Tampilkan postingan dengan label Mindful Time. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindful Time. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Juni 2020

Meditasi Hijau: Fase Belajar dan Bertumbuh di Kala Pandemi



Oleh Prinska Damara Sastri 

Gimana jadinya kalau kita yang sehari-harinya lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah lalu berubah harus tetap #dirumahaja. Ya, khususnya selama pandemi corona ini.

Sebagian besar orang mungkin mengalami kebosanan. Aku dan kamu bisa termasuk ke dalam golongan sebagian besar itu.

Dengan kondisi seperti ini, sebisa mungkin melakukan kegiatan positif agar cerita #dirumahaja ini tidak hanya menjadi ajang untuk mengeluh. Karena keluh hanya memproduksi stres berkepanjangan dan tidak membuat pribadi untuk belajar utuh serta bertumbuh.

Kalau dipikir-pikir, stay at home bisa jadi satu ajang yang baik bagi kita untuk mengenal diri, memahami keluarga kita lebih dekat, serta mengetahui kondisi lingkungan di rumah dan di sekitarnya dengan lebih baik. 

Masa pandemi adalah saat yang tepat untuk rehat.

Meditasi dan berolahraga menjadi opsi utama aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Selain itu, berkebun menjadi suatu hal baru yang menarik untuk dicoba.

Mengapa berkebun?

Hal ini diawali dengan kebiasaan saya membuat pupuk kompos sendiri dari sampah rumah tangga. Sebuah hobi yang iseng dilakukan akibat jenuh dari tugas akhir yang tak kunjung beres sejak dua tahun lalu. 

Mengkompos... ternyata setelah dijalani menyenangkan juga. Dan pada akhirnya aktivitas ini menjadi sebuah hobi yang sifatnya berkelanjutan.

Setelah mulai terbiasa membuat pupuk kompos, terpikir untuk menekuni aktivitas berkebun. 

Kita semua percaya bahwa dengan memulai hobi seperti ini, secara langsung menyumbangkan banyak oksigen untuk bumi. Hal ini akan berdampak pada keadaan bumi yang semakin sehat yang pada akhirnya ia memberikan energi baik pada penghuninya.

Maka, sejak awal Covid-19 memasuki negeri ini, saya mencoba mengulik sendiri tentang berkebun, diawali dengan membeli beberapa benih dan juga bibit untuk ditanam.

Saat berkebun saya melihat betul bagaimana proses tanaman-tanaman ini tumbuh. Mulai dari benih sampai mereka bertransformasi menjadi tumbuhan.

Banyak hikmah yang saya pelajari dari berkebun. Ada suka, juga duka.

Dibanding sukanya, diawal-awal berkebun banyak dukanya juga. Seperti harus merelakan benih yang tidak tumbuh, lalu kebingungan saat tanamannya tumbuh dengan tidak sehat, dan sebagainya.

Mulai muncul pikiran otomatis: benar ya, kegiatan berkebun adalah kegiatan menjenuhkan dan juga kuno. 

Rasanya seperti menunggu sesuatu yang tak pasti. Ingin menyerah saja, karena seperti menambah beban baru. 

Tapi...

Dibalik semua itu ternyata saya belajar untuk lebih bersabar, kemudian mengobservasi kesalahan dan belajar untuk lebih berusaha lagi. Hikmah ini bisa diterapkan ketika harus menghadapi Covid-19 yang tak tahu kapan usainya.

Rehat dengan meditasi hijau alias berkebun menyadarkan bahwa semuanya membutuhkan proses. 

Ada kegagalan, lalu pembelajaran, kesabaran, pemaknaan yang dalam, keikhlasan, hingga tumbuh kecintaan untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi bumi ini.

Di sinilah kita berpindah dari fase. Dari yang awalnya mengeluh ke tahapan belajar serta bertumbuh. 

Sumber gambar: 

Rabu, 01 Januari 2020

Demi Waktu (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Lantas, apa yang harus dilakukan? Waktu jualah yang akan menjawab. Oh bahkan untuk tahu apa yang harus aku lakukan akupun masih harus menunggu? 

Ya, karena terkadang waktu adalah guru terbaik yang akan membimbing kita untuk menemukan sebuah jawaban kiranya apa hal terbaik yang bisa kita lakukan sembari menanti buah perjuangan kita selama ini.

Alkisah ada seorang ibu yang memiliki seorang anak yang dianggap tidak cakap belajar dan juga sering menimbulkan masalah di sekolah. Entah berapa orang temannya yang dibuat cedera oleh anak tersebut. 

Sang ibu bingung dan nyaris kehilangan arah, harus ke mana, harus bagaimana, dan harus meminta tolong kepada siapa. Tentu saja segala upaya dikerahkan, mulai dari berkonsultasi dengan psikolog, memanggil guru les, bersedekah, menyantuni anak yatim, pokoknya segalanya telah dicoba. 

Tapi laporan dari guru tentang perangai buruk sang anak tetap berdatangan setiap harinya. Ia cemas, takut bukan main, bagaimana nasib anaknya kelak? Akankah sang anak bisa bertahan menjalani kehidupan setelah ia tiada? 

Segala tanya bercampur rasa sedih yang tak terbendung lagi hingga rasanya tak ada lagi tempat untuk sesuatu yang bernama harapan.

Setiap hari sang ibu terbangun, ia mengawali harinya dengan do’a agar anaknya bisa menjalani kehidupan dengan baik. Ia juga tidak pernah membiarkan satu hari pun berlalu kecuali ia sudah memeluk dan mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih. 

Ibu itu benar-benar sudah berada pada puncak kepasrahan terhadap apapun yang digariskan untuk anaknya.

Angka pada penunjuk tahun berubah, ibu dengan anak yang sudah ia pasrahkan terhadap takdir tadi, akhirnya mengalami momen puncak penantian yang indah. Atas ijin Allah, sang anak tumbuh menjadi pria dewasa yang mandiri dan menjalani kehidupannya dengan sangat baik, persis seperti yang sering diucapkan dalam do’a ibunya.

Apakah kisah ini nyata? Ya... dalam kenyataannya, ada jutaan manusia bergelut dengan waktu, menanti keajaiban, dan terus melakukan segala hal yang diajarkan waktu untuk terus berupaya dan berpasrah akan apa yang digariskan takdir. Karena pada waktu yang dijanjikan, segala yang kita cemaskan hari ini akan bertemu dengan penawarnya.

Maka, mari menjalani waktu di saat ini meski dengan segala tanya, kita jalani saja. Karena Allah telah menetapkan waktu untuk masing-masing yang kita perjuangkan.

Selamat menanti dan menikmati waktu.


Sumber gambar:

Demi Waktu (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Tersebut dalam Al-Qur’an pada sebuah surat yang mungkin paling sering kita baca dalam shalat, sesuatu yang sangat akrab dengan kita sejak hari pertama menjadi penghuni bumi, yakni waktu.

Sangat penting dan perlu mendapat perhatian utama soal bagaimana kita menjalani waktu yang Allah berikan dengan gratis sepanjang usia. Konsekuensinya tidak main-main, berada dalam kerugian yang amat besar jika lalai akannya.

Waktu bukan hanya sekedar menjalani pergantian detik menjadi menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Waktu mengandung makna besar tentang perjalanan hidup. Kita tentu menyaksikan bagaimana orang-orang mencapai titik yang diidamkan sejak lama setelah berhasil menjalani waktu penantian yang tidak sebentar.

Kata "akhirnya" yang diucapkan dengan wajah sumringah, mata berbinar, dan suara yang penuh dengan nada kegembiraan bercampur lega tak terkira oleh orang-orang yang berhasil “menaklukan” waktu, selalu berhasil membuat darah berdesir turut merasa haru. 

Mereka yang mengucapkan akhirnya dengan dramatis itulah pejuang sejati yang berhasil menjalani waktu yang penuh dengan peluh, tangis tak terputus, hingga jutaan luka yang membuat malam dan siang terasa dikuadratkan. Dan mereka berhasil sampai pada waktu yang memang telah ditetapkan untuk melenyapkan putus asa yang nyaris singgah di setiap kesempatan.

Akhirnya lulus juga! Akhirnya menikah juga! Akhirnya hamil juga! Akhirnya dapat pekerjaan! Akhirnya sembuh! Akhirnya punya rumah sendiri! Akhirnya anakku berubah! Akhirnya suamiku sadar! Akhirnya istriku memahami mauku! Akhirnya...

Dan waktu yang harus kita jalani untuk sampai pada akhirnya itu adalah misteri yang tersimpan dengan sangat rapi dalam perencanaan-Nya. 

Kita mungkin akan tergoda untuk bertanya, berapa lama lagi? Harus menunggu sampai kapan?, karena merasa entah berapa kali 24 jam yang telah dilewati dengan teka-teki. 

Tapi bukankah semakin kita tidak tahu batasnya, maka perjalanan menanti ini semakin seru? 


Sumber gambar: