Tampilkan postingan dengan label Hubungan Pikiran dan Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hubungan Pikiran dan Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 Maret 2021

Metafora: Si Belalang dan Lompatannya


Oleh Mira Seba

Seekor belalang lama terkurung dalam satu kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya, dengan gembira dia melompat-lompat menikmati kebebasannya.

Di perjalanan dia bertemu dengan belalang lain, namun dia heran mengapa belalang itu bisa lompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.

Dengan penasaran dia bertanya,

“Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh dariku, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia maupun ukuran tubuh?”

Belalang itu menjawabnya dengan pertanyaan,

“Dimanakah kau tinggal selama ini? Semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan.”

Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang telah membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.

Sering kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang tersebut. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan beruntun, perkataan teman, tradisi, dan semua itu membuat kita terpenjara dalam kotak semu yang mementahkan potensi kita.

Sering kita mempercayai mentah-mentah apa yang mereka voniskan kepada kita tanpa berpikir lebih dalam apakah hal itu benar adanya atau benarkah kita selemah itu? Lebih parah lagi, kita acapkali lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.

Tahukah bahwa gajah yang sangat kuat bisa diikat hanya dengan tali yang terikat pada pancang kecil? Gajah sudah merasa dirinya tidak bisa bebas jika ada “sesuatu” yang mengikat kakinya, padahal “sesuatu” itu bisa jadi hanya seutas tali kecil…

Sebagai manusia kita mampu untuk berjuang, tidak menyerah begitu saja kepada apa yang kita alami. Karena itu, teruslah berusaha mencapai segala impian positif yang ingin kita capai. Sakit memang, lelah memang, tapi jika kita sudah sampai di puncak, semua pengorbanan itu pasti akan terbayar.

Sumber gambar:

Rabu, 12 Agustus 2020

Ubah Dunia dengan Mendengar



Oleh Duddy Fachrudin 

“Dulu gue tuh, berdoa, memohon, meminta, berharap dari mulai yang aneh-aneh sampai yang paling sederhana. 

Meminta hanya untuk sehat aja kok... tapi kenyataannya yang dihadapi sekarang adalah penyakit kanker. Hodgkin’s lymphoma... sejak itu nggak lagi mau meminta. 

Do’a sekarang untuk mendengar dan merasakan energi Yang Maha Kuasa... Hanya keheningan yang membuat kita mendengar sebenarnya...”

Sebuah monolog yang menyentuh dari seorang karakter bernama Meimei yang diperankan Cut Mini dalam ending film Arisan 2. 

Bagi saya, monolog ini sangat menohok kesadaran sekaligus melucuti ego saya yang sering kali meminta ini itu kepada Tuhan.

Berdo’a memang harus, bahkan Allah Swt. meminta kita untuk berdo’a kepada-Nya. Dengan begitu kita sebagai hamba-Nya ini senantiasa merapat dan mendekat kepada-Nya. 

Namun kadang selama berdo’a kita lupa untuk berdialog, mendengar, dan merasakan kehadiran-Nya. 

Kita berdo’a hanya karena memang minta ini itu berupa kebutuhan duniawi.

Aktivitas dunia yang serba sibuk, padat, dan ramai semakin membuat kita lupa akan mendengar, termasuk mendengar tubuh kita sendiri. 

Tubuh berkata “Sudah cukup, aku butuh istirahat. Aku tidak kuat lagi digunakan untuk bekerja. Aku benar-benar butuh istirahat.” 

Sayang orang yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya tidak mendengar jeritan tubuhnya. Kesehatan diabaikan dan akhirnya sakit bahkan tidak jarang meninggal.

Maka kita perlu merenungkan kembali kata-kata Dalai Lama yang menganggap manusia adalah hal yang membingungkannya. 

Mengapa? 

Beliau menjawab, “Karena manusia mengorbankan kesehatannya demi uang. Lalu ia mengorbankan uangnya demi kesehatan. Manusia sangat khawatir dengan masa depannya sampai-sampai tidak menikmati saat ini.”

Sumber gambar:

Kamis, 16 Januari 2020

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Dan dendam melahirkan kecemasan kronis. Kata "kronis" tersebut sejatinya diambil dari nama Kronos. 

Sakit hati yang berkronologis. Kronos yang menikahi Rea dihantui kecemasan bahwa keturunannya juga akan mengkhianati dirinya. Ia memakan semua anaknya, kecuali Zeus yang disembunyikan Rea dan ditukar batu. 

Maka hanya batu dan Zeus yang tak lekang oleh siklus dendam berkesinambungan. 

Lalu mengapa manusia terlahir dengan luka yang siap untuk menganga karena pusaran dosa? 

Bukankah kita suci dan terlahir dalam kondisi nan fitri, tapi mengapa kita begitu terpesona pada daya tarik yang kekuatannya akan membuka kembali luka lewat jalan duka. 

Kehilangan karena mencari yang telah dimiliki. Kelelahan karena mengejar pada yang berlari sejengkal saja di belakang kita: masalah. 

Sebenarnya apapun itu nama sandingannya secara metonimia, masalah adalah masalah. Ia selalu akan membersamai kita saat ini dan sesaat kemudian segera bermetamorfosa menjadi masa lalu, bukan?

Maka masalah yang tersisa pastilah sejengkal di belakang, dan ia akan terus ikut berlari selama kita terus berlari. 

Bahkan maslah takkan pernah menjauh sedikitpun, kecuali kita berhenti dan berbalik untuk menghadapi. 

Sayangnya bagi sebagian besar dari kita, konsep itu masih terus betah menjadi sekedar wacana yang terangkum dalam kalimat inspiratif nan kontemplatif dari para "coach" kehidupan. 

Sejujurnya sayapun masuk kategori kelompok pelari, yang sesekali mencoba berani untuk berhenti, belajar menghadapi, dan... pada akhirnya memilih untuk melanjutkan balap lari dengan masalah yang kalau demikian tentu tidak akan pernah kalah, meski juga tak punya peluang untuk menang. 

Kondisi semacam ini tak perlu terlalu berimajinasi tinggi untuk mengetahui hasil akhirnya. Sudah jelas kita akan terkapar kelelahan dan ditimbuni masalah yang telah menyertai kita di sepanjang "pelarian"...


Sumber gambar:

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Sejarah peradaban manusia terlahir dari luka. Tentang khianat pada realita. Tentang ketakutan Kronos akan arti niscaya hingga ia ingin menciptakan keadaan nirkala.

Timeless... tanpa waktu. 

Dan Kronos pun rela memakan semua anaknya dari Rea karena tersandera dalam kutukan masa lalu. 

Masa lalu yang tak terbunuh oleh waktu. Malah masa lalu itu bertumbuh seiring dengan semesta yang menua. Semesta dan sejarah dari segalanya. 

Dalam karyanya Theogonia. Asal usul segala sesuatu diceritakan oleh Hesiodos. 

Dia mulai dengan Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan misterius. Dari Khaos ini muncullah Gaia atau Gê (Dewi Bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah Eros (Cinta), Tartaros (Perut Bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks (Malam). 

Niks bercinta dengan Erebos dan melahirkan Aither (Langit Atas) dan Hemera (Siang). Tanpa pasangan pria (partenogenesis), Gaia melahirkan Uranus (Dewa Langit) dan Pontos (Dewa Laut). 

Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka, terlahirlah para Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria, yaitu Koios, Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan Okeanos, serta enam Titan wanita, yaitu Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dan Tethis. 

Karena satu dan lain hal Gaia berselisih pandang dengan Uranus yang mengisolasi anak-anak mereka yang buruk rupa (Cyclops, raksasa bermata satu). Gaia murka dan meminta Kronos menyiksa ayahnya yang "kabur" dari kenyataan dan tak ingin terperangkap oleh keadaan. Karena Uranus dianggap Kronos--anaknya sendiri, sebagai pengecut, maka Kronos memotong penis Uranus. 

Maka setiap kisah mitos pastilah mencemari Daidalos... beratnya menanggung derita dunia yang menua dengan begitu banyak noda nista dan begitu banyak semburan ludah berbisa dari kata-kata beracun yang mematikan.

Sumber gambar:

Minggu, 03 November 2019

Kamu, Kesalahan yang Harus Aku Hapus (Cegah Depresi dengan STOP)


Oleh Duddy Fachrudin

Tidak dipungkiri setiap manusia pernah berbuat alpa. Kesalahan di masa lalu kerap kali menghantui dan menjadikan individu merasa bersalah berlebihan.

Akhirnya timbul penilaian-penilaian negatif yang menjerumuskannya ke dalam penjara pikiran.

Aku merasa tidak berguna.
Masa depanku suram.
Kehidupan ini adalah kesunyian tak berujung.

Depresi dicirikan oleh pandangan negatif terhadap diri, masa depan, dan juga dunia. Oleh Mbah Aaron T. Beck tiga perspektif itu disebut Negative Triad.

Maka saat salah satunya terlintas dalam pikiran kita, lakukanlah STOP:

S: Stop, lakukanlah pause atau jeda. Diam sejenak untuk tidak melakukan apa-apa. Hal ini meminimalisir dari berbuat reaktif.

T: Take a breath, tarik napas, amati dan sadari udara yang masuk dan keluar. Berikan perhatian penuh (mindful) pada napas.

O: Observe, amati pikiran yang muncul. Misal Negative Triad itu muncul kita berkata: "oh ada pikiran saya yang mengatakan bahwa saya tidak berguna". Mengijinkan pikiran itu hadir tanpa penilaian. Lama-lama pikiran itu akan menghilang dengan sendirinya.

P: Proceed, lanjutkan aktivitas, misal dengan membuat teh atau kopi, atau sejenak berjalan kaki, atau berbicara dengan seorang kawan.

Maka tak perlu melarikan diri dari masa lalu kan. Praktikkan STOP dan berfokus menghapus bayang-bayang kamu (baca: masa lalu yang kelam) dengan melakukan berbagai kebaikan di masa sekarang dan selanjutnya.

Wa aqimis sholaata torafayin-nahaari wa zulafam minal-laiil, innal hasanaati yudz-hibnas-sayyi'aat, dzalikaa dzikroo lidzaakiriin. (QS. Hud: 114)

Mari peduli dengan kesehatan mental kita dan kesehatan mental orang lain.

Sumber gambar:

Selasa, 02 Oktober 2018

Mindful Diet: Rahasia Umur Panjang


Oleh Tauhid Nur Azhar

Seorang rekan baru saja berduka ketika neneknya yang berusia 89 tahun meninggal dunia. “Tetap saja sedih rasanya ketika melihat kursi jati tua di rumah nenek tak lagi ada yang mendudukinya, meski usia 89 tentulah relatif panjang bagi manusia,” begitu komentarnya ketika ia mengenang sang nenek tercinta.

Kisah berikutnya adalah ketika saya mengantarkan istri untuk melakukan foto keluarga seorang rekan yang tampaknya keturunan Indo-Belanda. Di beranda depan rumahnya duduk dengan tenang sang Oma yang ternyata telah berusia sangat lanjut, mendekati 90 tahun dan masih sangat bugar. Nenek saya sendiri ketika meninggal dunia berusia 87 tahun.

Apakah rahasia panjang umur mereka?

Sebuah penelitian yang dirilis di Jurnal Nature Genetics menunjukkan bahwa variasi dari gen TERC yang mengatur panjang telomer diduga mempengaruhi panjang usia. Sekurangnya 500 ribu variasi gen diamati untuk mendapatkan pola-pola genetika yang hanya terdapat pada mereka yang berusia relatif lebih panjang. 

Peneliti gabungan dari Belanda dan Inggris akhirnya menemukan pola variasi gen TERC yang diprakirakan membuat seorang manusia memiliki umur biologis lebih panjang 3-4 tahun. 

Nilesh Samani seorang profesor kardiologi dari Leicester University yang terlibat dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa panjang telomer terkait dengan derajat resiko penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler dan kanker.

Telomer sendiri adalah bagian yang menyerupai jumbai atau ekor pada struktur kromosom yang akan terus memendek pada saat sel yang bersangkutan membelah diri (replikasi). 

Telomer memiliki urutan atau sekuen khas yang terdiri dari susunan nukleotida sebagai berikut: TTAGG. Fungsi utamanya adalah menjaga stabilitas kromosom saat terjadi proses pembelahan agar materi genetika yang terkandung di dalamnya tidak mengalami kecacatan penyandian. 

Penyakit degeneratif seperti jantung koroner ataupun kanker diketahui memang berawal dari adanya ekspresi protein abnormal yang diduga terkait erat dengan perubahan di tingkat DNA atau kromosomal. 

Dalam keadaan normal, panjang telomer dijaga dan dipertahankan oleh suatu enzim yang disebut telomerase. Gangguan produksi enzim telomerase diduga dapat mengakibatkan pemendekan struktur telomer yang pada gilirannya akan mengakibatkan proses penuaan dini (premature aging).

Secara spiritual kita pun dapat memetik hikmah yang indah dari peran telomer ini, yaitu bahwa umur manusia dan setiap sel yang terdapat di dalam tubuhnya memang telah ditetapkan dan ditakdirkan secara biologis (biological age). Meskipun memang dalam ranah kronologis (chronological age), dapat saja seseorang yang masih belia dalam konteks biologis justru meninggal dunia terlebih dahulu karena penyebab yang beragam mulai dari serangan penyakit akut sampai kecelakaan yang fatal.

Sumber gambar:
https://www.gulalives.co/negara-dengan-penduduk-yang-memiliki-usia-panjang/

Sabtu, 22 September 2018

Puisi: Anatomi Cinta


Oleh Duddy Fachrudin

Di sinilah aku
bertanya tentang rindu
yang terasa begitu saja
melewati ruang cinta

hadirmu

Di sinilah kamu
menemani jiwa yang rapuh
yang terdiam tanpa kata
merajutkan ruang makna

bisikmu

Hampir saja aku benar-benar buta
mencandu dunia yang tak pernah ada

Dirimu menenangkanku
menghangatkanku
menunjukkanku cara
menyusun anatomi cinta

Sumber gambar:
http://www.scotlandyardnews.com/what-a-drag-flavoured-e-cigarettes-could-be-toxic-to-your-heart-and-these-are-the-most-dangerous-offenders/966/

Selasa, 28 Agustus 2018

Merdeka dari Penjara Pikiran Melalui Puisi


Oleh Duddy Fachrudin

Puisi sudah menjadi suatu hal yang wajib ada dalam kelas atau sesi intervensi mindfulness. Ia adalah bahasa metafora yang membuat kita menjelajah ke dalam samudera untuk merajut makna. Puisi pula yang melunakkan jiwa-jiwa yang keras, yang belum merdeka dari belenggu rasa dan penjara pikiran.

Maka, karena itu pula Mark Williams, seorang psikolog klinis dan salah satu penulis buku "Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression" melantunkan Hokusai Says karya Roger Keys dengan indahnya di sebuah channel youtube.

Hokusai says Look carefully.
He says pay attention, notice.
He says keep looking, stay curious.
He says there is no end to seeing.
He says Look Forward to getting old.
He says keep changing, you just get more who you really are.
He says get stuck, accept it, repeat yourself as long as it’s interesting.
He says keep doing what you love.
He says keep praying.

He says every one of us is a child, every one of us is ancient, every one of us has a body.
He says every one of us is frightened.
He says every one of us has to find a way to live with fear.
He says everything is alive –shells, buildings, people, fish, mountains, trees.

Wood is alive.
Water is alive.

Everything has its own life.
Everything lives inside us.

He says live with the world inside you.
He says it doesn’t matter if you draw, or write books.

It doesn’t matter if you saw wood, or catch fish.
It doesn’t matter if you sit at home and stare at the ants on your veranda
or the shadows of the trees and grasses in your garden.

It matters that you care.
It matters that you feel.
It matters that you notice.
It matters that life lives through you.

Contentment is life living through you.
Joy is life living through you.
Satisfaction and strength is life living through you.
Peace is life living through you.

He says don’t be afraid.
Don’t be afraid.

Look, feel, let life take you by the hand.
Let life live through you.

Puisi menyembuhkan sekaligus menumbuhkan hati yang telah larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Ia mengikis kecemasan serta kekhawatiran. Dan meneduhkan jiwa yang sedang gundah tak tentu arah.


Maka, kami merayakan diri melalui puisi.

Sebuah kedai kopi menjadi saksi, bahwa kami telah melepaskan diri dari penjara pikiran. Memproklamirkan kemerdekaan untuk kembali menjadi manusia sesuai fitrahnya. Dimana kejernihan hati dan pikiran diutamakan untuk bertualang di jalan kehidupan.

Kesabaran dan kebersyukuran, serta cinta kasih sebagai landasan bertindak dengan kesadaran. Dan tentu ikhlas menerima apapun yang terjadi dan menghadapi yang akan terjadi.

Kami ikhlas menjalani saat ini, di sini.

Sumber gambar:
Kak Oka Ivan dan 372 Dago Pakar

Senin, 25 Juni 2018

Cara Sederhana Mengatasi Insomnia (Bagian 2, habis)


Oleh Duddy Fachrudin

Saya menyarankan cara sederhana untuk mengatasi sulit tidurnya.

Pertama, melakukan mindful breathing.

Teman saya seorang perawat sehingga tidak menemui kesulitan ketika saya mengajarkan mindful breathing. Ia dapat mempraktikkannya dengan mudah.

Mindful breathing merupakan latihan sederhana dengan memfokuskan perhatian pada napas. Waktu yang dibutuhkan untuk berlatih ini tidak banyak, yaitu 3-5 menit saja. Untuk kasus insomnia, mindful breathing dapat dilakukan minimal dua kali sehari, dengan menekankan latihan pada siang dan malam hari.

Kedua, berlatih body-scan meditation.

Latihan favorit saya ketika kondisi tubuh sangat lelah dan pikiran mengambara ke mana-mana. Cukup merebahkan diri di kasur atau matras lalu memberikan perhatian pada tubuh dari ujung kaki hingga ujung rambut. Menyadari keberadaan tubuh, merasakannya, lalu menerimanya.

Kadang disaat berlatih body scan meditation, kita dapat mendengarkan tubuh kita berbicara. Kita cukup mendengarkannya dengan penuh kesadaran.

Waktu terbaik untuk berlatih body scan adalah malam hari. Bersihkan kasur (kebas dengan sapu lidi), meng-off-kan smartphone, matikan lampu, lalu berlatih secara alami dan mengalir.

###

Tiga hari kemudian teman saya menyampaikan ia sudah bisa tidur pulas. Ia menceritakan kedua teknik tersebut sangat membantu. Bahkan kemudian ia mendapatkan insight yang begitu mencerahkan.

Teman saya menuturkan selama ini ia seringkali bermain handphone ketika sepulangnya dari kantor. Pikirannya mengatakan, "Saya sudah kerja siangnya, maka saya boleh dong main dulu sebelum tidur." Ternyata self-talk tersebut dikabulkan oleh tubuhnya. Nyatanya ia masih merasa bugar ketika malam hari meskipun sudah bekerja seharian dan menempuh perjalanan 3 jam pulang pergi dari rumah ke kantor dan sebaliknya.

"Saat membutuhkan tidur, saya justru sulit tidur, ya mungkin karena kata-kata saya itu," ujarnya.

Sadari. Terima. Maafkan.

Untuk hidup kita membutuhkan tidur.

<<< halaman Sebelumnya

Sumber gambar:
https://www.whateverison.com/researchers-have-found-the-reason-behind-increasing-insomnia/

Senin, 04 Juni 2018

Cara Sederhana Mengatasi Insomnia (Bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin

"When you have insomnia, you're never really asleep, and you're never really awake."
(Fight Club Quotes)

Pagi-pagi sekali rekan kerja saya menghampiri saya dan berkata, "Mas, nanti aku mau curhat ya."

Sekitar satu jam kemudian, ia benar-benar menghampiri meja saya. Wajahnya tampak kuyu dan matanya terlihat lelah. Duduk laki-laki itu dan tanpa basa-basi menceritakan masalahnya, "Saya nggak bisa tidur mas..."

Teman saya yang sehari-harinya menempuh hampir 80 km atau menghabiskan 3 jam perjalanan pulang-pergi rumah-kantor ini mengatakan bahwa ia tidak bisa tidur.

How come?, tanya saya dalam hati. Bukankah dengan bekerja selama 8 jam kemudian dilanjutkan perjalanan pulang 1.5 jam tubuhnya akan terasa lelah dan ketika melihat tempat tidur ia akan membaringkan badannya dan terlelap dengan pulas?

Pertanyaan itu pun terjawab melalui kisah yang dituturkannya kepada saya.

Beberapa faktor menjadi penyebab ia mengalami insomnia. Mulai dari permasalahan keluarga hingga asam lambung yang menyerang lalu menimbulkan perasaan cemas "tidak bisa tidur". Tubuhnya terbaring dan matanya terpejam, namun jiwa dan raganya tetap terjaga.

"Pernah tidur, tapi 1 jam kemudian bangun lagi. Jadi kalaupun berhasil tidur malam hanya 1 atau 2 jam," lanjut rekan saya.

Relaksasi dan hipnosis diri pernah dicobanya untuk mengatasi permasalahannya. Namun keduanya tidak berdampak apapun. Obat tidur pernah digunakan, tapi ketika obat tidurnya habis, ia menjadi stres sendiri. Ia lalu sadar obat tidur tidak akan menyelesaikan masalah dan juga punya efek samping.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:
https://www.whateverison.com/researchers-have-found-the-reason-behind-increasing-insomnia/

Senin, 28 Mei 2018

Berlatih Mindfulness itu Menantang (Pengalaman Berlatih Mindfulness)



Oleh Yulia Irawati

“You are, after all, what you think. Your emotions are the slaves to your thoughts, and you are the slave to your emotions.”
(Elizabeth Gilbert)

Gelisah, bosan, dan pikiran-pikiran itu selalu muncul.

Itulah hal yang saya rasakan selama 5 hari pertama berlatih mindfulness, khususnya meditasi mindfulness.

Saya seperti halnya Elizabeth Gilberth dalam Eat, Pray, Love yang belum bisa tenang saat berlatih meditasi pertama kali. Pikiran-pikiran itu bermunculan silih berganti mengisi ruang rasa. Semakin sering berlatih, justru pikiran-pikiran itu menyambangi lalu membuat saya menjadi emosi. Ya, seperti kata Liz di atas, emosimu adalah budak bagi pikiranmu. Dan kamu adalah budak bagi emosimu.

Berlatih mindfulness itu menantang.

Saya mengevaluasi bahwa saya belum bisa “meletakkan” pikiran-pikiran itu karena kondisi saat ini yang sering mengeluh dan menyalahkan diri sendiri serta lingkungan.

Maka meskipun belum merasakan manfaat yang signifikan saya melatihnya kembali—apalagi jika merujuk literasi, terdapat beberapa manfaat yang diperoleh setelah berlatih mindfulness.

Bisa dikatakan berlatih mindfulness membutuhkan kesabaran, tidak instan (termasuk ingin segera memperoleh manfaatnya), dan punya keinginan kuat. Seperti cerita kali ini:

Pada suatu pagi saya merasakan sakit pada bagian perut bawah, sampai saya tidak bisa melakukan apapun. Hal ini memang sering terjadi ketika saya merasakan stres. Saya lalu memutuskan untuk berlatih body scan meditation.

Ketika melakukan body scan memang rasa sakit itu semakin terasa sakit dan intens, bahkan sampai bagian pinggang pun ikut terasa sakit. Saya kemudian mencoba untuk menerima segala rasa sakit yang dirasakan dan membiarkan rasa sakit itu terus berada dalam tubuh saya.

Pikiran-pikiran mulai mendistraksi dan memerintahkan saya untuk berhenti latihan.

Namun, setelah beberapa kali mencoba untuk tetap fokus kembali pada napas dan menerima rasa sakit yang dirasakan pada daerah sekitar perut, sedikit demi sedikit saya merasa rileks dan nyaman. Sampai pada akhirnya rasa sakit itu mereda, kemudian hilang.

Sejak saat ini saya mulai merasakan manfaat berlatih mindfulness. Dan, meskipun saya berada dalam kesadaran penuh saat berlatih, saya harus bisa rileks. Itu kuncinya.

Dari semua jenis latihan mindfulness, yang paling saya sukai yaitu mindful breathing. Dengan latihan sederhana ini saya lebih merasa mampu untuk mengarahkan perhatian lebih terarah sehingga efek yang dirasakan lebih terasa. Rasa nyaman dan tenang itu hadir.

Ketika saya merasa lebih tenang, emosi saya tidak terlalu meledak-ledak dan lebih mampu untuk mengendalikan diri. Saya pun mulai belajar untuk menerima keadaan saya saat ini. Menerima bahwa semua yang saya jalani dalam kehidupan ini adalah sebuah proses pembelajaran.

Sumber gambar:
https://www.lumimeditation.com/inhaleexhale/wandering-mind-in-guided-meditations/

Kamis, 17 Mei 2018

Melakukan Dengan Rasa, Bukan Karena Tuntutan (Pengalaman Berlatih Mindfulness)

Melakukan dengan Rasa

Oleh Sinka Mutasia

Saya tidak menyangka akan mendapatkan suatu sensasi, pengalaman, serta pembelajaran yang berharga ketika mengikuti pelatihan mindfulness ini.

Awalnya, saya hanya meniatkan diri untuk belajar mindfulness karena kepentingan tesis saya. Namun, ternyata, i really need it for my personal development, lebih dari sekedar tesis.

Sebagai gambaran saya termasuk orang yang memiliki energi besar, emosi yang cenderung mudah meledak, serta memiliki target dan ambisi yang tinggi. Saya juga berusaha mengontrol atau mengendalikan kehidupan saya.

Tapi, selama ini ternyata yang saya sebut-sebut mengontrol, pada kenyataannya adalah “menekan” bagian lain dari diri saya tersebut.

Maka tak heran, jika di satu waktu ia meledak. Keluar bagaikan monster. Dan saya menjadi seseorang yang seringkali menakutkan bahkan menyebalkan.

Dengan alasan idealis dan kebaikan, saya memaksakan kehendak saya untuk orang lain. Lalu saya suka menuntut diri sendiri mencapai target yang tinggi. Namun saya sendiri tidak siap menerima kegagalan ketika ambisi itu tidak tercapai.

Tuntutan bukan hanya datang dari diri sendiri, Tuntutan dari lingkungan pun seringkali mengganggu apa yang sedang saya lakukan.

Hasilnya: pikiran saya mengembara kemana-mana, saya tidak mendapatkan apa-apa, yang saya lakukan tidak selesai, waktu untuk keluarga kurang berkualitas. Yang saya rasakan hanya lelah.

Akhirnya saya menjadi orang yang frustasi, malas menetapkan target, menjalani hidup apa adanya tanpa tujuan. Lalu seringkali menilai tentang salah benar dan berhasil atau gagal sebelum melakukan sesuatu.

Dalam mindfulness sendiri menetapkan target itu tidak salah, hidup dengan tujuan itu perlu, tapi dibalik itu kita juga sudah menyiapkan penerimaan terhadap kemungkinan adanya kegagalan atau hal di luar ekspektasi kita. Itu dia yang tidak saya lakukan—penerimaan, yang sebelumnya hanya diucapkan di bibir, tapi tidak di hati dan pikiran saya.

Disinilah saya mulai belajar menyadari sebuah proses perjalanan hidup dan menata langkah dengan lebih mindful dengan penuh rasa yang lembut, tidak terburu-buru, dan penerimaan. Dan saya mulai belajar menikmati perjalanan ini.

Ketika mulai berlatih mindfulness, semuanya diajarkan untuk disadari, dan benar-benar merasakan apa yang kita lakukan sekarang.

Saya baru benar-benar merasakan kaki saya berpijak pada bumi, benar-benar berpijak, merasakan sejuknya tanah, menggelitiknya rumput, ranting-ranting dan buah pinus yang berjatuhan.

Dengan fokus pada apa yang saya dengar, saya menerima pikiran-pikiran yang datang, menaruhnya sejenak dan kembali pada apa yang saya kerjakan.

Lalu mendengar (kembali) sekeliling saya, mengatur nafas, merasakan udara yang saya hirup bersamaan dengan semilir angin juga suara-suara.

Kemudian benar-benar merasakan asamnya kismis dan tomat yang ternyata tidak seasam yang saya bayangkan.

Mengembangkan hidup yang mindful sungguh indah. Dan saya benar-benar bersyukur bisa mempelajari hal ini.

Hal terindah lainnya, yaitu dengan saya menerima permasalahan saya, maka itu terasa menjadi lebih ringan di pundak. Pikiran saya tidak semerawut seperti benang-benang kusut. Dan sekarang saya lebih mudah menelusurinya.

Kini, saya memperbaiki niat saya kembali ketika melakukan sesuatu. Berusaha untuk melakukannya dengan segenap perasaan saya dan menikmati tiap prosesnya. Berhenti sejenak jika ada pikiran bahkan penilaian yang mengganggu. Memberinya ruang untuk dipahami dan mengerti, kemudian biarkan ia menunggu sejenak disana. Dan saya kembali mengerjakan dan fokus apa yang sedang saya jalani sekarang.

Menikmati setiap jengkal proses perjalanan ini, menyadari dan menerima setiap permasalahan yang ada. Semua ini membuat hidup saya lebih bermakna, lebih bisa menjalani dan menikmati waktu serta peran dalam keluarga.

Pada akhir pelatihan, fasilitator yang mengajarkan kami mindfulness berpesan, “Lakukanlah, selesaikanlah... karena memang kita ingin menyelesaikan dengan seluruh perasaan kita, bukan karena tuntutan.”

Sumber gambar:
http://www.newsweek.com/2015/05/08/prosthetics-can-feel-thanks-science-touch-325752.html

Kamis, 10 Mei 2018

Belajar untuk Menerima... Belajar untuk Melepas (Pengalaman Berlatih Mindfulness)

Menerima dan Melepas

Oleh Prinskasastri

“Salah saya apa? Apakah saya seburuk itu?

Bagai radio rusak, saya mengulang-ulang pertanyaan itu sendiri.

Sejak akhir tahun 2017, karena sebuah peristiwa, pikiran saya mengembara kemana-mana. Kekhawatiran berlebih akan masa depan dan ketakutan masa lalu terulang terus terngiang di kepala saya.

Saya menyadari kondisi emosi saya tidak dalam kondisi yang bagus. Saya tidak bahagia. Bahkan, saya sering menyalahkan diri saya sendiri dan orang lain yang menyebabkan kondisi saya seperti ini.

Saya marah. Saya sulit menerima kenyataan. Lalu maaf pun enggan memancar dari hati saya.

Energi saya habis. Asam lambung saya naik. Saya lelah.

Saya lelah karena selama ini telah menghukum diri saya dengan pikiran-pikiran saya sendiri. Dan saya belajar untuk pasrah. But how?

Sampai suatu hari karena tanggungjawab untuk mengerjakan tesis, saya mencari terapi yang tepat, yang bukan hanya bermanfaat bagi subjek penelitian saya, tapi juga bagi saya pribadi. Akhirnya saya menemukan mindfulness melalui teman-teman saya, media sosial, jurnal psikologi, dan blog beberapa praktisi mindfulness.

Di titik inilah saya mulai belajar mindfulness.

Mencerna konsep mindfulness dari berbagai media tidak mudah bagi saya. Untungnya, bagai mestakung, beberapa teman saya di Magister Psikologi Profesi UNISBA memiliki minat yang sama untuk belajar mindfulness. Alih-alih hanya belajar dari jurnal, buku, dan media lainnya, kami memutuskan untuk belajar mindfulness pada Kang Duddy, yang juga alumni Psikologi UNISBA, praktisi mindfulness, dan pernah melakukan penelitian mindfulness sebelumnya.

Dua hari pertama belajar mindfulness merupakan tantangan yang sangat berat bagi saya. Hal ini menjadi menantang karena selama ini saya tidak menyadari bahwa saya ternyata begitu menikmati kondisi masa lalu saya. Dan saya juga menikmati kondisi ketakutan akan masa depan. Saya lupa untuk hidup sepenuhnya di masa sekarang.

Beberapa kali melakukan meditasi duduk, saya semakin menyadari bahwa pikiran saya penuh dengan kondisi di masa lalu saya. Saya biasanya menolak dan memilih mengabaikan pikiran-pikiran yang tidak menyenangkan. Mencoba menerima dan berdamai dengannya adalah suatu hal yang baru.

Setelah dua hari kami pelatihan, saya berlatih menerapkannya sendiri di rumah. Sudah satu minggu ini saya berlatih dan praktik ini memang menjadi tugas kami sebelum kami belajar mindfulness lagi pada dua hari berikutnya.

Perubahan yang terjadi yang saya rasakan adalah energi saya yang biasanya cenderung cepat lelah semakin lama semakin baik setiap harinya. Saya sedikit demi sedikit mulai menyadari emosi yang muncul dalam diri tanpa mengabaikannya. Terkadang saya masih bersikap reaktif dalam menghadapi segala sesuatu. Namun, saya berniat untuk terus belajar dan berlatih mengembangkan hidup mindfully.

Ya. Belajar untuk menerima dan melepaskan pikiran-pikiran yang mengembara, serta hidup sepenuhnya saat ini dan di sini.

Sumber gambar:
http://www.pilgriminprada.com/the-power-of-letting-go/

Kamis, 03 Mei 2018

Definisi Mindfulness: Mindfulness Adalah...


Oleh Duddy Fachrudin

Mindfulness itu apa?

Pertanyaan tersebut biasa saya tanyakan kepada para peserta yang sedang belajar mindfulness bersama saya. Loh, mereka datang-datang dan ingin belajar mindfulness malah ditanya balik. Uniknya dari pertanyaan itu beragam jawaban muncul:

"Mindfulness itu berkaitan dengan kesadaran"

"Menikmati"

"Merasakan"

"Menghayati"

"Fokus"

"Hadir sepenuhnya"

"Meditasi"

Dan jawaban-jawaban lainnya.

Menjelaskan mindfulness tidak semudah mengutip definisi yang ada pada buku teks lalu memaparkannya kepada orang lain. Hal ini karena mindfulness merupakan konsep yang integrated. Mindfulness ya kesadaran, sekaligus hadir sepenuhnya, menikmati, dan sebagainya. Namun dari semua itu mindfulness berawal dari kemampuan individu dalam memberikan atensi atau perhatian.

Lalu, perhatian yang seperti apa yang dikatakan mindful?

Apakah dengan kita memberi perhatian kepada laki-laki yang rupawan atau perempuan jelita bisa dikatakan itu adalah suatu aktivitas mindful?

Dan suasana pun menjadi hening.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://intergifted.com/mind-full-mindful-mindfulness-gifted-new-workshop-dr-kelly-pryde/

Minggu, 11 Maret 2018

Aku Jatuh Cinta (A Mindful Journey)

Eiffel Tower

Oleh Duddy Fachrudin

Tanggal 2 April 1770, Johann Wolfgang von Goethe tiba di Strasbourg untuk melanjutkan studi ilmu hukum dari Universitas Leipzig ke Universitas Strasbourg. Ia berada di sana selama 1 tahun 4 bulan. Pada masa yang singkat tersebut, Goethe jatuh cinta pada seorang gadis, anak dari seorang pastur bernama Friederike yang dikenalnya di desa Sesenheim. Goethe kemudian menuliskan perasaannya pada sebuah sajak di atas: Liebesgedichte für Friederike, Sajak Cinta untuk Friederike.

Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu
Aku hanya melihat wajahmu sekali saja
Aku memandang di matamu sekali itu
Akan membebaskan hatiku dari semua derita
Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu


Strasbourg bukanlah Paris yang dikenal dengan kota cinta—kota para pecinta, tempat mereka mencari inspirasi dan cinta. Namun memang Strasbourg merupakan gerbang masuk ke Paris, jadi wajar aura-aura cinta sudah terasa oleh Goethe, walaupun ia tidak berada di Paris. Begitulah Paris dengan pesona cintanya disamping berbagai mahakarya seni dan arsitektur indahnya menggoda manusia untuk mengunjungi kota tersebut.

Bagaimana jika kita berandai-andai dan mengaktifkan imajinasi untuk pergi ke Paris, mencari sesuatu, pemikiran, dan cinta? Baiklah kalau begitu, biarkan aku yang memulainya:

Pagi itu aku melangkah menuju sebuah menara berketinggian 300 meter. Menara tersebut disusun dari 15 ribu keping metal yang dipateri menjadi satu. Beratnya mencapai 7 ribu ton serta bertumpu pada empat kaki penyangga dengan fondasi dasar dari beton. Gustave Eiffel membangunnya pada tahun 1889. Akhirnya aku sampai dan kemudian naik lift hingga puncak Eiffel dan melihat dengan indahnya pemandangan kota Paris. Di situ pula aku memulai kontemplasi tentang kehidupan dan cinta.

Sesaat aku memikirkan kehidupanku: kuliah, kerja, dan cinta. Hal terakhir ini yang memang ingin aku cari. Terlihat di jalanan para pasangan yang saling bergandengan tangan, berpelukan, mesra. Di antara mereka, pasangan berusia madya: pria bermantel coklat dan wanita bersyal merah yang paling membuatku tertegun. Ketika aku melewatinya, terlihat wajah wanita itu pucat dan tangan kiri pria memeluk hangat pasangannya itu. Mungkin, wanita itu sedang sakit, ujarku dalam hati, dan sang pria dengan setia mengantar wanitanya pergi ke mana pun pergi.

Kemudian aku memandangi sebuah keluarga: ayah, ibu, dan 3 orang anak bercanda ria ketika aku mampir sejenak di restoran Les Deux Magots, tempat di mana Sartre, Beauvoir dan Camus biasa berdiskusi. Aku keluar dari Les Deux Magots sambil membayangkan bagaimana keluargaku nanti: istri dan anak-anakku. Aku kemudian menuju sebuah katedral, duduk di bangku taman, dan mengambil sebuah buku dari ranselku: Notre-Dame de Paris: 1482. Tahun 1831 Victor Hugo menulis novel yang mengisahkan katedral Notre-Dame yang ada di depanku. Aku memandanginya lama, indah.

Hari mulai tenggelam. Matahari segera menghilang. Aku kembali berjalan dan berhenti di sebuah taman, lalu duduk. Kemudian aku membaca Rousseau berjudul Walden. Buku ini yang menginspirasi behavioris BF Skinner untuk menulis Walden II, kisah tentang masyarakat impian yang teratur oleh postulat-postulat behavioristik. Sambil membaca aku membayangkan Indonesia, tanah air yang bisa dibilang jauh dari harapan Rousseau dan Skinner dalam bukunya.

Matahari benar-benar ingin lenyap, sudah condong ke barat. Aku mulai bergegas. Sebelum pergi dari taman, aku membaca Liebesgedichte für Friederike. Perlahan kata demi kata aku baca: Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu... Aku hanya melihat wajahmu sekali saja... Aku memandang di matamu sekali itu... Akan membebaskan hatiku dari semua derita... Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu. Sajak yang benar-benar menyentuh hati.

Sayang, setelah Goethe memperoleh gelar dari Universitas Strasbourg, ia menemui Friderike untuk yang terakhir dan kembali ke Frankrut. Friederike menyangka bahwa Goethe akan kembali ke Strasbourg, namun ternyata tidak. Kemudian ia memberinya surat perpisahan kepada Goethe yang sangat membuatnya sedih: Jawaban surat perpisahan dari Friederike mengoyak hatiku... Aku sekarang baru pertama kali merasa kehilangan... Begitulah ekspresi kesedihan Goethe yang tertuang dalam tulisannya.

Aku menutup Liebesgedichte für Friederike, membuka roti dan memakannya, sambil memandangi taman yang dipenuhi para pasangan. Mereka mengobrol dan bercanda. Rotiku habis dan matahari sudah tenggelam. Lampu taman menyala jingga membuat suasana menjadi semakin romantis. Aku menengok ke sebelahku: tak ada siapa-siapa. Tak ada cinta yang bisa diajak berbagi, layaknya para pasangan itu. Aku melamun: seseorang... siapakah seseorang yang akan berada disampingku, menemani duduk di taman sambil makan roti dan membaca sastra? Aku kemudian teringat sebuah lirik lagu berjudul Tentang Seseorang yang melantun indah di film Ada Apa Dengan Cinta:

Cinta hanyalah cinta
Hidup dan mati untukmu
Mungkinkah semua tanya kau yang jawab

Dan tentang seseorang
Itu pula dirimu
Ku bersumpah akan mencinta


Tek.. tek.. tek.. Aku membuka mata, melihat jam weker berdetak yang terletak di sebelah monitor komputerku. Pukul 3.30 pagi. Mimpi. Aku bermimpi. Aku masih terbengong-bengong setengah sadar, mencoba merangkai kembali mimpiku.

Aku bangun dari kasurku, berjalan menuju pintu, membukanya. Kunyalakan lampu kamar mandi, lantas kubasahi wajahku yang kusut, lalu berwudlu, segarnya air pagi. Lalu kugelar sajadah, kupakai pakaian terbaikku. Allahu Akbar... dalam keheningan aku bersujud dan bersyukur. Mungkin inilah jawaban dari-Nya tentang pertanyaan yang ada dalam mimpiku yang akan membebaskan hatiku dari semua derita kehidupan. 

Referensi:
Susanto, S. (2005). Menyusuri Lorong-lorong Dunia. INSISTPress: Yogyakarta.

Sumber gambar:
https://easytripguide.com/trip-to-pairs-experience-boat-tour-in-paris/

Selasa, 13 Februari 2018

Ketika Cinta Akhirnya Merubah Segalanya (Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 6, Habis)

Miracle of Love

Oleh Duddy Fachrudin

Artikel sebelumnya : Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 5

Kang Tauhid Nur Azhar kembali melanjutkan kisahnya:

"Jika setidaknya kehadiran saya dapat membahagiakan orang-orang terdekat yang jelas dan nyata membesarkan saya dengan cinta dan keikhlasan yang luar biasa, mengapa saya tidak berlaku sama dengan mereka? Bahkan lebih semestinya, meski kini saya sadar sepenuhnya bahwa itu pasti tidak bisa.

Setiap cinta punya kualitas yang berbeda. Walhasil saya seperti melihat sedikit harap. Ada lorong cahaya sempit dimana berkas cahaya berpendar di ujungnya. Usai sholat Ashar saya tertidur dalam posisi bersandar di dinding kamar yang panas. Sebentar saja. Nyaris tak terasa. Momen theta singkat mungkin. Bling-bling begitu rasanya.

Dan saya mulai membuka tumpukan modul yang bertahun-tahun menemani dan tidak bisa dimengerti. Lalu saya melihat huruf-huruf dan gambar struktur tubuh serta berbagai rumus seolah menari dalam pusaran cahaya. Telinga saya mendengar ada alunan nada lembut berintensitas rendah dan di latarnya terdengar suara beberapa dosen yang tengah bercerita saat mengajar.

Tetiba semua itu terserap dalam otak saya. Dan believe or not, saya kemudian paham.

Setelah tahun-tahun kegelapan yang membuat saya berjalan hanya dengan meraba saja, kini seolah saya dilempar ke dalam sebuah ruangan bercahaya.

Rupanya selama ini memori itu ada. Tersimpan di sudut terjauh dan terbalut debu kegelisahan yang tak berkesudahan. Lampu-lampu harapan yang semula berpijar mulai padam dan tertelan dalam kelam. Tapi kini cinta membuat segalanya menjadi nyata. Debu gelisah mulai tersaput oleh Rahmah dan setumpuk rasa bersalah mulai basah oleh sejuknya mata air kenangan kasih sayang yang telah begitu banyak orang-orang tercinta curahkan.

Tetiba saya mengerti hampir semua pelajaran yang telah saya lalui.

Dan ujian 9 mata kuliah dalam 2 hari itu berhasil saya lalui. Lulus.

Pak Dekan mengatakan bahwa keajaiban telah terjadi. Dunia telah mendapatkan keajaiban katanya. Jawa Tengah tidak hanya memiliki Borobudur. Tapi juga ada semangat pantang mundur yang ajaibnya tidak hanya dimiliki oleh diri sendiri, melainkan dapat ditularkan kepada kita semua. Demikian kata beliau.

Sejak saat itulah hingga hari ini saya "jatuh cinta" pada beliau, orang yang sangat saya hormati. Beliaulah yang mengangkat saya sebagai Dosen PNS di FK Undip bukan karena prestasi akademis saya, melainkan karena beliau ingin menunjukkan pada adik-adik angkatan bahwa perubahan bisa datang dari niat dan cinta.

Karena niat dan cinta itu pulalah saya mendapat beasiswa QUE Project dari World Bank. Dan kembali saya ternganga tak menduga karena Chicago University, Brown, George Washington, Harvard-MIT, sampai Anchorage University di Alaska mengundang saya untuk bergabung dengan mereka sebagai Ph.D student. Apa yang mereka nilai dari saya?

Sampai sekarang saya terus bertanya-tanya... mungkin ini yang namanya mindful living ya?

Who knows?"

Kisah dari Kang Tauhid Nur Azhar yang merupakan lulusan FK Undip menutup artikel "Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran". So, apa yang bisa diterapkan dari cara-cara sederhana dalam mindful learning agar Anda ketagihan belajar?

Sumber gambar:
https://www.yogajournal.com/lifestyle/6-wise-new-years-intentions

Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (Bagian 5)

Cinta, suatu hal yang mengalahkan segalanya...

Oleh Duddy Fachrudin

Cara terakhir dalam mindful learning untuk mahasiswa kedokteran, tiada lain adalah mengembangkan cinta.

Kelima, Cinta.
Segalanya akan mudah jika ada cinta, termasuk bagi mahasiswa kedokteran yang "diminta" orangtuanya untuk menjadi dokter. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ijinkan saya mengisahkan cerita yang sangat inspiratif dari Kang Tauhid Nur Azhar yang merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Undip berikut:

"Konsep ini (Cinta) meski dulu saya tidak tahu namanya pernah saya terapkan di masa studi saya. Saya pernah begitu terkejut dan terpuruk dengan cara belajar di Fakultas Kedokteran yang sangat berat dan kompetitif serta tidak memberi ruang bagi kesalahan dan kelemahan. Akibatnya saya nyaris frustasi di 2 semester pertama. IPK saya 1.9. Malah semester 1 cuma 1.4. Nilai E dan D bertaburan layaknya bintang di langit.

Memang bukan hanya saya aja sih, sekitar 60% teman seangkatan bernasib sama. Kami golongan Nasakom yang kemudian termarjinalkan dalam kompetisi percaperan pada teman seangkatan dan adik kelas. Cewek-cewek yang jadi idola saat itu nilainya juga nilai langit semua. Maklum mereka kan bidadari ya. Kami mengulang hampir semua pelajaran dan para Dewi melenggang ke kelas yang lebih tinggi.

Kemudian pada semester 4 ada proses saringan pertama yang disebut Terminasi. Jika gagal melewatinya dengan IPK 2.00 maka selamat tinggal bidadari FK. Para Terminator, demikian sebutannya memang dapat kesempatan untuk memperbaiki nilai-nilainya. Maka pada semester 4 adalah masa yang paling berat. Daya hidup merosot. Apakah pilihan saya masuk FK (yang merupakan pilihan orangtua) ini sudah benar?

Akhirnya tibalah D-Day yang menentukan nasib Terminator, yudisium PPD (Program Pendidikan Dasar). Nama saya dibacakan terakhir karena ternyata saya tidak lulus 9 mata kuliah.

Ada 1 kesempatan terakhir yang diberikan kepada semua Terminator, yaitu ujian Remedial yang akan diselenggarakan dalam waktu 2 hari. Ya, apapun mata kuliahnya yang tidak lulus, maka Remedial hanya tersedia di 2 hari itu saja.

Saya terhenyak, seperti semua teman-teman yang hadir saat itu. Mereka menatap saya dengan prihatin, "Bagaimana mungkin dia menyelesaikan ujian 9 mata kuliah dalam 2 hari dan lulus?"

Saya hanya terdiam. Beringsut ke ruang yudisium dan pulang. Di rumah masuk kamar dan sholat Dhuhur lalu berkemas dan membereskan semua baju dan buku. Menatap sekeliling kamar yang telah ditempati sekitar 2 tahun dan mulai memikirkan rencana mencari sekolah yang baru.

Terbayang wajah Ayahanda dan Ibunda yang begitu bangga saat nama saya diumumkan diterima di FK Undip yang saat itu tengah berjaya di Indonesia. Padahal sebenarnya, saya sedikit kecewa karena saya sudah diterima di IPB dan merasa pilihan FK ini sekedar memenuhi kehendak orangtua. Namun kemudian, dari titik itulah saya sadar bahwa pilihan dalam hidup itu bukan soal membuat kita bahagia, tetapi akan jauh akan jauh berkualitas rasa bahagia itu jika kita juga bisa membahagiakan orang lain. Apalagi jika  mereka adalah orang-orang yang sangat mencintai kita dan juga kita cintai.

Saat itu berkelebat dalam benak saya, "Saya ini hidup untuk siapa dan untuk apa? Jika saya hidup untuk saya, betapa kecil dan sempitnya dunia saya."

Bersambung ke bagian akhir dari Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran di sini.

Sumber gambar:
http://contemplative-studies.org/wp/index.php/2017/08/02/improve-self-compassion-with-loving-kindness-meditation/

Senin, 05 Februari 2018

Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (Bagian 3)

Stillness (Ilustrasi)

Oleh Duddy Fachrudin

Dag dig dug perasaan tak menentu, sementara pikiran melayang jauh ke masa depan. "Bagaimana jika ujian saya gagal. Bagaimana jika saya tidak bisa menjadi dokter. Bagaimana, jika orang tua kecewa..."

Meskipun sudah berniat dalam hati untuk belajar lalu mengembangkan rasa penasaran (beginners mind) sambil menunjukkan mata melotot yang berbinar-binar pada bahan bacaan atau materi kuliah, ternyata hati ini tidak bisa dibohongi. Hati resah dan gelisah penuh dengan ketakutan serta kegagalan. Maka perlu adanya investigasi hati dan pikiran selama belajar. Apakah kita belajar dengan nyaman dan mindful, ataukah bercampur dengan gelisah dan gundah gulana?

Disinilah perlunya cara sederhana yang ketiga dalam mindful learning agar kita ketagihan belajar, tanpa stres, dan tentu saja mendapatkan nilai yang diharapkan. Cara yang pertama di bahas di sini dan cara yang kedua bisa dibaca di sini.

Ketiga, mindful breathing.
Pikiran-pikiran itu muncul begitu saja tanpa pernah diminta keluar si empunya. Mengembara jauh ke masa lalu, masa depan berselimutkan rasa takut, khawatir, cemas, dan kegagalan. Sampai akhirnya memenjarakan niat yang tulus untuk belajar dan rasa penasaran yang membuncah ruah. Inilah mind wandering yang sering menjumpai kita. Padahal pikiran-pikiran tersebut merupakan ciptaan kita sendiri atas intervensi mahluk yang iri dengki terhadap manusia, yaitu siapa lagi jika bukan syaithan.

Maka tersurat dalam Al-Qur'an pada surat pamungkas, yaitu An-Nas yang berarti manusia, dijelaskan keadaan manusia yang senantiasa berdoa memohon perlindungan dari hal yang sangat membahayakan. Apa itu?

min syarri lwaswaasi lkhannaas
dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi

alladzii yuwaswisu fii shuduuri nnaas
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia

mina ljinnati wannaas
dari (golongan) jin dan manusia
(QS. An-Nas: 4-6)

Inilah tantangan manusia, khususnya kita yang sedang mencari ilmu akan senantiasa digoda oleh bisikan-bisikan (pikiran-pikiran) yang mendistraksi proses belajar. Saat hal itu terjadi yang perlu dilakukan oleh kita adalah diam dan melakukan mindful breathing.

Ya, hanya diam sejenak kemudian bernapas dengan lembut. Lakukanlah sambil duduk, sehingga cara ini disebut DuDi: Duduk Diam atau bahasa kerennya being still. Semakin diam seseorang, maka ia mengijinkan dirinya untuk berada pada suatu sistem sempurna. Dalam termodinamika, sistem sempurna hanya terjadi ketika entropi bernilai sama dengan nol. Entropi adalah derajat ketidakteraturan pada sebuah sistem. Dan pikiran kita adalah sebuah sistem yang sangat kompleks. Maka dengan diam, kita mengijinkan pikiran kita dalam kondisi still, hening, jernih, dan bening.

Saat pikiran jernih, kita akan lebih mudah memahami ilmu, termasuk ilmu kedokteran yang tergolong sulit, yang didalamnya terdapat banyak istilah rumit yang membuat kepala melilit. Maka kita tidak perlu berkelit dari kesulitan, karena sesungguhnya dibalik itu semua ada kemudahan.

Tiga cara sederhana dalam mindful learning, khususnya untuk mahasiswa kedokteran telah dijabarkan. Apakah cukup hanya tiga cara ini? Dua cara lainnya akan dibahas ditulisan berikutnya.

Bersambung ke Mindful Learning untuk Mahasiswa Kedokteran (Bagian 4)

Sumber gambar:
https://www.guidingpositivechange.com/single-post/2017/04/02/Illness-to-Stillness

Selasa, 19 Desember 2017

Seandainya Kim Jong-hyun Suka Mendaki Gunung Seperti Gie...

Jong-hyun dalam video klip "Lonely"

Oleh Duddy Fachrudin

Mungkin bunuh diri itu tak akan terjadi. Dan fans K-Pop, khususnya Oppa Jong-hyun tetap menikmati karya-karyanya. Mungkin.. jika Kim Jong-hyun menjadi seorang Soe Hoek Gie, ia juga tidak akan kesepian seperti ungkapannya dalam lagunya:

Baby I’m so lonely so lonely
Baby I’m so lonely so lonely
Sayang aku sangat kesepian sangat kesepian
나도 혼자 있는 것만 같아요
Nado honja issneun geosman gatayo
Aku merasa seolah aku sendiri
그래도 너에게 티 내기 싫어
Geuraedo neoege ti naegi silheo
Aku tak ingin kau mengetahuinya
나는 혼자 참는 게 더 익숙해
Naneun honja chamneun ge deo iksukhae
Aku sudah terbiasa memendamnya



Pada masanya, Soe Hoek Gie boleh dibilang setenar Jong-hyun, namun dalam domain yang berbeda. Gie terkenal karena ia seorang aktivis yang vokal terhadap situasi politik dan sosial yang terjadi di Indonesia pada periode 1960-an serta seorang pecinta alam yang sering mendaki gunung. Sementara vokalis SHINee tersebut seorang bintang K-Pop di era milenial. Selain tenar, keduanya memiliki persamaan, yaitu sama-sama meninggal di bulan Desember karena menghisap gas. Gie meninggal pada 16 Desember 1969 karena terlambat turun dari puncak Mahameru dan menghisap gas beracun dari kawah Semeru, sementara Jong-hyun menghirup karbon monoksida hasil dari pembakaran briket batubara pada 18 Desember 2017 di apartemen yang disewanya.

Keputusan Jong-hyun untuk meninggal dengan bunuh diri tidak terlepas dari depresi yang dialaminya. Penyakit tak kasat mata ini ibarat monster pembunuh yang diam-diam mengintai penderitanya untuk akhirnya melakukan bunuh diri. Para artis lain seperti Chester Bennington dan Robin Williams pun menjadi korbannya. Maka tidak heran jika depresi, di masa ini hingga di masa depan menjadi salah satu dari 3 penyakit yang mematikan yang ada di dunia.

Namun, tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Artinya depresi pun dapat disembuhkan. Pada tahap awal penderita perlu mengenali gejala-gejala depresi seperti perasaan-perasaan tidak berharga, merasa bersalah yang berlebihan, pikiran-pikiran tidak layak hidup atau gagal dalam kehidupan, merasa sendiri, menjauh dari lingkungan sosial, sering kelelahan, sulit tidur/ insomnia, sedih dan murung berlarut-larut, hingga adanya percobaan bunuh diri. Psikolog atau dokter dapat membantu penderita untuk mengenali gejala-gejala tersebut.

Pada tahap berikutnya, penderita dapat belajar mengelola gejala-gejala tersebut agar tidak menjadi depresi. Banyak cara efektif yang bisa dilakukan, seperti halnya Dialectical Behavior Therapy (DBT), Cognitive Behavior Therapy (CBT), mindfulness, gabungan mindfulness dan CBT atau biasa disebut Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT), terapi yang melibatkan movement yaitu tai chi dan yoga juga efektif menangani depresi. Bahkan berjalan kaki pun dapat mengurangi depresi. Dengan tubuh kita bergerak maka energi pun ikut mengalir. Itulah mengapa jika kita merasa tidak nyaman dengan pikiran maupun emosi tertentu, berpindahlah, bergeraklah.

Dari aspek psikofisiologi, gerak dapat dikaitkan dengan produksi dopamin dan teraktivasinya sistem saraf otonom. Basal ganglia yang di dalamnya terdapat globus palidus, nukleus kaudatus, dan putamen, serta arkhistriatum sebagai bagian otak yang mengontrol dan menata gerakan mendapat sinyal dari area motorik dan mengirimkannya ke talamus lalu dari talamus dihantarkan ke korteks otak dan serebrum. Gerakan yang tertata hasilkan koordinasi yang indah. Malah, meskipun pada akhirnya seseorang merasa lelah karena bergerak, namun dibalik kelelahan itu semburat cinta endorfin dan oksitosin menenangkan tubuh dan pikiran.

Maka dengan naik gunung atau treking sesungguhnya dapat mencegah atau mengobati depresi. Dalam setiap langkah kaki yang menghujam mengalirlah segala pilu yang selama ini terpaku dalam pikiran. Sementara keindahan alam menjadi penampakan yang meruntuhkan segala kesedihan maupun ketidakberhargaan diri. Karena takjub, syukur pun melantun memenuhi kalbu dan cahaya kelembutan-Nya menyentuh relung jiwa. Canda tawa teman-teman sependakian menghadirkan makna mengenai hidup yang perlu dinikmati meski kadang dalam perjalanannya terasa berat karena beban ransel di punggung menggoyahkan keseimbangan. Full catastrophe living, begitu kata John Kabat-Zinn, segala penderitaan pasti hadir, namun kita tidak menyerah, melainkan mengalir bersama penderitaan itu hingga akhirnya hidup ini terasa menakjubkan.

Maka jika kau merasa kesepian, jelajahi dunia ini, menyatulah dengan perjalananmu, dan nikmatilah hingga akhirnya kau menemukan laguna yang indah.

Selamat jalan Oppa Jong-hyun.

Sumber gambar:
https://twitter.com/forever_shinee/status/856444299788955648

Sabtu, 08 April 2017

Efek Negatif dari Pikiran Mengembara


Oleh Duddy Fachrudin

Pikiran yang mengembara identik dengan melamun, tidak fokus, dan pikiran itu tidak berada pada saat ini. Pikiran tersebut kembali pada masa lalu atau melayang jauh ke masa depan.

Seseorang yang pikirannya mengembara menjadi tidak mindful terhadap apa yang sedang dikerjakannya.

Seringkali pikiran yang “melompat-lompat” itu membuat pemiliknya mengembangkan kekhawatiran, kecemasan, atau kekecewaan. Hal ini yang dapat menganggu kehidupan individu itu sendiri, karena hidup yang dipenuhi dengan perasaan-perasaan itu menjadi tidak berkualitas. 

Pikiran yang suka berkelana dan mengembara di sini bukan suatu pemikiran ide-ide kreatif atau visi masa depan yang kemudian dieksekusi dalam suatu produk yang berkualitas atau aksi yang positif yang bermanfaat bagi banyak orang.

Pikiran mengembara ibarat suatu pikiran yang terjebak dalam suatu perangkap. Pikiran tersebut melibatkan ego individu, yang artinya ego atau aku sangat mendominasi dalam pikiran.

Sebagai contoh seorang wanita yang sebentar lagi menikah merasa cemas dan khawatir pernikahannya tidak berlangsung baik. Ia memiliki pikiran “aku tidak cukup baik sebagai seorang istri”. Pikiran tersebut muncul karena ia melihat berita-berita perceraian di televisi.




Pikiran yang mengembara tidak hanya membuat gelisah dan gundah gulana hingga berujung nestapa serta tidak bahagia.

Pikiran tersebut dapat mempengaruhi kondisi kesehatan fisik yang menjadi semakin buruk. Sebuah penelitian dari Epel, dkk. (2012) menyebutkan pikiran yang mengembara memiliki hubungan dengan penuaan sel.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan orang yang pikirannya sering mengembara memiliki telomer yang lebih pendek pada sel darah putih. Telomer merupakan bagian dari kromosom dari suatu sel dan berfungsi sebagai pelindung pada ujung kromosom.

Semakin telomer cepat rusak, maka kromosom dan juga sel juga akan cepat rusak. Pola tersebut akan mempercepat penuaan. 

Pikiran yang mindful merupakan antitesis dari pikiran yang mengembara.

Jika pikiran yang mengembara dapat mempercepat penuaan, maka semakin sering berlatih mindfulness dan mengembangkan pikiran yang mindful maka dapat menghambat penuaan.

Mindfulness dapat menjadi obat antiaging yang alami dan murah. 
Referensi:
Epel, E. S., Puterman, E., Lin, J., Blackburn, E., Lazaro, A., & Berry Mendes, W. (2012). Wandering minds and aging cells. Clinical Psychological Science, XX(X), 1-9, doi: 10.1177/2167702612460234.

Sumber gambar:
https://askabiologist.asu.edu/plosable/cellular-fountain-youth