Tampilkan postingan dengan label Definisi Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Definisi Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Januari 2025

Menyelami Sejenak Ruang Bernama Kehidupan #bagian 1

Oleh Duddy Fachrudin 

Di akhir tahun saya mendapat tawaran mengajar psikologi untuk korporasi di empat daerah negeri ini. Dua diantaranya di luar pulau Jawa. Alhamdulillah, dari keempatnya terealisasi satu saja.

Jika keempatnya terlaksana tentu sangat senang sekali. Apalagi psikologi sebagai fondasi dalam menjalani kehidupan ini diperlukan setiap orang di jaman yang serba tak pasti. Namun karena ketidakpastian pula, ketiganya urung terjadi.

Dalam kondisi seperti ini yang bisa dilakukan hanya menerima, bahwa segalanya tidak sesuai rencana, sambil kemudian terus menata, memperbaiki diri dari ke hari sehingga siap untuk menyambut mentari.

Meski, setiap hari bisa saja yang datang tak hanya mentari. Mungkin ia yang hadir adalah kecewa dan rasa frustasi. Atau cemas serta depresi. Kata Rumi, mereka semua merupakan tamu yang perlu disambut dengan hangat dan riang gembira. Memeluk derita sama halnya merangkul bahagia.

Namun, bagaimana mungkin orang biasa seperti Judin paham mengenai konsep itu. Laki-laki yang hanya berpenghasilan 30 ribu per harinya itu harus menghadapi kenyataan yang menyayat sendinya. Hutang yang menumpuk diwariskan oleh orangtuanya. Sejak ayahnya meninggal, ia mengambil alih nahkoda rumah tangga yang oleng bagaikan Titanic setelah menabrak gunung es di lautan luas itu.

Sore itu ditemani Juwita, Judin mengungkapkan gelisahnya. “Sebenarnya kalau mau kita bertiga, ya kakak dan adikku berjuang bersama melunasi hutang-hutang itu.”

“Mbok sendiri bagaimana?” tanya Juwita.

Dalam duduknya Judin mengehela nafas teringat keinginan kuliahnya dicegah oleh ibunya sendiri. Kedua tangannya menyangga tubuhnya yang ringkih. “Andai saja aku kuliah Wit! Setidaknya aku bisa memperbaiki keadaan sekarang.”

Berkali-kali Judin menilai dirinya bodoh dan tak bisa apa-apa. Namun dibalik itu ia yang menanggung segalanya.

Kehidupan itu… sebenarnya apa? Tanya Judin dalam relung hatinya. Sementara senja mulai menyapa dirinya serta Juwita.

Pun tanya itu pula yang kemudian direnungkan oleh para pembelajar dari berbagai generasi di sebuah korporasi, suatu hari akhir tahun itu.

“Perjalanan!” seru seorang anak muda. Di satu sisi, seorang laki-laki berusia 50an, berkata bahwa hidup ialah kebersyukuran.

“Hidup itu stres ya Wit,” Judin kembali mengungkapkan keluhnya.

Bersambung…

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Sabtu, 28 Desember 2024

Kekuatan Afirmasi


Oleh Duddy Fachrudin & Mindfulnesia Walking Group 

Dalam memotivasi diri serta orang lain, kata-kata menjadi sarana yang bisa menjadi catudaya penggerak mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Buku “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” memberikan banyak contoh bagaimana afirmasi melalui kata-kata sangat dianjurkan untuk diucapkan. Seperti kisah One Piece, dimana Luffy seringkali berkata “Aku akan menjadi Raja Bajak Laut!”. Meski kemudian diremehkan dan ditertawakan, nyatanya sugesti tersebut menjadi bagian pelayaran serta petualangan yang tidak mudah dan penuh dengan tantangan.

Contoh lainnya yang dituliskan dalam buku tersebut ialah afirmasi yang selalu diucapkan oleh Mohammad Ali saat bertanding melawan George Foreman. Pertandingan itu ibarat David versus Goliath, karena Big Foreman sepertinya akan mudah meng-KO Ali yang “kecil”. Namun rupanya Ali memiliki strategi yang tiada lain mengucapkan kata-kata penuh energi. “Ayo, mana pukulanmu!”, “Pukulanmu tidak menyakitiku!”, Ali mengatakannya sembari memamerkan moncongnya di depan Foreman. Prediksi KO memang benar terjadi. Tapi berlaku untuk Foreman. Ali berhasil memukul telak lawannya di ronde ke-8, setelah sebelumnya “hanya” menghindar dari hantaman Foreman[1].

Sebagai pendaki gunung jelata yang gear pendakiannya apa adanya, afirmasi ke diri juga sangat mempengaruhi. Contoh saja begini: “Puncak memang bukan tujuan, tapi tidak sampai puncak keterlaluan”. Atau saat lelah melanda hati ini kemudian berkata, “Sedikit lagi!”. Dan benar saja saat energi sepertinya sudah habis, tiba-tiba tubuh kemudian bangkit dan melangkah lagi.

Dan sekali lagi, kekuatan kata-kata digunakan dalam pendakian kali ini. Pendakian yang dibilang tidak sulit karena gunung yang didaki bukan gunung yang berketinggian 3000 mdpl. Bukan juga 1000 hingga 2000-an mdpl dengan jalur yang “pedas”. Gunung ini, atau lebih layak disebut bukit berketinggian 451 mdpl. Jajar Sinapeul namanya.

Pendakian kali ini bertajuk “Mindfulnesia Trail Walk”, tujuannya untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental. Karena jalan kaki sendiri memang salah satu aktivitas fisik yang mudah dan murah, serta memiliki manfaat yang bagus sekali dalam meregulasi emosi. Bahkan berjalan kaki selama 10 menit saja dapat meningkatkan energi serta kualitas suasana hati[2].

Puncak Gunung Sinapeul. Itulah tujuan kami. Lokasinya tepat di atas Desa Ujungberung Blok Sinapeul. Terdapat dua cara menujunya dari rumah. Pertama ialah menggunakan kendaraan selama 20 menit dan menitipkannya di salah satu rumah warga. Kedua melalui berjalan kaki selama 2 jam menyusuri kampung, sawah, kebun, bukit kuda, hingga akhirnya tiba di blok Sinapeul. Kami memutuskan untuk menggunakan cara kedua.

Setelah hampir 10 km berjalan kaki, kami tiba di lokasi. Suatu kawasan wisata durian yang terkenal di Kabupaten Majalengka. Sebelum melanjutkan perjalanan menuju Puncak Jajar Sinapeul, kami beristirahat ditemani serabi hangat yang begitu lezat. Sekitar pukul 10.15 kami berjalan kembali dimulai dengan menyusuri kebun durian. Beberapa petani durian dijumpai, salah satunya yang kemudian bertanya tentang perjalanan kami. “Mau ke puncak Pak,” ujar kami. Dengan wajah ceria dan semangat, bapak itu membalas, “Bala…!”.

Bala. Terheran-heranlah Azru, Reno, dan Tamami. Ketiga anak muda yang berapi-api itu lantas bertanya kepada saya makna kata “bala”. Karena bapak tersebut mengucapkannya dengan wajah yang sumringah, maka saya mengira-ngira saja maknanya. “Artinya hebat, keren!” ujar saya.

Hebat. Pendakian yang keren, karena tidak ada orang lain yang mendaki saat itu. Hanya kami berempat. Kata “hebat” menjadi afirmasi sepanjang perjalanan pendakian. Sehingga segala rintangan yang menghadang, baik itu rasa lelah, medan yang curam, serbuan nyamuk, serta keinginan untuk berhenti dari mendaki bisa teratasi. Afirmasi “hebat dan keren” benar-benar ampuh menjadi catudaya “menaklukan” Gunung Jajar Sinapeul.

Gunung ini sunyi dan sepi. Sudah tidak banyak yang mendaki karena tidak ada lagi yang mengelola. Gunung ini ramai dikunjungi 4 hingga 2 tahun lalu di era pandemi. Penduduk lokal membuat jalur pendakian dan menatanya. Beberapa video pendakian Gunung Jajar Sinapeul bisa dilihat di Youtube dimana jalur pendakian jelas dan tertata rapih. Di Puncak Jajar Sinapeul, atap Jawa Barat Gunung Ciremai terlihat begitu gagah dan megah. Sementara jajaran gunung di perbatasan Cirebon Barat-Majalengka amat menawan, bagaikan Raja Ampat.

Bala. Kata itu kembali terngiang selama turun dari puncak. Langit mulai gelap yang membuat kami perlu bergegas. Namun sayangnya yang dihadapi ialah turunan curam penuh dengan dedaunan berserakan. Salah melangkah, tubuh bisa hilang keseimbangan lalu terperosok ke bawah. Meski ingin bergerak cepat, kenyataannya justru melambat.

Bala. Benarkah artinya keren atau hebat?

Hujan akhirnya mengguyur bumi. Untungnya kami sudah melalui turunan curam berduri itu. “Kita benar-benar bala! Hebat!” Apalagi Tamami dan Azru baru pertama kali naik gunung. Sementara Reno tidak menyangka medan Gunung Sinapeul diluar perkirannya. Dikiranya Sanghyangdora yang asyik dan ramah.

Bala. Akhirnya saya mencari tahu maknanya.

Bala seringkali digunakan pada kalimat “bala tantara…”, maka artinya bisa “pasukan”. Tapi sepertinya makna ini tidak sesuai dengan konteks pendakian. Sementara, bala dalam bahasa Sunda memiliki arti “berantakan”. Dalam kamus bahasa Sunda, bala memiliki arti: penuh rumput atau sampah serta bahaya.

Jadi… makna bala sejatinya suatu kondisi yang berantakan, awut-awutan, tidak tertata, tidak rapih seperti halnya gorengan bala-bala yang dibuat tanpa cetakan.

Selama perjalanan sendiri kami menjumpai jalur yang amat rimbun. Tumbuhan liar menutupi jalur pendakian. Daun-daun berserakan menutupi tanjakan/ turunan curam yang membahayakan. Sementara di jalur puncak yang menyerupai punggungan naga, ilalang menjulang setinggi badan sehingga menyulitkan pergerakan.

Ternyata… benar yang dikatakan bapak petani durian yang kami jumpai di awal pendakian. Bala pisan!
 
Referensi:
[1] Fachrudin, D. 10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia. Solo: Metagraf 2011.
[2] https://www.mentalhealth.org.uk/explore-mental-health/publications/how-look-after-your-mental-health-using-exercise#paragraph-18511

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 09 Desember 2024

Refleksi Akhir Tahun: Menemukan Tombol "Pause" yang Hilang


Oleh Astrid Nur Alfaradais 

Pernahkah kamu merasa bahwa hidup ini adalah jalanan yang macet? Hiruk pikuk dan gaduh. Semua orang sibuk, bergegas untuk mengejar sesuatu—tapi anehnya, sering kali kita tidak tahu apa yang sebenarnya diburu.

Kehidupan yang dijalani bagaikan autopilot: bangun, kerja, makan, tidur. Berulang di esok hari. Hingga tak terasa sudah berada di penghujung tahun lagi.  

Rasanya seperti ada tombol pause yang hilang di remote diri. Dan dalam rutinitas tersebut, kita acapkali tak menyadari respon yang muncul di saat riuhnya situasi. Padahal saat itu selalu ada kesempatan untuk menimbang keputusan serta memilih.


Seperti saat berada dalam kemacetan: apakah kemudian marah, membunyikan klakson, menggerutu tanpa henti, atau diam membisu?

Tapi pernahkah kamu berhenti sejenak? Memperhatikan hujan mengguyur jalanan, menyadari langit sore memerah, atau sekedar menyadari, "Oh, aku masih bernapas. Jantungku masih berdetak." Selamat, kamu telah bertemu mindfulness—sebuah tombol pause untuk kembali ke momen saat ini.

Mindfulness mengajarkan kita untuk menjadi pengemudi, bukan penumpang dalam hidup kita sendiri. Ketika kita sadar akan napas, tubuh, dan perasaan, kita sebenarnya sedang mengijinkan untuk berhenti dan menikmati perjalanan. 

Seringkali pikiran kita berlarian. Melintasi masa lalu, mengingat kesalahan, atau melompat ke masa depan, penuh dengan kecemasan. Kita lupa bahwa satu-satunya tempat di mana kita benar-benar hidup adalah di sini, saat ini. Sekarang. 

Jadi, harus mulai darimana? 

Mindfulness bisa diterapkan dengan cara sederhana di kehidupan sehari-hari dengan meniatkan diri untuk senantiasa berhenti lalu mengamati dan menyadari diri, seperti pikiran serta suasana hati. Kemudian mengambil napas secara lembut dan sadar. Merasakan udara masuk dan keluar, hening di sini, sehingga membantu untuk kembali ke momen kini. 

Saat berjalan, berikan perhatian penuh pada langkah kaki, pernapasan, serta lingkungan sekitar. Momen ini bisa menjadi latihan untuk mengasah kesadaran diri melalui gerakan. 

Dalam interaksi sosial, mindfulness berarti hadir sepenuhnya dengan lawan bicara. Mendengarkan tanpa interupsi dan menghindari memberi komentar yang bersifat penilaian. Belajar untuk memahami secara jernih setiap kata yang terucap dan mereponnya secara bijak.

Mindfulness juga berguna untuk mengelola emosi negatif. Ketika rasa marah atau takut muncul, kita boleh menyadari dan menerima sensasi fisik seperti ketegangan pada tubuh. Sembari menunggu, pulihkan melalui pernapasan dan kebijaksanaan[1]. 

Langkah-langkah ini membantu menciptakan hidup yang lebih damai dan sadar. Mencoba berhenti sejenak di jalanan hidup yang macet, membuat kita bisa mengingat bahwa meski tujuan itu penting, menjalani perjalanannya jauh lebih berarti.

Referensi:
[1] White, P. G. (2024). 5 Simple Ways to Be Mindful in Your Everyday Life. Mindworks. Retrieved from https://mindworks.org

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 25 November 2024

Forest Therapy: Inovasi Kesehatan dari RSUD dr. Soeselo Slawi



Oleh Duddy Fachrudin & Andry Dahlan 

Covid-19 telah memporak-porandakan kehidupan manusia. Pandemi yang berlangsung tiga tahun lebih itu memberikan pelajaran bahwa manusia sangat tidak berdaya oleh mahluk tak kasat mata. Berbagai bidang, seperti kesehatan, perekonomian, pendidikan, pariwisata, dan kehidupan sosial terkena dampaknya.

Khusus dalam kesehatan, kematian akibat virus SARS-Cov-2 mencapai 7 juta lebih di seluruh dunia[1]. Namun jumlah aslinya bisa 4 kali lipat dari data yang dilaporkan[2]. Sementara jumlah yang terinfeksi 1/11 dari total penduduk bumi[1]. Bagi yang terinfeksi kemudian dinyatakan sembuh, ternyata gejala Covid-19 masih memungkinkan untuk tetap ada atau menetap, khususnya terkait kelelahan dan fibromialgia[3].

Melihat fakta tersebut, manusia kemudian berupaya menata kembali diri dan kesadarannya akan kesehatan. Manusia ingin mengubah gaya hidupnya untuk menjadi lebih sehat. Upaya promosi dan prevensi lebih diutamakan dibanding pengobatan secara kuratif serta rehabilitatif. Program-program wellness menjadi perhatian khusus dan digemari saat ini. Bahkan mereka yang melakukan perjalanan untuk berlibur memiliki tujuan untuk mengembangkan kesehatannya, alih-alih hanya sekedar wisata yang bersifat hiburan dan kesenangan. Salah satu pendekatan dari aktivitas wellness tersebut ialah forest therapy berbasis mindfulness.

Mindfulness sendiri merupakan keterampilan dalam memberikan perhatian secara murni terhadap realita yang ada, baik internal maupun eksternal. Dunia internal meliputi batin manusia itu sendiri, seperti pikiran dan perasaan, serta sensasi tubuh yang acapkali tidak disadari benar sehingga menimbulkan konsekuensi perilaku yang kemrungsung, reaktif, impulsif, hingga kompulsif. Sementara dunia eksternal, yaitu segala sensasi dan informasi yang masuk melalui Indera yang juga seringkali mudah dihakimi saat manusia itu sendiri tidak benar-benar hadir sepenuhnya. Efeknya stres yang jika tidak dikelola hingga kronis dengan tepat menimbulkan gawat pada imunitas tubuh yang menjadi lemah.

Maka kehidupan pasca Covid-19 ialah penataan diri (baca sistem imun) agar siap menghadapi pelbagai kemungkinan dari serangan patogen berbentuk fisik serta psikologis, yaitu virus dan stres psikologis itu sendiri. Virus kian hari pandai bermutasi, sementara paparan kehidupan modern dan dunia digital penuh dengan stresor.

Banjirnya informasi melalui sosial media, eksposur polusi perkotaan, kebisingan, kepadatan, hiruk pikuk, dan kehidupan yang terus memburu membuat pikiran keruh dan hati kisruh. Jiwa merindu hening untuk kemudian terkoneksi dengan alam, Tuhan, dan kemanusiaan. Dibalik ketidakseimbangan hidup yang dijalani, forest therapy hadir sebagai solusi.

Adalah RSUD Slawi yang mengawali. Dokter Guntur M. Taqwin sebagai direktur menginisiasi inovasi suatu layanan terapi dengan pendekatan “mandi” di hutan. Simulasi dilakukan di hutan Guci yang tidak jauh dari rumah sakit. Bersama rekan-rekan dokter alumni Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Angkatan 80an, kami menjelajahi manfaat dari hutan untuk kesehatan bersama.

Menemani dokter Andry Dahlan yang sudah lebih dahulu mempelopori medical wellness tourism dan hospital without wall, kami berbagi seputar forest therapy selama dua hari. Hari pertama sharing mengenai forest therapy secara singkat. Kemudian di hari kedua melakukan aktivitas sederhana forest therapy berbasis mindfulness atau forest bathing.

Ragam aktivitas bisa dilakukan selama melakukan “ritual” mandi di hutan. Dokter Qing Li, direktur Forest Therapy Society di Jepang menguraikan beberapa diantaranya, forest walking, yoga, eating in the forest, hot spring therapy, tai chi, meditasi, breathing exercise, aromatherapy, dan art therapy[4]. Selama 1 jam 30 menit, kami letakkan sejenak handphone lalu mempraktikkan yoga, berjalan kaki dengan kesadaran, meditasi, dan praktik tui shou, salah satu latihan dari tai chi. Kegiatan tak melulu hening, karena interaksi antara kita menghasilkan harmoni cerita dan tawa. Pakde Edy Raharjo, yang juga seorang dokter spesialis saraf tak segan untuk memberikan hikmah dari aktivitas forest therapy, yaitu agar kita senantiasa adaptif dalam menjalani kehidupan.

Kembali kepada sistem imun tubuh manusia, aktivitas forest bathing menghasilkan peningkatan dalam sel Natural Killer (NK). Tiga protein dalam sel NK, yaitu GRN, perforin, dan GrA/B meningkat, yang berarti sel NK lebih sehat dan kerjanya lebih siap serta lebih baik dalam melawan sel-sel jahat[5]. Saat di alam dan terpapar fitonsida, mikrobiota usus kita juga mengalami perubahan yang lebih positif[6]. Hippocrates bilang, “All disease begins in the gut”, dengan kata lain kesehatan dan sistem imun yang baik bermula dari usus. Kuncinya ada pada komposisi mikrobiota usus, begitu kata Giulia Enders, seorang ahli gastroenterologi di Jerman.

By the way… berbicara tentang gastroenterologi, jadi ingat obrolan dengan Om Janu Dewandaru di stasiun kereta mengenai tiga penyakit yang sering dialami para pegawai. Nomor 1 dan 2 berhubungan dengan sistem pencernaan atau gastrointestinal. Kemudian yang ketiga ialah back pain. Urusan weteng (perut) memang perlu dijaga, karena Nabi Saw. berkata, “Sumber dari penyakit adalah perut”. Kata-katanya sama persis dengan Hippocrates.

Pendekatan “sumber penyakit” atau akar penyakit dalam konteks kedokteran mengacu pada functional medicine. Berbeda dengan conventional medicine yang banyak diajarkan di fakultas kedokteran, functional medicine menekankan pada kebutuhan pasien yang merujuk pada sumber penyakitnya, bukan alih-alih hanya sekedar diberikan obat untuk mengatasi gejala. Dengan kata lain functional medicine lebih integratif, memandang semua sistem dalam tubuh berhubungan yang orientasinya pada kesehatan, bukan penyakitnya.

Bukankah setiap orang menginginkan dirinya sehat? Angka harapan hidup yang semakin tinggi perlu ditunjang pula dengan kesehatan yang prima, agar kelak manusia dapat menjadi manfaat, mandiri, dan tidak merepotkan orang lain. Bahasa dr. Andry Dahlan, yaitu “Inspiring before expiring”.

Semoga inovasi forest therapy berbasis mindfulness kelak dikembangkan dan diaplikasikan RSUD dr. Soeselo Slawi. Semoga semuanya sehat. Semoga semuanya bahagia.

Referensi:
[1] https://www.worldometers.info/coronavirus/coronavirus-cases/
[2] https://news.detik.com/abc-australia/d-5973584/angka-kematian-covid-tembus-6-juta-orang-jumlah-sebenarnya-bisa-4-kali-lipat-lebih-tinggi
[3] https://www.apta.org/article/2023/01/27/long-covid-cfs-fms-comparison
[4] Li, Q. Into the Forest: How Trees Can Help You Find Health and Happiness. London: Penguin Books 2019.
[5] Garcia, H., & Miralles, F. Forest Bathing: The Rejuvenating Practice of Shinrin Yoku. North Clarendon: Tuttle 2020.
[6] Santhiravel, S., Bekhit, AEA., Mendis, E., Jacobs, JL., Dunshea, FR., Rajapakse, N., & Ponnampalam, EN. The impact of plant phytochemicals on the gut microbiota of humans for a balanced life. Int J Mol Sci 2022; 23(15):8124. doi: 10.3390/ijms23158124. PMID: 35897699; PMCID: PMC9332059.


Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/11/diskusi-forest-therapy-di-stasiun-kopi.html

Rabu, 06 November 2024

Inilah Keterampilan Psikologis yang Perlu Diasah Gen-Z untuk Sukses di Tempat Kerja



Oleh Duddy Fachrudin 

Sore hari, setelah kuliah berakhir, Ainu, mahasiswa dari Bumiayu itu sejenak mampir di sebuah kafe bernama Kopi Mangkir. Setelah memesan manual brew kesukannnya, ia duduk dan mengambil ponselnya. Dibukanya untuk mencari inspirasi dan mendapatkan edukasi terkini. Ainu yang seorang Gen-Z merasa perlu banyak belajar. Bukan hanya di perkuliahan, tapi juga di ruang-ruang digital.

“Pesanan Mas Ainu, manual brew arabika gayo ya?” seorang waitress berwajah ayu menghampiri Ainu dan meletakkan kopi itu.

Ainu mengangguk, lalu berucap, “Terima kasih,”. Diambilnya kopi itu lalu didekatkan ke hidungnya. Matanya sedikit terpejam. Seluruh tubuh dan pikirannya hadir bersama kopi arabika gayo yang ada di depan hidungnya.

Setelah melakukan ritual tersebut, Ainu kembali kepada gawainya. Pikirannya terfokus pada isu-isu terkini mengenai Gen-Z. Sampailah ia pada berita mengenai sulitnya Gen-Z mencari kerja. Dengan sigap, ia mencari literatur ilmiah yang mendukung serta diskusi podcast terkait dengannya.

“Ah, ini dia…” ujar Ainu kemudian mengambil kopi dan menikmatinya. Secara perlahan pemuda yang terbilang pendiam itu menyimak informasi dan berusaha mengelaborasikannya dengan materi kuliah tentang soft skills yang baru didapatnya tadi.

Sekilas Gen-Z

Generasi Z yang lahir pada rentang tahun 1997 (ada juga yang mengatakan 1995) hingga 2012 bisa dikatakan generasi yang paling terbuka dengan beragam persoalan. Mengapa? Karena mereka sudah terbiasa terpapar dengan jamak informasi dan “kemudahan hidup” yang diterima serta diakses dari gawainya. Semuanya sudah tersedia, mau mendengarkan lagu, menonton film, menikmati makanan, dan memesan “supir pribadi” untuk diantar ke tempat yang dituju.

Perkembangan internet yang canggih dan cepat membuat Gen-Z memiliki identitas “komunitas digital” yang kreatif, inovatif, dan pastinya rasa ingin tahu yang tinggi. Di dunia maya Gen-Z bebas mengemukakan pendapat dan sangat menjunjung keberagaman. Berbeda itu hal yang wajar bagi Gen-Z, termasuk dalam bekerja dan berkomunikasi dengan rekan kerjannya.

Dibalik kemudahan hidup serta kebebasan dalam beropini, terdapat sisi negatif jika keduanya tidak dikelola dengan baik. Ibarat mengendarai mobil, ngegas terus akan berakibat fatal tanpa dibarengi ngerem.

Tantangan Gen-Z di Dunia Kerja

Pertama gaya hidup serba instan dan selalu ingin terpenuhi kebutuhannya menjadi masalah yang menjangkiti Gen-Z. Hal ini dimediasi oelh perilaku impulsif serta kompulsif karena mudah terdistraksi dari beragam informasi yang masuk ke dalam diri. Ya, Gen-Z memiliki ciri khas kesulitan untuk berada pada fokus yang lama. Maka, di lingkungan kerja, problem utama Gen-Z, yaitu terlihat tidak engage dengan pekerjaannya. Apa yang ada di pikirannya saat bekerja? Healing akhir pekan? Hobi yang ingin dijalani? Atau masalah kesehatan mental karena lingkungan kerja yang menurutnya toxic?

Work engagement yang rendah merupakan ciri tidak hadirnya individu pada pekerjaan tersebut, atau bahasa kerennya ngga mindful. Tentu bukan hanya karena diri individunya itu sendiri, melainkan bisa akibat dari lingkungan kerja dan dinamika di dalamnya. Pekerjaan yang tidak bermakna, kultur organisasi yang buruk, serta atasan yang tidak menghargai merupakan variabel eksternal yang mempengaruhi.

Kedua, kebebasan beropini di ruang maya dapat terbawa ke ruang kerja yang pada akhirnya membuat Gen-Z dinilai niretika. Bebas tanpa batas berujung pada bablas. Padahal mungkin maksudnya baik, namun dipersepsi berbeda oleh rekan kerja atau atasan. Keterampilan sosial menjadi kunci bagi Gen-Z agar bisa berproses dan bertumbuh di tempat kerja. Perusahaan pun perlu memiliki figur seorang leader yang dapat memberikan contoh dalam berkomunikasi kepada Gen-Z. Karena Gen-Z sangat menyunjung kesetaraan maka hilangkan sekat serta hirarki saat berdiskusi dengannya.

Penutup

Tak terasa satu jam Ainu menghabiskan sore itu dengan pembelajaran baru. Ia menuliskan hal-hal penting, khususnya keterampilan psikologis yang perlu diasah dan dikembangkannya sebagai seorang Gen-Z, agar nanti saat bekerja bisa beradaptasi dengan pekerjaan dan menujukkan performansi yang bagus sesuai indikator. Ainu meminum tegukan kopi terakhirnya lalu melangkah keluar kafe untuk hadir bersama senja yang cantik itu.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Kamis, 15 Agustus 2024

Hidup Senang Mati Tenang: Merdeka dari Penderitaan Psikologis



Oleh Duddy Fachrudin 

Berita hari ini berseliweran di lini masa. Tentang seorang residen Program Profesi Dokter Spesialis (PPDS) yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak biasa. Asumsi bermunculan mengembara berusaha mencari sebabnya? Depresi, perundungan, ataukah karena faktor sakit yang dideritanya?

Tentu kita tidak perlu terlalu jauh untuk memikirkannya, karena beragam faktor berkontribusi atas hadirnya suatu masalah atau perilaku tertentu. Tidak ada faktor tunggal, bisa jadi karena ketiganya, bahkan mungkin pada saat investigasi ditemukan variabel lain yang menentukan. 

Di titik ini, yang perlu dilakukan oleh kita ialah mengambil jeda dan mempelajari jiwa ini, karena mungkin kita juga memiliki keinginan untuk bunuh diri?

Ramainya pemberitaan mengenai bunuh diri memang semakin menjadi-jadi. Isu kesehatan mental dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini menyadarkan kepada setiap individu untuk merawat serta menata jiwanya. Di satu sisi, kita juga tidak menoleransi segala bentuk kekerasan yang dapat memicu ketidaknyamanan dan menggerus keseimbangan mental kita. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita, manusia yang acapkali rapuh saat mengarungi kehidupan ini?

Pertama, kita perlu kembali mengenali diri ini. Apa saja lintasan-lintasan rasa dan pikiran yang sering menghampiri? Apakah ia mengganggu dan membuat kita tidak berdaya?

Kedua, jika memang hal itu mengganggu kita akui dan terima. Tidak perlu menolaknya atau menghindarinya (experiential avoidance). Karena semakin menghindarinya justru lintasan rasa dan pikiran yang mengganggu itu semakin kuat muncul. Penderitaan psikologis bermula saat kita menolak dan menghindari ketidaknyamanan rasa dan pikiran tersebut.

Ketiga, setelah diterima dan dihadapi hal yang mengganggu tersebut, maka kita perlu membuat jarak. Ya, menerima bukan berarti melekatkan pikiran dan perasaan yang mengganggu tersebut pada diri kita. Justru di sinilah kita mengembangkan cognitive defusion, menanggalkan atau melepaskan kemelekatan itu. Caranya bisa dengan melatih diri kita dengan mindful breathing, sitting, body scanning, walking, dan mengembangkan sikap mindfulness, seperti sabar, tidak menilai, menerima, melepaskan, terbuka, dan sebagainya.

Keempat, mengembangkan value atau nilai, yaitu sesuatu yang penting dalam hidup kita. Nilai itu yang akan menjadi guide kita menuju kehidupan yang bermakna. Nilai hidup dapat berhubungan dengan kehidupan personal, interpersonal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Misalnya value yang kita kembangkan berkaitan dengan pekerjaan adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, mendengarkan mereka di saat mereka kesusahan.

Kelima, melangkah bersama value. Ciptakan tujuan-tujuan kecil, dimana bahan bakar dari goal tersebut adalah value. Sebagai contoh, nilainya adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, kemudian kita tentukan goal, yaitu menciptakan suatu konten edukatif yang bermakna dan bermanfaat untuk orang yang menyimaknya.

Keenam, fokus pada kehidupan berbasis value yang bermakna yang sudah kita ciptakan.

Ketujuh, teruslah berlatih untuk mengembangkan hidup yang berkesadaran, karena dalam menjalani hidup itu sendiri, niscaya akan berjumpa dengan pelbagai stimulus, baik dari dunia internal, yang berisi pikiran, perasaan, kenangan atau memori yang berkelindan, dorongan-dorongan, dan lain-lain, serta dari luar diri individu (eksternal) yang berpotensi memicu hadirnya stres yang kemudian membuat larut (kembali) ke dalam masalah di masa lalu yang sebenarnya sudah berusaha kita lepaskan.

Berlatih mindfulness

Terakhir, jika memang kita berada pada suatu sistem yang membuat diri kita semakin terpapar stres yang berlebihan, maka berhenti dan memilih opsi untuk keluar dari lingkungan yang semakin menjerat pada permasalahan psikologis adalah tindakan yang bijaksana. Menerima bukan hanya bertahan, tapi juga mengambil keputusan yang tepat untuk keberlanjutan hidup kita.  

Pada akhirnya, merdeka dari penderitaan psikologis ini adalah ikhtiar dan belajar secara sadar, dan fondasinya tiada lain adalah kemampuan menggunakan nalar sehingga pelayaran kehidupan menjadi berbinar karena pendar-pendar cahaya yang menuntun pada sebuah reservoar indah dimana kapal yang kita tumpangi akhirnya menurunkan dan menautkan jangkar.

Sumber gambar:

Kamis, 12 Oktober 2023

Strategi QIKI Agar Pikiran Jernih dan Tercegah dari Bunuh Diri



Oleh Tauhid Nur Azhar

Kerap dalam hidup kita terjebak dalam pusar keluh kesah yang menyedot kita ke dalam umbalan kekecewaan tak berujung.

Rasa tak puas, cemas, khawatir terhadap masa depan, berkelindan dengan kekesalan akan pengalaman yang telah dijalankan. Semua berkemuncak dalam sebait kemarahan yang dilisankan, ataupun meletup dalam letusan vulkanis yang masif dan emosional, hingga meninggalkan lubang kaldera yang teramat besar di hati dan jiwa kita.


Hati dan jiwa yang terluka, akan menjadi danau penampung air mata sebagaimana danau Toba menampung jutaan metrik ton air di bekas letusan kawah purbanya.

Dapat pula lelehan magma kecewa itu mengalir secara efusif dan keluar dalam bentuk tekanan solfatara. Merembes dan merasuki begitu banyak aspek kehidupan dan menggerus rasa syukur secara terstruktur, meski kita tak dapat mengidentifikasi dan mengukur dampak yang terjadi.


Tapi tentulah apapun jenis letusan dan letupan perasaan yang kita analogikan dengan erupsi gunung api; bisa meledak hebat seperti tipe letusan Plinian, ataupun yang mengeluarkan materi piroklastik seperti ada tipe Hawaiian, tetap saja rasa marah dan kecewa itu pada mulanya akan menghanguskan.

Meski pada tahap berikutnya jadilah ia pupuk yang menumbuhkan benih-benih pembelajaran yang akan berakar kokoh untuk menopang pokok-pokok pengetahuan agar mampu menghasilkan tajuk-tajuk makrifat kesadaran.

Dan apabila tajuk kesadaran itu merindang, maka kesejukan pikir pun akan datang. Berdendang riang, berbagi suara dengan lantun zikir yang membulir dalam sebentuk embun bening peradaban yang dibangun dari pemahaman akan hakikat keberadaan dan esensi kehadiran (presensi).

Dalam hening jiwa yang berkesadaran, kesiur lirih, tipis, dan subtil dari setiap helai kebahagiaan, telah mampu membangkitkan generator rasa syukur yang dikonstruksi oleh mekanisme tafakur dalam perjalanan hidup yang semangat bertadabbur.

Pada saat kita gagal menata hati dan terjerembab dalam jurang merutuki yang menggelincirkan kita dalam pusaran keluh kesah tadi, maka situasi hati akan terus terdistorsi, dan bahkan terdestruksi. Keluh kesah, kecewa, dan rasa kufur akan bersama mengubur rasa syukur dan menimbuninya dengan torehan kepedihan yang amat menyakitkan.

Hidup tak lagi indah, putus asa dan rasa lelah lahir bathin akan melanda, bahkan di penghujung hari kadang terbersit keinginan untuk bunuh diri. 

Bukankah hasrat dan syahwat untuk mengejar nikmat secara terkendali adalah fitrah bagi kita yang hidup untuk berkompetisi dan berprestasi? Fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam menimba kebajikan dari sumur pengalaman yang dipenuhi dengan air pelajaran, untuk menghasilkan bertangkup-tangkup kebaikan.

Ketika gairah hidup surut, dan segenap semangat untuk mengaktualisasi diri bermuara pada apatisme dan rasa sepi, maka dalam panduan diagnosis ICD-10, ada kemungkinan kita telah memasuki fase depresi. Adapun depresi itu sendiri terdiri dari beberapa kategori, sebagaimana penjelasan berikut ini;

1. Depresi Mayor

Depresi ini diartikan sebagai jenis depresi yang membuat penderitanya merasa sedih dan putus asa sepanjang waktu. Gejala bisa berlangsung berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Terlepas dari berapa lama gejala berlangsung, depresi berat dapat mengganggu aktivitas dan kualitas hidup penderitanya. berikut ini gejala dari depresi mayor:

• Suasana hati yang murung dan suram
• Kehilangan minat terhadap hobi atau aktivitas lain yang sebelumnya disukai
• Perubahan berat badan
• Gangguan tidur
• Sering merasa lelah dan kurang berenergi
• Selalu merasa bersalah dan tidak berguna
• Sulit berkonsentrasi
• Kecenderungan untuk bunuh diri

2. Depresi Persisten

Depresi persisten atau distimia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi depresi yang bersifat kronis. Gejala yang ditimbulkan sama dengan depresi pada umumnya, namun depresi jenis ini berlangsung lama bahkan hingga bertahun-tahun. Seseorang dapat disebut menderita depresi persisten apabila ia merasakan gejala depresi yang menetap selama setidaknya 2 bulan secara terus menerus dan hilang timbul dalam waktu 2 tahun.

3. Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat drastis. Seseorang yang memiliki gangguan bipolar bisa merasa sangat senang dan berenergi di suatu waktu, namun tiba-tiba menjadi sedih dan depresi. Pada saat berada dalam fase senang dan berenergi (mania atau hipomania), penderita bipolar akan mengalami beberapa gejala berikut ini:

• Optimis dan tidak bisa diam
• Sangat berenergi dan lebih bersemangat
• Percaya diri yang berlebihan
• Susah tidur atau merasa tidak perlu tidur
• Nafsu makan meningkat
• Banyak pikiran

Setelah berada dalam fase mania atau hipomania untuk beberapa waktu, orang yang memiliki gangguan bipolar biasanya akan masuk ke fase mood yang normal, lalu kemudian masuk ke fase depresi. Perubahan mood ini bisa terjadi dalam waktu hitungan jam, hari, atau berminggu-minggu.

4. Depresi Psikotik

Depresi psikotik ditandai dengan gejala depresi berat yang disertai adanya halusinasi atau gangguan psikotik. Penderita depresi jenis ini akan mengalami gejala depresi dan halusinasi, yaitu melihat atau mendengar sesuatu yang sebetulnya tidak nyata.

Tipe depresi ini lebih banyak terjadi pada orang tua. Meski begitu, orang yang masih muda pun bisa saja mengalaminya. Selain usia lanjut, riwayat trauma psikologis yang berat di masa kecil juga dikatakan dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami depresi psikotik.

Pada wanita sebagai makhluk Tuhan yang hebat dan unik, kondisi overthinking yang terjadi menjadi lebih kompleks dengan kehadiran sistem hormonal yang spesial, hingga dikenal pula kasus-kasus depresi pasca persalinan atau postpartum depression dan premenstrual dysphoric disorder (PMDD) dimana keduanya maujud dalam berbagai bentuk perubahan perilaku temporer yang dapat berdampak signifikan pada yang bersangkutan.

Faktor pemantik terjadinya depresi sebenarnya cukup beragam, mulai dari adanya pengaruh dari aspek genetik, seperti adanya dinamika ekspresi dari gen MTHFR, pola pengasuhan, pajanan budaya, juga pengembangan kapasitas resiliensi yang amat banyak dipengaruhi oleh pola pendidikan dan model interaksi di keluarga dan masyarakat.

Tetapi intinya, depresi dapat terjadi pada siapa saja yang mendapat tekanan multi dimensi hingga mengalami kondisi kronis kejiwaan yang tak sepenuhnya tertangani. Kesadaran akan peran tempat bersandar yang melabuh segenap nalar memberikan kita peluang untuk merasakan aliran energi tak berkadar yang dapat menebar dan menyebar hingga menumbuhkan pondasi kekuatan iman yang berakar.

Maka primary skill untuk menata rasa syukur dan mengelola potensi kufur akan bermuara pada pembeda nikmat dan azab yang akan mewarnai perjalanan kita sebagai manusia (QS Ibrahim ayat 7)

Akankah kita terbenam semakin dalam di dunia yang perlahan mengelam? Ataukah kita akan menjelma menjadi si penyelam yang menyelami samudera masalah dengan menikmati, bahkan menemukan banyak mutiara hikmah yang kelak menjadi aset kekayaan jiwa dan hati di kemudian hari?

Barangkali secara teori, mereka yang selalu mengkomparasi diri dengan lian akan menghasilkan semangat berkompetisi untuk meningkatkan raihan prestasi yang berkorelasi dengan terjadinya peningkatan kompetensi. 

Di sisi lain, dapat terjadi disrupsi yang menghadirkan kegalauan dan kekecewaan berkepanjangan. Misal dengan menyesali bentuk tubuh yang telah dikaruniakan, keluarga yang telah diberikan, ataupun berbagai kondisi yang masuk dalam circle of concern-nya Stephen Covey, terjadi di luar kuasa diri untuk mengendali. 

Kita marah karena mampu mengidentifikasi hal yang tak semestinya terjadi, dan semakin marah atau kecewa karena tak mampu dan kuasa mengubahnya sesuai dengan keinginan diri. Kita seolah dipaksa untuk menerima kondisi karena keterbatasan daya kendali.

Maka mungkin formula QIKI dapat kita coba hayati, dan jika memungkinkan kita terapkan dalam keseharian. Adapun QIKI adalah Qana'ah, Ikhlas, Kanyaah, dan Istiqomah.

Qana'ah secara definisi adalah sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Orang yang memiliki sifat qana'ah memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang melekat pada dirinya adalah kehendak Allah SWT.

Jika dilambari dengan keikhlasan dan kanyaah yang dalam bahasa Sundanya memiliki makna yang amat mendalam; cinta yang merawat dan memelihara. Cinta yang menumbuhkan sebagaimana kasih sayang seorang Ibu pada anaknya. Cinta seperti matahari yang senantiasa sabar menyinari tanpa pernah berharap kembali. Cinta yang menautkan hati dalam getar frekuensi yang memudahkan kita untuk saling berbagi secara konsisten atau istiqomah, karena semua yang melekat hidup dan diri ini semata adalah amanah yang dititipkan Allah.

Maka layaknya sebuah pendakian menuju Puncak Indrapasta yang membutuhkan bekal perjalanan, QIKI merupakan sarana yang dapat dilatih oleh manusia dalam mengarungi kehidupan ini agar senantiasa sehat secara mental dan juga hati. Bukankah saat ini kesehatan mental adalah universal human right?

Sumber gambar:

Selasa, 08 November 2022

Oogway, Karakter Paling Brengsek di Kung Fu Panda







Oleh Duddy Fachrudin

Tahun depan, tepatnya di bulan Maret Kungfu Panda 4 rilis. What? Seriously? 

Kungfu Panda sudah sangat keren dengan ketiga filmnya. Terbukti dengan penilaian di situs IMDB yang memberi skor di atas 7 untuk kisah petualangan Po yang kocak, inspiratif, sekaligus filosofis. Dan yang terpenting teka-teki mengapa Oogway memilih Si Panda Gemoy itu menjadi Dragon Warrior telah terjawab di film yang ketiga.

Kungfu Panda sudah sangat bagus. Setidaknya menurut saya. Dan karena itu tidak berharap ada kelanjutannya.

Baiklah, namun berita tersebut sudah tersebar, bahkan menjadi trending topic di Twitter bulan Agustus yang lalu. Semoga petualangan berikutnya menyajikan kisah yang "Wooooaaaah", seperti reaksi Po ketika mendapatkan suatu pembelajaran baru dari Shifu maupun Oogway.

Master Shifu dan Master Oogway. Kedua guru Po ini punya karakter yang berbeda. Shifu yang serius dan serba terencana, sementara Oogway lebih kalem, intuitif, dan kadang-kadang konyol, plus brengsek juga. Namun karena kebrengsekan Oogway, Kungfu Panda menghadirkan makna bagi penontonnya.

Sebut saja ketika dia tiba-tiba menunjuk Po yang jatuh dari langit sebagai Pendekar Naga, sementara 5 calon yang yang telah disiapkan akhirnya menjadi sia-sia. Karena itu pula Shifu protes kepadanya bahwa jatuhnya Po persis di depan Oogway sebagai kebetulan belaka. Oogway sudah mau memilih Tiger sebagai pewaris Manuskrip Rahasia. Itulah yang ada dalam benak Shifu.

Bayangkan anda di posisi Shifu saat itu lalu melihat keputusan Oogway. Pasti bingung, kesal, kecewa, marah, menolak dan tidak menerima. Brengsek bukan Oogway ini?

Kebrengsekan Oogway berlanjut saat Shifu diminta melatih Po yang "hanya kebetulan" untuk menjadi Dragon Warrior. Lalu Si Kura-Kura ini dengan enaknya mengatakan kepada Shifu di suatu malam di bawah Pohon Persik, "You must continue without me." Dan kemudian Oogway menghilang alias moksa.

Brengsek bukan. Dia yang nunjuk Po, Shifu yang melatih, tapi kemudian dia menghilang. Ngasih kerjaan itu namanya.

Dan saran Oogway kepada Shifu yang begitu campur aduk pikiran dan perasannya itu sebelum moksa hanyalah: "You must believe..." atau dengan redaksi lain, Shifu, kamu harus percaya bahwa Si Gendut Panda yang suka makan itu dapat memenuhi takdirnya sebagai Pendekar Naga yang ditunggu-tunggu keberadannya dan bisa menjadi solusi memberikan kedamaian bagi semua penduduk Valley of Peace.

Assseeem tenan iki Oogway.

Tapi untungnya Shifu yang berarti Guru tersebut mau belajar.

Meski syuuulit menerima keputusan Oogway yang brengsek, ia perlahan membangun raport alias hubungan yang harmonis dengan Po. Pada akhirnya Master Shifu bisa melatih Po dengan cara yang unik dan berbeda. Bahkan ketika Po diminta menguasai inner peace, Po berhasil. Lalu saat Po akhirnya ditugaskan untuk mengajar kungfu dan melatih chi-nya, ia pun bisa.

Memang, hal-hal ajaib dapat bermula dari kebrengsekan. Dan tulisan ini pun mungkin sesuatu yang brengsek bagi anda.

Hikmahnya, terbukalah dengan berbagai pengalaman. Kalau kata mindfulness: kembangkan sikap beginners mind dan jangan terlalu terburu-buru menilai atau menghakimi.

Anak anda, murid anda, bawahan anda, klien anda bisa memenuhi takdir terbaiknya melalui anda.

How? You must believe...

Selasa, 05 April 2022

Mindful Journey: Merbabu, Sebuah Pejalanan yang Dirindu (Bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin

Beruntungnya Marto bisa wisuda dan menjadi psikolog. Pengujinya dulu melihat pemuda cengengesan itu tak layak mengobati permasalahan kesehatan mental orang lain. Metodenya tidak berdasar keilmuan psikologi, campur sari, oplosan teknik sana sini. Namun kegigihan dan keikhlasan membantu orang lain membantunya berada di gedung wisuda nan megah. Bapak ibunya yang tak mengerti apa-apa tentang kuliah anaknya itu senyum-senyum bahagia.

Ia berencana merayakan keberhasilannya dengan naik gunung seminggu kemudian. Diajaknya Dayat yang baru saja kehilangan ibunya. Awalnya Dayat menolak, hatinya masih bersedih dan tersayat. Bagaimana mungkin ia jalan-jalan bahagia sementara masih berselimut duka.

"Wis percoyo karo aku..." kata Marto berusaha menentramkan kegelisahannya.

Mengembara berputar-putar pikiran Dayat. Teringat dirinya saat kecil diajak ibunda tercinta mengalas ke hutan mencari kayu bakar di sebuah gunung. Wajahnya sumringah dan mulutnya tak pernah berhenti berkelakar. Mbah Jan yang menemani sering menimpali dengan ayat-ayat Qur'an, Wal-jibāla arsāhā. Matā'al lakum wa li`an'āmikum. (An-Nazi'at: 32-33)

Padang Sabana di Gunung Merbabu

Dayat memandangi Marto, lalu menangguk setuju. Kedua pemuda itu lantas menyiapkan perbekalan dan barang-barang untuk mendaki Merbabu. 

Gunung Merbabu terletak di tiga kabupaten, Magelang, Boyolali, dan Semarang. Puncak Merbabu tidak hanya satu. Setidaknya ada tiga puncak yang terkenal, yaitu Kenteng Songo, Triangulasi, dan Syarif. Ada lima jalur yang bisa ditempuh pendaki menuju puncak tersebut, yaitu Thekelan, Wekas, Cunthel, Suwanting, dan Selo. 

Marto dan Dayat memutuskan untuk mendaki Merbabu melalui Selo. Hujan gerimis selama pendakian sejak basecamp hingga pos 3 menemani langkah manis mereka. Meski puncak sebagai tujuan, menikmati perjalanan merupakan esensi pendakian. Itulah yang diajarkan Mbah Jan, Huwallażī ja'ala lakumul-arḍa żalụlan famsyụ fī manākibihā wa kulụ mir rizqih, wa ilaihin-nusyụr. (Al Mulk: 15)

Bersambung...

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 14 Maret 2022

Mindful Couple: Tulus Berpisah dengan Penuh Cinta ala Lagu-Lagu Tulus



Oleh Nita Fahri Fitria 

Di tengah cuaca Praha yang dingin, dengan wajah yang nyaris membeku, Tulus menggambarkan sepi dan dinginnya kondisi perpisahan sepasang insan yang dulunya saling mencinta. 

Ini adalah lagu ballad pertamanya yang berhasil menghipnotis puluhan juta pasang telinga pada 2016 lalu. Uniknya, lirik lagu “Pamit” milik Tulus ini terangkai dengan makna implisit: kesadaran penuh soal kondisi yang ada dan kesediaan untuk melepas demi kebaikan bersama.

Tubuh saling bersandar
Ke arah mata angin berbeda
Kau menunggu datangnya malam
Saat ku menanti fajar

Sudah coba berbagai cara
Agar kita tetap bersama
Yang tersisa dari kisah ini
Hanya kau takut kuhilang

Dua bait lirik di atas menggambarkan pengamatan yang objektif terhadap tokoh “aku” dalam lagu dengan pasangannya. Tubuhnya saling bersandar, tapi arah pandangnya sudah berbeda, dan kita menginginkan hal yang tak lagi sama. Bersama, tapi sudah tak lagi saling terhubung, sudah berusaha, tapi ternyata tak membuahkan hasil. Pilihan kata yang diambil menggambarkan kedewasaan seseorang yang mengambil keputusan setelah melewati proses pengamatan dan proses usaha untuk memperbaiki keadaan.

Perdebatan apapun menuju kata pisah
Jangan paksakan genggamanmu

Izinkan aku pergi dulu
Yang berubah hanya
Tak lagi kumilikmu
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu

Jangan paksakan genggamanmu, sebuah pinta demi kebaikan si cinta agar tak memaksakan sesuatu yang memang tak lagi bisa menyatu. Izinkan aku pergi, kutetap teman baikmu, cara pamit yang dewasa dengan sebuah penekanan: perpisahan ini tak akan membuatku membencimu. Sebuah jaminan agar perpisahan ini tak menyisakan masalah berkepanjangan.

Maret 2022, Tulus kembali menyajikan lagu perpisahan dengan irama yang lebih manis dan santai. Kali ini liriknya tak kalah mindful dan penuh kebijaksanaan. Judulnya “Hati-Hati di Jalan”, jadi biar berpisah tetap mendo’akan yang baik-baik. Do’a baik untuk dia yang mengarah pada tuju yang berbeda, karena “aku” dalam lagu ini sadar penuh bahwa hidup mereka harus terus berjalan.

Kau melanjutkan perjalananmu
Ku melanjutkan perjalananku


Tidak hanya soal hati-hati di jalan. Meski temanya perpisahan, tapi lagu ini punya sisi optimisme yang terselip apik pada lirik,

Semoga rindu ini menghilang
Konon katanya waktu sembuhkan


Si “aku” di sini begitu memahami perasaannya yang merindu kasih sayang yang membekas, tapi di saat yang bersamaan juga optimis bahwa ada jalan keluar usai lorong panjang yang gelap akibat pijar yang tlah redam. Inilah lagu patah hati yang mengajarkan resiliensi.

Tulus mengajarkan kita bahwa manusia sejatinya punya sumber daya untuk tetap berdiri tegak dan tak putus harap meski dalam kondisi berduka. 

Bahwa keterampilan mengamati situasi, melihat segala sesuatu sesuai apa adanya ia, bukan sesuai dengan penilaian yang kita mau, sangat bisa membuat manusia pada akhirnya menimbang dengan jernih dan mengambil keputusan dengan bijaksana. Sadar akan ada luka, tapi juga sadar bahwa setiap luka ada penawarnya. 

Memahami ini sebagai situasi yang tak mudah dan menyakitkan, tapi juga sadar bahwa tak ada alasan untuk menyalahkan apalagi membenci. Itulah mengapa, meski sakit, tapi tetap mendo’akan yang terbaik.

Dan Tulus telah mengajarkan perpisahan yang tulus dengan penuh cinta kasih.

Sumber gambar:

Rabu, 19 Januari 2022

Filosofi Tahu Bulat



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sebagai seorang anak yang lahir dan besar di Nusantara serta pernah berkesempatan ngumbara ke berbagai sudut mancanagara, saya tuh paling senang melihat dan memperhatikan manusia. Juga hewan, tumbuhan, serta alam sekitar tentu saja.

Sementara sebagai bagian dari alam semesta rasanya bahagia sekali jika dapat mengetahui sekelumit pengetahuan terkait berbagai hal, misal sebab akibat ataupun sekedar definisi dari suatu benda atau fenomena. Ada yang rumit dan ada yang dapat dipahami secara tidak sulit.

Ada yang perlu diungkit, ada yang dinamis seperti jungkat-jungkit, dan ada pula yang pengertiannya berpusar melilit.

Tapi TAHU adalah sesuatu. Mungkin Mang Rene, yang bernama lengkap Rene Descartes (kalau di Jawa mungkin namanya Rene Yo Le) atau dalam bahasa Latin sebagaimana banyak manuskrip di masanya ditulis, dikenal sebagai Renatus Cartesius, paham benar soal TAHU ini, maka ia pun bersabda: COGITO ERGO SUM. Aku berpikir maka aku ada. Aku ada karena aku berpikir. Berpikir berarti meNAHU. Pikir adalah pabrik TAHU.

Mang Rene ini unik, pemikir tapi pernah daftar tentara, 1617 jadi tentara Belanda dan pada masa perang 30 tahun menjadi tentara Bavaria. Justru saat jadi tentara itulah Mang Rene punya privilege untuk berpikir dan menulis.

Karya-karya besarnya antara lain Discours de la méthode dan Meditationes de prima Philosophia. Tapi mungkin banyak yang belum TAHU bahwa sang filsuf TAHU ini adalah bapak matematika modern yang sumbangan pemikirannya antara lain maujud dalam sistem koordinat Cartesius yang banyak digunakan dalam aplikasi kalkulus.

Mang Rene juga seorang neuroscientist, karena pernah menghasilkan karya besar tentang proses berpikir dalam naskah yang diberi judul Rules for the Direction of the Mind.

Tapi pada prinsipnya sih Mang Rene banyak bicara soal TAHU dan bagaimana untuk menjadi TAHU. Bumbu ikutannya mah banyak, ada diskursus logika sampai fallacy. Tapi bahasan kita hari ini adalah soal TAHU, meNAHU, dan dikeTAHUi.

Kalau dipikir-pikir seluruh siklus kehidupan manusia itu berpusar di pabrik TAHU bukan? Indera dikaruniakan dan dihadirkan untuk menghimpun data sebagai bahan baku perTAHUAN atau pengeTAHUan sebagai kata benda yang bisa menjadi adjektiva, mencerminkan sifat. Dengan kata kerja atau keterangan mengeTAHUi dan proses nya: mencari TAHU.

Kan kita tidak TAHU-TAHU paham, mengerti, dan bisa? Jadi semua proses adalah belajar, dan belajar adalah perancah untuk mengonstruksi TAHU. Setelah TAHU kita jadi MAU. Mau apa? MAU TAHU.

Demikian bukan?

Maka lahirlah motif, lahirlah ingin, lahirlah reward alias imbalan, lahirlah desire atau hasrat syahwat yang membuat jantung berdetak lebih cepat.

Imbalan dari proses adalah harapan yang terbumikan. TAHU adalah syarat lahirnya MAU yang berkorelasi kausalistik dengan imbalan atau penghargaan akan capaian yang merupakan apresiasi terhadap upaya untuk menubuhkan bayangan keinginan menjadi sebuah kenyataan. Aktualisasi diri yang menjadi bagian dari proses dan capaian.

Maka TAHU menjadi kata kunci eksistensi. TAHU juga menjadi platform esensi kesadaran, keberadaan, dan peran. TAHU menjadi nilai inti dari interaksi dan komunikasi.

Dari kacamata neurosains TAHU diawali dari indera yang memberi stimuli berupa aneka data dalam berbagai bentuk biofisika. Lalu ada perhatian yang diarahkan sehingga materi yang diterima akan diperhatikan. 

Salience network yang terdiri dari anterior singulata dan korteks insula akan memilah dan memilih data dan mengklasifikannya seperti Dewey mengklasifikasi buku sebagai sumber pustaka di perpustakaan. Dan selanjutnya data akan diolah menjadi memori dan serangkai cerita yang akan mewarnai otak kita.

Dalam diam yang tak hening, kadang kita larut dalam lamunan yang bahasa Jakselnya adalah self referential processing (Ekhtiari et al, 2016), dan memikirkan serta merancang masa depan, imagining future.

Pada saat itulah korteks singulata posterior, prekuneus, dan medial prefrontal korteks, serta korteks parietal inferior bahu membahu mengolah data menjadi pabrik TAHU masa depan. Kita jadi TAHU apa yang kita MAU, dan TAHU apa yang harus kita lakukan agar TAHU dan MAU bisa ADA dan mengADA. Kita menamainya CARA, atau boleh juga sih biar keren, disebut Metoda.

Untuk bisa punya CARA kita perlu ILMU yang didapatkan dari meracik TAHU dan bumbu-bumbu.

Maka kata orang-orang penganut Stoic, Stoicism, atau kita Indonesiakan saja menjadi Stoika, kebahagiaan itu bersumber dari hal-hal yang dapat kita kendalikan. Maka mengendalikan itu perlu metoda, perlu cara bukan? Iya kan Kang Zeno? Kang Epitectus, Boss Marcus Aurelius, dan Om Seneca sependapat kah? Jika sependapat, aman berarti ya?

Metodanya ya bisa melalui retorika, dialektika, sampai mengkaji secara fisika (nalar) dan etika serta estetika (rasa). Tapi intinya tetap TAHU apa yang kita TAHU, TAHU apa yang kita tidak TAHU, dan kadang ya yang sering sih tidak TAHU apa yang kita tidak TAHU. Memang ada juga sih yang tidak TAHU kalau kita TAHU.

Saya mungkin yang sering sok TAHU padahal tidak TAHU juga kadang saya pura-pura tidak TAHU kalau saya tuh TAHU. Banyak alasan untuk itu secara fisika dan etika bukan?

Maka TAHU yang mana yang semestinya menjadi TAHU ideal? Buat kita, baca manusia, ya tidak ada. Karena semua TAHU, pengeTAHUan, TAHU MAU dan MAU TAHU itu subjektif. Meski ada pengeTAHUan komunal yang dibangun melalui jejaring interaksi personal, tetapi TAHU tetaplah AKU, karena AKU tak TAHU kamu dan KAMU takkan pernah TAHU AKU. Karena kita sama-sama TAHU, oleh karena itu kita sama-sama tidak TAHU.

Bukankah segenap makhluk itu diciptakan berpasangan? Temasuk TAHU tentunya bukan? 

Seriously, TAHU adalah esensi. Nilai inti dari eksistensi. Bahkan sumber dari segenap proses kreasi. Kehadiran kita dan alam semesta kan bagian dari proses TAHU, mengeTAHUi, dan dikeTAHUi bukan?

Survivalitas saja kan lahir karena kita TAHU apa yang kita butuhkan untuk mempertahankan kehidupan bukan? Komunikasi dan bisnis hadir karena kita TAHU bagaimana cara kita menjalin simbiosis dalam sebentuk interaksi sarat kepentingan yang bersifat mutualis bukan?

Lalu pada gilirannya kita akan menyadari bahwa esensi dari TAHU, mengeTAHUi, dan dikeTAHUi itu adalah kehidupan dan keberadaan itu sendiri bukan? TAHU adalah kesadaran.

TAHU apakah yang paling lezat? TAHU BULAT tentu saja.

TAHU yang BULAT adalah sebentuk kesadaran yang dibangun oleh konstruksi pengeTAHUan yang sudah tak lagi bersudut dan berbidang. Tak ada garis dan nodus yang tak terpusat. Fokus. AHAD.

Digoreng dadakan. Spontan dan selalu segar. Tumbuh dan berkembang. Melaju seiring jaman. Adaptif terhadap dinamika kebutuhan, lapar goreng banyak, kenyang tak digoreng.

500 an, murah, mudah, terjangkau. Bisa didapatkan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.

Demikian tulisan hari ini yang diendorse TAHU BULAT. Mohon jangan ditelan bulat-bulat, periksa dulu siapa tahu ada ulat, atau ada bagian yang disunat. Sudah ya, TAMAT. 

Sumber gambar:
https://www.kompas.com/food/read/2021/06/17/151100275/3-tips-goreng-tahu-bulat-kopong-agar-renyah-dan-mengembang

Senin, 17 Januari 2022

Metafora Sikap Mindfulness: Non-Striving



Oleh Duddy Fachrudin 

Seorang nelayan sedang duduk santai di pinggir pantai dengan berbaring di dekat perahu miliknya. Tiba-tiba datanglah seorang pengusaha mendekati nelayan tersebut.

“Kenapa kau tidak pergi menangkap ikan?” tanya pengusaha tersebut kepada si nelayan yang sedang duduk.

“Karena aku sudah menangkap ikan, yang hasilnya dapat aku jual menghasilkan uang yang bisa mencukupi kebutuhanku dan keluargaku hari ini dan tiga hari berikutnya,” jawab si nelayan.

Lalu pengusaha berkata, “Mengapa kau tidak menangkap ikan yang lebih banyak lagi?” 

Dengan santai si nelayan menjawab, "Untuk apa?"

Pengusaha berkata lagi, “Kau akan mendapat uang yang lebih banyak, dan kau bisa menggunakan uangmu untuk membeli jala baru, atau kau bisa memperbaiki perahu mu agar kau bisa menangkap ikan lebih banyak lagi.”

“Lalu?” tanya nelayan.

“Uangmu akan semakin banyak dan kau bisa pergunakan untuk keperluan lain yang lebih besar, seperti membeli perahu baru agar kau bisa menjadi nelayan sukses,” ujar si pengusaha.

“Lalu, selanjutnya aku harus berbuat apa?” tanya si nelayan.

Pengusaha itu meyakinkan nelayan, “Dengan begitu kau bisa beristirahat dengan tenang menikmati hasil tangkapanmu.”

Si nelayan memandang pengusaha dengan tenang lalu berkata, “Menurutmu aku sekarang sedang apa? Bukankah aku sedang beristirahat?”

Referensi:

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Minggu, 26 Desember 2021

Metafora: Kebahagiaan yang Paling Hakiki



Oleh DPP Yudha dan Duddy Fachrudin 

Seorang laki-laki merasa hidupnya sangat kacau. Faktanya, hidupnya memang benar-benar berantakan. Beberapa hari ini ia konflik dengan istrinya, terancam di-PHK oleh perusahaan tempat ia bekerja, dan rumahnya baru saja dimasuki rampok sehingga beberapa barang berharga miliknya hilang.

Ia begitu tidak bahagia dengan hidupnya. Lantas ia bertanya-tanya tentang apa itu bahagia kepada dirinya sendiri. Ia mencari-cari jawaban tentang makna bahagia namun dari sekian jawaban yang ditemukan tidak membuatnya puas. 

Sampai suatu ketika ia mendengar dari nun jauh dari rumahnya, sekitar 40 km dari pusat kota ke arah selatan dekat pantai hiduplah seorang tua yang bijaksana. Laki-laki ini kemudian memutuskan untuk menemuinya dan berharap mendapatkan jawaban dari pertanyaan tentang makna kebahagiaan.

Setelah bertanya ke beberapa warga, ia kini tepat berada di depan rumah Pak Tua yang bijaksana itu. Lantas ia mengetuk pintu rumahnya, “Tok.. tok.. tok..”

“Selamat siang,” ujar si laki-laki yang hidupnya kacau itu.

Tampak kemudian seorang laki-laki dengan wajah agak berkeriput, namun badannya masih tegar dan kuat membuka pintu serta menghampirinya. Ia tiada lain adalah Pak Tua yang bijaksana yang kemudian mempersilahkan tamunya untuk masuk dan duduk di ruang tamu rumah itu.

Setelah menghidangkan teh manis dan makanan ringan kepada tamunya, Pak Tua yang bijaksana bertanya mengenai maksud kedatangan laki-laki yang kini ada di hadapannya. 

Tanpa panjang lebar, laki-laki itu berkata, “Wahai Pak Tua, menurut orang-orang kau adalah orang yang cerdas dan berwibawa. Aku ingin bertanya apakah kebahagiaan yang paling hakiki di dunia ini?”

Pak tua kemudian tersenyum lembut, dan berkata, “Saya melihat banyak masalah yang menimpa hidupmu. Baiklah, tidak perlu terburu-buru, mari nikmati hidangan ini terlebih dahulu.”

Mereka berdua lalu mengobrol dengan topik yang lain sambil menikmati makanan dan minuman yang ada di atas meja. Setelah itu Pak Tua mengajak laki-laki yang sedang memiliki banyak masalah itu keluar dari rumahnya, “Mari kita berjalan-jalan menikmati sore.”

Laki-laki itu bertanya, “Mau ke mana kita?”

“Ke pantai dan menunjukkan kebahagiaan hakiki kepada Anda,” ujar Pak Tua dengan santainya.

Sesampainya di pantai, Pak Tua membawa tamunya berjalan menuju bibir pantai, lalu mengajaknya hingga air laut menggenangi lututnya... pinggangnya, hingga dadanya. Air laut sore itu sangat tenang, sehingga pak tua tidak khawatir mereka berdua akan terseret ombak.

Tiba-tiba tangan Pak Tua mendorong kepala laki-laki yang menjadi tamunya sehingga kepalanya terendam di bawah permukaan air laut. Byuusssh... Laki-laki itu meronta-ronta, dan berusaha melepaskan tangan Pak Tua dari kepalanya. Namun begitu, pegangan tangan Pak Tua begitu kuat.

Beberapa detik pun berlalu, dan Pak Tua melepaskan pegangan tangannya. Blassshhh. .. laki-laki itu mendongakkan kepalanya ke atas. Napasnya begitu memburu dengan cepat... hossh... hossh... hossh...

Ketika napas si laki-laki mulai tenang, Pak Tua bertanya kepadanya, “Apa kebahagiaan yang paling hakiki di dunia ini?”

Laki-laki itu menjawab, “Ketika aku masih bernapas.”

Referensi:

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Minggu, 07 November 2021

Metafora: Harta Karun dan 3 Pertanyaan


Oleh Duddy Fachrudin 

Dikisahkan terdapat sebuah warisan peninggalan kerajaan di masa lalu. Warisan tersebut adalah harta karun yang paling berharga. Para arkeolog di seluruh dunia mencarinya karena mendengar kabar bahwa dengan memiliki harta karun itu akan membuatnya bahagia

Sampai akhirnya, seorang arkeolog bersama timnya berhasil menemukannya di kedalaman 100 meter dari permukaan bumi di dekat reruntuhan istana kerajaan.

Harta karun itu disimpan dalam sebuah kotak yang digembok dengan sangat kuatnya. Perlu satu hari sang arkeolog beserta timnya untuk membuka kotak itu. 


Akhirnya kotak itu terbuka... dan isinya adalah... bukan emas, bukan perak, bukan pula permata kerajaan, melainkan sebuah batu pipih yang lebar berwarna putih yang ditulis dengan huruf Cina kuno.

Tulisan tersebut ternyata berupa 3 pertanyaan kaisar. Berikut pertanyaannya:
1. Kapan saat-saat yang paling penting dalam hidupku?
2. Siapa orang yang paling penting dalam hidupku?
3. Pekerjaan apa yang paling penting di dunia ini?

Arkeolog dengan dibantu seorang ahli bahasa selesai membaca ketiga pertanyaan itu. Ia tampak bingung dan berkata dalam hati, ‘Apa maksud dari pertanyaan-pertanyaan ini?’ 

Karena bingung ia meletakkan kembali batu itu ke dalam kotak. Saat ia mengembalikan batu ke dalam kotak, ia melihat rangkaian kalimat yang ditulis sangat kecil. Langsung saja, ia memberi tahu ahli bahasa dan memintanya untuk membacakan kalimat-kalimat itu. 

Secara hati-hati, dengan menggunakan kaca pembesar ia mengucapkan kata demi kata:

1. Saat-saat terpenting dalam hidupku adalah saat ini
2. Orang yang paling penting dalam hidupku adalah siapapun orang yang bersamaku saat ini
3. Pekerjaan yang paling penting di dunia adalah melayani

Referensi:

Sumber gambar:

Selasa, 24 Agustus 2021

Mindful Parenting: Warisan Terbaik Orang Tua Adalah...


Oleh Duddy Fachrudin 

Sebelum lebaran tahun ini saya kedatangan seorang wanita muda. Ia mengaku pernah didiagnosis depresi dan bipolar. Selama sebulan terakhir ia melakukan meditasi bersama temannya di Jakarta. Wanita itu bisa merasakan ketenangan saat meditasi, namun ketika berhadapan dengan sumber stresnya, yaitu ibunya sendiri, ketenangan itu menjauh darinya.

Ibunya. Ya, ibunya adalah stressor utama.

Menurut tantenya yang mengantar wanita muda ini menemui saya, bahwa ibunya menitipkan ia ke kakek-neneknya sejak usia 2 hingga 9 tahun. Sebelum itu ibunya banyak mengalami konflik dengan ayahnya. Perceraian dipilih sebagai jalan akhir. Sang ibu kemudian fokus melanjutkan studi dan karier dalam bidang kedokteran kecantikan. Singkatnya, pola asuh dinomorduakan.

Hubungan sang ibu dan anak disharmonis. Kurangnya pemahaman tentang pola pengasuhan dan ketidaktepatan dalam penerapannya memperburuk relasi antara mereka berdua. Saling menghakimi dan menang sendiri, serta menutup diri dari berbagai perspektif hanya meluaskan konflik yang tak kunjung usia.

Experiential avoidance dengan merokok dan meminum minuman beralkohol yang kemudian dilakukan wanita ini memang menghasilkan ketenangan. Namun, rasa itu hanya sesaat, palsu, dan pastinya tidak akan pernah menjadi solusi bagi penderitaannya. 

Ibunya juga pasti merasakan hal yang sama. Tapi bingung dan tidak tahu cara menyelesaikan permasalahan ini. 

Siklus berulang atau fraktal tentang disharmonis dan disfungsi keluarga mungkin terjadi selama nirdukungan dalam membenahi mental masing-masing. Padahal keluarga memainkan peran vital bagi pembentukan kesehatan mental individu di dalamnya. Maka warisan terbaik keluarga atau orangtua kepada anaknya bukanlah harta mereka, melainkan keindahan perilaku yang mereka pancarkan dalam setiap gerak pengasuhan.


Wanita ini berencana pergi ke Ubud, Bali dan melanjutkan meditasinya sambil mengerjakan skripsi. Sementara tantenya masih terheran-heran dengan rencananya tersebut. "Ke Bali, meditasi? Untuk apa? Meditasi kan ritual agama hindu?," tanya tantenya yang juga adik kandung dari ibu wanita muda ini. 

Saya hanya bilang, "good" kepada wanita muda ini, lalu bertanya mengenai skripsinya. 

She seemed pleased with my attention. Dan ketika saya mendengarkan penjelasannya, she felt good... she felt happy to be heard. Seolah-olah selama ini ia jarang didengarkan oleh keluarganya. 

Lantas saya bertanya kepada tantenya, "Pernahkah ia dipeluk selama ini?". Sang tante hanya diam. Maka biarkan wanita ini memeluk masa lalu dan dipeluk ketenangan melalui meditasi.   

Sumber gambar: 

Senin, 02 Agustus 2021

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 3, Habis)




Oleh Duddy Fachrudin 

Waras adalah maturitas yang meretas dari rahim keheningan.

Itulah mengapa Nabi bermeditasi di Gua Hiro lalu diperintahkan padanya untuk “membaca” atau iqro. Iqro... apa yang perlu dibaca? Perintah ini tentu tidak hanya tertuju padanya, melainkan kita semua umat manusia.

Melalui sunyi pula, Raden Mas Said bertransformasi menjadi Sunan Kalijaga yang bijaksana, yang mengajarkan kepada kita untuk waskita di jaman kalatidha melalui kidung wahyu kalasebo, syair cinta yang sarat akan hikmah.

Hening, mentafakkuri dan mentadabburi diri adalah saat-saat yang tepat untuk kembali ke “rumah”. Di kala hiruk pikuk gempita dunia, menyelami diri adalah ekstase menyejukkan yang mengobati derita.

Masa-masa di rumah saja selama pandemi corona seharusnya menjadi momen peningkatan kualitas kewarasan diri. Namun bagi sebagian orang, menyepi dalam sunyi adalah aktivitas yang membosankan. Wajar, karena manusia jaman sekarang begitu mengagungkan materialisme. Mereka tidak menyadari sumber atau awal petaka kehancuran diri dan umat manusia adalah buta akan alam ruhaninya dan terpedaya dengan hedonisme.

Mereka yang waras juga bertindak dan berperilaku menahan diri, berempati, dan mencegah transmisi selama pandemi. Keengganan untuk peduli merupakan wujud dari patologi dalam diri yang kemudian menyebar lebih luas ke ranah sosial.

Maka waras adalah soal regulasi diri, tentang mempuasai hasrat yang dapat menimbulkan gawat. Manusia waras bertindak dan hidup dengan seimbang, proporsional, tidak berlebihan, selaras, dan harmonis.

Kolaborasi dikedepankan, eksploitasi demi kepentingan pribadi disingkirkan. Thus, kualitas waras memproduksi welas (asih).

Welas adalah cinta dan kelembutan, yang berfokus pada aktivitas memberikan kebermanfaatan bagi sesama dan semesta. Jika tahapan manusia di level waras sebagai seorang hamba, maka pada tingkatan ini (welas) adalah khalifah.

Manusia yang khalifah memiliki makna sebagai wakil mandatori Tuhan untuk mengelola wilayah bernama bumi seisinya dengan segenap cinta.

Selama proses tersebut (mengelola), terdapat kecenderungan pada diri manusia untuk berbuat destruktif. Manusia mengikuti hawa nafsunya dan kembali lupa (baca: kembali tidak waras) bahwa dirinya manusia.

Maka, terdapat peringatan dalam bentuk ujian, musibah, bencana, atau wabah seperti corona yang diberikan Tuhan kepada manusia saat lalai menjalankah misinya dengan baik.

Di saat itulah, proses wawas-waskita-waras-welas menjadi daur yang perlu ditempuh (kembali) oleh manusia.

Ingat bahwa sesungguhnya kita ini bukan stasi. Kita, manusia yang memegang janji-janji, terikat waktu dan ruang, yang mendamba tenang, dan merindu untuk pulang.

Sumber gambar:

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 2)




Oleh Duddy Fachrudin 

Pengamatan yang baik menghasilkan kejernihan (clarity), yang kemudian disebut waskita. Ibarat air yang tak lagi bergelombang menampilkan riak, pikiran yang waskita begitu tenang, bening, dan indah. Maka tak heran jika keputusan atau apapun yang diproduksi pikiran ialah kebijaksanaan.

Kebijaksanaan melampaui kecerdasan. Orang yang bijaksana sangat jarang dijumpai karena mereka pun tersembunyi dan kadang enggan menampilkan diri. Namun, tentu ada juga yang memang sengaja “ditampilkan” oleh Tuhan dengan tujuan sebagai teladan.

Dunia dan Michael Hart mencatat manusia paling berpengaruh sekaligus bijaksana adalah Muhammad Saw. Saat berhijrah ke Madinah, beliau menawarkan solusi dan kolaborasi demi kesejahteraan bersama alih-alih eksploitasi.

Eksploitasi? Di dunia yang katanya modern, justru eksplorasi berlebihan atas pemenuhan kebutuhan ini yang kemudian dikedepankan. Neokapitalisme menggerus keseimbangan sosial. Jurang perbedaan semakin membentang. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin jatuh miskin.

Lalu, dimanakah letak kebijaksanaan? 

Padahal orang-orang cerdas sangat banyak jumlahnya di dunia ini. Bukankah ini menjadi ironi tersendiri?

Artinya, nirkebijaksanaan atau nirkewaskitaan memicu ketidakwarasan komunal. Sebaliknya, jika kewaskitaan dikembangkan dan pelihara, maka bukan hanya individu tersebut yang “waras”, melainkan lingkungan sekelilingnya.

Kondisi waras atau sehat dimaknai sebagi suatu kondisi yang sejahtera, merdeka atau bebas dari penyakit secara biopsikososiospiritual.

Menjadi manusia yang manusia atau waras berarti bertumbuh dan berkembang secara adaptif sesuai potensi luhur yang disematkan pada diri manusia. Sebaliknya ketidakwarasan ditunjukkan dari suatu respon maladaptif akibat “kegagalan” individu tersebut memahami fungsi dan peran dirinya di dunia.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 1)




Oleh Duddy Fachrudin 

Das Leben der Anderen atau The Lives of Others memenangkan Academy Award (OSCAR) tahun 2007 untuk nominasi Best Foreign Films. Situs Rottentomatoes memberikan skor 93%, sementara IMDB merating 8,4 sudah cukup membuktikan bahwa film berasal dari Jerman ini memiliki kualitas cerita yang tidak biasa.

Sebelum tembok Berlin runtuh, Jerman Timur atau Republik Demokratik Jerman (RDJ) dikuasai oleh Uni Soviet. Stasi yang merupakan Intelijen dan Polisi Rahasia bertebaran di masyarakat dan memata-matai siapapun yang dianggap mencurigakan sebagai pembelot atau pengkhianat.

Das Leben der Anderen berkisah tentang seorang Stasi berwatak dingin namun kesepian yang mengawasi seorang penulis drama teater. Rumah sang penulis disadap dan segala gerak geriknya diikuti.

Selama proses mengintai banyak hal yang dijumpai olehnya. Drama kisah cinta penulis dengan kekasihnya, pergolakan hidupnya, hingga fakta alasan dibalik penugasan spionase yang diberikan atasannya. Ia juga mendengarkan alunan sonata for a good man melalui piano yang dimainkan oleh sang penulis.

Pengamatan yang dilakukannya menimbulkan pergolakan batin. Ia menyadari bahwa sang penulis memang melakukan hal yang tidak semestinya, yaitu menulis suatu hal yang menjadi rahasia negara dan diterbitkan di sebuah majalah di wilayah Jerman Barat. Namun tulisan itu mengandung kebenaran dan memang layak diketahui oleh orang lain di seluruh dunia. Ia pun memahami alasan dibalik penugasan spionase yang diberikan atasannya, yaitu demi kepentingan naik jabatan dan mengambil teman wanita sang penulis dengan cara yang picik.

Proses niteni secara objektif perlahan mulai mengikis sisi gelapnya, dinginnya, kakunya pribadi dirinya sebagai seorang stasi. Perlahan ia bertransformasi menjadi seorang manusia yang memiliki skala prioritas mengedepankan hati nurani dan menjunjung kebenaran dan kejujuran.

The Lives of Others memang berkisah tentang menjadi manusia. Melepaskan topeng diri memerlukan prasyarat laku bernama pengamatan. Dalam bahasa Jawa, mengamati atau mengawasi disebut wawas. Banyak manusia yang “lupa” bahwa dirinya adalah manusia yang memiliki potensi hanif (lurus) dan penuh dengan kasih sayang. 

Mereka senantiasa dibutakan oleh kebahagiaan semu yang melekat di dunia. Bahkan untuk sekedar jeda, mengamati diri dan situasi adalah bagian dari ibadah terpuji.

Bukankah Allah Swt., berkata, wa fii anfusikum afalaa tubsiruun (QS. Adz-Dzariyat: 21), wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad (QS. Al Hasyr: 18), dan berkali-kali berpesan kepada manusia untuk memperhatikan tanda-tanda serta penciptaan langit dan bumi.

Dalam kaidah mindfulnes, melakukan pengamatan adalah langkah pertama yang perlu dilakukan seorang individu. Proses ini dilatih setiap hari dalam berbagai kondisi, baik saat duduk, berdiri (bergerak), maupun berbaring.

Dengan wawas secara intensif, ia mempelajari, menelaah, kemudian menyadari seutuhnya pikirannya, perasaannya, gerak-gerik niatnya, sensasi tubuhnya, perilakunya, hingga kebiasaan-kebiasannya. Ia menyadari sekelilingnya, dunia makro yang beraneka ragam, penuh dengan pilihan yang dapat menjerumuskan, menyesatkan, atau meningkatkan derajat ketaqwaannya sebagai manusia. 


Sumber gambar:

Senin, 03 Mei 2021

Membuka Perspektif Baru dengan Berpikir ala Mindfulness




Oleh Tauhid Nur Azhar 

Manusia dan imajinasi yang diciptakan dalam otaknya membangun dunia yang diyakininya.

Uniknya manusia itu juga dikaruniai bahasa sehingga mampu bertukar cerita, lalu lahirlah dunia imajinasi bersama.

Maka berpikir itu prasyarat untuk hadir.

Ayat-ayat Al-Qur'an yang mendorong manusia untuk berpikir antara lain adalah:

Surat Al- 'Alaq: 1-5, QS. Al Ankabut: 20, QS. Al Hajj : 46, dan QS. Al A'raf : 185

Lalu ternyata berpikir itu bisa dangkal dan membebani, atau dalam dan memerdekakan. Dangkal akan sulit merdeka karena syarat mendapat perspektif berwawasan luas tidak terpenuhi. Kalau dalam tapi tidak merdeka bisa. Dalam tanpa arah karena belum memetakan koordinat tujuan.

Maka pikiran yang dalam dan memerdekakan itu kerap disebut mindful. Menghayati pikiran dengan kesadaran dan keselarasan yang berbuah keikhlasan.

Prinsip paling fundamental dalam konsep mindfulness adalah "mengalir" dan tidak menghakimi (non judgement). Lebih berorientasi pada mengobservasi, menyadari, dan menghayati, serta menikmati proses yang terjadi. Dengan demikian terciptalah suatu kompetensi untuk mengoptimasi setiap kondisi yang terjadi.

Mensyukuri dan mampu mengonstruksi solusi. Jadi kondisi mindful adalah platform dalam menjalankan sebuah proses cerdas dengan ciri sabar dan bertujuan untuk ikhlas. Maka instrumen neurosains yang tepat adalah penyeimbangan antara sistem referensi (memori) dan preferensi atau kecenderungan berbasis emosi.

Peran hipokampus dan area kortikal seperti VTA (Ventral Tegmental Area) dan Nukleus Akumben. Dasar memori yang terarah dengan kewaskitaan dalam proses pengambilan keputusan akan memerlukan pendekatan value based orientation dan objective based orientation yang diperankan oleh OFC (Orbito Frontal Cortex) dan mPFC (medial Prefrontal Cortex) serta ACC (Anterior Cortical Cortex).

Lalu apa hubungan konsep berpikir "hanyut cantik" ala mindfulness dengan konstruksi mental dan mindset

Sebenarnya dalam pendekatan neurosains holistik semuanya berada dalam ruang yang sama. Seolah berbeda kuadran tetapi justru nilai akumulasinya lah yang menentukan posisi.

Mental adalah kondisi abstrak terkait dengan fungsi jaringan syaraf yang merepresentasikan kondisi internal dengan nilai-nilai endogen yang mengakuisisi stimulus multi sumber. Bahasa sederhananya adalah dunia tentang kita yang dipersepsikan oleh kita.

Kapasitas,fungsi, dan kompetensi menjadi indikator kualitas dan karakter mental, ditandai dengan potensi kognisi, afeksi, dan kontrol psikomotorik.

Sementara mindset adalah pola atau template algoritma yang akan kita pilih dan gunakan secara berulang dalam menghadapi berbagai situasi yg kita terima dari lingkungan internal dan eksternal.

Mental mindset dapat digambarkan sebagai relasi antara kapasitas mental dengan pola algoritmik yang dikembangkan sebagai bentuk adaptif terhadap situasi yang dihadapi dan platform dalam membangun konstruksi solusi serta proses coping terhadap tekanan, termasuk resiliensi dan plastisitas dalam mengembangkan dan mengoptimasi kondisi mental.

Transformasi lebih tepat sebenarnya untuk menggambarkan keindahan proses ini. Didalamnya ada adaptasi, modulasi, dan moderasi. Misal sistem kliring yang berubah menjadi fast payment (contoh kasus di bank sentral), tentu memerlukan potensi untuk beradaptasi dan mengoptimasi inovasi yang diadopsi sistem, bukan?

Perubahannya gradual dan katalitik, atau dibantu oleh katalis. Dalam hal ini diperlukan konsep "enzim". Suatu pemercepat reaksi yang hadir menjadi solusi tanpa terlibat dan larut sebagai senyawa.

Teknik yang dapat dipertimbangkan adalah adopsi dari sistem Faal manusia: bertumbuh dan berkembang. Pengetahuan dan sikap itu kurvanya berbanding lurus. Maka pendekatan Knowledge Growing itu dapat men-develop behaviour

Knowledge Growing Behaviour (KGB) adalah pendekatan brain behaviour management model baru, dimana pengetahuan yang didasari/didahului instalasi operating system terkait kesadaran akan eksistensi dan goal directed control akan membuka perspektif baru (decentering) dalam memandang dan menyikapi hidup.

Sumber gambar: