Tampilkan postingan dengan label Aplikasi Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aplikasi Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 November 2024

Diskusi Forest Therapy di Stasiun Kopi




Oleh Duddy Fachrudin & Janu Dewandaru 

Pagi itu sebuah direct message masuk ke ponsel saya. Seseorang memperkenalkan dirinya lalu menyatakan ingin bertemu untuk sekedar berbincang. Temanya tidak main-main: forest therapy. Siapakah gerangan yang tertarik dengan “bermain-main” di alam lalu menceburi dirinya menyengajakan untuk terpapar oleh aroma pepohonan, angin yang berdesir, tanah dan bebatuan, hingga mentari yang menari?

Nyatanya Om Janu Dewandaru benar-benar menghampiri saya sore harinya, dari Bandung ke Cirebon. Head of Innovation Team Bank Indonesia yang gemar belajar itu tak sungkan diajak boncengan dengan motor supra yang telah berusia belasan tahun. Padahal beliau seorang “Dekan” yang memimpin BI Institute dan mengajak semua sumberdaya manusia untuk belajar apapun agar kualitas serta kapasitasnya terus bertumbuh. Hmm... Dekan biasa pastinya misuh-misuh jika dijemput dengan kendaraan roda dua.

Tapi memang pencari ilmu sejati tidak terlekati dengan materi. Fokusnya hidupnya pada dimensi intangible, seperti personal fulfillment, yang tiada lain adalah ilmu yang kelak berguna untuk mempercantik kualitas mental dan spiritualnya. Dan mereka cenderung tidak memiliki keinginan terhadap apapun yang ada di dunia. Mereka hanya ingin terkoneksi dengan alam dan kemanusiaan. 

Sampailah kami di Stasiun Kopi, suatu kedai kopi yang memang dekat dengan stasiun kereta. Dari secangkir kopi, berlanjut pada diskusi forest therapy.

Terapi hutan bukanlah sesuatu yang baru. Dibutuhkan beragam disiplin ilmu seperti kehutanan, kedokteran, psikologi, sosiologi, biologi, dan ilmu pendukung terkait lainnya. Terapi hutan memiliki tujuan spesifik sesuai kebutuhan individu itu sendiri. Selain itu kriteria lokasi hutan yang dijadikan tempat beraktivitas untuk forest therapy memerlukan standar khusus.

Pendekatan yang lebih sederhana dari terapi hutan ialah yang menggunakan mindfulness. Thoreau, sang filosof yang terkenal dengan karyanya Walden itu sudah melakukannya kala dahulu. Meskipun hanya dengan berjalan kaki di tengah hutan. Tidak ada sesuatu yang dikejar oleh Thoreau. Sekali lagi, hanya berjalan kaki sambil mengijinkan diri terpapar oleh energi positif dari hutan.

Aktivitas berada di hutan, tanpa terburu-buru, tanpa tujuan tertentu, dan hanya sekedar hadir kemudian dikenal lebih lanjut dengan forest bathing. Direktur Badan Kehutanan Jepang Tomohide Akiyama menamainya Shinrin-yoku pada tahun 1982. Ide tersebut berkembang dengan maksud mempromosikan hutan sebagai wellness-oriented ecotourism. Hutan Akazawa di dekat Kota Agematsu menjadi pilot project Shinrin-yoku. Di hutan tersebut, pengunjung tidak sekedar “piknik” melainkan yang terpenting dipandu untuk melakukan forest bathing oleh guide yang telah menjalani pelatihan dan berpengalaman. Beberapa negara seperti Korea Selatan juga memiliki aktivitas forest bathing bernama Sanlim yok. Sementara di Norwegia dikenal dengan Friluftsliv[1].

Forest bathing kian popular seiring dengan beragam penelitian yang membuktikan adanya manfaat kesehatan, baik fisik serta psikologis. Empat indikator utama yang diukur ialah tekanan darah, kadar kortisol melalui saliva, denyut nadi, serta variasi denyut jantung (HRV). Salah satu hasil penelitian efek Shinrin-yoku di 24 hutan di Jepang menunjukkan tekanan darah, kadar kortisol, serta denyut nadi yang lebih rendah, dan HRV yang lebih tinggi pada kelompok eksperimen dibandingkan kontrol[2]. Ini menunjukkan efek yang positif dari forest bathing seperti rendahnya stres, tingginya kesejahteraan psikologis hingga kualitas kardiovaskular yang sehat.

Forest bathing bukanlah hiking menuju bukit atau puncak gunung, melainkan menyengajakan diri untuk hening di rerimbunan pohon yang kaya akan fitonsida yang memiliki sifat antimikroba. Mendengarkan sunyi dan menyadari, membiarkan segala yang terjadi secara alami. Memahami lintasan pikiran serta emosi, tanpa menghakimi.

Menariknya, salah satu manfaat lain dari paparan hutan ialah dapat menjadikan individu memiliki penurunan keinginan[3]. Hasrat nan gawat dalam pemenuhan kebutuhan dunia memang sejatinya perlu dirawat, eh maksudnya dikelola agar manusia itu sendiri tidak terjerat hingga berujung kiamat. Forest bathing membuat jiwa kita bertransformasi menjadi nirmaterialistik. Tetap senang dengan materi, tapi tidak terlekati, apalagi terobsesi.

Kopi kami habis diminum. Diskusi berlanjut ke stasiun kereta. Berbincang mengenai berbagai penyakit yang sering diderita pegawai Bank Indonesia. Ada tiga yang utama, yaitu...  

Sumber:
[1] Clifford, MA. Your Guide to Forest Bathing: Experience of The Healing Power of Nature. Newburyport: Red Wheel 2018.

[2] Park, BJ., Tsunetsugu, Y., Kasetani, T., Kagawa, T., & Miyazaki, Y. The physiological effects of Shinrin-yoku (taking in the forest atmosphere or forest bathing): Evidence from field experiments in 24 forests across Japan. Environ Health Prev Med. 2010 Jan;15(1):18-26. doi: 10.1007/s12199-009-0086-9. PMID: 19568835; PMCID: PMC2793346.

[3] Joye, Y., Bolderdijk, JW., Köster, MAF., & Piff, PK. A diminishment of desire: Exposure to nature relative to urban environments dampens materialism. Urban Forestry & Urban Greening. 2020 July;54,126783. https://doi.org/10.1016/j.ufug.2020.126783.


Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Jumat, 25 Oktober 2024

Mindful Running: Membangun Fondasi Kesehatan Melalui Lari



Oleh Duddy Fachrudin 

My Momma always said you got to put the past behind you before you can move on. And I think that’s what my running was all about. (Forrest Gump)

Lari menjadi aktivitas teramat penting saat ini. Hampir setiap minggu ada event lari di berbagai kota, mulai dari skala fun run hingga marathon. Fenomena fear of missing out (FOMO) mengenai lari merebak di sebagian orang, tak terkecuali saya. Akhirnya, saya pun ikut lari kategori 10K di pertengahan tahun ini. Rasanya senang, namun juga membuat tidak tenang.

Seyogyanya senang melahirkan tenang, seperti ngaji mindfulnesia yang saban hari dikreasikan oleh Azru Mustika, seorang mahasiswa sekaligus pencari ilmu sejati di seantero bumi.

Hal yang membuat ketidaktenangan saya ialah detak jantung yang ingin meledak saat itu. BUUUM. DUAAARRR. Bayangkan 10 kilometer berlari tanpa strategi dan mengedepankan ego tidak mau kalah disalip serta bisa finish sebelum cut off time (COT), hingga mengejar personal best (PB) merupakan hal terkonyol yang dilakukan manusia FOMO tentang lari. Untungnya hidup terus berjalan kata Bernadya, saya masih bisa menikmati mentari meski tertatih setelah berlari.

Dopamin membanjiri otak. Sensasi bahagia menyeruak. 

Pikiran berkata, “Ayo lari lagi, habis ini half marathon!”

Pikiran yang lain kemudian membalas, “Half marathon ketek lu, kemarin aja engap, heart rate udah mau membludak!”

Benar juga, banyak pelari mengalami berbagai keluhan di berbagai event lari. Terdekat, tenda medis di Jakarta Running Festival “dikunjungi” hingga ratusan pelari. Tentu di tenda medis bukan mau minta minum, bukan? Dilansir dari Kompas.com, dokter Andi yang bertugas sebagi tim medis saat itu mengatakan bahwa banyak pelari yang abai terhadap kemampuan tubuhnya sehingga pingsan dan tak sadarkan diri. Intinya, listen to the body and know your limit, ujar dokter Andi lagi.

Aha!

Kuncinya ialah mindful running. Berlari dengan penuh kesadaran, mengenali keadaan tubuh, dengan meletakkan segala ambisi, ego, hingga FOMO. Forrest Gump bilang, “I just felt like running…”

Just run. Lari yang disadari dimulai dengan niat untuk mengembangkan kapasitas aerobik yang lebih baik. Dan itu dilakukan dengan heart rate yang rendah. Tanpa mengukur detak jantung melalui aplikasi atau smartwatch, kita bisa mengidentifikasi kondisi heart rate. Dua indikator yang bisa menjadi acuan ialah, saat lari masih bisa bernapas panjang serta berbicara dengan jelas.

Dalam konsep lari dengan menggunakan zona, mindful running berada pada kategori zona 2. Pada zona ini, heart rate berada pada kisaran 60-70% dari maksimumnya (220-usia). Jadi jika usia seseorang 35 tahun, maka detak jantung maksimalnya ialah 185 beats per minute (BPM). Heart rate saat berlari yaitu 111-130 BPM.

Konsep ini sama dengan metode latihan dengan pendekatan Maximum Aerobic Function (MAF) yang diperkenalkan oleh Phil Maffetone, seorang dokter, nutrisionis, dan pelatih atletik. Sesuai Namanya, MAF bertujuan untuk meningkatkan kemampuan aerobik dan meminimalisir cedera. Konsep MAF sangat mengedepankan low heart rate saat berlari. Rumus heart rate masksimum saat berlari ala MAF, yaitu 180-usia. Jika usia 30 tahun, maka ketika berlari heart rate yang diijinkan maksimumnya pada angka 150 BPM.

Low heart running dengan zona 2 atau MAF memungkinkan individu meningkatkan kapasitas sistem kardiovaskular untuk menyediakan oksigen ke dalam otot yang bekerja. Ini merupakan fondasi kesehatan yang perlu dibangun setiap orang selain meningkatkan masa otot. Keduanya menjadi prediktor longevity, yang merupakan kemampuan untuk hidup lama atau memiliki usia yang panjang sambil menikmati kesehatan yang baik, meliputi biopsikososio dan spiritual.

Para atlet lari sendiri menggunakan pendekatan low heart running saat latihannya. Sejumlah 80% porsi latihan mereka digunakan untuk lari dengan heart rate rendah. Sementara hanya 20%, menu latihan intensitas sedang ke tinggi seperti tempo, interval, dan fartlek.

Maka, pelari-pelari FOMO, sudah saatnya meninggalkan masa lalu, yaitu hanya sekedar mengikuti tren dan ingin tahu. Kini mulai berlari dengan bijak, disadari, dan diniatkan untuk meningkatkan kesehatan agar tak menjadi beban bagi orang lain. 

Tapi… kalau larinya mindful, tetap bisa dapat medali kan? Bisa finish sebelum COT kan? Begitu kan yang ada dalam pikiranmu?

Selasa, 10 September 2024

Hari Pencegahan Bunuh Diri: Dialektika Fufu Fafa


Oleh Duddy Fachrudin 

Berat tak terasa dalam sukma bergembira
Sudah yang berlalu menggelora bahagia
Berat terasa lepaskan semua

Cerita kelabu kini cerah dan ceria
Gelap tlah berlalu engah kini menggelora
Berat terasa lepaskan semua

(Ayushita)

Lagu Fufu Fafa yang dinyanyikan Ayushita 11 tahun lalu berkisah tentang dua keadaan yang dialami seorang manusia. Ada kelabu, ada ceria. Berat terasa, kemudian menggelora bahagia. Fufu Fafa! Di saat ada fufu, di sana ada fafa. Intinya, dalam kehidupan manusia, sejatinya ada tesis dan antitesis. keduanya merupakan suatu kebenaran. Dialektika!

Sigmund Freud memberikan contoh dialektika mengenai eros dan thanatos. Eros merupakan dorongan untuk hidup, sementara thanatos sebaliknya, dorongan untuk mati. Konsep ini bisa dijelaskan dengan pengalaman kita dulu saat masih sekolah. Ketika masuk sekolah, ada keinginan untuk libur. Sementara saat libur, rindu sekolah.

Tesis dan antitesis selalu hadir dalam hidup manusia, bukan untuk saling menegasikan, tapi memperkaya sudut pandang. Karena setelah melihat keduanya, manusia dapat mengelaborasi atau mengintegrasi yang kemudian mewujud dalam sebuah refleksi. 

Jadi, wajar sebenarnya ada dorongan untuk mati. Namun, perlu diingat juga bukan berarti yang ingin mati juga benar-benar tidak ingin hidup. Loh-loh…

Kembali lagi pada konsep dialektika, aku ingin mati saja… dan aku ingin melihat timnas Indonesia bisa tampil di Piala Dunia. Kalau kita lihat secara gestalt pernyataan itu, maka dibalik keinginan untuk mati, ada dorongan untuk hidup.

Jadi, diterima saja bahwa faktanya saat ini pikiran bunuh diri berseliweran dalam ruang imaji manusia. Hal terpenting ialah memunculkan dorongan untuk tetap hidup pada mereka. Hal-hal sederhana bisa menjadi eros, seperti ingin makan burjo di Warmindo, melihat akhir dari One Piece, mendaki gunung, atau ya… ingin tahu kisah selanjutnya dari fufufafa di negeri ini. Khusus yang ini ialah drama fufufafa, bukan judul lagu Ayushita, Fufu Fafa.

Dalam satu sesi konseling dan psikoterapi dengan pendekatan Dialectical Behavior Therapy (DBT), Marsha Linehan berkisah tentang dialektika ini:

Saat kliennya ingin bunuh diri, Oma Linehan bertanya dan meminta pendapatnya, bagaimana jika kliennya mengetahui saudara atau keponakannya ingin mengakhiri hidupnya. Kliennya kemudian menjawab bahwa ia ingin menolongnya, mencegahnya dari bunuh diri. Akan diajaknya saudaranya untuk bercerita, menemui psikolog, dan memberikan dukungan apapun agar ia tetap hidup.

Lihat. Seorang manusia yang ingin mati pun akan mencegah seseorang dari bunuh diri!

Fufu Fafa, bukan?

Sumber gambar:

Minggu, 25 Agustus 2024

Forest Therapy: Forever Young dan Nir Adigung



Oleh Duddy Fachrudin 

Di jaman penuh eksposur, jiwa perlahan berkeping hancur. Pikiran berkonflik saling membentur. Oh… diri yang lacur! Tidak eling dengan wasiat leluhur. Untuk membaur dalam tadabur serta tafakur. Maka sejenak hati terhubung kembali dengan nature. Sebagai wujud cinta dan tanda syukur.

Berlebihnya eksposur informasi yang tidak diiringi dengan kemampuan untuk mengelola atensi menghadirkan permasalahan psikologi. Mulai dari fokus yang makin berkurang hingga adiksi. Rasmus Hougaard, pakar mindful leadership menamakannya PAID atau Pressure - Always on - Information overload - Distraction. Stres karena distraksi akibat banjirnya informasi.

Meski otak manusia sangat canggih dan diberkahi kemampuan switch atensi, namun PAID nyatanya membuat individu semakin mindless, tidak hadir sepenuhnya pada saat ini. Pikiran larut dan kemudian meloncat tak menentu secara otomatis mengikuti arah stimulus. Keseimbangan energi tergerus, waktu habis untuk mengembara di langit dopamin yang amat membius.

Memang fenomena ini tidak sama persis terjadi pada semua orang. Sebagian individu mampu membuat jarak dengan PAID dan sumber stres lain yang memburu dengan mengembangkan keterampilan mindfulness. Latihan meditasi serta menumbuhkan sikap mindfulness seperti tidak tergesa, menerima, dan terbuka menjadi menu harian yang sayang untuk dilewatkan.

Ada yang berlatih menyadari napas. Ada pula yang tak melekatkan diri dengan identitas. Dan juga ada yang menjadikan hutan sebagai ruang beraktivitas. Ragam latihan mindfulness dengan tujuan yang sama, yaitu eling lan awas.

Beraktivitas di hutan tidak sekedar bermain, seperti halnya outbond yang mengasyikkan. Berada di hutan sengaja diniatkan, untuk hadir di antara rimbunnya pepohonan, sejuknya udara, serta komorebi yang memancar begitu indahnya. Terapi ini mengembangkan keterampilan mindfulness dengan grounding berjalan tanpa alas kaki, lalu meditasi, serta menggerakkan tubuh melalui yoga atau tai chi, kemudian ditutup dengan hug tree disertai afirmasi yang menentramkan hati.

Kondo wa kondo. Ima wa ima. Sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Menyadari sepenuhnya di sini. Menikmati saat ini tanpa menghakimi, tanpa tergesa untuk pergi. Seperti maknanya, forest berarti for rest. Untuk beristirahat, melepas penat. Semakin manusia mampu meletakkan stres, semakin ia dapat menahan laju karies tubuhnya.

Bagaimana bisa Yura?

Sejenak mari berkelana pada fondasi yang membangun kesehatan manusia. Ada tiga poin yang jika dijaga serta dikelola dapat membuat manusia awet muda.

Pertama, pencegahan dari stres oksidatif. Tubuh manusia sejatinya akan rusak karena oksidasi radikal bebas. Stres oksidatif ditandai dengan ketidakseimbangan pada ion positif dan negatif. Melalui barefoot atau nyeker di hutan, tubuh akan menyerap ion negatif yang kemudian dapat mencegah timbulnya kerusakan pada sel. Paparan ion negatif yang berasal dari hutan juga dapat mengurangi gejala depresi, mengaktifkan sistem pada tubuh, dan berperan sebagai antioksidan dan antiinflamasi.

Kedua, peningkatan sistem imun. Bayangkan tubuh sebagai suatu negara, sementara sistem imun adalah penjaganya yang bertugas sebagai pertahanan dari kemungkinan serangan musuh berupa organisme patogenik. Tentara sistem imun perlu melakukan latihan sehingga kualitasnya baik. Dan kuncinya terletak pada keseimbangan mikrobiota dalam usus manusia. Itulah mengapa 70% sistem imun terletak di usus manusia.

Flora baik dalam usus merupakan sparing partner sistem imun—seperti sel Natural Killer (NK), yang aktivitasnya meningkat dan menjaga tubuh dari serangan sel kanker. Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh inisiator pengobatan melalui media hutan di Jepang, dr. Qing Li, dimana shinrin-yoku atau forest bathing secara signifikan meningkatkan jumlah sel NK dan juga granulysin (GRN), perforin, granzyme (Gr) A/B-expressing cells.

Ketiga optimalisasi dan keseimbangan hormon. Stres yang kronis dapat menyebabkan disregulasi Hipothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis, jalur neuroendocrine system yang bertugas dalam pengaturan respon stres. Kerja HPA Axis pun menjadi terganggu yang menyebabkan ketidakseimbangan pada hormon, misalnya saja kortisol yang disekresikan secara berlebihan. Stres yang tidak tertangani menyebabkan inflamasi lalu menghadirkan pelbagai penyakit fisik dan mental. Melalui paparan senyawa terpen atau minyak atsiri saat melakukan hug tree timbul efek relaksasi sehingga terjadi penurunan stres.

Maka, hutan yang kaya cahaya matahari, air, mineral tanah, serta molekul penyembuh yang ada di pepohonan merupakan nutrisi bagi jiwa dan fisik manusia. Hutan sejatinya teman hidup terbaik yang diciptakan Tuhan sebagai ecotherapist bagi manusia. Deforestasi akibat eksploitasi industri sama dengan membunuh manusia itu sendiri.

Globalisasi serta modernitas memiliki konsekuensi migrasi masyarakat dari pedesaan ke perkotaan. Urbanisasi menjanjikan kehidupan yang lebih mapan secara finansial dan pekerjaan. Namun paparan stres di perkotaan juga jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan yang dekat dengan hutan.

Pada akhirnya manusia memiliki kecenderungan lahiriah untuk terkoneksi dengan alam. Kembali berinteraksi dengan hadir sepenuhnya adalah ciri manusia biophilia, yang mencari kesehatan dan ketenangan. Saat paparan stres minim, telomer yang ada di dalam DNA tidak mudah rusak. Hal ini berimplikasi pada penundaan terhadap penuaan. Marian Gold, vokalis Alphaville bilang, “Forever young… I wanna be forever young…”

Selain itu, hutan yang juga lekat dengan gunung merupakan guru terbaik bagi kualitas batin manusia. Tidak heran jika ada sebuah idiom “Dididik di gunung, sangkan teu adigung”. Diajar oleh gunung supaya tidak sombong sebagai manusia. Tidak semena-mena memiliki kuasa dan merasa dirinya mahluk yang lebih dari segalanya.

Saat manusia terkoneksi dengan alam atau hutan, ia terkoneksi dengan Tuhan.

Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/07/forest-therapy-sebuah-ikhtiar-untuk.html

Kamis, 15 Agustus 2024

Hidup Senang Mati Tenang: Merdeka dari Penderitaan Psikologis



Oleh Duddy Fachrudin 

Berita hari ini berseliweran di lini masa. Tentang seorang residen Program Profesi Dokter Spesialis (PPDS) yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak biasa. Asumsi bermunculan mengembara berusaha mencari sebabnya? Depresi, perundungan, ataukah karena faktor sakit yang dideritanya?

Tentu kita tidak perlu terlalu jauh untuk memikirkannya, karena beragam faktor berkontribusi atas hadirnya suatu masalah atau perilaku tertentu. Tidak ada faktor tunggal, bisa jadi karena ketiganya, bahkan mungkin pada saat investigasi ditemukan variabel lain yang menentukan. 

Di titik ini, yang perlu dilakukan oleh kita ialah mengambil jeda dan mempelajari jiwa ini, karena mungkin kita juga memiliki keinginan untuk bunuh diri?

Ramainya pemberitaan mengenai bunuh diri memang semakin menjadi-jadi. Isu kesehatan mental dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini menyadarkan kepada setiap individu untuk merawat serta menata jiwanya. Di satu sisi, kita juga tidak menoleransi segala bentuk kekerasan yang dapat memicu ketidaknyamanan dan menggerus keseimbangan mental kita. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita, manusia yang acapkali rapuh saat mengarungi kehidupan ini?

Pertama, kita perlu kembali mengenali diri ini. Apa saja lintasan-lintasan rasa dan pikiran yang sering menghampiri? Apakah ia mengganggu dan membuat kita tidak berdaya?

Kedua, jika memang hal itu mengganggu kita akui dan terima. Tidak perlu menolaknya atau menghindarinya (experiential avoidance). Karena semakin menghindarinya justru lintasan rasa dan pikiran yang mengganggu itu semakin kuat muncul. Penderitaan psikologis bermula saat kita menolak dan menghindari ketidaknyamanan rasa dan pikiran tersebut.

Ketiga, setelah diterima dan dihadapi hal yang mengganggu tersebut, maka kita perlu membuat jarak. Ya, menerima bukan berarti melekatkan pikiran dan perasaan yang mengganggu tersebut pada diri kita. Justru di sinilah kita mengembangkan cognitive defusion, menanggalkan atau melepaskan kemelekatan itu. Caranya bisa dengan melatih diri kita dengan mindful breathing, sitting, body scanning, walking, dan mengembangkan sikap mindfulness, seperti sabar, tidak menilai, menerima, melepaskan, terbuka, dan sebagainya.

Keempat, mengembangkan value atau nilai, yaitu sesuatu yang penting dalam hidup kita. Nilai itu yang akan menjadi guide kita menuju kehidupan yang bermakna. Nilai hidup dapat berhubungan dengan kehidupan personal, interpersonal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Misalnya value yang kita kembangkan berkaitan dengan pekerjaan adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, mendengarkan mereka di saat mereka kesusahan.

Kelima, melangkah bersama value. Ciptakan tujuan-tujuan kecil, dimana bahan bakar dari goal tersebut adalah value. Sebagai contoh, nilainya adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, kemudian kita tentukan goal, yaitu menciptakan suatu konten edukatif yang bermakna dan bermanfaat untuk orang yang menyimaknya.

Keenam, fokus pada kehidupan berbasis value yang bermakna yang sudah kita ciptakan.

Ketujuh, teruslah berlatih untuk mengembangkan hidup yang berkesadaran, karena dalam menjalani hidup itu sendiri, niscaya akan berjumpa dengan pelbagai stimulus, baik dari dunia internal, yang berisi pikiran, perasaan, kenangan atau memori yang berkelindan, dorongan-dorongan, dan lain-lain, serta dari luar diri individu (eksternal) yang berpotensi memicu hadirnya stres yang kemudian membuat larut (kembali) ke dalam masalah di masa lalu yang sebenarnya sudah berusaha kita lepaskan.

Berlatih mindfulness

Terakhir, jika memang kita berada pada suatu sistem yang membuat diri kita semakin terpapar stres yang berlebihan, maka berhenti dan memilih opsi untuk keluar dari lingkungan yang semakin menjerat pada permasalahan psikologis adalah tindakan yang bijaksana. Menerima bukan hanya bertahan, tapi juga mengambil keputusan yang tepat untuk keberlanjutan hidup kita.  

Pada akhirnya, merdeka dari penderitaan psikologis ini adalah ikhtiar dan belajar secara sadar, dan fondasinya tiada lain adalah kemampuan menggunakan nalar sehingga pelayaran kehidupan menjadi berbinar karena pendar-pendar cahaya yang menuntun pada sebuah reservoar indah dimana kapal yang kita tumpangi akhirnya menurunkan dan menautkan jangkar.

Sumber gambar:

Selasa, 08 November 2022

Overload Pesan WA dan Bikin Cemas, Apa yang Bisa Dilakukan?



Oleh Dwi Ayu Elita K. 

WhatsApp (WA) adalah aplikasi perpesanan gratis paling populer di dunia. Penggunaan yang mudah dan cepat dengan dukungan internet memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan menerima ribuan pesan atau panggilan telepon dalam sehari. 

Ketika WA hadir menggantikan email sebagai media penyampai pesan, dunia terkagum-kagum dengan kecanggihan aplikasi ini dalam memberikan kepastian pengiriman pesan. Kurang dari satu detik begitu kita menekan logo “kirim pesan”, segera muncul penanda apakah pesan tersebut terkirim atau sudah terbaca oleh penerima. Tidak hanya itu, kita juga bisa mengetahui jam dan menit terakhir orang yang kita hubungi aktif menggunakan WA. 

Menengok feature pengiriman pesannya yang sebegitu menjanjikan kepastian pesan itu terkirim dengan cepat, tepat dan terkontrol statusnya, beramai-ramai masyarakat dunia segera menginstal aplikasi itu. Termasuk saya, dan tentu saja anda, bukan? 

Dikutip dari portal berita Kompas, aplikasi WA sendiri telah diunduh sebanyak 2 miliar di seluruh dunia dan pesan yang dikirimkan lewat WA per harinya dapat mencapai sebanyak 100 juta (Stephanie, 2020).

Dalam dunia kerja, seluruh sektor bisnis dan beragam jenis pekerjaan semuanya menggunakan WA. Surat elektronik yang sebelumnya bertahun-tahun digunakan sebagai media berkirim pesan paling modern di era digital digeser penggunaannya oleh aplikasi ini. Melalui WA setiap para profesional dapat mengirimkan dokumen surat digital, file, berbagai berkas keputusan dan tentu saja berbagai perintah kerja semua dilakukan melalui WA.

Akan tetapi seperti mata koin yang selalu mempunyai dua sisi, selain memiliki banyak manfaat, tidak dipungkiri penggunaan WA pun juga mempunyai dampak negatif. Apa perubahan yang Anda rasakan sebagai pekerja semenjak komunikasi formal informal kita beralih dari email ke WA?

Bagaimana rasanya ketika seketika private boundaries kita dimonitor sepanjang waktu oleh dunia eksternal di luar diri kita?

Bagaimana rasanya ketika 24 jam atasan kita bisa mengirimkan pesan perihal pekerjaan dan mereka berharap kita segera merespon pesannya?

Rasanya seperti diserang kapan saja, dimana saja, siapapun bisa menjangkau keberadaan kita. Bahkan di saat seharusnya kita memiliki hak untuk beristirahat serta berkumpul dengan keluarga tercinta. Parahnya lagi, ketika kita kurang cekatan merespon pesan yang dikirim oleh rekan kerja atau atasan di kantor, label tidak berdedikasi segera disematkan pada nama kita. 

Ternyata kecepatan berkirim pesan pekerjaan belakangan ini justru menjadi beban bagi sebagian besar pekerja.

Blabst & Diefenbach (2017) dalam penelitiannya tentang “WhatsApp and Wellbeing: A study on WhatsApp usage, communication quality and stress” menemukan bahwa intensitas dan frekuensi penggunaaan aplikasi pengirim pesan instan seperti WA beresiko menurunkan derajat kesejahteraan psikologis. 

Eksperimen yang dilakukan oleh Blabst & Diefenbach (2017) menunjukkan bahwa penggunaan aplikasi pengirim pesan instan dalam frekuensi tinggi meningkatkan tension atau ketegangan di dalam diri penggunanya. Tanpa kita sadari, bisa jadi kita mengalami WhatsApp Anxiety (WA-A).

Whatsapp Anxiety ini membuat penderitanya merasakan takut saat melihat notifikasi pesan WA, gelisah saat pesan yang sudah dikirimkan tak kunjung mendapatkan balasan, dan juga cemas ketika melihat banyaknya pesan yang belum terbaca karena berpikir dengan begitu banyaknya chat yang belum terbaca itu ia tertinggal berbagai macam informasi.

Lalu pertanyaan berikutnya, apa yang harus kita lakukan sebagai pekerja di tengah gempuran keharusan akan kesegeraan saat ini termasuk dalam menanggapi pesan pekerjaan yang membludak setiap harinya baik melalui personal chat maupun group WA?

Salah satu yang bisa kita lakukan untuk membantu diri kita sendiri untuk mengatasi kecemasan ini adalah berlatih mindfulnes

Teknik mindfulness merupakan teknik yang berfokus pada kondisi kesadaran dan pengalaman saat ini dengan penuh penerimaan (Germer, Siegel, & Fulton, 2005). Teknik ini menekankan pada kesadaran, menyadari sepenuhnya terhadap hal-hal yang terjadi saat ini diterima sepenuhnya tanpa penilaian dengan mengabaikan pengalaman lain (Mace, 2008).

Kecemasan yang ditandai dengan istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut dapat diatasi dengan penerapan mindfulness (Atkinson, Atkinson, & Hilgard, 2001).

Dari beberapa jenis latihan mindfulness yang ada, setidaknya dua latihan mindfulness sederhana berikut dapat membantu kita lebih berkesadaran di tengah kesibukan pekerjaan dan pesan WA yang membanjiri gadget kita yaitu, 3 minutes breathing dan sitting practice. Keduanya bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun oleh siapapun. 

Pada teknik 3 minutes breathing, kita merasa lebih tenang, rileks, menjadi lebih fokus, dapat berkonsentrasi dan memiliki pikiran yang baik. Sementara itu, teknik sitting practice membuat kita menjadi lebih tenang, terhindar dari perasaan negatif dan rileks. 

Latihan mindfulness yang diterapkan membuat keadaan otak individu memasuki kondisi gelombang alfa. Ketika otak individu berada pada gelombang alfa, mengakibatkan penurunan kecemasan dan meningkatkan perasaan tenang dan positif (Brown & Ryan, 2003).

Referensi:
Atkinson, R.L.,Atkinson, R.C., & Hilgard, E.R. (2001). Pengantar Psikologi. Jilid Dua. Alih Bahasa : Widjaja Kusuma. Batam : Interaksara.

Blabst,N. & Diefenbach,S. 2017. Whatsapp And Wellbeing: A Study On Whatsapp Usage, Communication Quality And Stress. DOI:10.14236/ewic/HCI2017.85

Brown, K. W., & Ryan, R. M. (2003). Perils and Promise in Defining and Measuring Mindfulness: Observations from Experience. Clinical Psychology: Science and Practice. https://doi.org/10.1093\/clipsy\/bph078

Germer, C. K., Siegel, R. D., & Fulton, P. R. (2005). Mindfulness and psychotherapy. New York: Guilford Press.

Stephani, C. (2020, September). WhatsApp Saat Ini, 2 Miliar Pengguna 100 Miliar Pesan Per Hari. Kompas.com. Diakses dari https://tekno.kompas.com/

Mace, C. (2007). Mindfulness and mental health: Therapy, theory and science. Routledge.

Sumber gambar:
\

Selasa, 30 Maret 2021

Pesan Sunan Gunung Jati untuk Transformasi Layanan Konseling Mahasiswa


Oleh Duddy Fachrudin 

Setahun yang lalu, World Economic Forum (WEF) merilis top 10 skills yang perlu dimiliki para pekerja pada tahun 2025. Keterampilan-keterampilan tersebut dibagi ke dalam 4 aspek: problem solving, self-management, working with people, dan technology use & development.

Dari 10 keterampilan, terdapat keterampilan yang tergolong "newbie". Keterampilan di dalam aspek self-management yang meliputi active learning & learning strategies dan resilience, stress tolerance, & flexibility termasuk di dalamnya. Keduanya menempati rangking 2 dan 9 dalam top 10 skills tersebut. 

Kedua skills tersebut terselip diantara keterampilan-keterampilan yang sudah familiar sejak tahun-tahun sebelumnya seperti analytical thinking & innovation, complex problem solving, leadership, & creativity. Namun, di era disrupsi, active learning & resilience ditambahkan seiring dengan perubahan jaman yang sangat cepat dan uncertainty

Isu kesehatan mental pegawai juga tidak lepas dari pengamatan WEF dan menjadi alasan pentingnya sumber daya manusia memiliki resiliensi dan toleransi terhadap stres yang tinggi, yang didalamnya juga terintegrasi dengan kecerdasan emosional. World Health Organization (WHO) sendiri sudah mewanti-wanti adanya pandemi baru di masa depan berupa depresi yang menyerang siapa saja dan mengakibatkan disabilitas dalam kehidupan individu itu sendiri.

Jauh-jauh hari, satu dari 40 dawuh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati kepada anak cucunya adalah selalu mawas diri. Dalam ranah psikologi, mawas diri (self-awareness) adalah kemampuan mengamati diri, baik pikiran, laku, dan perasaan. Ini penting bukan hanya dalam mencegah korupsi, tapi juga upaya dalam mengembangkan kesehatan mental di dunia yang tidak pasti. Al-Qur'an menyebut mawas diri sebagai wa fii anfusikum afalaa tubsiruun yang mengajak manusia untuk tadabbur dan tafakkur ke dalam diri sehingga tidak terjebak dalam ilusi dan delusi.

Pertanyaan sesungguhnya dimanakah tempat untuk belajar mawas diri?

Keluarga melalui ayah bunda seyogyanya menjadi sarana perkembangan psikologis anak-anaknya. Namun tidak jarang mereka luput atau bahkan tidak tahu atau tahu tapi tidak mau karena terlalu sibuk dengan segala aktivitasnya. Padahal salah satu kunci keberhasilan seorang anak (yang kemudian menjadi remaja) adalah memiliki keterampilan mawas diri. Ia mengenal dan memahami emosi, pikiran, dan bagaimana mengelolanya menjadi perilaku yang adaptif dan berdaya guna bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Maka, di sinilah peran Tim Pelaksana Bimbingan Konseling (TPBK) di setiap universitas yang menjadi wadah mahasiswa untuk mengenal diri dan membimbing dalam pengembangan kesehatan mental mereka. Setelah lulus, kelak para mahasiswa sudah memiliki bekal kompetensi keterampilan resiliensi dan memiliki toleransi terhadap stres yang tinggi yang bisa meningkatkan performansi dan menjadi solusi, yang akhirnya maujud dalam prestasi. 

Adanya layanan konsultasi dan konseling kesehatan mental bagi mahasiswa bukan lagi perihal akreditasi, tapi merupakan bagian terpadu dari health promoting university. Ini salah satu kunci menuju World Class University.  

Sumber gambar:

Kamis, 01 Oktober 2020

Belajar Mengajar dan Health Promoting University




Oleh Duddy Fachrudin 

Dua hari itu di sudut Bandung nan dingin, kami--saya dan senior saya dan juga psikolog di salah satu fakultas di UGM, Mba Dina Wahida--bersua sekaligus ngobrol-ngobrol sedikit tentang Health Promoting University (HPU). 

Kebijakan mempromosikan kesehatan dalam ruang lingkup sivitas akademika merupakan suatu upaya yang tepat di kala individu menghadapi ragam varian stressor dan juga potensi penyakit yang dapat menghambat tujuan pendidikan.

Ini bukan hanya soal kampus bebas rokok, penyediaan fasilitas olahraga, dan menciptakan ekosistem hijau yang sehat, melainkan juga mengembangkan kebiasaan hidup sehat. Selain itu, menempatkan psikolog di fakultas atau universitas juga menjadi hal yang esensial untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental. 

Sembari diskusi, pikiran saya melayang jauh ke masa lalu, melintasi waktu. Teringat pada sosok yang secara tidak langsung ikut mempromosikan kesehatan di sela-sela aktivitas belajar mengajar...

###

“Bukan tujuanlah esensi dari sebuah perjalanan, melainkan ‘berlayar’ dan ‘berpetualang’-lah nilai terpenting dari kehidupan.” (Tauhid Nur Azhar)

Apa yang Anda pikirkan ketika melihat seorang dosen masuk ke dalam kelas mengajar tanpa membawa buku teks, malah membawa komik, memakai jins belel, dan kemeja yang tampak lusuh. 

Mungkin sebagian dari Anda akan mempertanyakan kualitas keilmuannya, atau Anda kemudian berkata, “Kok ada ya dosen seperti ini?”

Pada kenyataannya memang ada dosen seperti itu, salah satunya Tauhid Nur Azhar atau Kang Tauhid—biasa kami memanggilnya. 

Beliau mengajar mata kuliah Biopsikologi dan Psikologi Faal pada semester satu dan dua. 

Aneh bin ajaibnya kami sekelas begitu nyaman dengan Kang Tauhid, bukan hanya karena penampilannya yang berbeda daripada dosen-dosen yang lain, namun pembawaannya yang lembut, dan cara mengajar yang menyenangkan. Kehadirannya pun ditunggu-tunggu oleh para mahasiswanya.

Kang Tauhid tentu memiliki alasan mengapa beliau berpenampilan tidak seperti dosen pada umumnya. Bukankah membawa komik ke kampus, memakai jins belel, dan kemeja lusuh adalah cerminan seorang mahasiswa pada umumnya? 

Kang Tauhid memposisikan dirinya sebagai seorang mahasiswa. Maka tentu saja tidak ada sekat antara seorang mahasiswa dengan mahasiswa yang lainnya. 

Karena penampilannya tersebut, Kang Tauhid bahkan pernah dianggap seorang mahasiswa senior yang sedang mengulang mata kuliah oleh mahasiswanya.

Satu hal lagi mengapa kami mehasiswanya begitu nyaman saat diajar oleh Kang Tauhid adalah beliau tidak menekankan hasil dalam bentuk angka, namun esensi kuliah atau belajar adalah menikmati prosesnya. “Bukan tujuanlah esensi dari sebuah perjalanan, melainkan ‘berlayar’ dan ‘berpetualang’-lah nilai terpenting dari kehidupan,” begitu kata beliau.

Sehingga saat berlayar, atau bertualang, kita akan menemukan berbagai hal yang tak terduga. Kita takjub dan terperangah saat memandang keindahan lautan. Pada kesempatan yang lain mungkin kita terdampar di sebuah pulau tak bertuan. Dan dengan segala upaya, ikhtiar, dan do’a kita berjuang menaklukan badai lautan, hingga pada saatnya kapal yang kita nahkodai bermuara pada pelabuhan bernama kebersyukuran. 

### 

Maka pleasure experience itu seyogyanya hadir tidak hanya ketika menikmati es krim, tapi juga belajar. Ketika proses belajar dan mengajar adalah kebahagiaan, setiap tekanan yang menimbulkan stres berlebihan dan menggerus keseimbangan dapat terkelola dengan baik. 

Pada akhirnya, strategi ini dapat berperan sebagai meningkatkan kualitas kesehatan mental as part of kesehatan holistik bagi seluruh sivitas akademika di lingkungan universitas. 

Sumber gambar: 

Selasa, 11 Agustus 2020

Ngopi Susu: Cara Mengusir Kesepian ala Drama Korea



Oleh Nita Fahri Fitria 

Kisah cinta berlatar konflik negara Korea Utara dan Korea Selatan yang dibintangi oleh Hyun Bin dan Son Ye Jin menyedot begitu banyak perhatian pecinta drama Korea. Crash Landing on You, nyatanya bukan sekedar kisah cinta biasa, melainkan sebuah kisah tentang orang-orang kesepian yang pada akhirnya menemukan tempat untuk mendaratkan hati agar tak lagi sepi. 

Seperti kata Yoon Se-ri sebelum naik paralayang hingga tersesat di perbatasan Korea Utara-Korea Selatan, “Angin harus bergerak agar aku bisa terbang.”, maka sejatinya kita memang perlu terus bergerak dan mengisi kehidupan ini dengan sesuatu yang bermakna.

Yoon Se-ri yang telah berhasil membangun perusahaan besar, bergelimang harta, dan dikelilingi berbagai fasilitas mewah, rupanya punya banyak lubang sepi di hatinya. Tidak dekat dengan ayah-ibu, hingga hubungan saudara yang penuh dengan ambisi perebutan harta khas para chaebol (konglomerat) di Korea Selatan. 

Terjebak di sebuah desa yang jauh dari barang-barang modern di Korea Utara, rupanya membantu Yoon Se-ri untuk mulai mengisi lubang-lubang sepi itu. Ada Kapten Ri yang membuatnya jatuh cinta, keempat prajurit yang perlahan menjadi karib, hingga ibu-ibu kompleks militer yang turut menghangatkan hatinya. 

Jika dulu Yoon Se-ri terkenal sebagai “putri pemilih” yang tak pernah memakan apapun lebih dari tiga suap, maka di desa sederhana itu ia bisa melahap apa saja dengan nikmat.

Apakah Yoon Se-ri satu-satunya yang kesepian dan menemukan kebahagiaan di drama ini? Tidak, hampir semua pemeran, termasuk si gagah Ri Jeong-hyeok yang memilih untuk tidak terlibat perasaan secara pribadi dengan siapapun karena takut terluka seperti saat ia kehilangan kakak satu-satunya. Juga Seo Dan, wanita yang dijodohkan dengan Ri Jeong Hyeok, yang memelihara kesepian dengan cinta sepihak pada Ri Jeong Hyeok. 

Seo Dan bersikeras ingin menikah dengan Ri Jeong Hyeok, dan menganggap bahwa ia akan bahagia, padahal rasa cintanya pada Ri Jeong Hyeok tidak lebih dari ambisi ingin memiliki yang berujung pada semakin besarnya rongga sepi itu di dalam hatinya. 

Begitu pula dengan Gu Seung-joon si penipu ulung yang berusaha menutupi rasa sepinya sebagai seorang yatim dengan menipu keluarga Yoon Se-ri untuk membalas dendam. 

Uniknya Gu Seung-joon mengakui bahwa setelah berhasil menipu keluarga Yoon Se-ri, ia nyatanya malah merasa tidak bahagia sama sekali. Gu Seung-joon kian terpuruk dalam rasa sepi dan terus bertanya, “Jika aku mati, siapa yang akan menangisiku?”

Begitulah keempat tokoh sentral dalam drama ini bergelut dengan rasa kesepiannya masing-masing. Mereka tersesat dan keliru memilih jalan untuk mengisi rasa sepi dengan memburu tujuan yang salah. 

Tapi kembali, seperti kata Yoon Se-ri, ada kalanya kita salah naik kereta dan tersesat, tapi justru di sanalah kita menemukan sesuatu yang indah. 

Ya dalam ketersesatan itu, Yoon Se-ri, Ri Jeong Hyeok, Seo Dan, hingga Gu Seung-joon pada akhirnya menemukan landasan tempat mereka melabuhkan rasa sepi dan membasuh jiwa yang haus akan cinta, crash landing on you.

Bertemu dengan sosok-sosok yang tulus dan membantunya saat kesulitan, Yoon Se-ri akhirnya tahu bahwa makan bersama itu membahagiakan, dan ia tak perlu lagi memelihara tembok diri yang membuatnya kian terkucil dari orang-orang terkasih. Se-ri kemudian membuka diri untuk kembali terhubung dengan orang-orang di sekitarnya. 

Bersama Yoon Se-ri, Kapten Ri Jeong Hyeok memutus tali kesepiannya dan memutuskan untuk siap terluka sebagai resiko saat mencintai seseorang. Ri Jeong Hyeok menyadari, bahwa meski pada akhirnya harus berpisah dengan yang dicinta, tapi memperjuangkan cinta itu sendiri adalah kebahagiaan, bahwa mencintai itu menyembuhkan. 

Dengan Seo Dan, Gu Seung-joon memahami bahwa ia tidak perlu balas dendam untuk mencapai kebahagiaan, bahwa kesepian yang ia pikul sepanjang hidup rupanya dapat ia genapkan dengan cinta yang sederhana. 

Juga Seo Dan, yang pada akhirnya memutus rantai sepi yang ia simpul sendiri dalam balut ambisi, lalu membuka dan mengijinkan cinta mengalir dengan lembut mengisi setiap rongga sepi di hati.

Haruskah kita tersesat ke Korea Utara untuk mengusir sepi seperti Yoon Se-ri? Tidak juga. 

Jika menyimpulkan hasil diskusi Ngopi Susu Virtual pada 27 Juni 2020, rupanya kesepian yang bisa saja dirasakan oleh setiap orang dapat kita atasi dengan cara yang sederhana, yaitu terhubung. Seperti pada drama “Crash Landing on You”, keempat tokoh tadi memelihara sepi di hati karena gagal terhubung dengan sesuatu yang sejatinya dekat dengan mereka, dan memilih untuk membangun tembok tinggi yang makin memisahkan mereka dari hangatnya cinta kasih.

Cinta kasih dalam hal ini bukan melulu cinta kasih romantis antara pria dan wanita, tapi juga cinta kasih dengan teman seperti Yoon Se-ri dan keempat prajurit juga ibu-ibu komplek militer, cinta kasih dengan masa lalu, seperti yang dilakukan Gu Seung-joon yang berdamai dengan dendamnya, dan tentu saja cinta kasih untuk diri sendiri, seperti Seo Dan yang memutus ikatan ambisi yang ia simpul sendiri.

Kita perlu terhubung dengan apa yang ada dalam kehidupan ini, dengan aktivitas yang dijalani (mindful in daily activities), dengan binatang peliharaan, dengan tanaman, dan tentu saja dengan orang-orang di sekitar. Karena kesepian menjalar dan membentuk rongga di hati ketika hubungan itu terlepas, atau sengaja kita lepaskan. 

Mungkin kita adalah Yoon Se-ri, yang kemudian memburu tujuan yang keliru untuk mengusir kesepian dengan memuaskan diri pada atribut yang tidak esensial. Tetapi semoga pada akhirnya ketersesatan itu membawa kita pada kesadaran, bahwa jika kita adalah sebatang kara seperti Gu Seung-joon di dunia ini, kita perlu selalu ingat untuk mencipta keterhubungan kita dengan-Nya.

Sumber gambar:

Rabu, 29 Juli 2020

Gandhi, Tolstoy, dan Wukuf di Padang Arafah



Oleh Duddy Fachrudin 

Kian hari semakin banyak yang mempelajari mindfulness. Malam ini baru saja selesai mengkaji dan berdiskusi terkait ilmu ini. Yang hadir tidak main-main, para profesional, akademisi, dan juga praktisi.

Lalu apa yang sebenarnya kita cari? Segenap tanya meminta jawaban yang sesuai logika hingga rasa.

Begitulah manusia. Semestinya. Senantiasa ingin bertumbuh dan berkembang seperti Gandhi dan Tolstoy yang kadang pemikirannya tak kita mengerti. Gandhi yang senang jalan kaki dan puasa, sementara Tolstoy, bangsawan dan pujangga besar itu bercita-cita menjadi orang biasa-biasa saja.

Keduanya tak pernah bertatap muka, namun disatukan oleh kata-kata.

Dalam surat terakhirnya kepada Gandhi, Tolstoy menulis:

The longer I live-especially now when I clearly feel the approach of death-the more I feel moved to express what I feel more strongly than anything else, and what in my opinion is of immense importance, namely, what we call the renunciation of all opposition by force, which really simply means the doctrine of the law of love unperverted by sophistries. 

Love, or in other words the striving of men's souls towards unity and the submissive behaviour to one another that results therefrom, represents the highest and indeed the only law of life, as every man knows and feels in the depths of his heart (and as we see most clearly in children), and knows until he becomes involved in the lying net of worldly thoughts. This law was announced by all the philosophies- Indian as well as Chinese, and Jewish, Greek and Roman.

Cinta melahirkan persatuan dan kesatuan. Tak ada lagi membeda-bedakan, penilaian, serta penghakiman. Semua sama berkat cinta. Karena cinta pula lahir ahimsa. 

Keduanya menempuh jalan sunyi. Jalan transformasi. Bukan untuk mengubah dunia. Melainkan menanam untuk diri sendiri. Agar memahami dan mengenali diri.

###

Siapa kita ini? Semburat tanya kembali menggeliat. 

Bersama mereka dari berbagai negara, bangsa, berbeda suku, ras, dan kulit warna melakukan waqafa (berhenti sejenak), di padang arafah (hamparan pengetahuan) di waktu siang dan malam hari, di puncak haji.

Wukuf, berdiam diri untuk mengenal, dan memahami, serta menyadari diri.

Begitulah haji mengajarkan. Haji adalah arafah. Begitu sabda Nabi.

Haji adalah retreat akbar yang mengajak manusia untuk menilai dirinya agar tak lagi memvaluasi untung rugi. Tak lagi termelekati rupa-rupa kemolekan sensasi yang diindera oleh penglihatan, pendengaran, juga hati.

Arafah adalah upaya untuk menjadi murni. Cara agar kita manusia melepaskan diri dari jerat ilusi dan halusinasi. Strategi dalam mengolah batin untuk tak lagi menjadi hakim selama hidupnya. 

Maka arafah adalah hikmah bagi mereka yang berserah menjalani kehidupan dengan ilmu dan cinta.

Sumber gambar:

Senin, 01 Juni 2020

Meditasi Hijau: Fase Belajar dan Bertumbuh di Kala Pandemi



Oleh Prinska Damara Sastri 

Gimana jadinya kalau kita yang sehari-harinya lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah lalu berubah harus tetap #dirumahaja. Ya, khususnya selama pandemi corona ini.

Sebagian besar orang mungkin mengalami kebosanan. Aku dan kamu bisa termasuk ke dalam golongan sebagian besar itu.

Dengan kondisi seperti ini, sebisa mungkin melakukan kegiatan positif agar cerita #dirumahaja ini tidak hanya menjadi ajang untuk mengeluh. Karena keluh hanya memproduksi stres berkepanjangan dan tidak membuat pribadi untuk belajar utuh serta bertumbuh.

Kalau dipikir-pikir, stay at home bisa jadi satu ajang yang baik bagi kita untuk mengenal diri, memahami keluarga kita lebih dekat, serta mengetahui kondisi lingkungan di rumah dan di sekitarnya dengan lebih baik. 

Masa pandemi adalah saat yang tepat untuk rehat.

Meditasi dan berolahraga menjadi opsi utama aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Selain itu, berkebun menjadi suatu hal baru yang menarik untuk dicoba.

Mengapa berkebun?

Hal ini diawali dengan kebiasaan saya membuat pupuk kompos sendiri dari sampah rumah tangga. Sebuah hobi yang iseng dilakukan akibat jenuh dari tugas akhir yang tak kunjung beres sejak dua tahun lalu. 

Mengkompos... ternyata setelah dijalani menyenangkan juga. Dan pada akhirnya aktivitas ini menjadi sebuah hobi yang sifatnya berkelanjutan.

Setelah mulai terbiasa membuat pupuk kompos, terpikir untuk menekuni aktivitas berkebun. 

Kita semua percaya bahwa dengan memulai hobi seperti ini, secara langsung menyumbangkan banyak oksigen untuk bumi. Hal ini akan berdampak pada keadaan bumi yang semakin sehat yang pada akhirnya ia memberikan energi baik pada penghuninya.

Maka, sejak awal Covid-19 memasuki negeri ini, saya mencoba mengulik sendiri tentang berkebun, diawali dengan membeli beberapa benih dan juga bibit untuk ditanam.

Saat berkebun saya melihat betul bagaimana proses tanaman-tanaman ini tumbuh. Mulai dari benih sampai mereka bertransformasi menjadi tumbuhan.

Banyak hikmah yang saya pelajari dari berkebun. Ada suka, juga duka.

Dibanding sukanya, diawal-awal berkebun banyak dukanya juga. Seperti harus merelakan benih yang tidak tumbuh, lalu kebingungan saat tanamannya tumbuh dengan tidak sehat, dan sebagainya.

Mulai muncul pikiran otomatis: benar ya, kegiatan berkebun adalah kegiatan menjenuhkan dan juga kuno. 

Rasanya seperti menunggu sesuatu yang tak pasti. Ingin menyerah saja, karena seperti menambah beban baru. 

Tapi...

Dibalik semua itu ternyata saya belajar untuk lebih bersabar, kemudian mengobservasi kesalahan dan belajar untuk lebih berusaha lagi. Hikmah ini bisa diterapkan ketika harus menghadapi Covid-19 yang tak tahu kapan usainya.

Rehat dengan meditasi hijau alias berkebun menyadarkan bahwa semuanya membutuhkan proses. 

Ada kegagalan, lalu pembelajaran, kesabaran, pemaknaan yang dalam, keikhlasan, hingga tumbuh kecintaan untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi bumi ini.

Di sinilah kita berpindah dari fase. Dari yang awalnya mengeluh ke tahapan belajar serta bertumbuh. 

Sumber gambar: 

Rabu, 20 Mei 2020

Menggapai Keseimbangan: Dari Spanish Flu Hingga Covid-19



Oleh Hamzah Abdurrahman

100 tahun sejak Spannish Flu yang menginfeksi 1/3 populasi dunia dan menelan lebih dari 50 juta korban jiwa[1], manusia kembali mendapat sebuah pandemi yang sangat menghebohkan masyarakat dunia: Covid-19.

Jika kita melihat sejarah terjadinya pandemi di muka bumi, mereka selalu menyisakan perubahan drastis bagi kehidupan manusia.

Seperti Spannish Flu pada tahun 1918 yang tepat sekali dengan berakhirnya Perang Dunia (PD) pertama. Dimana berakhirnya wabah tersebut merubah pemikiran manusia terutama dari sisi teknologi industri kesehatan.

Pasca wabah Spannish Flu, banyak sekali perusahaan kesehatan yang bermunculan baik itu dalam produk obat obatan, alat kesehatan, dan sebagainya. Hingga pada akhirnya, wabah tersebut hanya berlangsung selama 2 tahun hinnga berakhir di tahun 1920.

Berbeda dengan coronavirus yang terjadi tahun ini. Dimana virus tersebut datang ketika populasi manusia berjumlah 7,7 miliyar[2] dengan segudang masalah yang berdampak pada perubahan iklim.

Maka tak heran, sebelum terjadinya wabah ini, isu climate change dan lingkungan hidup menjadi pusat perhatian.

Meledaknya populasi manusia dalam 100 tahun terakhir, menuntut kebutuhan akan sumber daya alam dan lahan tempat tinggal menjadi semakin tinggi. Ditambah dengan meningkatnya populasi manusia di kota kota besar, menjadikan manusia terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu atau biasa kita sebut dengan urbanisasi.

Pertambahan populasi manusia menjadi kesempatan orang-orang atau kelompok untuk menyediakan kebutuhan manusia seperti pangan, tempat tinggal, pakaian, mobilitas, dan berbagai jenis kebutuhan lainnya.

Bahkan bukan hanya menyediakan kebutuhan manusia, akan tetapi membentuk sebuah tren gaya hidup baik dalam bentuk fashion, kendaraan, properti, dan berbagai tren gaya hidup.

Demi memenuhi permintaan manusia akan kebutuhan dasar dan gaya hidup terjadi banyak eksploitasi alam dan perusakan lingkungan secara masif yang berlangsung selama puluhan tahun. Maka tak heran, dengan meningkatnya gaya hidup manusia, seringkali membentuk perilaku hedonisme.

Perilaku ini menjelma bak “virus” yang penyebarannya semakin cepat melalui perantara teknologi informasi. Tak heran jika barang barang branded, rumah dan kendaraan mewah mejadi cita-cita baru bagi manusia.

Bahkan beberapa kelompok manusia, rela mengurangi kebutuhan primernya seperti asupan makanan, hanya untuk membeli sebuah gadget Apple terbaru. Tentu hal ini menjadi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan, dimana manusia menggeser prioritas akan kebutuhan hidup menjadi gaya hidup.

Hedonisme, perilaku berlebih-lebihan yang menggerus keseimbangan disadari oleh mereka yang peduli akan kesederhanaan.

Beberapa kelompok manusia, membuat sebuah inovasi untuk membantu merubah mindset manusia agar dapat mengendalikan diri dari berkembangnya moderenisasi.

Inovasi gaya hidup tersebut adalah hidup minimalis. 

Apa itu tren hidup minimalis? Pada dasarnya, tren ini mencoba mengembalikan fungsi atau skala prioritas manusia dimana kebutuhan hidup jangan sampai tergeser oleh gaya hidup.

Lalu apakah kita tidak boleh memiliki gaya hidup? Tentu saja boleh, namun kita harus bisa mengontrol keinginan gaya hidup dengan memperhatikan kemampuan diri sendiri.

Bahkan gaya hidup tersebut jika dimanfaatkan dapat meningkatkan produktivitas manusia. Sehingga kita hanya akan membeli barang jika memang barang tersebut diperlukan.

Tren minimalis kini bukan hanya sekedar tentang membeli barang yang perlu dan tidak diperlukan. Tren ini kini berkembang pada kepedulian akan lingkungan hidup bahkan pada arsitektur bangunan.

Tren minimalis kini memikirkan apakah aspek kehidupan kita mengganggu kesehatan dan kelestarian lingkungan, seperti mengurangi penggunaan plastik, pakaian untuk jangka waktu panjang, kendaraan berbasis motor listrik, hingga masuk pada tren untuk menggunakan kendaraan umum sebagai alat mobilitas utama.

Dari segi arsitektur atau kebutuhan akan tempat tinggal, tren minimalis menghadirkan solusi bagi masyarakat urban yang tinggal di daerah pemukiman padat. Tren ini mencoba memanfaatkan ruangan yang tersedia agar dapat memenuhi kebutuhan manusia, yaitu dengan mengoptimalkan ruangan rumah menjadi lebih efektif untuk digunakan.

Seorang arsitek Indonesia bernama Yu Sing memiliki semangat menghadirkan desain rumah ramah lingkungan bagi semua kalangan masyarakat. Konsep hunian yang dihadirkan Yu Sing memang sangat unik. Ia menghadirkan konsep hunian yang berkolaborasi antara alam dan manusia, agar memenuhi kebutuhan satu sama lainnya.

Bahan dasar rumah memanfaatkan material alam dan kearifan lokal seperti bambu, kayu, pelepah, dan sebagainya. Selain itu, Yu Sing memiliki konsep untuk memanfaatkan luas tanah yang bagi kebanyakan orang dianggap sempit, menjadi hunian yang layak, nyaman dan ramah lingkungan. Tentu sangat sejalan dengan tren minimalis diberbagai penjuru dunia.

Maka pandemi ini menjadi momentum perubahan perilaku umat manusia. Agar manusia lebih memperhatikan kepentingan bersama, mencegah diri dari melakukan kerusakan, meninggalkan hedonisme, dan belajar untuk mengembangkan hidup minimalis. Sehingga bumi ini dapat merasakan kembali keseimbangan alam yang telah lama ia rindukan.

Wa laa tufsidu fil-ardi ba’da islaahihaa wad’uhu khaufaw wa tama’aa, inna rahmatallahi qariibum minal-muhsinin. (QS. Al-A’raf: 56)

Referensi:
[1] https://www.cdc.gov/flu/pandemic-resources/1918-pandemic-h1n1.html
[2] https://www.worldometers.info/world-population/world-population-by-year/

Sumber gambar: 
Dokumentasi Pribadi 

Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Mimpi apa saya? Di malam yang mendadak basah ini saya juga mendadak gelisah, resah, dan gundah...

Apakah ini nyata? Demikian sebaris tanya bak running text terus saja berulang di dalam benak saya seolah menjadi cameo pengisi ruang. 

Ya undangan kehormatan Dhian, seorang akademisi ISI Surakarta, membuat saya terdampar dan terkapar lemas di pantai-pantai sadar tak berbalut lagi selembar nalar. 

Sungguh sajian malam ini kurang ajar... Asu, kata Mas Butet, yang semalam duduk tepat di depan saya. 

Diawali terbukanya gerbang mistika yang penuh dengan mustika lewat mantra musika Kua Etnika yang menggetarkan sukma, dimulailah sebuah perjalanan spiritual menuju gua garba cinta dan asal muasal manusia. 

Mbak Silir dengan intonasi yang bisa semilir sekaligus berhembus kencang menghilir, membuai gendang telinga untuk larut dalam rima demi rima yang dibangkitkan dari pusara cerita oleh sang penyulap, kata Landung Simatupang anak Batak asli Jogja. 

Marinta Si Anak Matahari yang mewarisi radiasi hasil fusi saripati Tanah Karo dengan puser bumi tanah Jawa, Solo, membungkus kasunyatan dalam aliran gairah syahwat nalar nan gawat sampai tak terasa ada yang mengerut dalam cawat. Sirna lah nafsu yang berbaju hasrat. Lahirlah sejuta tanda tanya nan menggoda, meski sebagian besarnya tersandera retorika dan akan larut dalam pekatnya haeno tiga dunia nyata. 

Kasunyatan...yang nyata sesungguhnya yang maya. Yang lapar sesungguhnya indera. Yang kuasa sesungguhnya raga yang menjadi daya wadag adalah boga. Dan hidup adalah maha daya yang tak terperdaya oleh cinta maya. 

Adalah air, adalah rasa, adalah eter yang mengisi setiap jengkal ruang semesta. Persetan dengan Schopenhauer dengan majas idea nya. Persetan dengan Heidegger yang terlalu centil dengan ajaran Husserl tentang fenomena...

Belajarlah mencari apa yang terlukis dan tertulis di jiwa. Dan Jawa adalah Jiwa yang bermata, Mata Jiwa. Mata yang menembus sifat fana dan berkelindan dengan para malaikat yang baka. 

Wujud, qidam, baqa... eksistensi materi adalah bagian dari konstruksi hati yang mencari. Yang dicari tak pernah pergi, tapi kita mencintai proses mencari. Karena esensi mencari adalah mengenali yang hakiki. Mengagumi dan mengamati dari setiap sudut persepsi.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:
https://funnyjunk.com/channel/wallpapers/A+collision+of+dark+and+light/pLstDcY/

Senin, 30 Desember 2019

Resolusi Filosofi untuk Hidup Bahagia


Oleh Duddy Fachrudin

Setiap akhir tahun biasanya kita membuat resolusi atau perubahan apa yang ingin dicapai di tahun berikutnya.

Ingin berat badan ideal
Menikah
Punya bisnis
Penghasilan bertambah 2x lipat
Memiliki rumah
Hafalan Al Qur'an bertambah
Indeks Prestasi naik
Traveling ke tempat-tempat yang tertulis di bucket list

Atau bisa juga berkaitan dengan perilaku:

Berhenti merokok
Menolak uang suap/ korupsi
Memisahkan berbagai jenis sampah
Menyisihkan uang untuk ditabung
Bersedekah lebih banyak

Dan sebagainya...

Manusia selalu ingin berubah. Menentukan target, tujuan, cita-cita kemudian berusaha mencapainya untuk menjadi insan yang lebih baik, sukses, bahagia, dan penuh berkah.

Karena itu kita merumuskan resolusi, bukan?

Di awal tahun kita bersemangat untuk mencapai perubahan tersebut, namun dalam perjalanan, distraksi atau gangguan kemudian menyerbu bagaikan wabah penyakit yang mengalihkan fokus.

Di sisi lain kita tidak sabar menjalani proses dan menginginkan hasil instan. Ujungnya kita lelah. Lalu berhenti. Dan tidak jarang menggelontorkan sejuta excuse terhadap kegagalan memenuhi target.

Jika hal seperti itu yang terjadi, kita memang sebaiknya berhenti melakukan aksi dalam mencapai resolusi. Berhenti sejenak untuk menggali atau menemukan filosofi.

Kita boleh belajar pada negara Skandinavia atau Jepang yang kental dengan filosofi kehidupan masyarakatnya. Lagom, Hygge, Sisu, Lykke, Fika, Wabi-Sabi, dan Ikigai masih dipegang dan dijalani oleh masing-masing individu di sana.

Penduduk Indonesia pun kental dengan filosofi hidup. Setiap suku bangsa di negara kepulauan ini memiliki filosofi tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan lebih baik dan bahagia. Filosofi Kawruh Jiwa yang diteliti oleh sahabat saya, Abdul Kholik nyatanya menjadi kunci hidup bahagia bagi pelakunya.

Bagi para pembelajar, memegang filosofi Growth Mindset (GM) menjadi keniscayaan. Dalam mindfulness, hal itu disebut beginner's mind. Dirinya selalu ingin belajar terhadap sesuatu yang ditemuinya sehingga ia bisa terus bertumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan.

Maka sesungguhnya resolusi perlu dibarengi dengan filosofi. Resolusi tanpa filosofi ibarat sayur tanpa garam, atau masakan tanpa rempah. Hambar sekaligus ambyar.

Dan ngomong-ngomong, mindfulness bukan sekedar sikap (attitude) dan latihan (practice). Mindfulness itu filosofi. Sebelum mengembangkan sikap dan latihannya, memahami mindfulness dalam bentuk filosofi adalah kepatutan, terutama buat kita yang ingin menjalani kehidupan yang mindful.

Apa itu mindfulness sebagai filosofi? Find it.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 13 Agustus 2019

Dialog Imajiner Den Mas Yudho


Oleh Tauhid Nur Azhar

Seperti kayu yang mengikhlaskan dirinya menjadi abu ketika api perlu urup untuk menguripi.

Pengorbanan bukanlah kesia-sian, melainkan kesadaran tertinggi untuk memahami arti "hadir" dan mencintai.

Ada, Berada, dan Tiada semua hanyalah makna yang dibingkai kata-kata. Direnda menjadi rajutan perca dalam teater kala yang tepinya disulami bordir sementara.

Maka apa salahnya menjadi abu?

Apa salahnya mencintai api yang lalu melumat aku?

Karena aku, sang kayu, tahu. Tanpa aku tak ada kamu (api), dan tak ada panas yang lahir dari rahim ikhlas.

Bukankah semesta fana ini semata hanyalah lingkaran panas (baca tenaga) yang membangkitkan raga (baca; makhluk)?

Dan tak ada yang kuasa mencegah apapun yang telah menjadi kehendak-Nya.

Maka kayu, api, abu, dan kamu.. ya kamu.. yang tetap ada, karena ada yang rela tiada, hanyalah semata wayang berjiwa yang jumawa seolah digdaya dalam menguntai rasa menjadi cerita.

Meski punya nalar, kita kerap tak sadar bahwa semua cerita ditulis sekehendak penulisnya. Dan Sang Penulis adalah Qulillâ humma mâlikal mulki.

Wa tukhrijul hayya minal mayyiti wa ma tukhrijul mayyita minal hayya... Ada yang pergi dan mati untuk lahir dan hadirnya kehidupan, demikian pula sebaliknya. 

Dan pada gilirannya semua hanyalah sebaris ingatan tanpa penubuhan. Menjadi ada karena tiada, dan sementara menjadi tanda bahwa setiap ada akan menjadi tiada kecuali yang Satu jua...

Sumber gambar: 
Dokumen pribadi

Rabu, 31 Juli 2019

Obat Depresi: Menerima dan Membuatnya Merasa Berharga


Oleh Nita Fahri Fitria

Pernahkah kita merasa berada dalam keramaian tapi tetap terasa sepi? Bagi sebagian orang, hal ini mungkin saja sesuatu yang asing. Bagaimana bisa merasa sepi di tengah hiruk pikuk manusia?

Tapi, sejatinya kondisi ini banyak dialami oleh beberapa orang di sekitar kita. Mungkin dia adalah adik, kakak, teman, atau bahkan pasangan kita. Dan kita sering kali tidak menyadari kehadiran orang-orang yang kerap merasa kesepian ini meski saat kita ada di sisinya. Bagaiamana bisa?

Perasaan kesepian adalah bagian dari dimensi depresi. Dan orang-orang yang menghadapi depresi ini kerap tidak muncul di permukaan, sehingga mereka tetap tampil sebagai orang biasa yang seolah tak punya masalah.

Mereka bisa jadi sangat bersinar, digandrungi banyak orang, tapi mereka memiliki satu ruang hampa dalam dirinya. Sebuah ruang mirip sumur, dalam, gelap, sepi, dan tak ada yang tahu seberapa dalamnyanya. 

Ada di antara bingar, tapi hanya bisa berdialog dengan pikiran dan rasa yang jauh terkungkung dingin dan gelapnya sumur. 

Hendaknya kita lebih mahfum dengan berita-berita seputar selebriti papan atas yang secara mengejutkan mengakhiri hidupnya sendiri di tengah puncak popularitas. Yang tidak lain didorong oleh kondisi depresi yang dialami selama bertahun-tahun.

Penghujung tahun 2017, seorang idol kenamaan Korea menghembuskan nafas terakhirnya setelah menghirup karbon monoksida di sebuah kamar. Tentu publik tercengang, karena idol satu ini tengah bersinar. Sekali ia muncul dipublik, maka jutaan fans akan berjerit memanggil namanya, “Saranghaeo Oppa”. 

Rupanya, jutaan ungkapan cinta itu tidak cukup membuatnya merasa dicintai dan berharga. Ia tidak merasa cukup berharga untuk terus tampil di publik, begitu ujarnya pada sang sahabat. 

Sepeninggal sang idol, publik teringat pada salah satu lagu penyanyi bernama Lee Hi yang rupanya ditulis oleh sang Idol, berjudul “Breath”.

Liriknya begitu dalam, mengisahkan seseorang yang berjuang meregulasi berbagai rasa yang ada. Dalam lirik tersebut, penulis berkata pada dirinya sendiri untuk menarik nafas panjang saat merasa lelah, untuk mengucapkan "tidak apa-apa" saat melakukan kesalahan, dan kalimat pamungkasnya: you did a great job

Bayangkan, ia menulis itu untuk dirinya sendiri sebagai sebuah proyeksi atas kehampaan yang ia rasa atas segala pencapaian yang dipunya. Kondisi ini bisa jadi tidak disadari oleh orang-orang di sekelilingnya.

Maka mulai sekarang, mari kita lebih peka terhadap orang-orang terkasih di samping kita. Tunjukkan perhatian penuh ketulusan, dan menahan diri untuk mengomentari hal negatif di dalam dirinya. 

Memberikan saran ada adab dan ada waktunya. Jangan sampai komentar kita malah kemudian menjatuhkan percaya dirinya, karena itu disampaikan saat ia benar-benar dalam kondisi psikologis yang buruk, sehingga betul-betul ia hayati sebagai sebuah kehampaan. 

Tidak lupa, apresisasi sederhana atas apapun yang dilakukan oleh orang terkasih amatlah perlu kita biasakan. Memberikan apresiasi dan menerima kekurangannya akan membuat ia merasa berharga dan punya lebih dari cukup alasan untuk “tetap hidup”. 

Sumber gambar:

Rabu, 20 Maret 2019

Pikiran Saya Doing or Being Mode Ya? (MBCT Workshop Batch 3)



Oleh Duddy Fachrudin

Seorang kolega, sahabat, sekaligus guru bercerita tentang pengalamannya mendapatkan klien yang "aneh" menurutnya. Penasaran dengan kata "aneh" tersebut saya membuka kedua telinga menyimak sebaik mungkin.

"Klien tersebut seorang pengusaha, datang dengan mobil bagus, lalu menemui saya..." ujar kolega saya. "Lalu ia berkata, 'Saya takut miskin'..."

Mendengar cerita tersebut saya terperangah, how come? Bagaimana mungkin ia mengatakan hal yang realitanya adalah sebaliknya?

Namun hal itu sangat mungkin karena ia berada pada doing mode.

Doing mode merujuk pada cara kerja pikiran yang serba otomatis, berfokus pada masa lalu dan masa depan, menghindari ketidaknyamanan, dan pikiran tersebut seolah-olah realita yang sebenarnya.

Doing mode kadang bermanfaat dalam kehidupan individu, tapi seringnya ia menggangu karena menjadi penjara yang membelenggu. Doing mode berpotensi berulang yang kemudian menjadi ruminasi (rumination thought).

Kebalikan doing mode adalah being mode. Cara kerja pikiran ini lebih terjaga, tertata, dan tidak terburu-buru. Pikiran hanyalah sebuah bentuk imaji mental, bukan sebuah kenyataan. Individu yang mengembangkan being mode lebih menyadari pikiran yang datang dan mengolahnya menjadi sebuah keputusan yang tepat.

Memunculkan being mode dalam keseharian seolah mudah, namun nyatanya butuh latihan, apalagi bagi mereka yang memiliki gangguan, seperti depresi dan kecemasan.

Itulah mengapa doing vs being mode menjadi satu sesi yang amat penting dalam Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT). Di sesi ini, klien diajarkan untuk mengenali dan menyadari pikirannya, apakah itu termasuk dalam doing mode atau being mode. Setelah berkenalan dengan pikirannya sendiri (yang kenyataannya lebih banyak doing mode), tahap selanjutnya adalah berlatih mindfulness.

Banyak jenis latihan mindfulness yang bisa dilakukan, seperti breathing, body scan, dan walking. latihan-latihan tersebut bukan hanya dilakukan selama sesi bersama terapis, namun juga di rumah. Sampai akhirnya, klien dapat mengevaluasi sendiri, "Pikiran saya masih sering berada pada mode doing atau sudah being ya?"

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Minggu, 10 Februari 2019

Berlatih Sabar dengan SOBER


Oleh Duddy Fachrudin

Alkisah seorang cowok keren berkelana dari kampungnya nun jauh di sudut Sanur menuju Jakarta, sebuah kota yang penuh ambisi dan memiliki tingkat stres yang tinggi. Meskipun begitu kota tersebut merupakan kota cinta dan penuh hikmah, setidaknya bagi pemuda ini.

Ia merantau mencari ilmu dan karena kecerdasannya ia diterima di jurusan psikologi di kampus ternama. Kadek nama pemuda itu, yang selama menempuh studi lebih banyak melakukan eksperimen kehidupan dibanding membaca buku. Ia bahkan jarang terlihat belajar oleh teman-teman atau dosen-dosennya. Namun nilai-nilainya justru yang paling tinggi dibandingkan dengan teman-teman satu angkatannya.

Semua orang curiga bahwa ia melakukan kecurangan, seperti mencontek atau bahkan menyogok. Teman-temannya berkomentar negatif tentangnya, bahkan ia juga mulai dijauhi oleh mereka. Hanya seorang karib yang senantiasa menemaninya, meskipun ia berada di kota sebelah tempat Kadek menempuh studi.

Sendiri ia menghadapi kenyataan yang sebenarnya fiksi. Jiwanya gelisah ingin marah serta membuktikan diri bahwa ia tak bersalah. Namun kemudian ia teringat pesan gurunya di Sanur, "Orang-orang yang berkomentar menjelekkan adalah mereka yang belum mengenal kebenaran dan tersentuh cinta dalam hatinya."

Maka pesan itu yang menjaganya untuk tetap bijaksana layaknya Arjuna yang tak ternoda dan bercahaya mengendara kereta di Padang Baratayudha sembari ditemani Krisna.

"Mereka (Kurawa) juga saudaraku, maka jika aku menjelekkan atau berkomentar negatif kepadanya sama seperti melukai diriku sendiri."

Begitulah Kadek berbagi rasa dengan teman satu-satunya di suatu senja di Kedai Kopi 372 Dago Pakar.

Tak ada yang kebetulan. Sore itu diskusi menarik tentang "Menerima dan Memaafkan" tersaji bersama hangatnya kopi dibawakan oleh Bu Diana, seorang Guru Mindfulness dari kaki Gunung Ungaran dan muridnya mba Fefi.

Kadek dan temannya mengikuti diskusi interaktif yang diselingi musik dan latihan mindfulness nan asyik. Salah satu latihannya adalah SOBER.

SOBER merupakan konsep dari sabar yang merupakan bagian dari hidup mindful. "Carilah pertolongan, salah satunya melalui sabar..." Begitu ujar Bu Diana di hadapan audiens yang begitu antusias...

Bu Diana kemudian meminta mba Fefi menjabarkan SOBER. Dengan mindfulnya, wanita berparas lembut itu menyampaikan SOBER yang ternyata merupakan sebuah singkatan dari:

Stop
Observe
Breathing
Expand
Respond


"Bisa dijelaskan lebih lanjut"?, tanya seorang peserta bernama Anisa, seorang staf riset dan pengembangan di sebuah sekolah bisnis yang saat itu sedang mempelajari mindfulness.

Mba Fefi kemudian melanjutkan:

Stop: disaat mendapatkan suatu kejadian yang tidak menyenangkan, kita tidak langsung merespon. Tapi ijinkan diri kita untuk sejenak berhenti.

Observe: lalu amati pikiran dan perasaan kita, termasuk amati lingkungan juga.

Breathing: kemudian tarik nafas. Ijinkan diri kita nyaman, rileks dan dalam kondisi yang tenang serta penuh kedamaian.

Expand: setelahnya kita mungkin mendapatkan berbagai alternatif respon yang bijaksana atas peristiwa negatif yang baru saja terjadi.

Respond: kalau sudah mendapat respon terbaik, lakukan respon tersebut.

"Itulah SOBER," lanjut mba Fefi.

Kadek yang menyimak diskusi itu semakin yakin bahwa komentar negatif hanya bisa dikalahkan dengan mempraktikkan SOBER.

Sumber gambar:
Dokumentasi Pribadi

Kamis, 24 Januari 2019

#2019HidupLebihMindful


Oleh Duddy Fachrudin

Lasse Rouhiainen dalam bukunya yang sangat fresh yang berjudul Artificial Intelligence: 101 Things You Must Know Today About Our Future menuliskan 11 skills yang dibutuhkan di masa depan. Salah satu keterampilan tersebut ialah mindfulness, suatu kemampuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap suatu hal. Setidaknya ada 3 hal penting mengapa keterampilan ini perlu dimiliki oleh kita:

1. Perkembangan jaman yang begitu cepat membutuhkan sebuah cara bagi kita untuk mengelola pikiran, perasaan dan juga perilaku. Mindfulness berperan di sini agar kita pandai dalam menata kondisi mental kita. Tidak jarang bagi mereka yang kesulitan mengelola jiwanya terjerembab dalam kesepian, depresi, dan kecanduan internet--tiga permasalahan psikologis yang berkembang pesat di era digital.

2. Dunia telah berubah dimana setiap insan dituntut untuk semakin cerdas (smart people). Maka pengambilan keputusan menjadi suatu hal yang krusial, khususnya bagi kita. Mindfulness mengembangkan kehati-hatian, sadar dan waspada daripada keterburuan sehingga keputusan yang diambil merupakan hasil dari olah nalar yang bijaksana.

3. Setiap manusia meyakini kedamaian dan ketenangan adalah kondisi yang selalu diperjuangkan. Kedamaian tidak akan tercipta tanpa adanya cinta kasih (compassion). Mengembangkan cinta kasih merupakan bagian dari kehidupan yang mindful yang juga turut serta menciptakan keseimbangan pada alam semesta.

#2019HidupLebihMindful

Sumber gambar:
http://www.lasserouhiainen.com/artificial-intelligence-book/

Rabu, 05 Desember 2018

Melepas Mindfulness [Agar Hidup Semakin Mindful]


Oleh Duddy Fachrudin

Biasanya seorang praktisi psikologi atau psikolog memiliki teknik atau metode tertentu yang selalu ia pakai dalam menangani seorang klien.

Psikolog A memakai pendekatan CBT. Psikolog B konseling berbasis client-centered. Dan Psikolog C menggunakan terapi EFT.

Saya sendiri biasanya mengajak klien untuk melakukan latihan-latihan mindfulness.

Namun dengan seiring berjalannya waktu, saya tidak lagi menggunakan satu pendekatan, yaitu mindfulness.

Saya "melepas" mindfulness, dan tidak terikat dengannya.

Karena tidak ada satu teknik atau metode terbaik, bukan?

Maka kita perlu bejalar pada Master Shifu yang tidak pernah meminta Po untuk bermeditasi untuk mengembangkan inner piece.

Dan dengan melepas hal itu, Po akhirnya menguasai inner piece.

Sumber gambar:
http://kungfupanda.wikia.com/wiki/Shifu