Tampilkan postingan dengan label Otak dan Makanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Otak dan Makanan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Mei 2019

Mindful Diet: Mikrobiota Saluran Cerna dan Kerja Otak Kita


Oleh Tauhid Nur Azhar

Bakteri komensal atau flora normal di saluran cerna dapat memproduksi berbagai jenis metabolit seperti Kolin dan Asam Lemak rantai pendek/ short chain fatty acid (SCFA). Dimana SCFA dihasilkan melalui proses fermentasi karbohidrat kompleks seperti serat tumbuhan secara anaerob atau tanpa oksigen.

Asam lemak rantai pendek yang dihasilkan antara lain adalah asam butirat, asam asetat, asam propionat (PPA). PPA memiliki titik tangkap fisiologis penting seperti terlihat dalam proses sinyal transduksi, sintesis neurotramsmiter, metabolisme lipid, modulasi ekspresi gen melalui fosforilasi dan asetilasi histon. 

PPA berperan dalam meningkatkan sensitivitas insulin dan memodulasi reaksi alergi melalui stimulasi pada sitokin anti inflamasi / IL-10 dan mensupresi/ inhibisi sitokin proinflamasi seperti IL-1 alfa, TNF alfa, IL-6, dan NO. 

Sementara peran SCFA lain dalam meningkatkan kapasitas kognitif dan kinerja sistem syaraf pusat dapat dipelajari pada fungsi asam butirat (BTA), dimana bersama PPA merupakan inhibitor dari enzim histon deasetilase (HDAC), suatu enzim yang bertugas memotong gugus asetil pada histon. 

Jika berbicara konsep kesetimbangan homesotatik dari sistem biologis, maka jika ada suatu fungsi ditekan maka akan ada fungsi kompensata yang mensubtitusi. Maka jika HDAC diinhibisi, HAT atau histon asetil transferase akan disintesis. 

Proses asetilasi histon berhubungan dengan transkripsi gen-gen tertentu, termasuk gen-gen yang terlibat dalam proses pembelajaran dan pembentukan memori. Hiperasetilasi pada promotor dari gen-gen terkait proses belajar dan pembentukan memori akan meningkatkan transkripsi gen tersebut. 

Asam butirat yang dihasilkan sebagai metabolit dari mikroba saluran cerna ternyata juga dapat menstimulasi hiperasetilasi histon di sel-sel neuron yang terdapat di hipokampus dan korteks frontalis, termasuk prefrontal cortex (PFC). 

Dan hiperasetilasi yang dipicu oleh BTA itu terkait dengan ekspresi gen brain derived neutrophic factor (BDNF) yang antara lain berperan dalam mengatur mekanisme plastisitas dan pembentukan sinaps/ sinaptogenesis. 

Beberapa bakteri komensal dan flora normal seperti genus lactobacillus dan bifidobacterium dapat mensitesa berbagai jenis neurometabolit seperti GABA, melatonin, noradrenalin, dan asetilkolin. 

Escherichia, bacillus, dan sacharomyces memproduksi noradrenalin, sementara candida, streptococcus, escherichia, dan enterococcus memproduksi serotonin. 

Bacillus bisa mensintesis dopamin dan lactobacillus dapat mensintesis asetilkolin. Selain neurometabolit flora normal atau mikrobiota usus juga dapat menghasilkan gas NO yang punya peran amat penting di berbagai sistem fisiologi. 

Genus lactobacillus diduga merupakan jenis mikrobiota yang dapat menghasilkan NO. Gas NO sendiri punya banyak fungsi keren secara fisiologis, mulai dari vasodilatasi pembuluh darah, regulasi tekanan darah, aktivasi sistem imun mukosal, sampai terlibat dalam fungsi kognitif terkait memori dan pembelajaran. 

Secara vis aversa, mikrobiota usus juga terlibat dalam proses pengelolaan stres. Jika stres berkepanjangan yang ditandai dengan peningkatan kortisol dan derivat katekolamin seperti norepinefrin, maka akan terjadi peningkatan permiabilitas usus yang berdampak pada gangguan ekosistem mikrobiota saluran cerna. 

Peningkatan kadar katekolamin juga, dalam hal ini NE ternyata dapat menstimulasi gen virulensi yang membuat koloni E. Colli menjadi patogen. Semula E. Colli adalah bakteri komensal yang tidak berulah, tetapi dalam kondisi stres bisa terpicu untuk bersifat patogen. Maka gangguan saluran cerna adalah salah satu simptom yang kerap dijumpai pada mereka yang mengalami stres secara berkepanjangan. 

Karena populasi mikrobiota yang disebut sebagai probiotik itu juga bergantung pada asupan nutrisi baginya dan bagi manusia host-nya maka tak pelak apa yang kita makan akan menentukan seperti apa populasi mikrobiota di saluran cerna kita, dan apa dampak keberadaan mereka pada sistem faali tubuh kita sebagaimana tulisan saya di atas. 

Sebagai gambaran sederhana saja, hasil riset seorang psikiater dari Belgia, Lukas van Oudenhove, menunjukkan bahwa seseorang akan lebih baik mood nya meski berada dalam tekanan atau kesedihan jika di dalam menu dietnya terdapat komposisi asam lemak. Sate selap gajih asal tidak berlebih rupanya bagus juga ya sebagai obat anti "baper".

Sumber gambar:

Minggu, 13 Mei 2018

Mindful Diet: Ketika Makanan Mempengaruhi Perilaku Kita (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Dalam bukunya yang berjudul Gut and Psychology Syndrome (2004), Dr. Natasha Campbel-McBride menyatakan bahwa makanan yang mengandung kasein dan gluten dicurigai dapat mempengaruhi kesehatan usus pada orang-orang tertentu, terutama pada penderita autis.

Kasein adalah protein yang terkandung dalam susu dan produk makanan dan oats, misalnya tepung terigu, roti, oatmeal dan mie instant. Bagi penderita autis, gluten dan kasein dianggap sebagai racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim untuk mencerna kedua jenis protein ini.

Akibatnya protein yang tercerna dengan baik akan diubah menjadi komponen kimia yang disebut opioid atau opiate. Opioid bersifat layaknya obat-obatan seperti opium, morfin, dan heroin yang bekerja sebagai toksin (racun) dan mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas.

Itulah mengapa, penderita gangguan perilaku yang terkait dengan gangguan pencernaan seperti autis disarankan untuk menjalani diet bebas gluten dan kasein atau diet GFCF (Gluten Free and Casein Free) selama 3-6 bulan. Ini merupakan contoh yang terjadi pada anak-anak, khususnya pengidap autisme.

Bagaimana dengan orang dewasa? Jawabnya adalah sama saja.

Makanan berpengaruh besar terhadap kondisi fisik dan psikologis seseorang. Pola makan yang buruk dan jenis makanan yang kurang bergizi lagi-lagi menjadi biang dari terganggungnya kinerja neurotransmitter di otak.

Kita ambil contoh makanan bergenre fast food yang tinggi kadar garamnya. Para ahli masak menemukan bahwa garam yang dihidangkan dalam kondisi panas bisa menambah rasa gurih makanan sebagaimana chinesse food yang menggunakan MSG.

Garam itu ada yang berbentuk kristal, setengah cair (semi liquid) dan cair (liquid). Garam yang berbentuk kristal akan menjadi semi liquid jika dipanaskan di atas suhu 100 derajat celcius. Saat dipanaskan, garam akan mengalami perubahan struktur molekul, sehingga cita rasanya tidak menempel di reseptor asin lidah, akan tetapi di reseptor umami yang mendeteksi rasa gurih serta kelezatan makanan.

Maka, jangan heran apabila yang namanya fast food selalu dihidangkan dalam kondisi panas. penyebabnya adalah karena rasa gurih dari makanan tersebut didapatkan dari garam semi liquid yang dipanaskan. Kalau dihidangkan dalam kondisi dingin, kelezatannya akan berkurang dan rasa asinnya akan sangat terasa.

Disadari atau tidak, dalam suasana kompetitif para produsen makanan, kadar garam yang dibubuhkan ke dalam masakan telah melebihi ambang batas. Alasannya adalah dengan semakin banyak garam yang dibubuhkan, semakin lezat pula cita rasa masakan yang dihidangkan.

Bayangkan kalau seseorang tiga kali dalam sehari makanannya fast food! Apa yang akan terjadi?

Kadar garam dalam tubuhnya akan terakumulasi melebihi batas normal. Kondisi ini pada akhirnya akan mendatangkan masalah serius bagi kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Masalah kesehatan tersebut antara lain: (1) obesitas alias kegemukan; (2) penyakit jantung, diabetes, serta darah tinggi; (3) depresi yang menyebabkan meningkatnya angka bunuh diri. Depresi ini akan menjadikan orang agresif dan mudah melakukan tindakan di luar kendali akal sehat, seperti membunuh atau bunuh diri.

<<< Halaman sebelumnya

Referensi:
Campbell-Mcbride, N. (2004). Gut and psychology syndrome: Natural treatment for autism, ADD/ADHD, dyslexia, dyspraxia, depression, schizophrenia. United Kingdom: Medinform Publishing.

Sumber gambar:
https://exploringyourmind.com/whats-the-relationship-between-emotions-and-obesity/

Mindful Diet: Ketika Makanan Mempengaruhi Perilaku Kita (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Makanan. Kenalkah Anda dengan ”benda” yang satu ini?

Sebagai manusia, tentu yang namanya ”makanan” tidak akan pernah terlewatkan oleh kita. Saking rutinnya, aktivitas mengonsumsi makanan pun jadi tampak tidak penting dan biasa-biasa saja. Padahal, proses “makan memakan” termasuk hal penting dalam hidup, karena selain menjaga kelangsungan hidup, makanan pun dapat mempengaruhi sikap dan perilaku. Baik dan buruknya kesehatan fisik dan perilaku seseorang, ternyata sangat dipengaruhi berkualitas tidaknya menu makanan yang dikonsumsinya.

Secara umum, makanan memiliki tiga fungsi atau manfaat bagi manusia.

Pertama, sebagai bahan baku penyokong tumbuh kembang manusia (building block) atau sebagai sarana untuk mengganti dan meremajakan sel-sel yang rusak, khususnya yang berbentuk protein dan lemak.

Kedua, sebagai bahan metabolisme, semisal proses gula menjadi enzim, bahan pembentuk neurotransmitter, dan sebagainya. 

Ketiga, secara nutrigenomik, bahan makanan dan pola makan pun dapat menentukan profil DNA (asam deoksiribonukleat) yang akan diekspresikan, sehingga ungkapan you’re what you eat memiliki dasar ilmiah yang kuat, bukan saja secara fisik tetapi juga perilaku.

Terkait manfaat ketiga, bahan makanan, cara makanan, ataupun pola makan merupakan sebuah sarana untuk melatih gen-gen yang baik agar dapat diekspresikan. Bahan makanan yang tepat dapat menentukan ekspresi DNA-DNA yang baik. Pepatah mengatakan bahwa "orang bodoh menjadikan hidupnya untuk makan, sedangkan orang cerdas menjadikan makan untuk (meningkatkan kualitas) hidup".

Pada tingkat DNA, makanan bisa berfungsi sebagai prekursor atau pendorong yang berfungsi sebagai bahan baku enzim yang memungkinkan DNA bisa terekspresikan. DNA dapat mengekspresikan sifat-sifat baik apabila DNA tersebut memiliki cukup energi untuk bekerja, dan energi ini didapatkan dari bahan makanan yang tepat.

Ketika seseorang menjalani prosesi makan secara baik (mindful eating), dan kemudian diulang menjadi sebuah pola kebiasaan, DNA baik ini cenderung untuk menjadi sensitif dan lebih dominan dibandingkan DNA lainnya. Ibarat seorang atlet yang paling serius berlatih, dialah yang akan paling menonjol dan memenangi pertandingan, seperti itu pula gen-gen yang ada dalam tubuh kita.

Sebuah pembelajaran kita dapatkan dari pola makan orang-orang zaman modern yang tidak sehat (terburu-buru) dan didominasi oleh aneka jenis makanan olahan yang mengandung bahan pengawat kimia. Hal tersebut mempengaruhi kualitas kesehatan fisik dan juga perilaku, walaupun kadarnya berbeda-beda antara setiap orang.

Mengapa demikian? 

Zat-zat aditif dan zat-zat kimia sintetis yang berada dalam makanan olahan memiliki sifat memblok atau mengganggu neurotransmitter di otak. Ia bekerja dengan cara meniru cara kerja neurotransmitter. Efek yang ditimbulkan dari banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung zat-zat aditif dan zat-zat sintetis ini adalah timbulnya perilaku yang tidak terkendali atau tidak diinginkan, seperti mudah marah, beringas atau loyo.

Bahan makanan tertentu seperti terigu, yang banyak terdapat dalam biskuit dan roti, atau susu dan makanan yang mengandung glutamat/ MSG, dapat pula menimbulkan gangguan perilaku pada orang-orang tertentu.

Halaman selanjutnya >>>

Sumber gambar:
https://exploringyourmind.com/whats-the-relationship-between-emotions-and-obesity/