Tampilkan postingan dengan label Ketenangan dan Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ketenangan dan Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Agustus 2020

Sikap Mindfulness: Melepas Jubah Malaikat




Oleh Duddy Fachrudin 

Manusia selalu senang dengan ciri atau atributnya. Ciri tersebut dapat berupa gelar dan profesi yang disematkan, pakaian yang dikenakan, harta yang dimiliki, tahta yang diduduki, dan pernak-pernik lainnya. Karena senang tersebut tidak jarang ciri tersebut akhirnya melekat pada diri seseorang dan dibawa kemanapun ia pergi.

Jon Kabat-Zinn, pengembang Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) bercerita dalam bukunya Wherever You Go There You Are bahwa ia tidak pernah menggunakan jubah malaikatnya selama berpraktek menjadi seorang dokter.

“Ketika saya mulai bekerja di pusat kesehatan, saya diberi tiga jas panjang berwarna putih yang di sakunya bersulamkan tulisan ‘Dr. Kabat-Zinn/ Departemen of Medicine’. Semuanya tergantung di balik pintu saya selama lima belas tahun, tanpa terpakai.”

Apa yang dilakukan Jon Kabat-Zinn tentu memiliki alasan tertentu. Baginya jas putih adalah simbol yang tidak diperlukan dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter.

Seorang dokter akan disebut dokter karena pelayanannya yang tulus, bukan karena jas malaikat tersebut. Bahkan siapapun orang yang memberikan bantuan secara ikhlas layak disebut dokter, begitu kata Patch Adams, seorang dokter pendiri Gesundheit Institute.

Kebahagiaan dapat dimulai dengan melepaskan atribut yang ada pada diri kita. Dan kemudian kita menjadi manusia yang lebih berfokus pada misi hidup menebar kebermanfaatan sebaik-baiknya kepada sesama dan semesta. 

Sumber gambar: 

Rabu, 15 April 2020

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Belum lama ini sehubungan dengan perkembangan wabah atau pageblug yang diperantarai virus SarsCoV-2, Sultan HB X menyampaikan petuah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang sangat relevan dalam memaknai kondisi yang terjadi saat ini; Mangasah Mangising Budi, Memasuh Malaking Bumi

Maknanya adalah; mengasah ketajaman akal-budi, membasuh malapetaka bumi. Ini sejalan dengan dalil: 

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Ruum: 41) 

Pageblug ini adalah sebuah peringatan, sekaligus sebuah proses pembelajaran komprehensif yang menempatkan manusia di posisi untuk melakukan proses kontemplasi dan secara paralel "dipaksa" untuk berpikir sistematik dalam menemukan solusi yang bersifat sistemik. 

Ketidak berimbangan pada proses eksploitasi dalam rangka mengakomodir pemenuhan kebutuhan akan rasa aman yang berlebihan, telah menempatkan manusia dalam posisi gagal mensyukuri dan menahan diri dalam mengambil manfaat di semesta sebagaimana yang telah dijanjikan. 

Padahal segenap potensi alam yang telah diciptakan Allah Swt., tak lain dan tak bukan dimaksudkan untuk diolah hingga memiliki nilai tambah serta dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari berkah. 

Kajian tafsir, baik tafsir bil ma'sur maupun tafsir birra'yi dari berbagai ayat Allah tentang potensi sumber daya alam, menunjukkan bahwa memang semestinya manusia dapat mengolah dan mengambil manfaat dari semua yang telah diciptakan Allah hingga dapat menghadirkan banyak hal yang bersifat maslahat. 

Tetapi sekali lagi, jika saya boleh menyitir nasehat Sultan HB X, masalah kita terkait naluri impulsi serakah tak terlepas dari karakter 3G berikut: golek menange dewe (mencari menangnya sendiri), golek butuhe dewe (mencari kebutuhan sendiri), dan golek benere dewe (mencari benarnya sendiri). 

Karena teknologi teleko sudah berkembang, izin saya menambahi menjadi 5G ya: golek senenge dewe, dan golek slamete dewe

Egosentrisme yang lahir dari kinerja survival tools di otak manusia. Ketika spektrum naluri limbikiyah telah memancarkan sinar yang berintensitas tinggi, maka spektrum waskita perlahan berpendar menuju pudar karena terinferensi gelombang yang didominasi kecemasan yang berenergi reduksi yang condong mengeliminasi. 


Rabu, 20 November 2019

3 Cara untuk Menjalani Hidup Tanpa Keruwetan


Oleh Duddy Fachrudin

Kadang saya iri dengan gunung. Ia begitu elok, tempat bersemayam beraneka rupa flora serta fauna, dan pastinya banyak dikunjungi manusia.

Gunung tak mengeluh saat didaki manusia yang terkadang malah mengotorinya. Ia juga tak menampakkan kemarahan saat badai hujan menerpa. Pun saat terik matahari menyengat, ia tetap tabah.

Gunung mengajarkan keteguhan, kemantapan, sekaligus bagaimana menjalani kehidupan tanpa keruwetan. Ia tetap istiqomah menjalankan tugas menjaga keseimbangan di bumi tercinta.

Dibalik tugas besarnya, ia tak memiliki keinginan apa-apa, ia pandai menerima dan melepas segala sampah kotoran yang dibawa manusia, serta begitu ikhlas menjalani ketidakpastian.

Maka belajar dari gunung berarti belajar bagaimana menjalani kehidupan ini dengan santuy, mindful, tanpa keribetan, tanpa keruwetan. Bagaimana?

1. Memilih dan memilah mana yang menjadi kebutuhan kita. Hidup adalah tentang keseimbangan. Berlebihan akan menggerus keseimbangan. Mengecek keinginan yang muncul segaligus mempertanyakannya, "apakah saya benar-benar membutuhkan ini?"

2. Melepas. Kurangi hal-hal yang tidak penting: barang-barang yang memenuhi space (ruang), sampah pikiran dan perasaan yang terus mengendap, serta informasi tidak penting yang terus membanjiri indera. Melepas berarti menata hidup, menjadi sadar sepenuhnya akan kehidupan kita.

3. Menjalani ketidakpastian dengan keyakinan, kesabaran, keikhlasan, dan kebersyukuran. Suatu hal yang pasti adalah ketidakpastian tersebut, bukan? Selalu ada ujian, tantangan, penderitaan. Dan itu adalah kewajaran. Justru jika tidak ada semua itu, apa asyiknya mengarungi kehidupan?

Maka berfokus saja memberi kebermanfaatan. Meniatkan diri untuk menjadi baik dan menebar kebaikan.

Sumber gambar:

Rabu, 23 Oktober 2019

Menjadi Insan Berdayaguna (Bagian2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Adanya kebijaksanaan dan kewaskitaan dalam menata dan mengelola potensi sebagai karunia yang wajib disyukuri dengan cara dioptimasi hingga dapat terimplementasi dalam bentuk manfaat yang bersifat operasional dan implementatif sesuai dengan situasi kondisional. 

Banyak kan yang barangkali memiliki kesempatan dan potensi berkekuatan dahsyat tetapi tidak teroptimasi sepenuhnya. 

Sekali lagi ini bukan penghakiman subjektif, semua bersifat relatif dan merupakan pilihan bagi yang bersangkutan. 

Beberapa pemimpin tertinggi negara kita, dan juga negara sahabat, serta tetangga malah berasal dari keluarga sederhana nan bersahaja yang memiliki keteguhan tekat untuk memberikan yang terbaik sejauh apa yang mampu untuk digapai dan dicapai. 

Inilah sesungguhnya plastisitas kapasitas yang didukung sepenuhnya oleh mekanisme neuroplastisitas. Kondisi inisial atau modal awal yang menjadi pijakan untuk melangkah sebenarnya tidak hanya terletak pada faktor-faktor yang sudah sempat sedikit kita bicarakan di atas, tapi utamanya terletak pada gen dan DNA serta mekanisme pengekspresiannya yang secara epigenetik terbuka untuk dioptimasi dan dilatih serta diajari untuk "memainkan" konfigurasi strategi yang kita inginkan dan rencanakan. 

Artinya apa? Soal potensi pada hakikatnya kita semua sama. Memang secara opportunity mungkin saja fasilitas pembantu yang kita miliki bisa berbeda-beda seperti yang tadi saya gambarkan di atas, beda garis start nya saja. 

Apakah yang start di belakang bisa menyusul? Apakah yang start di depan bisa disusul? 

Rasio probabilitasnya akan kembali pada daya upaya, doa, dan keikhlasan untuk mensyukuri dan menerima anugerah potensi hingga tidak terdistorsi dan tereduksi oleh penyesalan dan keluh kesah yang juara dalam mengonsumsi energi. 

Pandai bersyukur menjadi kata kunci, mekanisme ini bukan hanya mampu mengorkestrasi kemampuan berpikir dalam ranah foresight ability yang mampu menembus garis waktu (timeline) dgn pandangan maju prospektif dengan bekal hasil olahan/ analisis perjalanan retrospektif menambang data dari masa lalu (data mining). 

Inilah peran penting dari proses mengalami, mempelajari, dan mengembangkannya menjadi memori, pengetahuan, dan kemampuan. Konsep bersyukur dan berdoa secara aktif dengan cara mengoptimasi potensi yang telah kita terima sebagai anugerah akan maujud dalam bentuk orkestrasi sistem komunikasi dan interaksi otak yang antara lain dijembatani Dopamin, Serotonin, Oksitosin, Epinefrin, Norepinefrin, Endorfin, Asetilkolin, Glutamat, GABA, dan lain sebagainya. 

Terlibat pula bagian-bagian ini dalam proses Circular Mind dan struktur neuroanatomi yang tentu saja memiliki peran fisiologis tertentu, bahkan khusus. 

Di sinilah arti penting dari keberadaan amigdala dan hipokampus, tidak sekedar untuk mengenang, melainkan menjadikan kenangan sebagai pengalaman yang diaugmentasi menjadi pelajaran dan prosesnya menjadi pembelajaran. Di sinilah arti pentingnya keberadaan proses dan mekanisme verifikasi, validasi, dan valuasi yang antara lain melibatkan OFC, PFC, dan ACC dari kompartemen frontal otak kita. 

Dan jangan lupa pula bersyukur, kitapun dilengkapi dengan kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi serta melakukan rencana aksi menjadi aksi yang sesungguhnya. Tentu dengan motor penggerak berupa motivasi berenergi yang hadir dan lahir dari rahim rasa yang mewarnai hidup dengan suka dan menyukai, serta tentu saja sebaliknya. 

Area Broca, juga area motor imagery dan daerah eksekusi motorik beserta sub sistem pengendalinya adalah modal interaksi yang menjadikan kita makhluk sosial yang mewakili kepentingan personal dalam bentuk interaksi multi level dan multi dimensi yang membawa kita dalam diplomasi komunal. 

Dan sifat komunal sosial itulah yang mendorong lahirnya nilai dan tata kelola untuk mepreservasi nilai. Sifatnya seolah otomatis lahir dari sebuah model interaksi hingga dikenal sebagai self poetic.

Karena pada hakikatnya ada ketidaksadaran bersama di balik lapis kesadaran, bahwa manusia memiliki motif paling mendasar yang bersifat generik. Artinya hampir semua model dan bentuk interaksi itu ditujukan untuk mempertahankan kehidupan, dan ternyata eksistensi itu adalah jaminan kepastian untuk mendapatkan akses terhadap pemenuhan kebutuhan. 

Maka sebenarnya siapapun kita, dan saat ini tengah mengerjakan apapun, syukurilah apa yang tengah dijalani, ikhlaskan, lalu belajar mengamplifikasi syukur menjadi energi bagi proses tafakur. Tak hanya itu, masa lalu dan sistem memori dan super logika yang melibatkan sistem limbik-kortikal juga mengajarkan kita untuk senantiasa mengevaluasi dan sekaligus mengobservasi posisi eksistensi diri. 

Maka yang masih menzhalimi diri sendiri dan orang lain, tanpa bermaksud menghakimi, ya monggo kita lakukan self correction atau swa koreksi. Dan lakukan penyesuaian dengan tune in pada gelombang perubahan yang tepat dan dibutuhkan. Jadi untuk menjadi baik dan lebih baik tak perlu menunggu jadi menteri toh?
Sumber gambar:

Menjadi Insan Berdayaguna (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Tengah ramai orang memperbincangkan jabatan pejabat negara seperti menteri atau yang sejajar dengannya. Demikian juga orang kerap berdebat siapa orang yang paling tepat untuk menjadi nahkoda sebuah perusahaan raksasa, atau juga menjadi pemimpin di suatu daerah.

Terlepas dari itu semua saya justru ingin mengajak kita berpikir konstruktif-kontributif yang ditandai dengan kebermaknaan eksistensi yang diindikasikasikan dari kebermanfaatan bagi sesama. 

Tentu tak dapat dipungkiri, mempelajari lalu menganalisis proses seseorang untuk mendapat amanah berupa kesempatan melayani publik dan konstituennya melalui pendayagunaan kompetensi dan kapasitas kapabilitasnya juga sangat menarik. 

Mengapa? Karena tak semua orang bisa masuk line up, yang bahkan seolah menjadi representasi dari lapis terbaik yang dipilih dan dipilah dari sekitar 260 juta manusia yang menjadi warga negara. 

Luar biasa bukan? 

Apakah semata ini persoalan kemampuan Intelijensia belaka? Atau sintesis dari semua potensi kecerdasan jamak yang terintegrasi dalam kapasitas profesional yang mumpuni? 

Mana yang diperlukan? Pengambil kebijakan yang mampu melakukan pemindaian data secara superfisial meluas dan menjadi pemandu dalam menghasilkan solusi konstruktif yang dirancang secara kreatif dan inovatif. Atau barangkali mereka yang memiliki kemampuan teknikal mumpuni untuk secara spesifik dapat menjadi trouble shooter di bidangnya? Atau harus keduanya? Sejenis hibrida antara pengusaha sukses yang paham seluk beluk pengelolaan bisnis, termasuk sosiopreneur, mahfum ilmu ketatanegaraan, sekaligus luwes dalam berkomunikasi di ranah publik, serta pakar di bidang khusus yang masuk dalam domain rentang kendali yang menjadi kewenangannya? 

Untuk kriteria yang seperti ini mungkin Tony Stark boleh mendaftar. Tapi seandainya Tony adalah 1 dari sekitar 260 juta warga negara Indonesia, bagaimana dia bisa sampai di posisinya yang dapat "dikenali" atau direkognisi oleh radar sistem yang mungkin akan membawanya menjadi pilihan untuk posisi jabatan publik yang mengurusi hajat hidup orang banyak. 

Apakah tidak ada faktor lain yang terlibat? Misal dari aspek keturunan yang menempatkannya dalam posisi terpantau secara politik karena memang bagian tak terlepas dari dinasti politik tertentu misalnya. 

Dalam salah satu rujukan teori kepemimpinan, konsep ini termaktub dalam The Great Man Theory

Ambil contoh, anak muda pendiri perusahaan rintisan transportasi daring nasional yang kini statusnya decacorn, Nadiem Makarim. 

Tentu tak bijak jika kita tidak melihat latar belakangnya yang dilahirkan dari keluarga terdidik dan terpandang. Ayahandanya adalah Nono Anwar Makarim seorang ahli hukum dengan reputasi sangat baik dan tentu saja terkenal. Dengan kapasitas orangtuanya tentu Nadiem dapat memiliki akses yang baik untuk menempuh pendidikan di institusi terbaik di tempat terbaik pula, hingga tak terlalu heran jika dengan kapasitas berbasis pengetahuan dan kesempatan yang dimilikinya ia dapat menghasilkan inovasi solutif yang membantu banyak manusia. 

Dan mungkin itu juga yang mengantarkannya terpilih menjadi seorang pejabat publik. Demikian juga putra puteri Bapak Ibu Profesor, dan mungkin juga Pak Kyai dan Ibu Nyai. Pajanan mereka terhadap pengetahuan, juga lingkungan, dan jejaring pertemanan serta kekerabatan dapat diibaratkan sebagai "jackpot" yang memberikan sedikit keuntungan atau keunggulan "start". 

Tapi ya secara relatif bisa juga itu tidak berpengaruh, dan jika berpengaruh pun tidak signifikan. Karena semua predikat yang melekat dan kondisi yang memfasilitasi itu ibarat substrat yang siap diolah dengan syarat adanya kehadiran enzim pengkatalisa.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:

Selasa, 13 Agustus 2019

Dialog Imajiner Den Mas Yudho


Oleh Tauhid Nur Azhar

Seperti kayu yang mengikhlaskan dirinya menjadi abu ketika api perlu urup untuk menguripi.

Pengorbanan bukanlah kesia-sian, melainkan kesadaran tertinggi untuk memahami arti "hadir" dan mencintai.

Ada, Berada, dan Tiada semua hanyalah makna yang dibingkai kata-kata. Direnda menjadi rajutan perca dalam teater kala yang tepinya disulami bordir sementara.

Maka apa salahnya menjadi abu?

Apa salahnya mencintai api yang lalu melumat aku?

Karena aku, sang kayu, tahu. Tanpa aku tak ada kamu (api), dan tak ada panas yang lahir dari rahim ikhlas.

Bukankah semesta fana ini semata hanyalah lingkaran panas (baca tenaga) yang membangkitkan raga (baca; makhluk)?

Dan tak ada yang kuasa mencegah apapun yang telah menjadi kehendak-Nya.

Maka kayu, api, abu, dan kamu.. ya kamu.. yang tetap ada, karena ada yang rela tiada, hanyalah semata wayang berjiwa yang jumawa seolah digdaya dalam menguntai rasa menjadi cerita.

Meski punya nalar, kita kerap tak sadar bahwa semua cerita ditulis sekehendak penulisnya. Dan Sang Penulis adalah Qulillâ humma mâlikal mulki.

Wa tukhrijul hayya minal mayyiti wa ma tukhrijul mayyita minal hayya... Ada yang pergi dan mati untuk lahir dan hadirnya kehidupan, demikian pula sebaliknya. 

Dan pada gilirannya semua hanyalah sebaris ingatan tanpa penubuhan. Menjadi ada karena tiada, dan sementara menjadi tanda bahwa setiap ada akan menjadi tiada kecuali yang Satu jua...

Sumber gambar: 
Dokumen pribadi

Jumat, 28 Juni 2019

Kedai Kopi & Menjadi Manusia (Bagian 1)


Oleh Hamzah Abdurahman & Duddy Fachrudin

"Pernah ada yang suka ngopi di sini, trus ajak keluarganya. Mereka bawa mobil dan dandanannya rapih. Sampai sini, ibunya terheran-heran dengan kedai kopi ini, dan ketika duduk pun terasa tidak nyaman. Mungkin ya terbiasa di kedai kopi mewah & ber-AC, mas."

Duo barista unik dan nyentrik itu senyum-senyum menceritakan kedai kopi tanpa nama di jalan Pekalipan yang saya kunjungi sambil menunggu spoor yang menjemput pukul 2 pagi.

Terkekeh kekehlah kami semua dengan lepas sementara Hp salah satu barista itu mendendangkan Iksan Skuter, "Sepertinya menjadi manusia adalah masalah buat manusia... "

Obrolan tengah malam itu berkutat pada persoalan manusia yang semakin ke sini semakin aneh. Semakin membeda-bedakan, semakin menilai, semakin menghakimi, dan semakin berada pada polaritas mencari kenikmatan dan menghindari penderitaan.

Padahal di kedai kopi itu justru saya merasakan kopi ternikmat selama ini. Harganya 1/2 dari yang biasa ada di kedai kopi ber-AC, ber-wifi, dan tentunya memiliki interior yang elegan.

Kedai kopi itu tanpa nama. Tersempil di balik gerobak nasi goreng dan makanan lainnya. Ruangannya apa adanya, namun segala jenis kopi mereka punya. Dan harganya? Hmm... level bumi dengan citarasa langit karena dibuat dengan penuh keikhlasan dan penuh cinta.

Lalu apa sebenarnya manusia? Siapa manusia? Sebuah pertanyaan dari jaman dahulu yang kerap kali ditanyakan oleh manusia itu sendiri. Bahkan semakin canggih peradaban manusia semakin mempertanyakan dirinya.

Manusia sejatinya mahluk yang lemah dan tak berdaya. Ketika ia lahir ke dunia hanya tangis yang dibawa. Sungguh manusia tak bisa apa-apa, tergeletak begitu saja dan membutuhkan orang lain untuk bisa bertahan dari ganasnya kehidupan.

Berbeda dengan binatang. Pitik (anak ayam) yang baru menetas dari cangkang telur tidak membutuhkan waktu lama untuk mengeksplor dunia sekitarnya. Dengan gembira ia menikmati dunia berlari ke sana ke sini mengikuti ibunya. Dengan mudahnya juga ia beradaptasi dengan beragam cuaca. Bahkan beberapa hari kemudian ia dapat bertahan dari derasnya hujan, tanpa perlu memakai jaket ataupun pakaian.

Setelah beberapa bulan, Pitik yang telah tumbuh remaja memberi kebermanfaatan bagi manusia. Ia dengan ikhlas disembelih dan dijadikan ayam geprek lalu disantap secara mantap. Sementara dalam rentang usia yang sama manusia masih merengek dan menangis meminta ASI kepada ibunya.

Namun, dibalik ketidakberdayaan manusia, Tuhan memberikan rahasia berupa penglihatan pendengaran, dan hati. Tentu, binatang pun diberikan potensi yang sama, namun manusia memiliki sistem yang lebih canggih, kompleks, dan kapasitas yang lebih besar. Ini yang kemudian membedakan manusia dengan hewan. Sebutan Homo Sapiens pun disematkan. Mahluk yang cerdas karena akal sekaligus budinya.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar

Senin, 26 November 2018

Mindful Couple: Jodoh di Tangan Manusia


Oleh Duddy Fachrudin

Seorang wanita muda berparas ayu menemui saya, menjadi peserta dalam sebuah pelatihan dan kemudian mengutarakan gundah dan rasa gelisahnya. Dalam kesempatan yang hening penuh rasa, sang wanita bercerita bahwa orangtuanya ingin agar ia memiliki pasangan seorang dokter. Realitanya, saat ini ia memiliki kekasih yang jauh dari kriteria ayah bundanya. Konflik hati menangungi dirinya.

Saya menemaninya mengobrol, bertukar kata, dan kadang-kadang bertanya. Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu ia jawab dengan mindful (hati-hati) namun pasti. Sebagai seorang anak, ia mencoba memilih mengikuti kata orangtuanya. Ikhlas.

Hari berlalu melepas waktu. Beberapa minggu setelah sesi itu saya mendengar sebuah kabar bahwa ia tidak lagi bersama kekasihnya. Bahwa ia bertemu seorang calon dokter berparas tampan. Tingginya hampir sama. Pun begitu rupanya.

Keputusan dan tindakan wanita cantik itu membuat tangan-tangan Tuhan bergerak.

Bergerak untuk mempertemukan keduanya.

Sumber gambar:
https://www.pinterest.com/pin/476326098063551904/

Senin, 20 Agustus 2018

Puisi: Aku Ingin Di Sini


Oleh Duddy Fachrudin

Aku ingin di sini
hadir sepenuhnya dalam lautan mimpi sang pencari
Aku tak mau pergi
karena jiwa ini tertaut padamu, wahai Kekasih Hati
Aku tak mau kalah lagi
terapung dalam kecemasan dan kesedihan tak berarti

Hidup,
hidup itu hanya sekedar menjalani
menikmati apapun momen saat ini
sambil tak lupa menerima dan mencintai diri
meski di luar sana depresi dan penuh caci maki

Aku ingin di sini
duduk berdua bersama Centhini
melantunkan beragam melodi
yang tak kunjung berhenti

Dan aku ingin di sini,
karena aku mencintai,
karena aku mensyukuri cinta ini

Sumber gambar:
https://fineartamerica.com/featured/happiness-is-here-and-now-julie-niemela.html

Jumat, 30 Maret 2018

Aku Bertanya (Sebuah Puisi)



Oleh Duddy Fachrudin

Aku bertanya:
apakah ada cinta
di dunia yang gegap gempita
yang sibuk dalam menampilkan rupa

Aku bertanya:
dimanakah sesungguhnya rumah
yang tak ada sedikitpun derita
yang menyinarkan cahaya

Dia menjawab:
cinta itu ada
bahkan melimpah ruah
saat hati berada dalam ruang titik atau koma

Dia menjawab:
duduklah di batu-batu cadas
sejenak merasa dan mengamati pohon meranggas
lalu mendaras rindu menyelaras kalbu

Sumber gambar:
http://www.copyright.com/learn/top-10-misconceptions-about-copyright/question-mark/







Rabu, 28 Maret 2018

Sikap Mindfulness: Sabar, Syukur, dan Sejatinya Kehidupan


Oleh Hamzah Abdurahman

Perpisahan kedua orang tua membuat saya memendam rasa. Kesal dan sedih bergantian mengisi ruang hati. Namun, apa yang saya pendam tak pernah sedikitpun tercurahkan. Apa daya, Freud memang benar, memendam rasa sama saja membiarkan emosi saya meledak. Dan pada tahun 2017, akun sosial media saya menjadi saksi bahwa diri berada dalam puncak emosi. Mereka saya hentikan. Pada tahun itu pula, impian, ambisi, dan cita-cita saya meredup. Saya menjadi sering mengalami stres yang biasanya ditandai dengan rasa sakit di tengkuk kepala, tidur tidak tenang, dan sering bermimpi aneh.

Namun ternyata, seperti kata pepatah, “Saat kematian, disitulah ada kehidupan baru.” Benar rupanya, ketika saya sedang terpuruk dan kondisi kesehatan menurun, justru saya dipertemukan dengan orang-orang yang inspiratif. Dr. Tauhid Nur Azhar dan Dr. Yono Budhiono merupakan dua diantaranya.

Berawal dengan seringnya saya mengikuti sesi kedua sosok inspiratif tersebut di kelas Masa Persiapan Pensiun (MPP), kunci kesehatan sesungguhnya terletak pada kemampuan kita dalam mengelola stres melalui sabar dan syukur. Begitu Dr. Tauhid memaparkan kepada para peserta dan saya sebagai panitia.

Kemudian pada sesi Dr. Yono, saya mengukur tingkat stres saya. Hasilnya saya tergolong individu yang mudah sekali stres. Dr. Yono, menjelaskan saya termasuk tipe A+, yaitu individu yang ambisius, gigih, tekun, namun rentan stres. Beliau kemudian menyarankan saya untuk mengatur ulang perjalanan hidup saya dalam mencapai impian-impian saya serta meminta saya untuk tidak memendam emosi.

Pada titik ini, saya teringkat akan orang paling mulia yang pernah hidup di dunia ini, yaitu Muhammad Saw. Beliau selalu sehat, bahkan diriwayatkan hanya 2 kali mengalami sakit selama hidupnya. Apa rahasia beliau? Padahal beliau memiliki target, impian, dan berbagai aktivitas yang sangat banyak. Selain itu beliau mengalami berbagai penolakan saat menyampaikan kebenaran.

Thoif salah satunya. Sebuah daerah dimana Sang Nabi disiksa dan dilempari batu. Namun segala rintangan tak membuatnya menyerah untuk terus menyampaikan misinya. Dan tidak ditemukan dalam satu riwayatpun jika Rasulullah pernah mengalami stres.

Artinya, kondisi psikologis beliau tidak seperti kebanyakan orang yang ketika mendapat penolakan langsung turun semangatnya. Kala rintangan menghadang, orang nomor satu menurut Michael Hart tersebut memanjatkan doa seraya memasrahkan diri kepada Tuhan.

Ketenangan. Hal ini yang sedang saya upayakan untuk senantiasa hadir.

Maka, ketika gundah gulana melanda, sabar dan syukur adalah obatnya. Dan ketika penolakan, cemoohan, dan rintangan menghadang, kita terus melangkah untuk meraih cita. Hingga akhirnya kita menerima apapun yang Allah Swt. berikan dengan penuh cinta dan hati yang lapang. Inilah sejatinya kehidupan.

Sumber gambar:
http://ulamasedunia.org/2016/06/28/ketenangan-adalah-anugerah-allah-buat-golongan-beriman/

Minggu, 11 Maret 2018

Aku Jatuh Cinta (A Mindful Journey)

Eiffel Tower

Oleh Duddy Fachrudin

Tanggal 2 April 1770, Johann Wolfgang von Goethe tiba di Strasbourg untuk melanjutkan studi ilmu hukum dari Universitas Leipzig ke Universitas Strasbourg. Ia berada di sana selama 1 tahun 4 bulan. Pada masa yang singkat tersebut, Goethe jatuh cinta pada seorang gadis, anak dari seorang pastur bernama Friederike yang dikenalnya di desa Sesenheim. Goethe kemudian menuliskan perasaannya pada sebuah sajak di atas: Liebesgedichte für Friederike, Sajak Cinta untuk Friederike.

Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu
Aku hanya melihat wajahmu sekali saja
Aku memandang di matamu sekali itu
Akan membebaskan hatiku dari semua derita
Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu


Strasbourg bukanlah Paris yang dikenal dengan kota cinta—kota para pecinta, tempat mereka mencari inspirasi dan cinta. Namun memang Strasbourg merupakan gerbang masuk ke Paris, jadi wajar aura-aura cinta sudah terasa oleh Goethe, walaupun ia tidak berada di Paris. Begitulah Paris dengan pesona cintanya disamping berbagai mahakarya seni dan arsitektur indahnya menggoda manusia untuk mengunjungi kota tersebut.

Bagaimana jika kita berandai-andai dan mengaktifkan imajinasi untuk pergi ke Paris, mencari sesuatu, pemikiran, dan cinta? Baiklah kalau begitu, biarkan aku yang memulainya:

Pagi itu aku melangkah menuju sebuah menara berketinggian 300 meter. Menara tersebut disusun dari 15 ribu keping metal yang dipateri menjadi satu. Beratnya mencapai 7 ribu ton serta bertumpu pada empat kaki penyangga dengan fondasi dasar dari beton. Gustave Eiffel membangunnya pada tahun 1889. Akhirnya aku sampai dan kemudian naik lift hingga puncak Eiffel dan melihat dengan indahnya pemandangan kota Paris. Di situ pula aku memulai kontemplasi tentang kehidupan dan cinta.

Sesaat aku memikirkan kehidupanku: kuliah, kerja, dan cinta. Hal terakhir ini yang memang ingin aku cari. Terlihat di jalanan para pasangan yang saling bergandengan tangan, berpelukan, mesra. Di antara mereka, pasangan berusia madya: pria bermantel coklat dan wanita bersyal merah yang paling membuatku tertegun. Ketika aku melewatinya, terlihat wajah wanita itu pucat dan tangan kiri pria memeluk hangat pasangannya itu. Mungkin, wanita itu sedang sakit, ujarku dalam hati, dan sang pria dengan setia mengantar wanitanya pergi ke mana pun pergi.

Kemudian aku memandangi sebuah keluarga: ayah, ibu, dan 3 orang anak bercanda ria ketika aku mampir sejenak di restoran Les Deux Magots, tempat di mana Sartre, Beauvoir dan Camus biasa berdiskusi. Aku keluar dari Les Deux Magots sambil membayangkan bagaimana keluargaku nanti: istri dan anak-anakku. Aku kemudian menuju sebuah katedral, duduk di bangku taman, dan mengambil sebuah buku dari ranselku: Notre-Dame de Paris: 1482. Tahun 1831 Victor Hugo menulis novel yang mengisahkan katedral Notre-Dame yang ada di depanku. Aku memandanginya lama, indah.

Hari mulai tenggelam. Matahari segera menghilang. Aku kembali berjalan dan berhenti di sebuah taman, lalu duduk. Kemudian aku membaca Rousseau berjudul Walden. Buku ini yang menginspirasi behavioris BF Skinner untuk menulis Walden II, kisah tentang masyarakat impian yang teratur oleh postulat-postulat behavioristik. Sambil membaca aku membayangkan Indonesia, tanah air yang bisa dibilang jauh dari harapan Rousseau dan Skinner dalam bukunya.

Matahari benar-benar ingin lenyap, sudah condong ke barat. Aku mulai bergegas. Sebelum pergi dari taman, aku membaca Liebesgedichte für Friederike. Perlahan kata demi kata aku baca: Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu... Aku hanya melihat wajahmu sekali saja... Aku memandang di matamu sekali itu... Akan membebaskan hatiku dari semua derita... Apakah aku mencintaimu, aku tak tahu. Sajak yang benar-benar menyentuh hati.

Sayang, setelah Goethe memperoleh gelar dari Universitas Strasbourg, ia menemui Friderike untuk yang terakhir dan kembali ke Frankrut. Friederike menyangka bahwa Goethe akan kembali ke Strasbourg, namun ternyata tidak. Kemudian ia memberinya surat perpisahan kepada Goethe yang sangat membuatnya sedih: Jawaban surat perpisahan dari Friederike mengoyak hatiku... Aku sekarang baru pertama kali merasa kehilangan... Begitulah ekspresi kesedihan Goethe yang tertuang dalam tulisannya.

Aku menutup Liebesgedichte für Friederike, membuka roti dan memakannya, sambil memandangi taman yang dipenuhi para pasangan. Mereka mengobrol dan bercanda. Rotiku habis dan matahari sudah tenggelam. Lampu taman menyala jingga membuat suasana menjadi semakin romantis. Aku menengok ke sebelahku: tak ada siapa-siapa. Tak ada cinta yang bisa diajak berbagi, layaknya para pasangan itu. Aku melamun: seseorang... siapakah seseorang yang akan berada disampingku, menemani duduk di taman sambil makan roti dan membaca sastra? Aku kemudian teringat sebuah lirik lagu berjudul Tentang Seseorang yang melantun indah di film Ada Apa Dengan Cinta:

Cinta hanyalah cinta
Hidup dan mati untukmu
Mungkinkah semua tanya kau yang jawab

Dan tentang seseorang
Itu pula dirimu
Ku bersumpah akan mencinta


Tek.. tek.. tek.. Aku membuka mata, melihat jam weker berdetak yang terletak di sebelah monitor komputerku. Pukul 3.30 pagi. Mimpi. Aku bermimpi. Aku masih terbengong-bengong setengah sadar, mencoba merangkai kembali mimpiku.

Aku bangun dari kasurku, berjalan menuju pintu, membukanya. Kunyalakan lampu kamar mandi, lantas kubasahi wajahku yang kusut, lalu berwudlu, segarnya air pagi. Lalu kugelar sajadah, kupakai pakaian terbaikku. Allahu Akbar... dalam keheningan aku bersujud dan bersyukur. Mungkin inilah jawaban dari-Nya tentang pertanyaan yang ada dalam mimpiku yang akan membebaskan hatiku dari semua derita kehidupan. 

Referensi:
Susanto, S. (2005). Menyusuri Lorong-lorong Dunia. INSISTPress: Yogyakarta.

Sumber gambar:
https://easytripguide.com/trip-to-pairs-experience-boat-tour-in-paris/

Jumat, 13 Oktober 2017

Mindfulness (Sebuah Puisi)

(Ilustrasi: Jalan Cinta)

Oleh Duddy Fachrudin

Beri aku sesuatu yang sulit, kata Andrea
Mari.. mari sini penderitaan, kata Salik
Kata orang-orang, kopi itu pahit,
namun dalam pahitnya itu menyeruak cinta

Jalan Cinta adalah jalan impian Boi
Kau beruntung sedang melaluinya
Janganlah berpaling darinya,
hingga tertawan dalam penjara kegelisahan

Hiduplah saat ini sambil menyeruput kopi itu
Inikah arti dari yang namanya penerimaan?
Salik berkata: aku mau apa yang dimau-Nya:
sini, mari menghablur, melebur bersama bintang gemintang

Sumber gambar:
http://wendyspeaks.com/tailored-workshops/

Minggu, 01 Oktober 2017

Mindful Walking: Ketika Jalan Kaki Begitu Menggoda..

Latihan mindful walking @Sharing Session IPK Jabar

Oleh Duddy Fachrudin

Pernahkah terlintas bahwa jalan kaki perlu dilatih? Sebagian orang mungkin berkomentar, “Jalan kaki kok perlu training, dari dulu jalan kaki begitu-begitu saja dan tidak ada yang perlu diubah dari kebiasaan ini.”

Ya, tidak ada salahnya dengan komentar tersebut. Tapi coba sekali-kali nongkrong di mall dan mengamati orang-orang yang sedang berlalu lalang. Lihat cara jalan mereka. Ada yang jalan sambil wajahnya menunduk melihat handphone, lalu ada jalan dengan langkah kaki panjang, kemudian jalan kaki dengan kedua kaki yang dilebarkan (lebih lebar dari pinggul), berjalan kaki dengan kedua kaki dibuka keluar membentuk sudut tertentu atau kaki yang ke dalam sehingga seperti membentuk O. Sebagian orang juga memiliki cara jalan yang dipengaruhi alas kaki, seperti sepatu hak tinggi, sepatu yang solnya sudah aus, alas kaki yang solnya terlalu tipis dan terlalu tebal.

Kesimpulannya.. ternyata cara berjalan kaki orang berbeda-beda dan sebagian besar tidak disadari.

Jalan kaki nyatanya perlu disadari. Bahasa kerennya mindful walking, berjalan dengan penuh kesadaran. Kita benar-benar menyadari dan merasakan diri kita yang sedang berjalan kaki. Dan yang lebih penting mindful walking menyehatkan fisik dan psikis. Mengapa?

Teut, dkk (2013) dari Universitas Berlin meneliti pengaruh mindful walking terhadap stres psikologis. Hasilnya partisipan yang melakukan mindful walking selama 4 minggu menunjukkan stres psikologis yang menurun dibanding kelompok kontrol. Maka pelajaran yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu saat kita stres maka berjalan kakilah secara sadar.

Teknik mindful walking memiliki persamaan dengan bagaimana berlatih tai chi. Keseimbangan tubuh benar-benar diperhatikan. Kedua kaki sejajar dengan tulang pinggul (bukan pinggul). Kedua kaki lurus ke depan (tidak membentuk sudut tertentu), melangkah kaki secara proporsional (tidak terlalu panjang juga tidak terlalu pendek) dan tumit terlebih dahulu menyentuh tanah kemudian dilanjutkan dengan memompa bantalan kaki. Kita benar-benar merasakan adanya tekanan pada kaki lalu menyadarinya. Berjalan secara rileks dan hanya berjalan.

Berjalan kakilah... karena jalan kaki merupakan obat terbaik bagi manusia, begitu kata Hipokrates.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Referensi:
Teut, M., Roesner, E.J., Ortiz, M., Reese, F., Binting, S., Roll, S., Fischer, H.F., Michalsen, A., Willich, S.N., & Brinkhaus, B. (2013). Mindful walking in psychologically distressed individuals: A randomized controlled trial. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, DOI : 10.1155/2013/489856

Sumber gambar:
Dokumen pribadi

Senin, 18 September 2017

Mindful Lansia: Bidadari Surga


Oleh Duddy Fachrudin


Dikisahkan dalam Kungfu Panda, Po Sang Dragon Warrior dan teman-teman seperjuangannya harus menghadapi suatu senjata yang dapat menghancurkan masa depan kung fu. Po yang polos dan baru saja belajar kung fu bingung kemudian bertanya kepada gurunya, Shifu, “Bagaimana caranya (kung fu) menghentikan sesuatu yang ia sendiri dapat menghancurkan kung fu?”

Lalu Shifu menjawabnya dengan, “Segalanya mungkin jika kau memiliki inner peace.”

Dalam dunia yang semakin sibuk ini, setiap orang saling mengejar ambisi. Dan karena arus informasi yang tiada henti melalui berbagai media, kita sulit menjumpai hingga memiliki inner peace (kedamaian jiwa).

Setelah kekisruhan ekonomi melanda Eropa dan Amerika, orang-orang dari Barat kini gemar mencari serta menemukan ketenangan dan kedamaian jiwa di Timur. Tibet, Thailand, Myanmar, dan Indonesia dengan Bali-nya konon menjadi destinasi mereka untuk menemukan kedamaian jiwa.

Kini orang-orang mencarinya. Namun perlu diketahui bahwa kedamaian jiwa tidak akan pernah menghampiri kita saat diri kita sibuk dengan ambisi dunia, menjadi sempurna, terus mengejar dan menumpuk materi, serta haus akan pujian. 

Ia juga tidak akan pernah menyapa hati saat kita dilanda ketakutan, kekhawatiran akan masa depan, memiliki kemarahan dan kekecewaan di masa lalu, iri dan dengki terhadap orang lain, sombong dan membanggakan diri, serta masih melekati diri dengan dunia.

Ijinkan saya bercerita dengan seorang lansia di Panti Werdha. Usianya sudah 81 tahun. Meskipun jalannya sudah bongkok, ia masih dapat bercerita dengan runtut mengenai berbagai peristiwa di masa lalunya. Ia adalah seorang kakak dari keempat adiknya dan selalu amanah terhadap pesan orang tuanya untuk selalu menjaga adik-adiknya.

Sang Lansia memenuhi harapan orang tuanya. Ia bukan hanya menjaga adik-adiknya, tapi juga menemani orang tuanya saat mereka pulang kembali kepada-Nya. Ketika hal itu terjadi ia berusia 34 dan 36 tahun atau tepatnya pada tahun 1967 dan 1969. Setelah bakti pada orang tuanya, ia masih menjadi kakak tercinta dengan merawat keponakan-keponakannya sambil merangkai dan menjual bunga.

Ketika saya menanyakan mengenai keluarganya (suami atau anak-anaknya), ia mengatakan, “Saya nggak punya keluarga Nak. Paling adik-adik atau keponakan kalau datang ke sini 4 bulan sekali.” Saya tidak melanjutkan bertanya mengenai hal itu, karena kemudian ia memberikan pelajaran berharga bagi saya, “Yang penting kita dekat dengan Allah. Saya nggak punya keinginan apa-apa.”

Hati Sang Nenek begitu tenang dan jiwanya diliputi awan kedamaian. Pada tahun 1996 ia masuk ke Panti Werdha atas keinginannya sendiri. Lantas tubuhnya tak berdiam diri dengan meringkuk di kursi. Namun ia merangkai bunga, mencuci pakaian teman-temannya, menyapu halaman, berbagi rasa dengan para pengunjung panti dan melakukan aktivitas lainnya yang penuh makna.

Sebelum adzan menyahut merdu, ia meminta ijin untuk kembali ke kamarnya yang sederhana untuk memanaskan air, dan shalat duhur. Setelah beberapa lama berselang saya menghampiri kamarnya dengan maksud pamit pula, namun ia terlihat masih khusyuk berdo’a di atas kasurnya dengan mukena masih melekat di wajahnya.

Kedamaian jiwa saya jumpai di sebuah Panti Werdha, pada hati seorang lansia yang kelak menjadi bidadari surga yang penuh cahaya.

Sumber gambar:
http://mozaik.inilah.com/read/detail/2331426/kenapa-suamiku-di-dunia-direbut-bidadari-surga

Kamis, 14 September 2017

Joyful Learning: Bagaimana Mindfulness Diterapkan di Sistem Pendidikan Finlandia


Oleh Duddy Fachrudin

Bermain sebanyak 206 pertandingan dan mencetak 129 gol di berbagai kompetisi dalam rentang 1992-1999 menjadikan Jari Litmanen seorang legend di Ajax Amsterdam. Mengenakan nomor punggung 10, Litmanen berhasil menjalankan perannya sebagai fantasia atau playmaker dengan sangat baik. Bersama para pemain hebat lainnya seperti Marc Overmars, Edgar Davids, Edwin van Der Sar, Clarence Seedorf, De Boer bersaudara, Danny Blind, dan Patrick Kluivert, Litmanen membawa Ajax dua kali ke final Liga Champions. Ajax berhasil mengalahkan AC Milan di tahun 1995, namun satu tahun berikutnya kalah adu penalti melawan Juventus. Meskipun kalah, pada tahun 1996, Jari Litmanen menjadi top skor Liga Champions dengan torehan 9 gol. Pada ajang Ballon d’Or tahun 1995, Litmanen berada di posisi ketiga dibawah George Weah dan Jurgen Klinsmann.

Jari Litmanen bukan berasal dari Brasil atau Argentina yang terkenal menghasilkan pemain-pemain top dunia. Pemain yang pernah membela Barcelona dan Liverpool itu berasal dari sebuah negara Eropa Timur bernama Suomi atau Finlandia.       

Finlandia, sebuah negara yang memiliki luas wilayah 1/6 dari luas Indonesia, namun jumlah penduduknya ½ dari total penduduk Jakarta itu mulai saya kenal karena melihat aksi Jari Litmanen di pertengahan tahun 1990. Mendengar Finlandia terasa asing bagi saya yang saat itu masih seorang anak Sekolah Dasar (SD). Jika mendengar Finlandia yang terbayang hanya seorang Jari Litmanen.

Namun saat ini, mendengar Finlandia bukan hanya teringat Litmanen. Mendengar Finlandia langsung terasosiasi akan sistem pendidikannya. Hal ini tidak terlepas dari pencapaian Negeri Tanpa Malam di Programme for International Student Assesment (PISA). Pada empat edisi PISA (2000, 2003, 2006, 2009), anak-anak Finlandia menduduki peringkat mengagumkan di bidang Sains, Membaca, dan Matematika. Sementara pada edisi 2012 dan 2015, peringkat Finlandia mulai melorot di bawah negara-negara Asia seperti Singapura, Shanghai China, Hongkong, dan Jepang.  

Turunnya pencapaian tersebut bukan berarti kita tidak perlu belajar dari sistem pendidikan Finlandia. Justru kita perlu mengambil pelajaran dari apa yang sudah dilakukan oleh para pakar pendidikan di negara itu. Hal ini juga yang sedikit saya bahas ketika mengisi training untuk seluruh Guru Bimbingan Konseling SMA/SMK Kota Yogyakarta.

Sistem pendidikan di Finlandia tidak hanya (bahkan mungkin benar-benar tidak) menekankan pada pencapaian. Proses belajar dan mengajar dibuat dengan mengutamakan kebahagiaan. Intinya belajar dan mengajar itu harus menyenangkan, tidak ada beban, dan membuat ketagihan.


Dalam buku “Teach Like Finland”, Timothy D. Walker, seorang guru SD di Finlandia merangkum 33 strategi sederhana yang diterapkan oleh guru dan siswa selama program belajar mengajar. Dari 33 strategi tersebut, terdapat strategi-strategi yang sangat berkaitan dengan mindfulness. Satu strategi dibahas Tim di awal bab bukunya, yaitu pentingnya mengistirahatkan pikiran. Oleh karenanya, setelah belajar 1 jam pelajaran (45 menit), para siswa beristirahat selama 15 menit. Dengan pola 45 dan 15 ini, mereka tetap dapat menjaga fokus saat belajar.

Strategi ini mirip dengan teknik Pomodoro yang dikembangkan oleh Franscesco Cirillo. Pada teknik Pomodoro, kita mengerjakan tugas selama 25 menit lalu beristirahat selama 3-5 menit. Pola tersebut dilakukan hingga tugas selesai dikerjakan. Setelah tugas tuntas, kita beristirahat 15-30 menit, lalu mengerjakan tugas berikutnya.  

Perlunya jeda selama belajar atau mengerjakan tugas tertentu adalah agar otak kita tidak terbebani dan menjadi stres. Jeda atau istirahat merupakan momen melepas lelah. Jeda pula saat-saat meletakkan atau mengendapkan apa yang telah dipelajari atau yang sudah dikerjakan. Kita dapat melakukan hal-hal ringan selama istirahat atau jeda seperti membuat kopi, mendengarkan musik, hingga bermeditasi. Bagi anak-anak Finlandia, 15 menit jeda merupakan saat-saat untuk tertawa, melompat-lompat, termasuk berimajinasi.  

Selain strategi mengistirahatkan pikiran, setidaknya ada beberapa strategi lain terkait mindfulness yang diterapkan di sekolah-sekolah Finlandia. Strategi tersebut yaitu memberikan sedikit Pekerjaan Rumah (PR) (yang bahkan PR tersebut dapat dikerjakan hanya selama 30 menit), menyederhanakan ruang kelas, menjaga ketenangan dan kedamaian kelas, menghirup udara segar, bermain di alam liar (lingkungan yang masih benar-benar alami), dan finding flow dengan cara menikmati proses, atau tidak berorientasi pada hasil akhir serta mengaitkan satu ilmu dengan ilmu lainnya. Strategi yang terakhir ini dapat membawa siswa-siswa Finlandia pada holistic atau integrated education yang menghasilkan integrated intelligence yang akan saya bahas lain waktu.

Sebagai penutup tulisan ini, kita perlu merenungi kembali makna “less is more”. Sebuah idiom yang erat dengan mindfulness. Dan Finlandia menerapkannya pada waktu belajar sekolah yang hanya 5 jam saja.
Referensi:
Walker, T. D. (2017). Teach like Finland: 33 strategi sederhana untuk kelas yang menyenangkan(Wicakso, F., terj). Jakarta: Grasindo (Karya asli terbit tahun 2017)

Sumber gambar:
https://finland.fi/life-society/american-teacher-gets-lost-found-finland/

Selasa, 15 Agustus 2017

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 6, habis)


Oleh Duddy Fachrudin




Kesimpulan

17 Agustus 1945 dipilih Soekarno sebagai hari pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dengan penuh pertimbangan dan ketenangan. Pelaksanaannya yang meski dilakukan dengan tempo singkat dan sederhana, namun tak ada kericuhan maupun pemberontakan dari tentara Jepang. Semuanya berjalan tertib dan tenteram. Merdeka dan kemudian sejahtera (baca: terbebas dari penjajahan)

Beginilah hidup seharusnya dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hidup yang sangat singkat ini (60-70 tahun) perlu diisi dengan ketenangan yang tercermin dari pikiran dan emosi yang tertata sehingga melahirkan kata-kata santun dan bijaksana dan perilaku yang berakhlak mulia seperti sabar, syukur, merasa cukup, dan ikhlas serta ridha atas ketentuan-Nya. Untuk itu kita perlu mengembangkan hidup mindful, dengan cara menelisik gerak-gerik hati, niat serta pikiran yang terlintas. Mengecek nafsu-nafsu duniawi yang ingin dituruti segera yang berpotensi destruktif mengacaukan tatanan ketenangan. Kemudian menyadari hal itu sepenuhnya lalu berfokus pada kehidupan akhirat yang pastinya juga tertuju pada Allah Swt. Memberi perhatian penuh pada Allah Swt. berarti menginternalisasi sifat-sifatnya, khususnya cinta kasih. Karena sifat itu pula yang akhirnya menjadikan kita khalifah di muka bumi. Menjadi pribadi-pribadi yang menebarkan kebermanfaatan positif

Ketenangan batin akan menciptakan ketenangan pada dunia luar kita. Disaat itulah kesejahteraan tercipta. Inilah kesejahteraan yang utama. Semoga rakyat Indonesia di seluruh pelosok negeri serta para pemimpinnya mengoptimalkan potensi ini.

1 2 3 4 5 < Sebelumnya

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 5)


Oleh Duddy Fachrudin




Mindfulness dan Ketenangan: Merdeka dari Jeruji Pikiran

Ketidaktenangan hidup bersumber dari pikiran yang terlalu mengembara dan terlalu banyak tuntutan serta keinginan yang harus dipenuhi dengan sesegera mungkin. Keinginan-keinginan ini biasanya bersumber dari kebutuhan dasar manusia. Abraham Maslow, salah satu tokoh psikologi terkenal menciptakan teori tentang kebutuhan manusia (motivasi) berdasarkan jenjang, dari yang paling dasar hingga yang paling atas dengan model piramida.



Kebutuhan manusia yang paling dasar (basic needs) adalah kebutuhan fisiologis, seperti makan, minum, dan seks. Kebutuhan ini lebih mirip dengan kebutuhan instingtif dan bertahan hidup. Jika kebutuhan ini tercapai maka manusia membutuhkan rasa aman. Manusia membutuhkan keamanan sehingga perlu melindungi dirinya. Oleh karenanya manusia memiliki keinginan akan kepastian. Hal ini juga mirip dengan kebutuhan bertahan hidup. Kemudian kebutuhan diatasnya adalah kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki sebagai manusia yang berjiwa sosial. Manusia butuh bersosialisasi, berbaur dan mendapatkan kasih sayang.

Manusia juga ingin dianggap ada keberadaannya oleh kelompoknya. Jika kebutuhan ini tercapai, maka manusia membutuhkan penghargaan diri dengan kata lain ingin dihargai oleh orang lain. Kebutuhan yang kelima adalah kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Kebutuhan ini dapat dipenuhi jika empat kebutuhan dibawahnya tercapai. Maslow kemudian menyempurnakan teorinya dengan menambahkan kebutuhan terakhir pada puncak piramida yaitu kebutuhan spiritual (meta need), yaitu tentang kebutuhan keterhubungan dengan suatu Dzat Yang Maha Segalanya.

Jika kita melihat kenyataan pada kehidupan manusia memang seperti Piramida Maslow. Kita melakukan sesuatu termotivasi karena untuk mengenyangkan perut. Jika dapur sudah mengepul, kita butuh rumah yang membuat kita aman dari hujan, kalau perlu rumah pun ditembok tinggi hingga sulit bagi pencuri memasuki rumah kita. Kita pun mengasuransikan kesehatan kita agar jika terjadi sesuatu pada diri kita, maka perusahaan asuransi yang membayarnya. Setelahnya kita bergaul, bersosialisasi, mencintai dan ingin dicintai. Lalu kita ingin dihargai, atau bahkan dipuji atas hasil kerja keras kita. Dan selanjutnya kita mengkreasikan segala potensi dalam wujud aktualisasi diri, menghasilkan karya di dunia ini. Setelah semuanya terpenuhi... namun ternyata hati ini masih hampa dan tidak tenteram. Di masa tua kita mendekat kepada-Nya.

Mazhab kelima dalam psikologi adalah transpersonal, yang lahir dari kebutuhan spiritual dimana mindfulness termasuk di dalamnya. Salah satu tokohnya yang mempelopori ternyata Maslow. Konon kabarnya di akhir hayatnya Maslow kecewa dengan teori yang sudah dibuatnya. Piramida kebutuhan itu bukan berdiri seperti mengerucut ke atas membentuk segitiga, namun piramida itu harusnya dibalik.




Dengan kondisi piramida terbalik ini maka kebutuhan pertama dan utama adalah berhubungan dan berinteraksi dengan Tuhan, yaitu Allah Swt. bukan kebutuhan fisiologis. Segala aktivitas termotivasi karena Allah, untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk mengenal-Nya, dan untuk mendapatkan ridha-Nya. Berfokus dan mendekatkan diri kepada Allah menghadirkan ketenangan.

Muhammad Rasulullah Saw., orang nomor satu dari 100 tokoh paling berpengaruh di dunia menurut Michael Hart, bersabda:

“Barangsiapa bangun pagi dan dunia ini menjadi perhatian utamanya, maka Allah Swt. akan membuat dia berserakan dan terpecah; dia akan merasakan perasaan panik dan rugi; serta dia hanya akan mendapatkan dunia ini sesuai dengan apa yang sudah ditakdirkan untuknya. Akan tetapi, barangsiapa bangun pagi dan perhatian utamanya adalah akhirat, maka Allah Swt. akan membuat dia merasa fokus dan utuh; Allah Swt. akan memberinya suatu perasaan sebagai pribadi mandiri; serta hasil-hasil duniawi sudah pasti mendatanginya.”

Dengan pikiran dan hati terfokus pada Allah, maka ego (keakuan) yang berisi keinginan dan nafsu duniawi pada diri kita perlahan luntur. Kita dapat mengelola rasa dari berbagai keinginan dan perasaan termasuk ketidakpuasan terhadap kehidupan yang membelenggu. Kita pun melangkah dengan penuh ketenangan dan kedamaian. Tak ada kekhawatiran maupun ketakutan.

Inilah kondisi yang merdeka sesungguhnya. Hidup mindful (memberi perhatian penuh) pada Allah Swt. membuat kita terbebas dari jeruji pikiran yang menjerat. Fokus dan tujuan kita hanya tertuju pada-Nya, sehingga pada akhirnya kita manusia berhasil memposisikan diri sebagai hamba yang tidak memiliki apa-apa namun begitu memiliki tugas mulia menjadi wakil-Nya di dunia. Kesadaran dan penerimaan sebagai khalifah menghadirkan potensi cinta yang tiada lain menjadi manusia-manusia yang rahmatan lil ‘alaamiin.

Selanjutnya, kebijaksanaan menaungi setiap gerak geriknya. Ucapannya penuh hikmah. Hidupnya untuk memberi, berbagai, dan melayani. Hatinya selalu teringat akan kematian. Dan ia begitu rindu akan perjumpaan dengan-Nya.

Kesejahteraan berawal dari hadirnya suatu ketenangan. Itulah kekayaan dan keberlimpahan. Hati kita kaya karena kita dekat dengan Sang Maha Kaya. Sehingga kita tidak perlu khawatir tidak diberi rizki (harta, sehat, keamanan, dan sebagainya). Semua sudah diperhitungkan oleh-Nya. Jadi cukup berikhtiar sebaiknya, berdo’a dengan merendahkan diri, dan mendekat kepada-Nya.


1 2 3 4 Sebelumnya <> Berikutnya 6

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 4)


Oleh Duddy Fachrudin




Kesejahteraan dan Neurofisiologi Mindfulness

Kesejahteraan (well-being) identik dengan kebahagiaan yang biasanya diperoleh dari kepemilikan harta, menjadi sehat, status sosial yang meningkat, jabatan yang tinggi, interaksi sosial yang hangat serta kenyamanan dan keamanan tinggal di lingkungan rumah. Kebahagiaan ini umumnya bersifat subjektif sehingga para pakar menyebutnya sebagai subjective well-being. Hal tersebut tidak terlepas dari penilaian individu terhadap perasaan yang sedang dialaminya maupun kepuasan hidup yang sedang dijalani.

Harta, menjadi sehat, status sosial, dan sebagainya sebenarnya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan bukan kesejahteraan itu sendiri. Selain faktor-faktor tersebut, faktor kepribadian ternyata sangat mempengaruhi kesejahteraan individu.

Berkaitan dengan faktor kepribadian ini, ternyata individu dengan kepribadian neuroticism memiliki hubungan langsung dengan kondisi bahagia atau tidak bahagia (Diener, 2009). Neuroticism merupakan salah satu dimensi kepribadian yang mencerminkan tingkat sejauh mana seseorang memiliki kestabilan emosi dan mampu mengatasi situasi yang menekan. Individu yang memiliki skor tinggi pada neuroticism mudah merasa gelisah dan menderita secara emosional, termasuk kesedihan, permusuhan, dan iri dengki. Sebaliknya, yang memiliki skor rendah tergolong individu yang stabil secara emosi, tenang, dan ulet dalam menghadapi kegagalan (Wiseman, 2014). Individu yang berlatih mindfulness dapat mengembangkan kepribadian yang matang secara emosi sehingga mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (kontak sosial) sehingga lebih puas dan memiliki emosi yang lebih positif. Mengapa hal itu dapat terjadi?

Pribadi-pribadi yang bertindak dan beraksi secara mindful, tidak akan reaktif dan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otak bagian korteks prefrontal (Greeson & Brantley, 2009). Korteks prefrontal memiliki fungsi luhur, yaitu dalam berpikir, berencana, mengambil keputusan secara bijaksana, memusatkan perhatian, ketabahan dan kesabaran, pengendalian impuls, kesadaran diri, belajar dari pengalaman, mengungkapkan emosi, dan mengembangkan empati atau kasih sayang (Amen, 2011).

Mekanisme respon terhadap suatu situasi secara mindful akan melibatkan bagian otak korteks prefrontal tersebut. Sebagai contoh orang yang memiliki kecemasan atau emosi yang berlebihan. Stimulus yang diterima panca indera melalui saraf kranial dan batang otak akan diteruskan ke sistem limbik. Thalamus, suatu bagian dalam sistem limbik yang berfungsi sebagai stasiun relay akan mengirimkan pesan kepada korteks otak. Korteks prefrontal yang aktif akan bekerja sesuai fungsinya, mengolah data, mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana sebagai respon dari stimulus yang diterima. Respon tersebut kemudian dikirimkan kembali pada sistem limbik, batang otak melalui medula spinalis, sistem saraf otonom dan endokrin, lalu sistem parasimpatik, bagian-bagian tubuh, hingga akhirnya keluar sebagai sebuah perilaku yang bijaksana.

Respon yang tidak mindful, termasuk respon takut, khawatir, atau kecemasan lainnya tidak melibatkan bagian korteks prefrontal. Bagian sistem limbik yang bernama amigdala yang berisi memori negatif akan lebih banyak berperan dalam memberikan respon terhadap suatu stimulus yang masuk ke dalam otak. Respon tersebut dikirimkan ke batang otak, lalu dikirimkan ke sistem saraf simpatik yang bekerja sama dengan berbagai hormon kecemasan. Respon kemudian dilanjutkan ke bagian organ yang menghasilkan simtom-simtom kecemasan dan akhirnya dalam bentuk perilaku cemas, menghindar, khawatir, panik, atau tidak bijaksana.

Berlatih mindfulness memungkinkan terjadi perubahan aktivitas pada bagian otak tertentu. Hal ini karena otak manusia bersifat plastis atau yang biasa dikenal dengan neuroplastisitas. Konsep neuroplatisitas merujuk pada kemampuan otak untuk berubah secara struktural dan fungsional akibat dari input dari lingkungan (Setiabudhi, 2015).

Sebagai bukti bahwa terjadi neuroplatisitas adalah adanya peningkatan atau penurunan aktivitas pada bagian otak tertentu. Sara Lazar, seorang neurosaintis dari Harvard melakukan penelitian dengan membandingkan otak kelompok orang yang berlatih mindfulness dengan meditasi (meditator) dan non-meditator. Kelompok meditator adalah orang umum yang biasa melakukan meditasi selama kurang lebih satu jam setiap harinya. Sementara non-meditator merupakan kelompok yang tidak berlatih meditasi sama sekali.

Lazar menemukan di beberapa area kortikal pada kelompok meditator lebih tebal daripada kelompok non-meditator. Dua area kortikal yang menjadi perhatian Lazar adalah korteks prefrontal dan insula. Seperti yang telah dipaparkan, korteks prefrontal memiliki fungsi kognitif yang luhur seperti pengambilan keputusan dan penilaian secara bijaksana. Insula terhubung dengan kemampuan beremosi secara sosial dan kesadaran diri (self-awareness) (Baime, 2011).

Pengaruh meditasi mindfulness tidak hanya pada tataran organ seperti otak, namun juga struktur tubuh manusia yang lebih kecil yaitu sel. Pada sebuah sel terdapat berbagai organela, salah satunya adalah mitokondria. Menurut Nishihara (2015) mitokondria adalah organ kecil sel yang berfungsi dalam metabolisme energi dan berada di dalam semua butiran sel selain sel darah merah.

Pada tubuh manusia terdapat 60 triliun sel dan pada masing-masing terdapat 800-3000 mitokondria. Mitokondria menggunakan semua bahan yang ada di dalam tubuh seperti vitamin, mineral, asam amino esensial, lemak esensial, air, oksigen, dan asam piruvat yang merupakan hasil penguraian glukogen untuk menghasilkan energi. Pada pengertian lain, mitokondria adalah pabrik atau tempat produksi energi sebagai penunjang kehidupan (Nishihara, 2015). Penelitian Bhasin, dkk. (2013) menunjukkan meditasi dapat meningkatkan produksi energi yang dilakukan mitokondria.

Pengaruh mindfulness juga berlaku pada kualitas panjang pendeknya telomer. Pikiran yang tidak mindful atau mengembara identik dengan melamun, tidak fokus, dan pikiran itu tidak berada pada saat ini. Pikiran tersebut kembali pada masa lalu atau melayang jauh ke masa depan. Seseorang yang pikirannya mengembara menjadi tidak mindful terhadap apa yang sedang dikerjakannya. Seringkali pikiran yang “melompat-lompat” itu membuat pemiliknya mengembangkan kekhawatiran, kecemasan, atau kekecewaan. Hal ini yang dapat menganggu kehidupan individu itu sendiri, karena hidup yang dipenuhi dengan perasaan-perasaan itu menjadi tidak berkualitas.

Pikiran yang suka berkelana dan mengembara di sini bukan suatu pemikiran ide-ide kreatif atau visi masa depan yang kemudian dieksekusi dalam suatu produk yang berkualitas atau aksi yang positif yang bermanfaat bagi banyak orang. Pikiran mengembara ibarat suatu pikiran yang terjebak dalam suatu perangkap. Pikiran tersebut melibatkan ego individu, yang artinya ego atau aku sangat mendominasi dalam pikiran. Sebagai contoh seorang wanita yang sebentar lagi menikah merasa cemas dan khawatir pernikahannya tidak berlangsung baik. Ia memiliki pikiran “aku tidak cukup baik sebagai seorang istri”. Pikiran tersebut muncul karena ia melihat berita-berita perceraian di televisi.

Pikiran yang mengembara tidak hanya membuat gelisah dan gundah gulana hingga berujung nestapa serta tidak bahagia. Pikiran tersebut dapat mempengaruhi kondisi kesehatan fisik yang menjadi semakin buruk. Sebuah penelitian dari Epel, dkk. (2012) menyebutkan pikiran yang mengembara memiliki hubungan dengan penuaan sel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan orang yang pikirannya sering mengembara memiliki telomer yang lebih pendek pada sel darah putih. Telomer merupakan bagian dari kromosom dari suatu sel dan berfungsi sebagai pelindung pada ujung kromosom. Semakin telomer cepat rusak, maka kromosom dan juga sel juga akan cepat rusak. Pola tersebut akan mempercepat penuaan.

Pikiran yang mindful merupakan antitesis dari pikiran yang mengembara. Jika pikiran yang mengembara dapat mempercepat penuaan, maka semakin sering berlatih mindfulness dan mengembangkan pikiran yang mindful maka dapat menghambat penuaan.

1 2 3 Sebelumnya <> Berikutnya 5 6

Referensi:
Amen, D. G. (2011). Change your brain change your life. (Nukman, E.Y., terj). Bandung: Qanita (Karya asli terbit 1998)

Baime, M. (2011, Juli). This is your brain on mindfulness. Shambala Sun. http://www.nmr.mgh.harvard.edu/~britta/SUN_July11_Baime.pdf diakses pada tanggal 2 Februari 2015.

Bhasin, M. K., Dusek, J. A., Chang, B. H., Joseph, M. G., Denninger, J. W., Fricchione, G. L. Benson, H., & Libermann, T. A. (2013). Relaxation response induces temporal transcriptome changes in energy metabolism, insulin secretion, and inflammatory pathways. PLos ONE, 8(5), e62817, doi: 10.1371/journal.pone.0062817.

Epel, E. S., Puterman, E., Lin, J., Blackburn, E., Lazaro, A., & Berry Mendes, W. (2012). Wandering minds and aging cells. Clinical Psychological Science, XX(X), 1-9, doi: 10.1177/2167702612460234.

Diener, E. (Ed.). (2009). The science of well being: The collected works of Ed Diener. New York: Springer Science & Business Media.

Greeson, J., & Brantley, J. (2009). Mindfulness and anxiety disorders: Developing a wise relationship with the inner experience of fear. Dalam F. Didonna (Ed.), Clinical handbook of mindfulness (hal. 171-188). New York: Springer Science & Business Media.

Nishihara, K. (2015). Keajaiban mitokondria: Menyembuhkan penyakit-penyakit yang belum ada obatnya (Wardani, D.K., terj). Bandung: Qanita (Karya asli terbit 2013)

Wiseman, R. (2014). 59 detik yang membuat anda menjadi lebih kreatif, lebih meyakinkan, lebih menarik, dan lebih bahagia. (Wulansari, D., terj). Tangerang: Kelompok Pustaka Alvabet (Karya asli terbit 2009)

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 3)


Oleh Duddy Fachrudin




Konflik Bagian Diri

Jika kita bercermin atau melihat ke dalam diri kita sendiri, adakah karakter-karakter diri atau subkepribadian (bagian-bagian diri) kita yang mirip dengan karakter Golongan Muda atau Golongan Tua yang tergambar dalam perdebatan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan? Jawabannya pasti ada. Bahkan karakter Golongan Muda maupun Golongan Tua ada di dalam diri kita. Dan tak ayal perdebatan atau konflik pun sering terjadi.

Permasalahan psikologis utama yang terjadi pada diri manusia adalah konflik dalam diri. Dan hampir setiap hari manusia mengalami konflik. Saat bangun pagi, sebagian besar dari kita menengok jam lalu setelah mengetahui pukul berapa kita bangun, bagian diri kita berkata, “Oh masih jam 3 pagi”, lalu dengan refleksnya kita menarik selimut dan bersiap tidur kembali. Tiba-tiba sebelum kita terlelap lagi, terdengar sesuatu di dalam hati, “Hei... kenapa kau tidur lagi. Ayo bangun dan sholat tahajud.” Itulah konflik antar bagian diri, dan dapat kita temui dalam kehidupan sejak bangun hingga bersiap untuk tidur kembali.

Konflik lainnya dapat dijumpai saat seorang kepala keluarga yang ingin menyelenggarakan resepsi pernikahan sesuai budaya di daerahnya anaknya namun terkendala dana. Di satu sisi perlu ada resepsi karena hal itu sudah menjadi budaya bagi masyarakat sekitar, namun hatinya berkata sebenarnya ia tidak memiliki uang yang cukup dan ingin resepsi sederhana saja. Akhirnya dalam forum keluarga, acara resepsi sesuai budaya daerah diputuskan untuk dilaksanakan meskipun harus berhutang. Pada hari-H satu keluarga berbahagia, namun setelah acara itu selesai, sang kepala keluarga sering terpikir hutang tersebut. Hati dan pikirannya gelisah dan tidak tenang.

Contoh lainnya, seorang kolega penulis menceritakan dirinya memiliki klien seorang pengusaha yang ketika datang ke kliniknya membawa mobil bagus dan berpakaian rapih. Namun ketika ditanya mengenai masalahnya, klien tersebut menuturkan, “Saya takut miskin.” Bagaimana mungkin seorang pengusaha yang penghasilan dari bisnisnya sangat berlimpah lalu mengatakan, “Saya takut miskin”?

Faktanya memang mungkin. Dan sesungguhnya, terjadinya konflik tersebut karena munculnya keinginan-keinginan yang ingin segera dipenuhi. Maka konflik itu terus terjadi jika orang itu tidak mengenali keinginan-keinginannya secara sadar, atau dalam perspektif lebih luas tidak memahami dirinya sendiri.

Mindfulness

Konflik dalam diri terjadi karena pertentangan antara dua atau lebih bagian diri dalam diri kita. Saat terjadi konflik antar bagian diri, kita perlu menyadari kehadiran bagian-bagian diri tersebut. Lalu memahami apa tujuan yang diinginkan bagian-bagian diri tersebut. Dan terakhir diri kitalah yang mendamaikan mereka dengan kebijaksanaan tertinggi.

Kata kunci yang tepat dalam hal ini adalah awareness atau kesadaran. Dalam disiplin ilmu psikologi terdapat berbagai pendekatan atau metode yang tepat dalam mengelola konflik berbasis kesadaran. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah mindfulness. Berbagai jenis latihan dalam mindfulness meliputi meditasi, melakukan satu aktivitas pada satu waktu (contoh makan hanya makan saja tidak disertai aktivitas lain), berlatih mendengarkan, berdoa, bertualang di alam, merenungkan penciptaan lagit dan bumi, melakukan suatu hal positif untuk pertama kalinya, mengembangkan sikap pemula (beginners mind) atau vuja de (melihat suatu hal yang pernah dilihat sebelumnya namun dengan perspektif yang berbeda), serta tai chi atau menari dengan harmonis.

Mindfulness berorientasi pada kesadaran, perhatian, dan penerimaan. Menjadi sadar dan memahami sepenuhnya serta menerima diri termasuk bagian-bagian diri perlu dilatih dan diupayakan. Mengapa? Agar kita tidak terpeleset dalam mengambil keputusan saat terjadi konflik internal. Maka untuk itu kita perlu memberi perhatian atau mengecek pikiran, emosi, maupun niat-niat yang muncul dalam keseharian.

Pikiran yang muncul biasanya bersifat otomatis karena hasil dari tautan-tautan memori sejak masa awal kehidupan yang kemudian berkolaborasi dengan stimulus yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Pikiran otomatis berpotensi menghasilkan perilaku yang reaktif, terburu-buru atau tergesa-gesa, dan cenderung tanpa pertimbangan.

Menerapkan mindfulness berarti meingijinkan jeda sesaat sebelum bertindak. Kita mulai mengamati pikiran atau apapun yang muncul lalu mengenalinya, menerimanya, menimbang berbagai konsekuensi yang mungkin muncul atas keputusan yang kita ambil, dan pada akhirnya merespon secara bijaksana (Carmody, Baer, Lykins, & Olendzki, 2009; Shapiro, Carlson, Astin, & Freedman, 2006). Respon tersebut merdeka atau terbebas dari segala belenggu kekecewaan atau kemarahan di masa lalu maupun kekhawatiran atau ketakutan di masa depan.

1 2 Sebelumnya <> Berikutnya 4 5 6

Referensi:
Carmody, J., Baer, R. A., Lykins, E. L. B., & Olendzki, N. (2009). An empirical study of the mechanisms of mindfulness in a mindfulness-based stress reduction program. Journal of Clinical Psychology, 65(6), 613-626, doi: 10.1002/jclp.20579.

Shapiro, S. L., Carlson, L. E., Astin, J. A., & Freedman, B. (2006). Mechanisms of mindfulness. Journal of Clinical Psychology, 62, 373–386.