Tampilkan postingan dengan label Kesehatan Mental Sedunia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan Mental Sedunia. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 September 2020

Keajaiban Dunia dan Kesehatan Mental




Oleh Duddy Fachrudin 

Alkisah di sebuah kelas SD sudut kampung terpencil negara ini, ibu guru bertanya kepada murid-murid kelas enamnya yang cerdas-cerdas, "Hayooo anak-anak, siapa yang bisa menyebutkan keajaiban dunia?"

Seorang anak laki-laki yang duduk di sudut kelas mengacungkan tangannya, "Aku mau jawab Buuu..." Sang ibu guru melirik muridnya, "Ya Faul... silahkan..."

"Keajaiban dunia itu Candi Borobudur, Danau Toba, Menara Eiffel, Piramida, Taj Mahal, Ka'bah, Tembok Besar China, dan Colosseum," kata Faul. Beberapa saat kemudian setelah Faul menyebutkan keajaiban dunia, tiba-tiba seorang temannya mengacungkan tangannya, "Aku mau menambahkan guru..."

"Aisyah, silakan sebutkan keajaiban dunia yang lainnya," kata ibu guru.

"Bu guru... keajaiban dunia itu ketika aku melihat, mendengar, merasakan... menyentuh, berjalan, bermain, dan mencintai."

Seluruh kelas terdiam, termasuk ibu guru.

Lalu di saat keheningan tercipta, dan rasa telah merasuk di dada, seorang anak mengacungkan tangannya... "Keajaiban dunia itu... adalah diri manusia sendiri."

###

Menyadari diri kita ajaib itu sungguh ajaib.

Mengapa? Karena inilah pintu gerbang dari samudera kebersyukuran. 

Kita tidak lagi membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa cukup dengan diri kita sendiri dan apa yang kita miliki. Dan kita tak lagi mengeluh ini itu kepada Tuhan Yang Memberi Kehidupan ini.

Hidup ini pemberian ajaib. 

Dan tubuh dengan segala yang tersembunyi di dalamnya yang juga sangat ajaib ini adalah suatu anugerah paling indah yang Tuhan ciptakan.

Sayangnya manusia sering lupa bahwa dirinya ajaib. 

Hal itu terjadi karena manusia sering mencari ke luar dirinya. 

Mencari untuk memuaskan kehidupannya. Sehingga tak kadang karena hal ini pula hidupnya tergerus. Pikiran, perasaan, dan tubuhnya tak lagi selaras. Jiwanya tak lagi harmonis.

Maka orang yang bahagia sesungguhnya berhenti mencari. 

Ia mulai menggali ke dalam dirinya. Menyelam ke dasar lautan hati untuk menemukan mutiara terindah yang diciptakan Tuhan. 

Khusyu merindu dalam keheningan dan tak lagi berkeinginan. 

Oh cinta ini...
hanya ragu tentang waktu 
apa yang ku tunggu,

Hidup untuk ku tepati

Sumber gambar: 
https://www.instagram.com/duddyfahri/ 

Minggu, 08 Oktober 2017

Let’s Talk Well-Being in The Workplace


Oleh Duddy Fachrudin

Let's talk well-being-Hari Kesehatan Mental Sedunia

Parjo : Min aku wis ora kuat nyambut gawe

Dalimin : Ono opo toh Jo?
Parjo : Aku kesel iki... diparingi kerjaan sing ora cocok karo jobdesku
Dalimin : Oalah...

Mari sedikit membicarakan well-being di tempat kerja.

Well-being sendiri dapat diartikan suatu kondisi kesejahteraan individu. Bukan kesejahteraan secara materi, melainkan lebih ke arah psikologis yang domainnya lebih ke arah afeksi dan kognisi. Perasaan bahagia, stres, serta puas dan tidaknya Anda pada pimpinan merupakan bagian dari well-being, khususnya di tempat kerja. Dalam dialog Parjo dan Dalimin, kita bisa menangkap curhatan Parjo kepada Dalimin yang merasa lelah karena di tempat kerjanya disuruh mengerjakan tugas-tugas yang tidak sesuai dengan jobdesknya. Ini suatu kondisi yang tidak nyaman yang dialami Parjo, dan realitanya kasus-kasus serupa banyak terjadi di berbagai lingkungan kerja.

Maka, kajian-kajian well-being mulai diperhatikan oleh organisasi, baik level pemerintah maupun swasta. Psikolog-psikolog klinis mulai dilibatkan untuk menangani stres kerja, burnout, dan ketidakbahagiaan yang muncul selama individu bekerja. Program-program stress reduction, happiness at work, dan work engagement frekuensinya diperbanyak dibandingkan dengan program-program lain. Hal tersebut menjadi sebuah investasi penting bagi perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan motivasi kerja sumber daya manusianya. Bahkan demi hal itu, organisasi mulai berani menerapkan suatu hal yang tidak biasa, yaitu memangkas jam kerja dari biasanya 8 jam ke 6 jam saja setiap harinya. Atau tetap bekerja selama 8 jam, namun 20% dari jam kerja tersebut boleh digunakan untuk mengerjakan hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Ya, itu terjadi di Google, salah satu perusahaan terbaik dunia.

Saat ini bukan banyaknya waktu yang mempengaruhi kinerja dan produktivitas seseorang, melainkan kemampuan menggunakan energi secara efektif yang menjadi pembeda antara yang produktif dan tidak produktif. Antara yang stres dan flow saat bekerja.

Terlalu banyak bekerja akan menggerus keseimbangan pada aspek fisik tubuh kita. Masih ingat dengan seorang copywriter yang meninggal setelah 30 jam bekerja? Atau berita mengenai dua orang karyawan Jepang yang lembur lebih dari 100 jam kemudian meninggal: yang satu karena serangan jantung, satunya lagi bunuh diri.

Mari bicarakan kesejahteraan di tempat kerja kita. Semoga Hari Kesehatan Mental Sedunia, 10 Oktober 2017 ini menjadi momen untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan (well-being) sumber daya manusia di organisasi kita.

Sumber gambar:
http://himpsi.or.id/31-semua-kategori/menu/publikasi/106-let-s-talk-wellbeing-program-himpsi-dalam-rangka-hari-kesehatan-mental-sedunia-10-oktober-2017