Tampilkan postingan dengan label Aplikasi Mindfulness dalam Kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aplikasi Mindfulness dalam Kehidupan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Januari 2025

Menyelami Sejenak Ruang Bernama Kehidupan #bagian 1

Oleh Duddy Fachrudin 

Di akhir tahun saya mendapat tawaran mengajar psikologi untuk korporasi di empat daerah negeri ini. Dua diantaranya di luar pulau Jawa. Alhamdulillah, dari keempatnya terealisasi satu saja.

Jika keempatnya terlaksana tentu sangat senang sekali. Apalagi psikologi sebagai fondasi dalam menjalani kehidupan ini diperlukan setiap orang di jaman yang serba tak pasti. Namun karena ketidakpastian pula, ketiganya urung terjadi.

Dalam kondisi seperti ini yang bisa dilakukan hanya menerima, bahwa segalanya tidak sesuai rencana, sambil kemudian terus menata, memperbaiki diri dari ke hari sehingga siap untuk menyambut mentari.

Meski, setiap hari bisa saja yang datang tak hanya mentari. Mungkin ia yang hadir adalah kecewa dan rasa frustasi. Atau cemas serta depresi. Kata Rumi, mereka semua merupakan tamu yang perlu disambut dengan hangat dan riang gembira. Memeluk derita sama halnya merangkul bahagia.

Namun, bagaimana mungkin orang biasa seperti Judin paham mengenai konsep itu. Laki-laki yang hanya berpenghasilan 30 ribu per harinya itu harus menghadapi kenyataan yang menyayat sendinya. Hutang yang menumpuk diwariskan oleh orangtuanya. Sejak ayahnya meninggal, ia mengambil alih nahkoda rumah tangga yang oleng bagaikan Titanic setelah menabrak gunung es di lautan luas itu.

Sore itu ditemani Juwita, Judin mengungkapkan gelisahnya. “Sebenarnya kalau mau kita bertiga, ya kakak dan adikku berjuang bersama melunasi hutang-hutang itu.”

“Mbok sendiri bagaimana?” tanya Juwita.

Dalam duduknya Judin mengehela nafas teringat keinginan kuliahnya dicegah oleh ibunya sendiri. Kedua tangannya menyangga tubuhnya yang ringkih. “Andai saja aku kuliah Wit! Setidaknya aku bisa memperbaiki keadaan sekarang.”

Berkali-kali Judin menilai dirinya bodoh dan tak bisa apa-apa. Namun dibalik itu ia yang menanggung segalanya.

Kehidupan itu… sebenarnya apa? Tanya Judin dalam relung hatinya. Sementara senja mulai menyapa dirinya serta Juwita.

Pun tanya itu pula yang kemudian direnungkan oleh para pembelajar dari berbagai generasi di sebuah korporasi, suatu hari akhir tahun itu.

“Perjalanan!” seru seorang anak muda. Di satu sisi, seorang laki-laki berusia 50an, berkata bahwa hidup ialah kebersyukuran.

“Hidup itu stres ya Wit,” Judin kembali mengungkapkan keluhnya.

Bersambung…

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 09 Desember 2024

Refleksi Akhir Tahun: Menemukan Tombol "Pause" yang Hilang


Oleh Astrid Nur Alfaradais 

Pernahkah kamu merasa bahwa hidup ini adalah jalanan yang macet? Hiruk pikuk dan gaduh. Semua orang sibuk, bergegas untuk mengejar sesuatu—tapi anehnya, sering kali kita tidak tahu apa yang sebenarnya diburu.

Kehidupan yang dijalani bagaikan autopilot: bangun, kerja, makan, tidur. Berulang di esok hari. Hingga tak terasa sudah berada di penghujung tahun lagi.  

Rasanya seperti ada tombol pause yang hilang di remote diri. Dan dalam rutinitas tersebut, kita acapkali tak menyadari respon yang muncul di saat riuhnya situasi. Padahal saat itu selalu ada kesempatan untuk menimbang keputusan serta memilih.


Seperti saat berada dalam kemacetan: apakah kemudian marah, membunyikan klakson, menggerutu tanpa henti, atau diam membisu?

Tapi pernahkah kamu berhenti sejenak? Memperhatikan hujan mengguyur jalanan, menyadari langit sore memerah, atau sekedar menyadari, "Oh, aku masih bernapas. Jantungku masih berdetak." Selamat, kamu telah bertemu mindfulness—sebuah tombol pause untuk kembali ke momen saat ini.

Mindfulness mengajarkan kita untuk menjadi pengemudi, bukan penumpang dalam hidup kita sendiri. Ketika kita sadar akan napas, tubuh, dan perasaan, kita sebenarnya sedang mengijinkan untuk berhenti dan menikmati perjalanan. 

Seringkali pikiran kita berlarian. Melintasi masa lalu, mengingat kesalahan, atau melompat ke masa depan, penuh dengan kecemasan. Kita lupa bahwa satu-satunya tempat di mana kita benar-benar hidup adalah di sini, saat ini. Sekarang. 

Jadi, harus mulai darimana? 

Mindfulness bisa diterapkan dengan cara sederhana di kehidupan sehari-hari dengan meniatkan diri untuk senantiasa berhenti lalu mengamati dan menyadari diri, seperti pikiran serta suasana hati. Kemudian mengambil napas secara lembut dan sadar. Merasakan udara masuk dan keluar, hening di sini, sehingga membantu untuk kembali ke momen kini. 

Saat berjalan, berikan perhatian penuh pada langkah kaki, pernapasan, serta lingkungan sekitar. Momen ini bisa menjadi latihan untuk mengasah kesadaran diri melalui gerakan. 

Dalam interaksi sosial, mindfulness berarti hadir sepenuhnya dengan lawan bicara. Mendengarkan tanpa interupsi dan menghindari memberi komentar yang bersifat penilaian. Belajar untuk memahami secara jernih setiap kata yang terucap dan mereponnya secara bijak.

Mindfulness juga berguna untuk mengelola emosi negatif. Ketika rasa marah atau takut muncul, kita boleh menyadari dan menerima sensasi fisik seperti ketegangan pada tubuh. Sembari menunggu, pulihkan melalui pernapasan dan kebijaksanaan[1]. 

Langkah-langkah ini membantu menciptakan hidup yang lebih damai dan sadar. Mencoba berhenti sejenak di jalanan hidup yang macet, membuat kita bisa mengingat bahwa meski tujuan itu penting, menjalani perjalanannya jauh lebih berarti.

Referensi:
[1] White, P. G. (2024). 5 Simple Ways to Be Mindful in Your Everyday Life. Mindworks. Retrieved from https://mindworks.org

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 19 November 2024

Diskusi Forest Therapy di Stasiun Kopi




Oleh Duddy Fachrudin & Janu Dewandaru 

Pagi itu sebuah direct message masuk ke ponsel saya. Seseorang memperkenalkan dirinya lalu menyatakan ingin bertemu untuk sekedar berbincang. Temanya tidak main-main: forest therapy. Siapakah gerangan yang tertarik dengan “bermain-main” di alam lalu menceburi dirinya menyengajakan untuk terpapar oleh aroma pepohonan, angin yang berdesir, tanah dan bebatuan, hingga mentari yang menari?

Nyatanya Om Janu Dewandaru benar-benar menghampiri saya sore harinya, dari Bandung ke Cirebon. Head of Innovation Team Bank Indonesia yang gemar belajar itu tak sungkan diajak boncengan dengan motor supra yang telah berusia belasan tahun. Padahal beliau seorang “Dekan” yang memimpin BI Institute dan mengajak semua sumberdaya manusia untuk belajar apapun agar kualitas serta kapasitasnya terus bertumbuh. Hmm... Dekan biasa pastinya misuh-misuh jika dijemput dengan kendaraan roda dua.

Tapi memang pencari ilmu sejati tidak terlekati dengan materi. Fokusnya hidupnya pada dimensi intangible, seperti personal fulfillment, yang tiada lain adalah ilmu yang kelak berguna untuk mempercantik kualitas mental dan spiritualnya. Dan mereka cenderung tidak memiliki keinginan terhadap apapun yang ada di dunia. Mereka hanya ingin terkoneksi dengan alam dan kemanusiaan. 

Sampailah kami di Stasiun Kopi, suatu kedai kopi yang memang dekat dengan stasiun kereta. Dari secangkir kopi, berlanjut pada diskusi forest therapy.

Terapi hutan bukanlah sesuatu yang baru. Dibutuhkan beragam disiplin ilmu seperti kehutanan, kedokteran, psikologi, sosiologi, biologi, dan ilmu pendukung terkait lainnya. Terapi hutan memiliki tujuan spesifik sesuai kebutuhan individu itu sendiri. Selain itu kriteria lokasi hutan yang dijadikan tempat beraktivitas untuk forest therapy memerlukan standar khusus.

Pendekatan yang lebih sederhana dari terapi hutan ialah yang menggunakan mindfulness. Thoreau, sang filosof yang terkenal dengan karyanya Walden itu sudah melakukannya kala dahulu. Meskipun hanya dengan berjalan kaki di tengah hutan. Tidak ada sesuatu yang dikejar oleh Thoreau. Sekali lagi, hanya berjalan kaki sambil mengijinkan diri terpapar oleh energi positif dari hutan.

Aktivitas berada di hutan, tanpa terburu-buru, tanpa tujuan tertentu, dan hanya sekedar hadir kemudian dikenal lebih lanjut dengan forest bathing. Direktur Badan Kehutanan Jepang Tomohide Akiyama menamainya Shinrin-yoku pada tahun 1982. Ide tersebut berkembang dengan maksud mempromosikan hutan sebagai wellness-oriented ecotourism. Hutan Akazawa di dekat Kota Agematsu menjadi pilot project Shinrin-yoku. Di hutan tersebut, pengunjung tidak sekedar “piknik” melainkan yang terpenting dipandu untuk melakukan forest bathing oleh guide yang telah menjalani pelatihan dan berpengalaman. Beberapa negara seperti Korea Selatan juga memiliki aktivitas forest bathing bernama Sanlim yok. Sementara di Norwegia dikenal dengan Friluftsliv[1].

Forest bathing kian popular seiring dengan beragam penelitian yang membuktikan adanya manfaat kesehatan, baik fisik serta psikologis. Empat indikator utama yang diukur ialah tekanan darah, kadar kortisol melalui saliva, denyut nadi, serta variasi denyut jantung (HRV). Salah satu hasil penelitian efek Shinrin-yoku di 24 hutan di Jepang menunjukkan tekanan darah, kadar kortisol, serta denyut nadi yang lebih rendah, dan HRV yang lebih tinggi pada kelompok eksperimen dibandingkan kontrol[2]. Ini menunjukkan efek yang positif dari forest bathing seperti rendahnya stres, tingginya kesejahteraan psikologis hingga kualitas kardiovaskular yang sehat.

Forest bathing bukanlah hiking menuju bukit atau puncak gunung, melainkan menyengajakan diri untuk hening di rerimbunan pohon yang kaya akan fitonsida yang memiliki sifat antimikroba. Mendengarkan sunyi dan menyadari, membiarkan segala yang terjadi secara alami. Memahami lintasan pikiran serta emosi, tanpa menghakimi.

Menariknya, salah satu manfaat lain dari paparan hutan ialah dapat menjadikan individu memiliki penurunan keinginan[3]. Hasrat nan gawat dalam pemenuhan kebutuhan dunia memang sejatinya perlu dirawat, eh maksudnya dikelola agar manusia itu sendiri tidak terjerat hingga berujung kiamat. Forest bathing membuat jiwa kita bertransformasi menjadi nirmaterialistik. Tetap senang dengan materi, tapi tidak terlekati, apalagi terobsesi.

Kopi kami habis diminum. Diskusi berlanjut ke stasiun kereta. Berbincang mengenai berbagai penyakit yang sering diderita pegawai Bank Indonesia. Ada tiga yang utama, yaitu...  

Sumber:
[1] Clifford, MA. Your Guide to Forest Bathing: Experience of The Healing Power of Nature. Newburyport: Red Wheel 2018.

[2] Park, BJ., Tsunetsugu, Y., Kasetani, T., Kagawa, T., & Miyazaki, Y. The physiological effects of Shinrin-yoku (taking in the forest atmosphere or forest bathing): Evidence from field experiments in 24 forests across Japan. Environ Health Prev Med. 2010 Jan;15(1):18-26. doi: 10.1007/s12199-009-0086-9. PMID: 19568835; PMCID: PMC2793346.

[3] Joye, Y., Bolderdijk, JW., Köster, MAF., & Piff, PK. A diminishment of desire: Exposure to nature relative to urban environments dampens materialism. Urban Forestry & Urban Greening. 2020 July;54,126783. https://doi.org/10.1016/j.ufug.2020.126783.


Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Rabu, 06 November 2024

Inilah Keterampilan Psikologis yang Perlu Diasah Gen-Z untuk Sukses di Tempat Kerja



Oleh Duddy Fachrudin 

Sore hari, setelah kuliah berakhir, Ainu, mahasiswa dari Bumiayu itu sejenak mampir di sebuah kafe bernama Kopi Mangkir. Setelah memesan manual brew kesukannnya, ia duduk dan mengambil ponselnya. Dibukanya untuk mencari inspirasi dan mendapatkan edukasi terkini. Ainu yang seorang Gen-Z merasa perlu banyak belajar. Bukan hanya di perkuliahan, tapi juga di ruang-ruang digital.

“Pesanan Mas Ainu, manual brew arabika gayo ya?” seorang waitress berwajah ayu menghampiri Ainu dan meletakkan kopi itu.

Ainu mengangguk, lalu berucap, “Terima kasih,”. Diambilnya kopi itu lalu didekatkan ke hidungnya. Matanya sedikit terpejam. Seluruh tubuh dan pikirannya hadir bersama kopi arabika gayo yang ada di depan hidungnya.

Setelah melakukan ritual tersebut, Ainu kembali kepada gawainya. Pikirannya terfokus pada isu-isu terkini mengenai Gen-Z. Sampailah ia pada berita mengenai sulitnya Gen-Z mencari kerja. Dengan sigap, ia mencari literatur ilmiah yang mendukung serta diskusi podcast terkait dengannya.

“Ah, ini dia…” ujar Ainu kemudian mengambil kopi dan menikmatinya. Secara perlahan pemuda yang terbilang pendiam itu menyimak informasi dan berusaha mengelaborasikannya dengan materi kuliah tentang soft skills yang baru didapatnya tadi.

Sekilas Gen-Z

Generasi Z yang lahir pada rentang tahun 1997 (ada juga yang mengatakan 1995) hingga 2012 bisa dikatakan generasi yang paling terbuka dengan beragam persoalan. Mengapa? Karena mereka sudah terbiasa terpapar dengan jamak informasi dan “kemudahan hidup” yang diterima serta diakses dari gawainya. Semuanya sudah tersedia, mau mendengarkan lagu, menonton film, menikmati makanan, dan memesan “supir pribadi” untuk diantar ke tempat yang dituju.

Perkembangan internet yang canggih dan cepat membuat Gen-Z memiliki identitas “komunitas digital” yang kreatif, inovatif, dan pastinya rasa ingin tahu yang tinggi. Di dunia maya Gen-Z bebas mengemukakan pendapat dan sangat menjunjung keberagaman. Berbeda itu hal yang wajar bagi Gen-Z, termasuk dalam bekerja dan berkomunikasi dengan rekan kerjannya.

Dibalik kemudahan hidup serta kebebasan dalam beropini, terdapat sisi negatif jika keduanya tidak dikelola dengan baik. Ibarat mengendarai mobil, ngegas terus akan berakibat fatal tanpa dibarengi ngerem.

Tantangan Gen-Z di Dunia Kerja

Pertama gaya hidup serba instan dan selalu ingin terpenuhi kebutuhannya menjadi masalah yang menjangkiti Gen-Z. Hal ini dimediasi oelh perilaku impulsif serta kompulsif karena mudah terdistraksi dari beragam informasi yang masuk ke dalam diri. Ya, Gen-Z memiliki ciri khas kesulitan untuk berada pada fokus yang lama. Maka, di lingkungan kerja, problem utama Gen-Z, yaitu terlihat tidak engage dengan pekerjaannya. Apa yang ada di pikirannya saat bekerja? Healing akhir pekan? Hobi yang ingin dijalani? Atau masalah kesehatan mental karena lingkungan kerja yang menurutnya toxic?

Work engagement yang rendah merupakan ciri tidak hadirnya individu pada pekerjaan tersebut, atau bahasa kerennya ngga mindful. Tentu bukan hanya karena diri individunya itu sendiri, melainkan bisa akibat dari lingkungan kerja dan dinamika di dalamnya. Pekerjaan yang tidak bermakna, kultur organisasi yang buruk, serta atasan yang tidak menghargai merupakan variabel eksternal yang mempengaruhi.

Kedua, kebebasan beropini di ruang maya dapat terbawa ke ruang kerja yang pada akhirnya membuat Gen-Z dinilai niretika. Bebas tanpa batas berujung pada bablas. Padahal mungkin maksudnya baik, namun dipersepsi berbeda oleh rekan kerja atau atasan. Keterampilan sosial menjadi kunci bagi Gen-Z agar bisa berproses dan bertumbuh di tempat kerja. Perusahaan pun perlu memiliki figur seorang leader yang dapat memberikan contoh dalam berkomunikasi kepada Gen-Z. Karena Gen-Z sangat menyunjung kesetaraan maka hilangkan sekat serta hirarki saat berdiskusi dengannya.

Penutup

Tak terasa satu jam Ainu menghabiskan sore itu dengan pembelajaran baru. Ia menuliskan hal-hal penting, khususnya keterampilan psikologis yang perlu diasah dan dikembangkannya sebagai seorang Gen-Z, agar nanti saat bekerja bisa beradaptasi dengan pekerjaan dan menujukkan performansi yang bagus sesuai indikator. Ainu meminum tegukan kopi terakhirnya lalu melangkah keluar kafe untuk hadir bersama senja yang cantik itu.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 30 Juli 2024

Forest Therapy: Sebuah Ikhtiar Untuk Pulih Melalui Energi Hutan

Oleh Duddy Fachrudin & Andry "Sting" Edwin Dahlan 

Aku bersandar di sini untuk terpapar 
Olehmu mentari yang memancar, 
juga pinus-pinus yang menghampar 
Menghantarkan molekular minyak atsiri ke dalam tubuh 
Untuk segera pulih serta bertumbuh

Aktivitas forest therapy

Maka sejenak saja meluangkan waktu mengunjungi sahabat, yaitu hutan-hutan yang lebat, lalu memeluknya dengan hangat. Begitulah forest therapy mengajarkan kepada kami, manusia yang penuh dengan dialektika untuk belajar secara sadar serta berikhtiar merawat diri dari berbagai inflamasi melalui energi hutan yang penuh cinta kasih. 

Salah satu bentuk terapi hutan yaitu forest bathing yang intinya melakukan aktivitas di hutan dengan sadar atau mindful. Meditasi di hutan dengan melibatkan indera dan "menyatu", serta menyelaraskan diri dengan hutan. Itulah forest bathing. Kalau di Jepang dilabeli Shinrin-yoku.

Sakit pada tubuh terkait dengan respon inflamasi, yaitu respon biologis dari sistem imun yang dipicu oleh berbagai faktor, yaitu patogen, sel yang rusak dan senyawa beracun. Mediator inflamasi seperti Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) perlu dikendalikan sehingga respon inflamasi tidak semakin berlebih dan kerusakan jaringan dapat dicegah.

Penelitian menunjukkan individu yang menjalani forest bathing memiliki kadar IL-6 dan TNF-α yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu stres oksidatif menurun akibat pengaruh senyawa terpen yang ada pada pohon.

Senyawa terpen, seperti limonene dan pinene menurunkan jumlah pelepasan berbagai sitokin pro-inflamasi seperti IL-6, IL-1, dan TNF-α serta menginhibisi aktivitas faktor transkripsi yang berperan dalam inflamasi, yaitu Nuclear Factor kappaB (NF-κB). Terpen secara umum mengurangi aktivitas katalitik enzim yang terlibat dalam pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan memiliki efek antioksidan yang kuat.

Maka seperti kata Hippocrates, "nature itself is the best physician". Dokter terbaik, tiada lain alam (yang di dalamnya terdapat hutan) itu sendiri yang diciptakan Tuhan sebagai anugerah kepada manusia. 

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 13 September 2021

Pelatihan Intervensi Psikologi Berbasis Mindfulness: Acceptance and Commitment Therapy


Oleh Duddy Fachrudin 

Lasse Rouhiainen dalam bukunya yang sangat fresh yang terbit di tahun 2019 yang berjudul Artificial Intelligence: 101 Things You Must Know Today About Our Future menuliskan 11 skills yang dibutuhkan di masa depan. 

Salah satu keterampilan tersebut ialah mindfulness, suatu kemampuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap suatu hal.

Jauh sebelum Rouhiainen mencantumkan mindfulness sebagai keterampilan penting di era masa kini dan mendatang, 15 tahun sebelumnya, mindfulness menjadi komponen utama bersama acceptance, metakognitif, personal values, dan spiritual dalam terapi “third wave cognitive behavioral”[2,3]. 

Salah satu terapi berbasis third wave, yaitu Acceptance and Commitment Therapy (ACT) mengakomodasi mindfulness sebagai tools untuk mencapai psychological flexibility dan terlepas dari penderitaan psikologis[3].

Penderitaan psikologis (psychological suffering) dalam ACT bermula ketika individu kaku secara psikologi[3]. Sebagai contoh penderita depresi yang mengembangkan experiential avoidance melalui alkohol sebagai pelarian sekaligus solusi semu atas permasalahan psikologisnya. 

Pada titik ini yang diperlukan adalah mengetahui akar masalah dengan berhenti sejenak mengamati dan menyadari (mindful) pikiran, menerimanya, tapi juga tidak terjerat dengannya, lalu mengembangkan tujuan dan nilai-nilai penting penuh makna serta mengarahkan perilaku sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan. 

Itulah ACT yang mengajarkan individu untuk berpindah dari kekakuan psikologi menuju fleksibilitas psikologi.

Pada era yang serba tidak pasti saat ini dan isu mengenai kesehatan mental yang semakin menjadi perhatian, keterampilan-keterampilan dalam ACT perlu dikembangkan individu. 

Pelatihan ACT memfasilitasi siapapun para pembelajar untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang menunjang fleksibilitas psikologi, yaitu mindfulness, acceptance, cognitive defusion, self as context, dan living with values, serta committed action yang dapat diaplikasikan kepada diri sendiri maupun orang lain.

Terdapat tiga capaian pembelajaran yang dapat dicapai peserta pelatihan ACT: 1) peserta dapat memahami konsep dan cara kerja ACT; 2) peserta dapat membuat desain modul ACT; dan 3) peserta dapat menggunakan dan mempraktikkan elemen-elemen keterampilan dalam ACT dalam permasalahan psikologi sederhana.


Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Referensi:

[1]   Fachrudin D. #2019HidupLebihMindful (internet). Mindfulnesia. 2019 (dikutip 8 September 2021). http://www.mindfulnesia.id/2019/01/2019hiduplebihmindful.html

[2]   Hayes SC, & Hoffman SG. Third wave of cognitive behavioral therapy and the rise of process-based care. World Psychiatry. 2017; 16(3): 245-246. DOI:1 0.1002/w ps.20442

[3]   Luoma JB, Hayes SC, & Walser RD. Learning ACT: An acceptance and commitment therapy skills training manual for therapists. Oakland: New Harbinger, 2017.


Sumber gambar:

Selasa, 29 Juni 2021

Kesesatan Logika Dibalik Pengambilan Keputusan



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Jika dalam konteks neurosains kita mengenal keputusan yang diambil berdasar pendekatan reward based alias mengacu pada pertimbangan keuntungan yang menjadi motif utama, dan ini diperankan antara lain oleh struktur sub kortikal seperti ventral tegmental area, nukleus akumben dan beberapa struktur lain yang membentuk pleasure center dan hedonic circuit, maka dalam ranah filosofi berpikir kita mengenal beberapa fallacy yang tentu saja terkait dengan peran sistem neurobiologi tersebut.

Tentu saja kita membuat keputusan tidak hanya berorientasi pada satu aspek saja. Tak hanya reward yang menjadi pertimbangan, melainkan juga value dan goal tentu saja. Apakah ini sifatnya linier? Tidak juga, ketiga sifat itu bisa muncul secara paralel dan dominansi ataupun sinergi harmoni dimunculkan melalui komposisi perimbangan fungsi. Jika value diolah di area korteks orbito frontal, maka goal dikelola di korteks prefrontal khususnya daerah dorso lateral bersama dengan korteks anterior singulata. Harmonia in progressio dapat tercipta jika faktor referensi dari sistem memori dan preferensi dari sistem afeksi dapat memberikan kontribusi sesuai proporsi.

Kenyataannya dalam hidup, demi mengedepankan pencapaian secara instan kerap kali kita memanipulasi fakta dengan kemampuan kognisi dari sektor default mode network, khususnya yang terkait theory of mind, dimana permainan logika dapat digunakan untuk mendistorsi kerangka logika orang lain yang menjadi mitra kita berinteraksi.

Proses menyesatkan dan membangun kesesatan ini beberapa di antaranya sangat menarik untuk dikaji. Mari kita sedikit berkenalan dengan beberapa mekanisme dan model penyesatan logika tersebut.

Post Hoc Ergo Propter Hoc

Terjadi sesudah "itu" pasti disebabkan oleh "itu". Pola pikir sebab akibat yang kerap melihat sebuah runtutan kronologis sebuah peristiwa berdasar lini masa akan membawa simpulan prematur yang rentan untuk mengalami sifat abortif.

Contoh: ada orang melepas baju di tengah jalan (mungkin orang dengan gangguan jiwa) dan beberapa saat kemudian turun hujan. Kita membangun opini dengan narasi bahwa peristiwa melepas baju tersebutlah penyebab turunnya hujan. Apakah premis ini salah? Belum tentu, tetapi tentu perlu pembuktian lebih lanjut yang disertai dengan pendekatan bermetodologi dengan dasar referensi valid yang dapat menjadi acuan.

Contoh lain misal adanya penampakan spiral di langit yang dapat diamati oleh sebagian besar penduduk penghuni kepulauan di Samudera Pasifik. Beberapa ahli menyatakan bentukan spiral itu terjadi karena selang tidak berapa lama sebelumnya ada peluncuran wahana antariksa negara Cina. Tentu ini memerlukan klarifikasi berupa pembuktian berdasar data objektif terkait, misal waktu peluncuran, data lintasan trajektori, dan data tentang berbagai model fenomena atmosfera yang dapat ditimbulkan oleh lintasan wahana antariksa.

Terkait proses vaksinasi juga dapat menjadi contoh yang baik. Sesaat setelah divaksin seseorang kejang lalu meninggal dunia. Hampir semua kalangan akan berpendapat ini adalah kondisi ikutan pasca imunisasi (KIPI). Investigasi dilakukan dengan fokus mencari sebab yang dapat ditimbulkan oleh proses imunisasi. Sah-sah saja, tetapi temtunya penyelidikan harus dilakuan secara holistik integratif yang mampu menguak semua potensi penyebab kematian pada yang bersangkutan. Audit forensik yang bersifat investigatif harus bebas asumsi yang dibangun oleh mekanisme fallacy.

Argumentum Ad Ignorantiam

Sesuatu yang belum terbukti benar pasti salah, atau sesuatu yang belum terbukti salah pasti benar. Penggunaan kata pasti yang bersifat deterministik di sini bersifat pengabaian terhadap berbagai fakta dan pengetahuan yang belum kita dapatkan. Sudut pandang yang terbentuk menjadi amat sempit dan bersifat asumstif bahkan sarat dengan sifat presumption atau praduga yang bermotif. Biasanya argumentasi ini dilakukan untuk melakukan pembenaran terbalik (retrospeksi) terhadap suatu keyakinan dengan cara membangun logika bahwa belum ada pembuktian (baik salah maupun benar) sebagai faktor pelegitimasi bahwa secara diametral apa yang kita yakini itu benar dan apa yang orang yakini itu salah.

Contoh: ada obat yang diberikan saat ini dan setelah seminggu dipakai tidak menunjukkan efek samping. Yang memberi obat langsung mengklaim bahwa obatnya sangat aman dan sama sekali tidak memiliki efek samping yang membahayakan. Pernyataan ini didukung tidak adanya komplain dan laporan terkait efek samping penggunaan obat tersebut selama 1 minggu. Apakah pernyataan ini sudah pasti benar hanya karena tidak ada bukti kalau salah? Tentu tidak. Maka dalam riset obat dan berbagai terapi medis lainnya dilakukan uji klinis dengan mempertimbangkan representasi sampel melalui proses sampling acak dan terukur disertai jumlah sampel minimal yang memenuhi kaidah representatif, termasuk dengan memasukkan berbagai cuplikan dari berbagai kondisi nyata sebagai bagian dari proses pengujian klinis. Dan tentu saja mempertimbangkan pula waktu dan berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi.

Strawman Fallacy

Membuat simpulan yang menyudutkan dengan berdasar pada pengalihan fokus dari pernyataan yang dilontarkan.

Dalam perdebatan ataupun diskusi terkait sebuah persoalan, terkadang sifat kompetitif tak dapat terhindari. Pelontar gagasan dan penyanggah akan saling serang dan bahkan saling menjatuhkan. Jika salah satu peserta mulai mengungkit sisi buruk personalitas lawannya ini dapat dianggap pengalihan yang bersifat ad hominem.

Sementara jika penyanggah memelesetkan pernyataan pelontar pernyataan sehingga menimbulkan simpulan yang keliru ini masuk ke dalam Strawman Fallacy.

Contoh: Seorang mahasiswa magister ilmu psikologi menyampaikan bahwa wanita berpenampilan menarik adalah salah satu faktor yang menjadi pertimbangan munculnya motif perundungan. Maka penyanggah mengajukan sebuah simpulan bahwa pembicara mengatakan bahwa wanitalah yang mengundang perundungan terhadap dirinya.

Tentu kompleksitas kasus ini tidak sesederhana itu dan dalam konteks ini sebenarnya penyanggah pun paham sepenuhnya akan hal tersebut, akan tetapi melakukan teknik Strawman semata untuk menjatuhkan pembicara atau membangun opini publik ke arah yang berbeda dengan kenyataan.

Ignorantio Elenchi 

Membuat kesimpulan yang tidak sesuai premis.

Kondisi di atas (Strawman) terkait erat dengan argumentasi ignorantio elenchi, dimana bukan saja seseorang dapat dengan sengaja membuat sebuah kesimpulan yang menyesatkan dari sebuah pernyataan, melainkan juga dapat membuat kesimpulan yang sama sekali mengabaikan premis yang diajukan.

Contoh: seorang peneliti pangan menyampaikan bahwa konsumsi ikan, daging, telur, dan susu perkapita di Indonesia amatlah rendah. Lalu ada seorang pengamat mengatakan berdasar premis tersebut bahwa bangsa Indonesia amat menggemari tahu dan tempe.

Tu Quo Que

Kamu juga melakukan apa yang aku lakukan bukan? Argumentasi pembenaran melalui mekanisme proyeksi balik. Dimana kita saling menyandera karena masing-masing memiliki data kelemahan yang kita miliki.

Contoh: saat kita melarang seorang teman merokok di area publik, dan dia berkata: "sudahlah, bukankah kamu kemarin juga meludah sembarangan di taman ?"

Generalisasi Induktif 

Pengambilan simpulan terburu-buru dari data yang relatif kecil dan tidak layak menjadi sampel yang representatif.

Contoh: ketika seseorang bertemu dengan orang dari suku tertentu yang jika berbicara intonasinya tinggi, meski hanya bertemu 3 orang saja, ia telah menyimpulkan bahwa orang suku ini kalau berbicara itu berintonasi tinggi.

Atau contoh lainnya misalkan ketika saya bertanya pada 5 orang di sekitar kita (keluarga dan sahabat) apakah saya layak untuk maju sebagai kandidat kepala desa? Maka kelimanya menjawab sangat layak, dan saya percaya bahwa pernyataan mereka adalah representasi harapan publik desa.

Melihat pola-pola penyesatan logika di atas, sepertinya kok kita familier sekali ya? 

Karena memang dalam kehidupan yang bersifat kompetitif dan sarat motif kepentingan tentu manusia yang merupakan makhluk cerdas prokreatif akan mengembangkan berbagai strategi manipulatif untuk mencapai apa yang diinginkan dan menjadi tujuannya. 

Maka jernihlah (mindful), bijaklah dalam menilai dan mengambil keputusan sehingga kita senantiasa dapat menjadi pribadi yang rasional dan proporsional.

Sumber gambar:

Jumat, 18 Juni 2021

Mindful Diet: 2 Botol Seharga 57 Triliun: Cara Babang CR7 Mengkampanyekan Hidup Sehat


Oleh Tauhid Nur Azhar

Jagat persepakbolaan heboh dengan suatu aksi spontan yang sebenarnya tidak berelasi langsung dengan aktivitas olahraganya, yaitu pemindahan botol minuman ringan berkarbonasi yang merupakan sponsor utama laga, dan sepenggal pesan pendek dari sang mega bintang, Cristiano Ronaldo, "minum air putih itu sehat."

Keesokan harinya dunia investasi geger. Valuasi saham perusahaan tersebut anjlok sampai sekitar 57 triliun rupiah. Pendapat pro dan kontra pun berseliweran memenuhi lini masa media sosial. Tentu ini bukan preseden yang baik bagi dunia usaha yang memiliki etika, terutama ketika menyangkut sponsorship dan konsep simbiosis mutualisma yang semestinya terjaga di dalamnya.

Tetapi dari sisi lain ini adalah gebrakan revolusioner yang luar biasa. Entah Ronaldo sadar atau tidak, ia telah menyuarakan kebenaran yang saat ini amat diperlukan sebagai bagian dari upaya penyelamatan kualitas hidup manusia. Track record Ronaldo dalam hal kepedulian terhadap lingkungan dan kemanusiaan memang tak dapat diragukan. Ia orang yang penuh perhatian pada restorasi lahan mangrove, termasuk di Aceh, hingga akhirnya kegiatan itulah yang mempertemukannya dengan Martunis sang anak angkat.

Ajakan Ronaldo minum air putih ini jika keluar dari mulut kita mungkin hanya bergaung di seputar ekosistem kita yang tak seberapa. Akan tetapi karena dinyatakan oleh seorang mega bintang pujaan dunia, tentu saja akan banyak barisan penggemarnya di seluruh dunia yang akan dengan khusyu' mendengarkannya. Sama dengan kasus antrian BTS Meal oleh fansbase BTS yang menamakan dirinya ARMY.

Sayangnya BTS Meal tidak memiliki kandungan pesan kesehatan yang setara dengan "minum air putih itu sehat." Coba ya para figur publik itu menjalankan konsep sebagaimana perusahaan melakukan program corporate social responsibility, dalam bentuk edukasi kesehatan dan gaya hidup ya? 

Sepertinya pesan-pesan moral yang disampaikan akan dapat mengubah wajah peradaban dalam ruang lingkupnya masing-masing.

Bukankah kita masih cukup teringat akan pesan making love not war seiring dengan kemuakan para generasi muda yang dikategorikan kelompok hippies alias social rebelion yang akhirnya melahirkan gerakan bermusik anti kemapanan yang mencerminkan kemerdekaan berekspresi sebagai manusia. Ada aliran punk, reggae-ska, sampai death metal dengan lirik-lirik pesan moral yang selain aktual juga sangat fundamental.

Sebagian dari kita tentu mengenal festival Woodstock dengan tokoh sekaliber Janis Joplin dan Joe Cocker. Perdamaian menjadi isu sentral yang mereka usung. Lalu tentu kita juga mengenal Bob Dylan yang amat peduli pada degradasi nilai-nilai kemanusiaan dan membuat musik menjadi medan perjuangannya dalam berkontribusi bagi perbaikan kualitas kemanusiaan.

Kembali ke pesan Ronaldo. Ini adalah pesan fenomenal seiring dengan terjadinya silence pandemic yang tidak terekspos sebagaimana pandemi karena virus Corona. Pandemi penyakit metabolik dan degeneratif yang sampai dikategorikan oleh BPJS Kesehatan sebagai golongan penyakit katastropik. Sifatnya perlahan menggerogoti dan menghantarkan penderitanya sampai pada suatu titik di mana tidak ada jalan untuk kembali. Tak berbilang kerugian banyak negara dalam mengatasi dan menanggulangi kondisi pandemi non infeksius ini. Sebagian besar alokasi dana kesehatan terserap untuk proses pengobatan dan tindakan medis terkait kondisi ini dengan berbagai komplikasi ikutan yang menyertai.

Padahal tindakan pencegahan relatif mudah. 

Menjalankan gaya hidup sehat, termasuk minum air putih, berolahraga secara teratur, menghindari stres berlebih, dan tentu saja mengendalikan pola konsumsi antara lain dengan membatasi asupan garam, gula, dan lemak. Dimana konsumsi gula lebih dari 50 gram (4 sendok makan), natrium lebih dari 2000 miligram (1 sendok teh) dan lemak/minyak total lebih dari 67 gram (5 sendok makan) per orang per hari akan meningkatkan risiko hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung.

Maka terimakasih banyak Babang CR7, tindakan spontanmu yang meramaikan lini masa dunia maya semoga dapat menjadi sumber inspirasi yang memotivasi banyak penggemar sepakbola di seantero dunia untuk mempelajari pola hidup sehat yang dimulai dari anjuranmu untuk minum air putih. Semoga kondisi ini juga tak kalah dengan gegap gempitanya BTS Meal yang mampu membuat banyak Pemda di Indonesia turun tangan untuk mengatasinya.

Akhirul kata, salam sehat teriring doa yang terbaik bagi kita semua agar senantiasa berada dalam lindungan Allah Swt. 

Sumber gambar:

Rabu, 10 Februari 2021

Captain Afwan dan Ketercapaian Surga


Oleh Duddy Fachrudin 

"Setinggi apapun aku terbang, tidak akan mencapai surga bila tidak shalat 5 waktu."

Bagi Capt. Afwan, shalat adalah sistem navigasi paling canggih yang dapat menghantarkan manusia pada surga, dan juga tentunya pada Tuhan.

Surga dapat berupa suatu tempat yang telah digambarkan dalam kitab suci. Surga juga bisa dimaknai secara sederhana, yaitu suatu kondisi pada diri maupun lingkungan yang damai, tenteram, penuh kasih sayang, kehangatan, kelembutan. keindahan, senyum, serta tawa.

Di dalam surga tidak kekerasan, kejahatan, peperangan, konflik, eksplorasi dan eksploitasi, dan saling sikut menyikut demi pemenuhan kebutuhan.


Maka sesuai dawuh Capt. Afwan, shalat suatu prasyarat agar manusia tercegah dan mampu mengelola dirinya dari perilaku keji dan munkar (Al-Ankabut: 45). Karena itu pula, shalat (dan sabar) digunakan sebagai penolong (mencegah dari perilaku yang tidak sesuai norma tersebut) (Al-Baqarah: 45). 

Tapi... mengapa kenyatannya banyak manusia yang shalat tapi hidupnya tidak damai dan justru melakukan kejahatan, atau korupsi misalnya. 

Pada tahap ini kita perlu mengevaluasi, jangan-jangan kita belum benar-benar melakukan shalat dengan benar. 

Maka...

setinggi apapun kamu terbang (sesukses apapun dirimu, sehebat apapun ilmumu, sebanyak apapun hartamu), jika belum shalat (dalam aktivitas kehidupanmu), kamu tidak akan pernah merasakan surga (kedamaian). 

Shalat itu... bukan dilakukan, tapi didirikan. 

Berdiri itu tegak, sigap, waspada, dan penuh kesadaran. 

Berdiri itu berarti attending... hadir sepenuhnya. 

Sumber gambar: 

Minggu, 20 September 2020

Sikap Mindfulness: Non-Striving, Berhenti Berharap dan Melepaskan Tujuan




Oleh Duddy Fachrudin 

Suatu ketika saya menjadi fasilitator bagi siswa-siswa SMA/SMK yang dianggap memiliki perilaku yang kurang baik, seperti tawuran dan vandalisme. Mendampingi mereka dalam sebuah pelatihan yang berdurasi lima hari tentunya berbeda dengan mendampingi peserta pelatihan yang benar-benar ingin mengikuti pelatihan. 

Sebagian besar dari mereka tidak tahu mengapa mereka dikirim sekolahnya untuk mengikuti pelatihan yang diadakan Dinas Pendidikan itu. Sebagian lagi sadar bahwa karena perilaku mereka di sekolah yang menyebabkan mereka perlu diberi pendidikan karakter.

Pelatihan bagi mereka sangat membosankan. Banyak yang tidur-tiduran selama pelatihan, meminta ijin untuk ke toilet padahal merokok, bermain smartphone, dan mengobrol dengan temannya. 

Para siswa juga enggan membaur dengan peserta yang berasal dari sekolah lain. Hal ini berlangsung selama tiga hari pertama.

Selain fasilitator, dalam pelatihan itu terdapat panitia dan juga trainer utama yang bertanggung jawab atas kelancaran acara, serta mewujudkan tujuan dari pelatihan. 

Pada hari keempat, kelelahan memuncak pada diri kami. Mungkin ini yang dinamakan compassion fatigue. Panitia dan trainer utama yang paling merasakannya karena selain harus bertugas saat acara, mereka ikut menginap bersama peserta di mess pelatihan, dan harus membangunkan mereka serta “menggiring” mereka ke ruang pelatihan. 

Pada hari itu kami briefing, setelah peserta tidak mau mengikuti permainan yang kami berikan. 

Melihat kondisi yang begitu lelah dan emosi negatif berhamburan yang terjadi pada panitia dan trainer utama, maka ada wacana pelatihan akan ditutup hari itu juga. Masing-masing dari kami memberikan solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. 

Tibalah saya memberikan usulan. Saya mengatakan bahwa sudah saatnya melepas tujuan, harapan, dan keinginan untuk mengubah mereka. Tugas kita di sini adalah menyampaikan, dan tidak ada kewajiban bagi kita agar mereka berbaur dengan peserta sekolah lain (blending), berhenti tawuran, atau melakukan vandalisme. 

Trainer utama menolak dirinya lelah, meskipun sangat terlihat dari raut wajahnya, serta pola nafasnya yang tak beraturan. Ia juga ingin pelatihan terus dijalankan sesuai rundown dan mencapai tujuan pelatihan, yaitu bagaimana membuat peserta berbaur satu sama lain.

Ada beberapa yang setuju dengan usul saya, termasuk seorang yang menjadi penghubung antara kami dengan Dinas Pendidikan. Maka akhirnya kami memutuskan melanjutkan pelatihan tersebut tanpa ada harapan sama sekali.

Pada sesi pelatihan berikutnya adalah kontes drama. Para peserta dibagi ke dalam empat kelompok, dan masing-masing kelompok harus menampilkan drama dengan tema yang sudah kami tentukan. 

Setiap kelompok didampingi oleh dua orang fasilitator. Saya dan teman saya tidak banyak melakukan intervensi kepada kelompok yang kami dampingi. Mereka berdiskusi secara alami, dan sesekali bertanya pada kami mengenai konsep drama yang akan mereka bawakan. 

Akhirnya tibalah saatnya setiap kelompok menampilkan dramanya masing-masing. 

Hasilnya begitu ajaib! Suasana ruangan pelatihan dipenuhi dengan senyuman, gelak tawa, dan emosi yang positif. Para peserta dapat membaur dengan yang lainnya, menampilkan diri mereka secara kocak, dan jarang ada yang keluar ruangan atau bermain HP. 

Kami sangat senang dengan perubahan yang terjadi. Rasa kelah dan emosi negatif yang masih menaungi kami lenyap begitu saja. 

Saya pun tidak menyangka dengan apa yang saya lihat, bahkan saya takjub ketika kelompok kami diumumkan menjadi pemenang dalam kontes drama tersebut. Awesome!

Maka salah satu sikap mindfulness yang dapat kita kembangkan adalah non-striving atau tidak berambisi dengan melepaskan harapan atau tujuan. 

Bukankah tugas kita adalah ikhtiar sebaik-baiknya tanpa ambisi atau kendali secara berlebihan, dan menyerahkan hasilnya pada Allah Swt.?

Sumber gambar:

Kamis, 10 September 2020

Meredakan Nyeri dengan Mindfulness



Oleh Millia Asri 

Beberapa waktu ini saya mulai berlatih mindfulness

Bukan hal yang mudah bagi saya untuk melakukannya karena saya tipe orang yang selalu melakukan sesuatu dengan cepat dan kebiasan ini sudah membantu saya menjadi orang yang "garocoh pocoh". 

Selain itu saya sering menuntut diri saya untuk multitasking, mind wandering dan lainnya yang membuat saya menjadi orang yang tidak mindful.

Dan akhirnya... saya sering merasa lelah sendiri baik secara fisik maupun mental.

Perlahan saya berlatih mindful raisin, mindful breathing, mindful walking, mindful movement, body scan dan sitting meditation

Jalan sore atau jalan pagi menjadi kebiasaan baru dalam mengembangkan mindfulness.

###

Aktivitas berlatih mindfulness ini semakin lebih sering dilakukan ketika peristiwa ini terjadi.

Ceritanya....

Seminggu yang lalu, saya merasakan sakit yang teramat sangat pada anggota gerak bawah terutama bagian lutut, paha dan pergelangan kaki. Hal ini menyebabkan untuk berdiri saja sangat sangat sulit, apalagi berjalan. Sakit itu mungkin disebabkan karena pergerakan saya yang tidak bagus sehingga membuat otot dan sendi saya sakit.

Dalam kondisi ini saya melakukan body scan, mindful breathing, siting meditation dan mindful walking.

Saya mencoba merasakan setiap sensasi rasa sakit tersebut, mengamati setiap sensasi sakit tersebut, menerima setiap rasa sakit tersebut apa adanya tanpa ada penilaian.

Alhamdulillah setelah rutin melakukan mindful pratices, sakit itu sangat jauh berkurang dan jujur rasa sakit itu hanya sesekali muncul.

Belajar dan berlatih keterampilan psikoterapi bukan hanya untuk membantu orang lain tapi yang paling penting adalah untuk menolong diri sendiri terlebih dahulu. Ketika kita sudah mampu menolong diri sendiri, Insya Allah kita mampu menolong orang lain.

Sumber gambar:
https://creakyjoints.org/alternative-medicine/meditation-for-chronic-pain-what-its-like/

Selasa, 14 Juli 2020

Non-Judgement: Apa Salahnya Menjadi Janda?



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Ada stigma dan penilaian yang acapkali disematkan pada sekelompok orang atau komunitas. Misalnya saja terjadi pada wanita yang menjadi janda, khususnya mereka yang mendapatkan status tersebut karena perceraian. 

Tentu hal ini perlu dikaji secara holistik dan multiaspek agar tidak terjadi stigma kurang produktif pada kelompok tertebut. Perjalanan hidup manusia kan dinamis. Stigma ini juga mendera para penderita Covid, pelaku poligami, pengidap HIV, dan banyak lagi pada mereka yang kita anggap berbeda. 

Padahal kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka alami dan apa yang melatarbelakangi pilihan hidup mereka tersebut. Kita terlalu nyaman dalam zona "menilai" dan berasumsi dengan persepsi kita sendiri secara sesuka hati. Maka berbeda menjadi masalah besar di negeri ini.

Sayangnya konteks kebersamaan yang dibangun tidak dalam kontribusi konstruktif. Padahal keberagaman justru potensi besar untuk saling mensubstitusi dan mengomplementasi. Membantu dan saling melengkapi, kalau bisa memperkaya wawasan dengan memberi ruang untuk saling belajar dan memetik hikmah dari interaksi serta pertukaran pengalaman.

Jadi tema besarnya bukan lagi #savejanda, tapi semestinya lebih ke arah #savekemanusiaan. Karena rasa kemanusiaanlah yang telah luntur dalam tradisi kita bermasyarakat. Otak kita terkapitalisasi dan pada akhirnya profit menjadi motivasi dan transaksi menjadi satu-satunya mekanisme yang diketahui.

Lihat pohon ditebang, lihat burung ditangkap, lihat apapun yang dapat menjadi sumber kenyamanan langsung diterkam. Tidak salah memang, tapi itu semua perlu niat suci untuk saling memberdayakan, bukan saling memperdayakan. Kan tugas kita adalah menjadi Khalifah. Misinya membumikan Rahmah. Karakternya harus amanah. Sikap mentalnya haruslah kaffah, Istiqomah, dan tak mengenal lelah dalam Lillah.

Wejangan bagi jiwa-jiwa yang lelah, juga yang jengah dengan kondisi yang terjajah oleh pragmatisme, pesimisme, dan melahirkan oportunisme yang mengerdilkan nilai dan makna hidup menjadi sekedar deretan angka-angka yang dianggap dapat membeli cinta serta menebus waktu agar mau sejenak membeku.

Padahal fitrahnya hanyalah satu. Terus maju. Dan kita yang tersandera dalam detik dan detak seolah tak menyadari bahwa yang berlalu itu akan hadir selalu, dan yang saat ini adalah konstruksi dari mimpi yang perlahan mulai menyetubuhi bumi dan mencumbui tubir memori. Dan masa depan adalah cakrawala harapan dengan berbagai jalan yang tersedia sebagai pilihan.

Dan kita ditakdirkan untuk menjadi makhluk persimpangan. Dimana setiap detik waktu dan setiap detak jantung memerlukan keberanian untuk memutuskan. Dan hidup dapat dipremiskan sebagai sekumpulan keputusan. Juga setumpuk penyesalan yang kerap menimbuni rasa syukur yang lantas terlupakan.

Tapi syukur itu "benih". Meski ditimbuni "tahi sapi" ia tak pernah menyesali. Karena ia tahu, tahi sapi kaya nutrisi. Maka diserapnya sajalah kepedihan dan kekecewaan yang telah menjadi "tahi" dan kerap kita emohi. Kita sembunyikan dan tutup rapat-rapat dalam septic tank lalu kita menipu diri dengan semprotan parfum wangi bebungaan.

Kentut dan tahi fitrahnya berbau busuk. Tentu untuk mengingatkan bahwa pahit dan getir adalah syarat untuk manis dan lezat. Maka yang bisa menerima tahi sebagai kompos atau biogas akan dapat tahu dan berbagai hal yang dia mau. Tapi jangan tolak dulu tahinya. Syukuri semuanya. Jangan hanya mau mengunyah yang kita suka lalu melepehkan semua yang tak kita kehendaki.

Siapa tahu dari tahi yang tidak kita kehendaki itulah benih bahagia akan tumbuh dan bertunas... 

Selasa, 05 Mei 2020

Masa Pandemi adalah Hari Raya



Oleh Duddy Fachrudin 

Dalam satu dekade ini banyak diskusi, penelitian, pelatihan, seminar, kajian online seputar mindfulness. Tak ketinggalan buku-buku hingga film-film terkait mindfulness berserakan. 

Mindfulness itu bikin bahagia. Membuat kita tenang dan terbebas dari stres serta kecemasan. Melepaskan jerat trauma dan depresi berkepanjangan.

Moso... hati ini tak percaya. 

Apalagi mindfulness dapat mengatasi panik di saat pandemi corona ini. Benarkah? 

Mindfulness itu hadir sepenuhnya, di sini, saat ini. 

"Tapi ketika saya hadir sepenuhnya, justru saya cemas dan panik. Pikiranku tidak kemana-mana, ada di sini, menyaksikan berita corona bertubi-tubi," aku mengatakan hal yang persis dikatakan orang-orang pada Simbahku. 

"Mindfulness iku opo sih Le?", takon Simbah. 

Dengan perut yang kenyang, malam itu akhirnya kami berdiskusi tentang mindfulness

"Intinya kesadaran Mbah," ujarku. 

Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Oh ilmu eling toh." 

Dalam kondisi mindful sejatinya pikiran dan perasaan membelenggu itu sirna. 

Simbah lalu bertanya, "Mereka ini, maksudnya orang-orang ini sadar tidak bahwa memang dunia itu tempatnya penderitaan?" 

"Waduh, aku ora weruh Mbah," balasku. 

Dalam tradisi psikologi berbasis spiritual, mindfulness memang memiliki korelasi dengan luka dan duka. Karena isi dunia bukan hanya cita, kesenangan, dan bahagia. 

Simbah lalu mengambil sebuah buku lalu membuka halaman demi halaman. 

"Nah ini..." wajah Simbah terlihat sumringah mendapatkan apa yang dicarinya. 

Laki-laki tua yang gemar kutangan ini lalu berkata, "Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid." 

Manusia itulah murid. Seperti Nabi Adam yang diajarkan nama-nama. Kita semua manusia senantiasa terus membaca (iqra) dan belajar, mencari dan bertanya. Lalu apakah hari raya? Apakah ia adalah hari kemenangan? Namun bagaimana ada kesukaran di saat kebahagiaan? 

Seperti saat ini. Begitu banyak derita akibat wabah corona. Kegelisahan, resesi, PHK dimana-mana, kelaparan, dan tentunya ketakutan. Bagaimana mungkin dibalik penderitaan itu adalah hari raya? Dongkol hatiku.

Simbah melihat raut wajahku yang bingung. "Kamu harus paham kata-kata itu. Yang bilang Ibnu Atha'illah." 

"Sang Arif Bijaksana?", tetiba suasana hatipun berubah menjadi lebih ceria. 

Petuah-petuahnya tidak diragukan lagi. 

Simbah lalu bilang, "Hari raya itu artinya saat kamu mendekat pada Gusti Allah. Orang yang mendapatkan kesukaran lebih mudah mengemis dan menangis sekaligus bermesraan sama Tuhannya." 

Jadi masa pandemi corona ini hari raya? 

Tarik napas sejenak... napas masuk... napas keluar...

Masih ora mudeng aku. 

Sumber gambar: 
Dokumentasi pribadi 

Kamis, 23 April 2020

Hidup Minimalis di Tengah Pandemi




Oleh Duddy Fachrudin 

Di dunia, sudah 5 bulan corona bertamu, 
sementara di negeri ini, virus itu sudah diperjalankan Tuhan sejak awal maret lalu. 

Kita tidak tahu sampai kapan ini berlalu, 
maka... 

Bagi yang terbiasa puasa atau makan seadanya, kemampuan atau potensi ini sangat dibutuhkan di masa pandemi.  

Puasa itu kemampuan untuk hidup minimalis, 
yang tidak materialis dan tidak kapitalis.

Contohnya dalam hal pemenuhan kebutuhan makan, 
berapa sesungguhnya pengeluaran untuk mengisi sistem pencernaan?  

Hidup minimalis itu hemat pengeluaran, dan menahan diri dari hal yang tidak berkepentingan. 

Simbahku yang terbiasa makan gaplek dan tempe mayit berpesan kepadaku tempo hari, 

"Urip iku dudu urusane weteng, kowe ndelok uripe Kanjeng Nabi, mangane sitik..." 

Gara-garanya aku mencoba hidup apa adanya: 100 ribu untuk makan satu minggu! 

Kata orang ndak mungkin makan cuma 100 ribu, sekali makan aja 20 ribu. 

Bener juga kata mereka, tapi itu berlaku di kota besar, lah wong aku urip di kota yang UMK nya cuma 2 juta. 

Belanja mingguan 100 ribu: 
-dada ayam sekilo: 30.000 
-ikan kembung atau telur setengah kilo: 12.500 
-tahu dan tempe: 10.000 
-sayuran (bayam, kangkung, sawi putih, toge, dan daun singkong): 12.500 
-rempah-rempah (bawang merah & putih, cabe, kunyit, jahe, ketumbar, dan merica): 20.000 
-buah-buahan: 10.000 
-masih bisa belikerupuk mentah buat cemilan: 5000 

dari bahan-bahan ini bisa dikelola untuk kebutuhan makan 2 hingga 4 orang selama satu minggu. 

Belanja bulanan 250 ribu:
-beras 3kg: 35.000 
-minyak goreng 6 liter: 70.000 
-garam, penyedap rasa, dan gula: 25.000
-gas 3 kg: 22.000 
-air mineral 4 galon: 60.000 
-masih bonus belanja lain-lain: 38.000 

Total satu bulan pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan satu keluarga sekitar 650 ribu. 

Jika penghasilan seseorang 2 juta selama sebulan, maka pola ini sesuai aturan pengaturan keuangan 1/3, 
yang bersumber dari hadis Nabi.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. menceritakan seorang petani yang diberkahi usaha dan hartanya, dan beliau bersabda:

"... maka sesungguhnya aku memperhitungkan hasil yang didapat dari kebun ini, lalu aku
1) bersedekah dengannya sepertiganya,
2) makan bersama keluargaku sepertiganya lagi,
3) mengembalikan (untuk menanam lagi) sepertiganya."

Inilah konsep hidup minimalis, zuhud, dan belajar untuk tidak materialis. 

Dengan pendapatan 2 juta saja, masih bisa menabung (poin 3) dan bersedekah (poin 1). 

Selain itu, terdapat 2 keuntungan lainnya dengan menerapkan pola hidup ini:

1. Sehat, dengan berat badan terjaga dan imunitas kuat, terhindar dari penyakit seperti diabetes, hipertensi, dan jantung yang diakibatkan gaya hidup tidak sehat (khususnya dalam pemenuhan makanan), karena imun kuat juga bisa melawan coronavirus yang menyerang tubuh 

2. Karena dapat mengelola perut, maka mudah mengelola keinginan sehingga tidak berlebihan dalam menjalani kehidupan 

Bagaimana jika pendapatanmu lebih dari 2 juta, 3 juta, 5 juta, 10 juta... 

Tetaplah minimalis.

Sumber gambar: 

Senin, 06 April 2020

Dhyana Corona


Oleh Duddy Fachrudin 

Corona ada dimana-mana 
Tersedia dimana-mana 

Terselubung di antara rasa dalam lidah 
Perlahan manusia menjadi budaknya 

Tak terasa 

### 

Mereka menghiasi piring dan gelasmu 
Semerbak nikmatnya berserakan dalam kemasan warna warni duniamu 

Menjadi teman dalam aktivitasmu 

### 

Teman tapi musuh 
Karena pelan-pelan menjadi pembunuh 

5 juta manusia mati 5 tahun lalu 

Setiap tahun meningkat melesat 
Tapi tetap manusia tak menyadarinya dan tersesat 

### 

Cina, penderitanya nomor satu 
Indonesia nomor tujuh 

Lumayanlah punya peluang masuk liga champion
Yang juaranya diberi hadiah lampion 

Lampion yang menerangi hidupmu yang gelap dan mengap-mengap 

### 

Silent killer
tapi bikin ngiler 

### 

Salah satu dari tiga penyebab kematian paling banyak di negeri ini, 
dan mudah membuat penderitanya terpapar corona yang menjadi selebriti saat ini 

### 

Terjadi inflamasi 
Obstruksi dan dekongesti 

Edema serta plak koronaria 

### 

Emosimu berubah-ubah 
Gaduh gelisah 

Konsentrasi susah 
Jiwa berasa lelah 

### 

Mikir dan dzikir menjadi sulit 

Tak bisa lagi berkelit 

Karena otak terus meminta 
Layaknya seks dan narkoba 

### 

Perilaku menjadi tak terkendali 
Tak bisa lagi menahan diri 

Kata filsuf, 
inilah penyebab manusia mencintai gempita materi 

Tak ada lagi puas diri 

### 

Sorry, corona selebriti yang jadi perbincangan dunia kini,
"Kau belum ada apa-apanya!"

Pongah tingkahnya 

### 

Sombongnya didukung industri kapitalis 

Bisnis ini memang manis 

### 

Sungguh, 
ia tak bersalah 

Karena berlebihannya itu yang amat sangat berbahaya 

Tapi namanya manusia, 
yang penuh dinamika, 
terjebak dan terpedaya 

Seolah tak apa-apa 

Benarkah? Mau mencoba? 

### 

Cukup 4 atau 5 sendok makan setiap hari 
Batas maksimal yang disarankan para ahli 
Kalau mau porsinya lebih 

Terus menerus hingga 60 hari 
Boleh ditambah hingga 120 hari 
Dan lanjutkan lagi dan lagi 

Apa yang terjadi kemudian pada organ hati? 

### 

Merawat tubuh tanda bersyukur 
Tafakur dan tadzakkur 

Kunci urip selaras lan harmonis 

### 

20 tahun lagi 
Cina tetap pole position 
Indonesia standing ovation 

Posisinya melejit 

Maka dalam bahasa sanskrit:
Dhyana

Meditasilah
Puasa dari corona gula 

Sumber gambar: 

Selasa, 17 Maret 2020

Jeda Corona: #WelcomeToSelf


Oleh Tauhid Nur Azhar

Ini saat-saat paling tepat untuk mengenal diri, manusia dan kemanusiaan serta maksud kehadiran.

Ternyata kita rapuh dan sementara. Tak abadi dan bukan esensi. Ada yang hakiki yang senantiasa memberi dan menjadi tempat kembali. 

Kalau kita introspeksi, acapkali kita kerap saling manyakiti, menzalimi, demi sekedar mengamankan kepentingan pribadi. 

Peduli pada diri sendiri jauh melebihi dari peran diri dalam porsi semesti. Proporsi secara multi dimensi masih jauh panggang dari api

Ketakutan dan kecemasan membuka kedok kesejatian. Saat ini jika kita bercermin tampaklah sosok ringkih itu...

Yang menjerit penuh ketakutan, dicekam dengan berjuta kekhawatiran, lalu berteriak marah pada setiap orang yang sebenarnya juga ringkih dan ketakutan. 

Karena marah, kecewa, dan sedih berlebihan kita kehilangan arah hingga mengerut dalam pusar carut marut lalu perlahan larut dalam emulsi homogen berbau kentut. 

Ya... kita menjadi ampas tanpa esensi, yang hanya berbau tanpa tahu apa yang kita mau. 

Panduan arah memudar, kadar nalar turun hingga tak tertakar lalu perlahan bersama semua sikap kontra produksi mengubur sadar jauh di bawah serabut akar peradaban yang melahirkan pohon kemanusiaan. 

Maka menyelami tafakur, berpikir melipir dan terpekur dalam dengkur semesta yang saat ini seperti mendapat rehat sesaat dan bisa tidur mendengkur. Sekedar mengukur betapa tua dirinya yang telah melayani kerakusan manusia dan berbagai drama yang tercipta di dalamnya. 

Saya tidak lagi hendak bicara dalam wacana angka ataupun logika. Banyak narasi positif tentang hidup, banyak narasi destruktif soal kepastian. 

Virus bukan lagi soal tekno hayati, ia telah berubah menjadi pandemi hati. Hati yang kini inflamasi, meradang dalam cahaya terang yang sedemikian benderang hingga membuat benak panas dan serasa akan meledak. 

Berpikir dan berzikir lalu menjalani takdir, demikian idealnya. Meski ternyata banyak dari kita tenggelam dalam doa sementara di sela-selanya tak henti pula mencaci dan menyesali semua yang telah terjadi. 

Sekali lagi, yang telah terjadi itu dicari inti lalu dibuat sari. Yang tengah dijalani itu dinikmati dan disyukuri. Juga jika itu masalah mari dicari solusi. 

Bisa jadi inovasi dan warisan indah untuk generasi yang mengikuti. Lalu nanti? Ya diterawang dulu dalam bentuk bayang yang sudah mulai mengambang karena ada cahaya pengetahuan yang membuatnya membentuk tanda sebagai bagian dari cakrawala perjalanan di media hidup yang telah terbentang. 

Jadilah manusia jujur yang ringkih dan rapuh, karena sejujurnya itulah kita... hingga kita menipu diri sendiri dan bermain dalam proyeksi palsu yang pasti semu dan tak lekang oleh kepentingan dan waktu. 

Dengan jujur bahwa kita ringkih dan rapuh kita akan butuh dan merasa tak utuh.

Sumber gambar:

Sabtu, 14 Maret 2020

Kesehatan, Corona, dan Puasa


Oleh Duddy Fachrudin

Setelah menderita ALS di usianya yang ke-21, Stephen Hawking diprediksi tidak akan bertahan hidup lebih dari 2 tahun. Nyatanya ia kemudian bisa terus melanjutkan hidupnya selama 55 tahun, meninggal di usia 76 tahun.

Kesehatan, meski dapat diukur secara empiris melalui berbagai variabel fisik, masih menyimpan sejuta misteri. Bahkan, kesehatan bisa menjadi rahasia dan urusan Tuhan. 

Para centenarian yang diteliliti oleh Dan Buettner di lima wilayah dunia menghasilkan kesimpulan bahwa kualitas kesehatan manusia yang berusia 100 tahun itu dipengaruhi oleh jamak faktor. Bukan melulu soal makanan dan aktivitas gerak, melainkan kehidupan sosial, kualitas mental, hingga terkait ritual atau kepercayaan tertentu yang mereka anut. 

Maka, kesehatan sesungguhnya berkah. Hadiah dari Allah Swt. yang perlu dirawat dan dijaga dengan penuh cinta dengan menjadi dokter bagi diri sendiri. 

Hal ini lebih penting lagi dan mendesak di kala situasi pandemi virus corona di berbagai belahan dunia. Individu yang memiliki kekebalan tubuh yang rendah, para lansia, mereka yang memiliki kadar gula tinggi, hipertensi, penyakit jantung, dan permasalahan pada paru-paru lebih rentan terpapar Covid-19.

Jeda dan karantina adalah suatu yang niscaya. Bukan hanya bertujuan menghentikan transimisi virus, tapi juga sebagai ajang puasa diri dari perhelatan dunia.

Bukankah Le Chatelier pernah bilang bahwa saat sistem kesetimbangan mengalami perubahan, maka ia berusaha menyesuaikan dirinya untuk kembali pada kondisi kesetimbangan baru? 

Mungkinkah dunia ini sudah berada dalam "ketidaksetimbangan" akibat perilaku manusianya? Jika iya, maka puasa adalah salah satu bentuk mengembalikan kesetimbangan individu dan juga tatanan sosial.

Puasa dari makan minum berlebihan dapat menormalkan kadar gula darah dan tekanan darah, meningkatkan imunitas, serta pastinya menyehatkan organ tubuh.

Kemudian puasa dari perbuatan, perkataan, pikiran, dan perasaan negatif.

Puasa dari memperlakukan alam seenaknya.

Puasa dari gaya hidup kotor yang tidak memperhatikan kebersihan.

Dan tentu saja puasa dari materialisme dan kapitalisme.

Kebijakan "karantina" di berbagai negara atau daerah adalah hikmah sekaligus momentum perbaikan. Apalagi 11 hari dari sekarang adalah Hari Raya Nyepi dan 40 hari lagi adalah awal Bulan Ramadhan.

Selamat jeda. Selamat berpuasa.

Sumber gambar:
https://publichealthmatters.blog.gov.uk/2020/01/23/wuhan-novel-coronavirus-what-you-need-to-know/

Rabu, 01 Januari 2020

Demi Waktu (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Lantas, apa yang harus dilakukan? Waktu jualah yang akan menjawab. Oh bahkan untuk tahu apa yang harus aku lakukan akupun masih harus menunggu? 

Ya, karena terkadang waktu adalah guru terbaik yang akan membimbing kita untuk menemukan sebuah jawaban kiranya apa hal terbaik yang bisa kita lakukan sembari menanti buah perjuangan kita selama ini.

Alkisah ada seorang ibu yang memiliki seorang anak yang dianggap tidak cakap belajar dan juga sering menimbulkan masalah di sekolah. Entah berapa orang temannya yang dibuat cedera oleh anak tersebut. 

Sang ibu bingung dan nyaris kehilangan arah, harus ke mana, harus bagaimana, dan harus meminta tolong kepada siapa. Tentu saja segala upaya dikerahkan, mulai dari berkonsultasi dengan psikolog, memanggil guru les, bersedekah, menyantuni anak yatim, pokoknya segalanya telah dicoba. 

Tapi laporan dari guru tentang perangai buruk sang anak tetap berdatangan setiap harinya. Ia cemas, takut bukan main, bagaimana nasib anaknya kelak? Akankah sang anak bisa bertahan menjalani kehidupan setelah ia tiada? 

Segala tanya bercampur rasa sedih yang tak terbendung lagi hingga rasanya tak ada lagi tempat untuk sesuatu yang bernama harapan.

Setiap hari sang ibu terbangun, ia mengawali harinya dengan do’a agar anaknya bisa menjalani kehidupan dengan baik. Ia juga tidak pernah membiarkan satu hari pun berlalu kecuali ia sudah memeluk dan mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih. 

Ibu itu benar-benar sudah berada pada puncak kepasrahan terhadap apapun yang digariskan untuk anaknya.

Angka pada penunjuk tahun berubah, ibu dengan anak yang sudah ia pasrahkan terhadap takdir tadi, akhirnya mengalami momen puncak penantian yang indah. Atas ijin Allah, sang anak tumbuh menjadi pria dewasa yang mandiri dan menjalani kehidupannya dengan sangat baik, persis seperti yang sering diucapkan dalam do’a ibunya.

Apakah kisah ini nyata? Ya... dalam kenyataannya, ada jutaan manusia bergelut dengan waktu, menanti keajaiban, dan terus melakukan segala hal yang diajarkan waktu untuk terus berupaya dan berpasrah akan apa yang digariskan takdir. Karena pada waktu yang dijanjikan, segala yang kita cemaskan hari ini akan bertemu dengan penawarnya.

Maka, mari menjalani waktu di saat ini meski dengan segala tanya, kita jalani saja. Karena Allah telah menetapkan waktu untuk masing-masing yang kita perjuangkan.

Selamat menanti dan menikmati waktu.


Sumber gambar:

Demi Waktu (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Tersebut dalam Al-Qur’an pada sebuah surat yang mungkin paling sering kita baca dalam shalat, sesuatu yang sangat akrab dengan kita sejak hari pertama menjadi penghuni bumi, yakni waktu.

Sangat penting dan perlu mendapat perhatian utama soal bagaimana kita menjalani waktu yang Allah berikan dengan gratis sepanjang usia. Konsekuensinya tidak main-main, berada dalam kerugian yang amat besar jika lalai akannya.

Waktu bukan hanya sekedar menjalani pergantian detik menjadi menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Waktu mengandung makna besar tentang perjalanan hidup. Kita tentu menyaksikan bagaimana orang-orang mencapai titik yang diidamkan sejak lama setelah berhasil menjalani waktu penantian yang tidak sebentar.

Kata "akhirnya" yang diucapkan dengan wajah sumringah, mata berbinar, dan suara yang penuh dengan nada kegembiraan bercampur lega tak terkira oleh orang-orang yang berhasil “menaklukan” waktu, selalu berhasil membuat darah berdesir turut merasa haru. 

Mereka yang mengucapkan akhirnya dengan dramatis itulah pejuang sejati yang berhasil menjalani waktu yang penuh dengan peluh, tangis tak terputus, hingga jutaan luka yang membuat malam dan siang terasa dikuadratkan. Dan mereka berhasil sampai pada waktu yang memang telah ditetapkan untuk melenyapkan putus asa yang nyaris singgah di setiap kesempatan.

Akhirnya lulus juga! Akhirnya menikah juga! Akhirnya hamil juga! Akhirnya dapat pekerjaan! Akhirnya sembuh! Akhirnya punya rumah sendiri! Akhirnya anakku berubah! Akhirnya suamiku sadar! Akhirnya istriku memahami mauku! Akhirnya...

Dan waktu yang harus kita jalani untuk sampai pada akhirnya itu adalah misteri yang tersimpan dengan sangat rapi dalam perencanaan-Nya. 

Kita mungkin akan tergoda untuk bertanya, berapa lama lagi? Harus menunggu sampai kapan?, karena merasa entah berapa kali 24 jam yang telah dilewati dengan teka-teki. 

Tapi bukankah semakin kita tidak tahu batasnya, maka perjalanan menanti ini semakin seru? 


Sumber gambar:

Minggu, 08 Desember 2019

Self-Compassion: Aku Bahagia Menjadi Wanita


Oleh Nita Fahri Fitria

Aku bahagia menjadi wanita yang otentik. Maka aku sangat yakin bahwa wanita lain juga bahagia dengan keotentikannya. 

Aku memahami bahwa dia, mereka, dan aku diciptakan sebagai sesama wanita yang ukuran sepatu, baju, warna kesukaan, dan hal-hal lain yang sangat beragam. 

Dunia ini menjadi indah karena di setiap tempat kita akan menemukan definisi cantik yang khas.

Aku bahagia menjadi wanita yang memahami bahwa Allah Swt. punya cara untuk menjadikan orang lain mendapat predikat hebat dengan cara yang tidak sama denganku. 

Banyak sekali kisah perjuangan wanita-wanita hebat yang mungkin alur ceritanya sulit aku mengerti, tapi aku yakin itu menjadikan mereka mulia di hadapan Allah Swt. 

Aku bahagia menjadi wanita yang menyadari bahwa anak dari setiap wanita memiliki garis takdirnya sendiri. Mereka bertumbuh dalam proses yang kompleks dan memiliki ritme perkembangan yang sangat personal. 

Aku bahagia menyaksikan betapa anak-anak dari para wanita di seluruh dunia ini menambah rona indah di bumi yang kupijak.

Aku bahagia menjadi wanita karena aku dapat menyerap banyak sekali inspirasi dari variasi pilihan yang diambil oleh setiap wanita di dunia ini. Mereka memiliki mekanisme berpikir yang berdasar pada pengalaman dan pengetahuan yang tentu saja sangat sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Aku bahagia menjadi wanita dan aku yakin setiap wanita di dunia ini bahagia menjadi wanita yang versi mereka.

Dan untuk menjadi wanita yang bahagia nan menawan aku hanya perlu mencintai diriku dan membagikan cinta yang kumiliki untuk seluruh wanita di dunia ini. 

Sumber gambar: