Tampilkan postingan dengan label Homo Deus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Homo Deus. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Mei 2020

Dialektika Dalgona Corona



Oleh Duddy Fachrudin 

Andaikan corona itu senikmat kopi dalgona, akankah engkau akan mereguknya dan membagi-bagikannya? 

Sayangnya corona bukanlah kopi dalgona. Ia penebar rasa takut akan keberlangsungan eksistensi manusia. 

Berita tentang corona disebarluaskan agar manusia memperhatikan dan waspada terhadap ancaman nyata di depan mata. 

Manusia lebih awas dan was-was:
-yang batuk, corona 
-yang bersin, corona 
-yang demam, corona 
-yang tiba-tiba tergeletak pingsan, corona 
-yang blablabla, corona 

Berstatus sebagai pembawa kepanikan, penyebab kematian, dalangnya PHK, aktor dari resesi ekonomi, popularitas corona saat ini nomor satu di dunia. Corona menjadi perbincangan setiap hari. 

Corona dimusuhi dan disumpahserapahi. 

Corona diteliti, ditelusuri secara ilmu bumi. 

Corona juga dikagumi karena berhasil membuat langit bersih dari polusi. 

Corona benar-benar menjadi selebriti. Apalagi pemerintah menyiarkannya saban hari. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai perkembangan terkini. 

Tapi... 

Bagaimana jika corona itu adalah sesuatu yang baik, nikmat, dan bikin selamat dunia akhirat. Apakah orang-oarang akan mendatanginya dan menyiarkannya? Apakah kemudian pimpinan negara dan bangsa akan mewartakannya setiap 24 jam kepada rakyatnya? 

"Opo sing enak karo gawe slamet Mbah, " tanyaku pada Simbah sore itu. 

Simbah menimpai, "Lalalah, kamu itu manusia berpendidikan. Kuliah sampai es es es san takon sama Simbahmu yang cuma kutangan." 

Simbah cengar cengir menatap wajahku yang kebingungan. Tapi senyum itu setidaknya bukan cengengesannya para manusia takabur saat awal corona menyapa negeri manusia. 

Sejurus kemudian Simbah bilang lagi, "Kurang ajar betul kalau setelah corona pulang manusia-manusia ini tidak berubah. Kapitalisme yang memuja eksplorasi dan eksploitasi tanpa batas saat ini ketar ketir dihantam corona. Tobat... tobat. Globalisasi materialisme sudah tak berarti lagi. Corona telah menelanjangi kebobrokan ahlak dan gaya hidup manusia." 

Sejenak Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Artinya kapitalisme dan materialisme sekaligus hedonisme iku ojo dijadikan peganganmu urip nang dunyo iki, anakku... Tak perlu bermegah-megahan, apalagi sikut-sikutan meraih pucuk kepemimpinan. Coba ndelok corona, tak kasat mata. Ora perlu eksistensi untuk menjadi hebat." 

Simbahku menatap wajahku yang dungu dengan teguh. 

"Le, hidup nikmat lan slamet iku ya sumeleh... Meleleh dalam tresno Gusti Allah. Ndak penting kamu jadi apa, pake baju keren atau kutangan gini. Sing penting kamu rela, ridho, ikhlas menjalani semuanya. Untuk bisa ke arah sana gunakan ilmumu untuk mencinta Tuhanmu, mencinta Muhammad Nabimu... 

Kalau kamu cinta, itu seperti meleburnya susu putih sama kopi kentel di dalgonamu itu. Gimana rasakne?" 

Aku cuma bisa mengangguk. "Nggeh Mbah." 

Lagi-lagi Simbah nyerocos kayak sepur malam, "Kamu itu mandat-Nya, diciptakan dengan tujuan mulia, menanam benih manfaat buat generasi selanjutnya. Nandur. Iku sing arane menungso." 

Aku lagi-lagi mengangguk kayak wayang yang sedang dimainkan dalang. 

Dalam diam aku termangu, lalu kuberanikan menyampaikan seuntai tanya kepadanya. 

"Kalau corona itu baik dan membaikkan, nikmat bin membuat selamat dan itu bernama sumeleh, mencintai-Nya dan utusan-Nya, tidak bermegah-megahan, tidak materialis dan tidak kapitalis... Apakah pemimpin akan memberitakan sekaligus mengingatkan warganya untuk berlaku demikian?" 

Senja sore itu mulai tenggelam.

"Pemimpin itu kan ndak harus presiden dan menteri toh. Pemimpin itu ya semua orang. Ketoke kamu sudah mulai waras dadi menungso... 

Jadilah bergerak tanpa terlihat, lalu membelah diri hingga dua, empat, delapan hingga tak berhingga... Jadilah cinta, jadilah dalgona. Tapi untuk itu kamu akan melewati fase kepahitan seperti kopi yang diminum olehku... Sampai kamu merdeka dan memiliki kedaulatan. Dan tetaplah setia dengannya. 

Berjalanlah... berjalanlah." 

Simbah menyeruput sisa terakhir kopi pahitnya. 

Senja akhirnya benar-benar tenggelam. 

Dalam hati aku bergumam, "Membelah diri?" 

Sumber gambar: 

Rabu, 01 April 2020

Teater Corona, Aku, dan Afalaa Ta'qiluun


Oleh Duddy Fachrudin 

Teater corona terus berlanjut 
Akankah manusia kembali benjut

Aku siap benjut hingga hanya memakai cangcut 
Toh hidup ini hanya ketelingsut 

Mau melawan juga pakai apa? 
Wong aku ora duwe apa-apa 

Cuma bisa puasa tanpa sahur dan berbuka seadanya 
Kalau perlu mutih 40 hari 100 hari sekaligus bertapa dari segalanya 

### 

Aku hanya ingin Tuhan tidak murka 
Ini kehendak-Nya, 
bukan kehendakku 

Aku bukanlah aku 
Aku sudah tiada sejak dulu 

Meski yang dulu-dulu suka menyapa dalam mimpi 
Meminta untuk dikasihani 

### 

Aku hanyalah atom berongga 
Ruang hampa, gelap, dan tak bercahaya 

Hologram membisu, juga merindu 

### 

Aku cuma lempung kampung yang bebas ditelikung maupun diserimpung 
Aku fana fatamorgana yang sudah sejak dulu kala menderita 

### 

Aku materi berfrekuensi yang siap meluruh menjadi energi 
Terbebas dari labirin yang menghimpit penuh ilusi halusinasi 

### 

Corona akan terus bertamu 

Tak ingin menyuruh-nyuruh: 
"Tuhan, lenyapkan corona itu" 

Malu nyuruh-nyuruh Al-Hayyu Al Mumiitu 
Siapa aku nyuruh-nyuruh 

### 

Aku kulit yang mengelupas terkena panas 
Melepuh dan melepas 

Berduyun-duyun sel-sel mengayun tunduk memohon agar bisa ilaihi roji'uun 

### 

Aku, 
si dungu letih ringkih yang hanya bisa bersembunyi dalam kelambu 

Kelambu kasih sayang tempatku bersembahyang 
Menyanyikan stanza cinta bergelombang 

### 

Tak ikut-ikut lagi menanam buah khuldi 
Seperti yang mereka lakukan setiap hari 

Memanen, menikmati, menanam lagi dan lagi 
Terus berulang-ulang kali 

Tak pernah puas dan tak menyadari, 
misi penciptaan diri 

### 

Biarlah aku di sini, 
mati, 
membunuh diri 

Tak terbuai lagi dengan khuldi khuldi 

### 

Corona terus bergentayangan 
Yang ini datang berbulan-bulan 

Yang lain (mungkin) bertahun-tahun 
Menggembalakan racun agar manusia kembali membaca afalaa ta'qiluun 

### 

Bagi para pecinta, 
racun tha'un itu adalah kritik mesra dan pesona kasih-Nya tak terkira 

Sumber gambar: 

Jumat, 28 Juni 2019

Kedai Kopi & Menjadi Manusia (Bagian 2, Habis)


Oleh Hamzah Abdurahman & Duddy Fachrudin

Hanya saja sebagai Homo Sapiens, kecerdasannya sering terlena karena tipu daya yang datang dari berbagai arah. Karena itu pula, Homo Sapiens yang juga Homo Socius berubah menjadi serakah, ambisi, penuh amarah, dan menumpahkan darah.

Jika di Amerika kita mengenal pertempuran Gettysburg (1-3 Juli 1863), perang saudara antara kubu Utara dan Selatan yang begitu brutal, maka di Indonesia kecamuk itu berlangsung ratusan tahun.

Setidaknya hampir 500 tahun konflik di tanah tersubur di negeri ini (bahkan dunia) berlangsung. Leluhur kita selama periode 1200-an hingga 1700-an saling menyakiti dirinya. Mereka tidak melawan penjajah Belanda, yang saat itu hanyalah serikat dagang atau VOC. Mereka melawan saudaranya sendiri.

Manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya, atau Homo Homini Lupus.

Setelah perang saudara di tanah Jawa, VOC mulai "bertingkah" dengan menetapkan pajak yang mengusik warga pribumi. Bisa dikatakan, saat itu pula Belanda mulai menjajah Nusantara.

Bahkan Para Londo ini mulai membuat sekat antara si kaya dan si miskin. Kota Lama Semarang dan Jembatang Mberok atau Gouvernementsburg yang dibangun 1705 menjadi saksi bahwa seolah-olah orang Eropa lebih tinggi kedudukannya dengan warga pribumi yang terdiri dari orang-orang Jawa, Cina, Melayu, dan Arab.

Ketidakadilan memunculkan perlawanan demi perlawanan demi mencapai kemerdekaan. Proses menuju ke arah sana penuh tantangan yang justru datangnya dari pihak sendiri. Epidemi inferioritas, mudahnya diadu domba, serta, mudah tertipu oleh kilauan tawaran jabatan yang diberikan penjajah dengan iming-iming gulden membuat orang-orang takluk sekaligus mendem.

Nirmawas dan kurangnya kewaskitaan diri terbingkai menjadi unconscious collective yang sampai saat ini terasa. Bahkan oleh Ronggowarsito, kekacauan yang disebabkan oleh hal ini memproduksi zaman kalatidha, zaman edan, penuh tipu daya, nirkewaskitaan.

Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada.

Maka pesannya jelas, kunci hidup di zaman kalatidha adalah mawas diri (mindful), belajar niteni pikiran, perasaan, niat, sekaligus syahwat.

Karena proses ini yang kemudian membuat manusia bertransformasi dari manusia yang menjadi masalah bagi manusia (termasuk alam semesta) menjadi manusia cerdas (Homo Sapiens) dan Homo Deus.

Homo Deus, adalah manusia tanpa sekat yang bergerak bebas berjalan dengan satu tujuan dan penuh cinta yaitu sebagai pemantul cahaya keagungan dan keindahan Tuhan.

Maka, belajar dan mengambil hikmah dari kedai kopi dan Jembatan Mberok adalah keniscayaan. Membebaskan diri dari label duniawi dengan memegang ilmu serta cinta kasih dan mawas diri adalah bekal Homo Deus menapaki misi penciptaan dirinya.

Maka dunia yang penuh derita telah berganti menjadi cantik seperti Bukit Brintik yang penuh warna warni. Tugas manusia adalah merawat kecantikannya dengan memperindah perilakunya.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/