergantung pada sudut pandang, cahaya, ilmu, pengalaman, dan pilihan tujuan. Maka anak adalah sekolah kita, karena meski anak adalah sebagian kita, tapi ia juga bukan kita.

Maka kita bisa belajar tentang kita padanya, dan juga belajar tentang yang bukan kita padanya. Dan sesingkat atau sepanjang apapun waktu yang Allah berikan, itu adalah waktu paling berharga dalam hidup seorang tua.

Sumber gambar:
https://penamotivasi.wordpress.com/2017/02/25/banyak-orang-tua-mampu-rawat-banyak-anak-tapi-banyak-anak-tidak-mampu-rawat-satu-orang-tua/

Senin, 20 November 2017

Mindful Parenting: Ayah, Bunda, Ijinkan Kami Bertengkar

(Ilustrasi) Anak Bertengkar

Oleh Nita Fahri Fitria

Ayah dan Bunda pernah mendengar rengekan si kecil yang mengadu karena berebut mainan dengan temannya? Bersyukurlah, karena itu artinya salah satu tugas perkembangan ananda untuk berperan dalam kehidupan sosial sudah mulai berkembang. Justru jika anak yang sudah sekolah dan dia tidak pernah bertengkar sekalipun dengan teman, Anda perlu bertanya apakah dia punya teman di sekolah atau tidak? Apakah dia bisa terlibat dalam permainan dengan temannya atau tidak?

Jadi jangan buru-buru berburuk sangka jika teman si kecil nakal dan melarangnya bermain lagi. Justru di saat ananda melaporkan masalah dengan temannya adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengajarkan banyak hal, yaitu mulai dari memfilter masalah, mencari solusi, bertoleransi, sampai menumbuhkan jiwa pejuang pada anak kita.

Maka melindungi atau menghindarkan anak dari konflik dengan teman sebayanya bukanlah solusi yang bijak jika ayah dan bunda ingin menjadikan anak-anak kita menjadi generasi pahlawan. Justru kita perlu mendorong mereka untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Ajak ananda berdiskusi, bagaimana caranya bertoleransi dengan teman yang sedang marah, bagaimana caranya untuk menunjukkan sikap saat ada teman yang memukul, bagaimana caranya memaafkan teman yang tidak sengaja mendorong, bagaimana caranya meminta maaf dan mengakui kesalahan saat kita yang salah, dan sebagainya.

Yakinkan bahwa konflik dengan teman itu hal yang biasa dan mungkin terjadi dalam hidupnya kelak setelah masa kanak-kanak. Namun bagaimana kita menghadapi konflik, itulah yang perlu kita ajarkan. Dan upayakan agar kita menanamkan kemampuan untuk bersikap netral saat terjadi konflik, “Jika terjadi pertengkaran dengan teman, bukan berati teman kamu nakal lho, kamu dan dia hanya sedang punya kinginan yang berbeda," Sederhana kan?

Sekali lagi, kita tidak bisa menjamin bahwa kita akan selalu ada untuk mereka. Kita bisa menua, bahkan meninggal suatu hari nanti, atau mungkin besok lusa. Jika kita tinggalkan anak-anak dalam kondisi terbiasa dibela, terbiasa dilindungi, akankah mereka bertahan tanpa kita? Tugas kita bukanlah menjadi superhero abadi, melainkan melahirkan pahlawan-pahlawan baru.

“Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka dan khawatir terhadap kesejahteraanya. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An-Nisa: 9).

Maka mari kita ijinkan dan dampingi anak-anak bertengkar dengan temanya. Mari kita ijinkan dan dampingi mereka menyelesaikan masalahnya sendiri dengan bertoleransi, meminta maaf, dan bersikap tangguh.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://www.tipsanakbayi.com/2016/04/cara-mengatasi-anak-sering-bertengkar-dengan-adik.html

Kamis, 17 Agustus 2017

Mindful Parenting: Ayah, Bunda, Ijinkan Aku Menangis..


Oleh Nita Fahri Fitria

“Ssst... jangan nangis!”, Ayah dan Bunda pernah mengucapkan kalimat tersebut kepada ananda? Apa yang salah dengan menangis sehingga kita merasa perlu melarang ananda menangis?




Menangis, khususnya pada periode anak-anak adalah sesuatu yang bersifat alamiah, bahkan perlu dialami oleh setiap anak sebagai penanda bahwa ia mencapai salah satu tugas perkembangan emosi dengan baik. Ya, menangis adalah bagian dari tahap perkembangan emosi anak. Pada fase bayi, menangis menjadi salah satu cara anak berkomunikasi pada orang dewasa. Pada fase berikutnya (usia balita hingga pra-sekolah), menangis memiliki fungsi yang lebih kompleks, yakni sebagai bentuk ekspresi atas rasa sedih, takut, sakit, atau marah. Dan sekali lagi, ini amatlah wajar dan menandakan bahwa emosi ananda berkembang sesuai usia.

Dari mana datangnya larangan menangis? Saya tidak tahu persisnya apa alasan banyak orang dewasa yang “alergi” dengan tangisan anak. Setidaknya ada beberapa faktor yang saya simpulkan dari hasil pengamatan saya, di antaranya; suara tangisan yang dianggap mengganggu, malu (saat anak menangis di depan umum), ada urusan lain yang dianggap lebih prioritas, atau tidak tahu penyebab anak menangis dan bingung cara mengatasinya.

Dengan beberapa kondisi tersebut, biasanya reaksi orang dewasa terhadap anak yang menangis adalah; marah, dengan cepat memberi keinginan anak, mencari pengalihan, atau justru mengabaikan tangisannya sampai anak berhenti karena lelah. Kecuali karena kondisi khusus pada anak, reaksi-reaksi tersebut justru malah memicu anak untuk menjadikan tangisan sebagai “senjata” untuk menaklukan orang tua.

Letak masalah sebetulnya bukan pada menangis, karena sekali lagi menangis adalah sesuatu yang amat wajar. Maka, saat anak menangis kita perlu sepenuhnya sadar bahwa ia sedang dalam kondisi tidak menyenangkan. Jadi buatlah dia nyaman terlebih dahulu.

Dengan menyadari kondisi tersebut akan membantu kita untuk tetap tenang menghadapi tangisannya. Peluk atau usaplah punggung atau kepala ananda dengan tenang. Pada kasus tertentu, proses ini memakan waktu agak lama, jadi bersabarlah sebentar. Biarkan dia menangis sambil terus kita dampingi hingga tangisannya reda. Setelah itu barulah ajak ia berbicara tentang apa yang membuatnya menangis serta diskusikan solusinya dengan tenang. Jika anak menangis karena terluka, fokuslah mengobati lukanya dan dampingi ia menangis hingga reda tangisannya.

Proses ini penting untuk menumbuhkan kemampuan anak mengatasi masalah. Alih-alih menunjukkan bahwa kita cemas menghadapi tangisannya, bersikap tenang dan sabar justru membantu kita memberikan teladan tentang bagaimana bersikap saat menghadapi situasi sulit. Ingat, bahasa non-verbal (mimik muka, gestur tubuh, intonasi suara) justru lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Memeluk atau membelainya dengan penuh kasih sayang adalah pesan bahwa kita siap mendampinginya dalam situasi tidak menyenangkan tersebut. Dan terakhir, berkomunikasi setelah tangisannya reda juga baik untuk mengasah kemampuan logisnya.

Poin-poin di atas adalah poin kunci untuk membentuk kesehatan emosi anak pada level berikutnya. Semakin anak bertumbuh, maka semakin banyak konflik yang dihadapinya. Maka ini adalah fondasi dan harus kuat agar kita punya generasi yang punya daya tahan terhadap masalah, atau istilahnya resilien. Anak-anak yang didukung untuk menyampaikan emosi secara wajar, diajarkan untuk bersikap tenang serta mencari solusi atas masalahnya maka dia akan belajar untuk mengatasi konflik yang dihadapi dengan lebih baik dibanding dengan anak-anak yang tidak mendapatkan pendampingan yang tepat saat menangis.

Jadi ayah, bunda sudah siap mendampingi ananda menangis?

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://photographyblogger.net/live-laugh-cry-smile-20-pictures-of-human-emotion/

Selasa, 25 April 2017

Mindful Parenting: Esensi Surat Luqmān untuk Relasi Ayah dan Anak (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Maka Ayahanda saya dengan pribadi lurusnya yang sederhana, memaknai syukur itu dengan terus berjalan lurus dan mencintai yang dikerjakan nya dengan tulus,semata sebagai bagian dari caranya untuk mengoptimalkan fungsi kehadiran dirinya bagi kemaslahatan yang menjadi elemen kecil Rahmat bagi semesta.

Tugas kita adalah mensyukuri apa yang telah kita miliki dan terintegrasi dalam konsep "diri".

Tidak bersyukur alias kufur, tidak akan mengurangi sedikitpun kebesaran dan keagungan Allah Swt., melainkan hanya mereduksi ruang sadar kita yang akan segera diisi penuh oleh rasa kecewa dan mengubah hidup menjadi sebuah perjalanan tanpa makna.

Luqmān : 12


وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”




Dan pada akhirnya yang dapat diamalkan dari sikap dan teladan adalah ilmu dan tentu saja Iman.

Dengan ilmu dunia akan menjadi kitab yang berisi ayat-ayat qauniyah yang terus ditulis dan tak habis-habis dibaca serta dipelajari.

Dan dari ilmu yang merangkai mozaik cinta berupa tanda-tanda yang menenangkan jiwa, bukankah dengan berzikir tenanglah hati, akan terbangun fondasi iman yang kokoh.

Maka orang berilmu dan beriman akan memiliki kesadaran dan keluasan wawasan dalam memetakan tujuan kehidupan.

Matahari bukan lagi sekedar matahari, bukan juga sekedar reaktor termonuklir dengan reaksi fusi dan paket kuanta berupa cahaya hasil eksitasi elektronnya belaka,tapi menjadi tanda cinta yang menunjukkan adanya sistematika terencana yang pada hakikatnya mewartakan kehadiran dan keberadaan Allah Swt. 

Lalu saya pun terngiang kembali QS Mujadalah ayat 11 tentang derajat orang beriman dan bertaqwa dalam perspektif kejembaran wawasan dalam memaknai kehidupan. 

Al-Mujādalah : 11


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Demikianlah yang dapat sedikit saya tuliskan saat saya belajar mensyukuri nikmat yang telah Allah karuniakan berupa kebersamaan yang amat berharga dengan Ayahanda yang telah hadir sebagai guru utama kehidupan saya.

Dan kini sedikit demi sedikit saya mulai dapat mengerti, mengapa Ayah menamai saya Tauhid.

Rupanya nama itu adalah doa agar saya menjadi manusia yang tidak akan lupa pada akarnya, pada tujuan hidupnya, dan pada tempat di mana kita semua berawal dan kelak akan berakhir. Wallahu alam bissawab.

Sumber gambar:
http://www.huffingtonpost.com/loren-kleinman/f-is-for-father-and-forgiveness_b_6219940.html

Mindful Parenting: Esensi Surat Luqmān untuk Relasi Ayah dan Anak (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Maka bahagia dalam definisi Ayah saya yang bersahaja dan sederhana saja, adalah saat kita mampu mensyukuri apapun yang telah kita miliki.

Maka sayapun merasakan betapa nikmatnya piknik dengan bekal seadanya di tepi batang sungai, memancing udang, dan menjelajahi gunung, danau, dan pantai serta larut dalam pesona mengingat-Nya. Sederhana. 

Luqmān : 8


إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتُ النَّعِيمِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat surga-surga yang penuh kenikmatan.”

Tetapi tentu saja pergulatan dalam hiduplah yang sesungguhnya menjadi media ujian bagi kita. Dinamika dan volatilitas yang menjadi keniscayaan makhluk sebagaimana tergambarkan antara lain dalam konsep termodinamika dengan entalpi, entropi, dan kalori yang senantiasa menyertai reaksi konversi energi adalah contoh indah tentang mencari model keseimbangan.

Ayahanda mengajarkan dengan caranya bahwa hidup adalah persoalan keseimbangan, homeostasis bahasa ilmiahnya.

Dan keseimbangan maknawiah itu baru dapat dicapai jika kita mampu menginternalisasi nilai-nilai yang termaktub dalam panduan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. 




Maka sholat dan zakat adalah persoalan kesadaran tentang keberadaan dan konsep dasar soal kepemilikan.

Sholat adalah jalan membangun karakter yang ditandai dengan akhlaq mulia, berindikator tidak keji dan mungkar.

Sedangkan zakat adalah upaya konstruktif membangun logika bahwa kepemilikan tidak dapat melekat pada ruang dan waktu dan dapat dimanipulasi serta tereliminasi dari kehidupan semudah bulir air yang terevaporasi panas mentari yang datang merambat melalui proses konveksi. 

Maka berbagi dan berbuat baik bagi sesama adalah jalan keselamatan yang selalu ditawarkan untuk segera dikerjakan.

Dan sampai akhir hayatnya Ayahanda saya selalu berusaha tuntas menolong dan membantu dengan segenap potensi yang dimilikinya agar dapat menjadi manfaat bagi sesama. Menjadi bagian dari solusi,meski sangat menyadari adanya keterbatasan diri. Orientasinya satu, akhirat kelak yang akan menjadi bukti.

Luqmān : 4


الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

“(yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan mereka meyakini adanya akhirat.”

Dan kini saya jadi mengerti, bahwa konsep menolong, membantu, dan bekerja untuk memberikan kebermanfaatan inilah bentuk syukur yang paling kongkret.

Mensyukuri apa yang telah dimiliki. Bukankah potensi yang melekat pada kita adalah "apa" yang telah kita miliki? Kita sebagai manusia pilihan dari ratusan juta sel nutfah dan dilengkapi akal untuk menjadi makhluk prokreasi yang didapuk sebagai Khalifah yang bertugas menghadirkan Rahmah bagi semesta sekalian alam. 

Baca berikutnya di sini

Sumber gambar:
http://www.huffingtonpost.com/loren-kleinman/f-is-for-father-and-forgiveness_b_6219940.html

Mindful Parenting: Esensi Surat Luqmān untuk Relasi Ayah dan Anak (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Sepeninggal Ayahanda tercinta saya banyak merenung dan menafakuri berbagai ayat dalam Al Quran terkait dengan hubungan anak dan orang tua.

Entah mengapa saya terus mengulang-ulang mengkaji QS Luqmān yang bagi saya saat itu terasa benar mewakili segenap ungkapan rasa yang tengah melanda hati dan pikiran.

Diawali dengan penjelasan tentang keutamaan Quran dan diisi dengan prinsip-prinsip dasar hidup yang dinasehatkan Luqmān pada anaknya melalui untai diksi berfrasa indah yang teramat menyentuh kesadaran. Sungguh hidup itu perlu pegangan dan pemetaan tujuan.

Prinsip dasar Luqmān untuk setia dan loyal pada satu nilai yang menjadi tujuan segenap hasrat dalam kehidupan yangg dibatasi dimensi ruang dan waktu, jugalah yang senantiasa diajarkan Ayahanda sejak saya masih berusia sangat dini.

Maka mungkin saja ini alasan beliau menamai saya Tauhid.

Dasar akidahlah yang membedakan hidup kita itu akan dapat dimaknai indah atau justru hanya ruang waktu yang terisi rangkaian musibah.

Sedari kecil saya diajak Ayah berkelana untuk membangun pola pikir sistematis konstruktif, dengan konstruksi Tauhid sebagai kerangka acuan utamanya.

Betapa banyak kebesaran Allah SWT beliau perlihatkan pada saya melalui perjalanan susur daerah aliran sungai Toraut di Doloduo Bolaang Mongondow sana.

Betapa keindahan dan keramahan alam dan manusia beliau perlihatkan saat saya diajaknya berjalan 3 hari 3 malam dari Sulawesi Utara menembus rimba raya tropika menuju Sulawesi Tengah yang saat itu bahkan jalur tersebut nyaris tak terjamah.




Pada saat berjalan tertatih di tebing karang nan tinggi Teluk Tomini dengan latar belakang Gunung Tinombala yang tinggi menjulang, rasa kecil, bahkan teramat kecil di hadapan Sang Khaliq begitu nyata terasa memenuhi rongga dada.

Keangkuhan dan kesombongan sontak runtuh, segenap daya dan upaya luruh dalam tasbih memuji ke-Agungan-Nya. Tak hanya lutut yang bergetar karena diserang rasa takut, tapi juga hati bergetar hebat melihat maha karya Allah yang sedemikian hebat.

Saat bertemu dengan ketulusan manusia-manusia yang berjuang dan mengelola Rahmah sebagai amanah yang merupakan bagian dari barokah, yang tersisa hanya kagum dan hormat pada kebijakan yang mereka tunjukkan.

Sungguh perjalanan demi perjalanan bersama Ayahanda ke segenap antero dunia menyadarkan saya tentang arti pentingnya menghargai sesama manusia dan makhluk Allah yang pada hakikatnya adalah guru bagi kita untuk mengenal Sang Maha Pencipta.

Luqmān : 18


وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Maka Ayah dengan caranya sesungguhnya kini saya sadari sepenuhnya tengah mengajari saya tentang memaknai hidup dan memberi nilai tambah pada waktu dan ruang yang pasti akan berlalu.

Kita ini makhluk ∆t, yang tak kuasa menolak untuk terus maju dan menua serta menuju titik yang satu.

Maka Ayahanda dengan sedikit kata dan tak berbunga lewat kalimat berima, mengajari saya tentang konsep bijak dan bajik.

Orang bijak pasti berlaku bajik, maslahat bagi ummat, berkarya dan berguna bagi sesama sebagaimana hadist Rasululullah Saw. tentang indikator kemuliaan manusia.

Maka mengisi hidup dengan karya dan kebermanfaatan adalah cara mengkonstruksi bahagia dan surga. Interaksi akan terbangun jika ada silaturahmi dan sinergi yang maujud dalam aksi untuk mengoptimasi potensi.

Ini adalah bentuk rasa syukur dan perwujudan dari konsep sabar yang sebenarnya. Maka Ayah mengajari saya lewat contoh dalam bentuk berkarya tanpa banyak bicara, jujur dalam bersikap, ikhlas dalam bekerja, dan itu semua dikanalisasi dalam kesatuan gerak yang dipandu niat.

Bukankah niat itu adalah penegasan terhadap tujuan paling hakiki?

Baca berikutnya di sini

Sumber gambar:
http://www.huffingtonpost.com/loren-kleinman/f-is-for-father-and-forgiveness_b_6219940.html