Jumat, 19 September 2025

Mindful Journey: Kelana Berujung Otak Sehat dan Kinclong



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Adik bungsu saya itu salah satu contoh pribadi yang agak sulit diam. Selalu suka bepergian dan mencoba hal-hal yang baru. Jika di kota kami ada tempat makan atau ngopi yang sedang happening maka ia akan selalu berada di barisan kaum FOMO (fear of missing out) yang rela ngantri demi mendapatkan momen sebagai bagian dari kelompok masyarakat urban yang tercatat sudah pernah ke tempat itu.

Hal ini semacam aktualisasi diri sih kalau piturut Abraham Maslow. Suatu kebanggaan yang menandai eksistensi melalui representasi kehadiran di ruang publik dan media sosial yang menegasi kealpaan atau ketidakberadaan.

Maka bagi adik bungsu saya itu, penting sekali berfoto di tempat yang tengah menjadi buah bibir publik, dan mengunggahnya ke dunia maya, sekedar agar orang tahu bahwa ia masih ada.

Tak hanya tempat makan sih sebenarnya, totem itu bisa jadi adalah mall yang sedang viral, destinasi wisata yang trending topic, atau bahkan moda transportasi yang sedang jadi pusat atensi publik, contoh kereta cepat, LRT Jabodebek, atau MRT Jakarta. Kadang dalam konteks lebih makro, kawasan yang sedang hype seperti Blok M saat ini, menjadi tolok ukur seberapa eksis pribadi yang bersangkutan.

Tapi khusus kasus adik bungsu saya sebenarnya sih menurut saya masih relatif aman ya. Bagus malah. Karena dia tak begitu suka tempat-tempat yang glamor dan mewah, jadi fokusnya banyak ke alam dan suasana perdesaan, juga pantai dan pegunungan. Kalau di kota, paling senangnya di kedai kopi yang baru buka dan sedang menjadi percakapan karena diendorse oleh para influencer yang terdiri dari para TikToker, selebgram, sampai food vlogger di YouTube.

Tapi riset neurosains terkini menunjukkan bahwa hobi adek bungsu saya yang kalau nemu curug atau sungai yang jernih itu langsung masuk ke dugong mode, alias suka langsung nyemplung dan rendeman persis dugong, ternyata sangat baik untuk kesehatan dan kebugaran.

Apalagi kalau ke curugnya itu berjalan kaki lebih dari 5 km sambil melihat pemandangan yang indah di sepanjang jalurnya. Hal ini yang baru saja dialami oleh adik sepupu saya yang dekat sekali dengan saya hingga sudah seperti adik adopsi. Namanya Dira Sugandi, ia diva jazz Indonesia, dan ia baru saja mendaki gunung untuk pertama kalinya.

Dira sang Diva mendaki gunung Lawu lewat jalur Cetho, lumayan loh itu. Secara Candi Cetho sebagai titik awal pendakian itu berada di ketinggian 1496 mdpl, sedangkan Hargo Dumilah di puncak Lawu itu elevasinya adalah 3265 mdpl. Ada elevation gain setinggi 1769 meter yang Teh Dira harus perjuangkan dengan segenap daya tahan yang dimiliki untuk mengatasi rasa lelah dan juga kedinginan di hampir sepanjang perjalanan.

Tapi sekali lagi, jalan kaki, lari, dan mendatangi tempat baru yang penuh dengan misteri adalah hal-hal yang menyehatkan. Saat kita mengunjungi tempat baru, otak dibanjiri oleh pemandangan, suara, bau, dan pengalaman yang tidak biasa. Stimulasi ini mendorong neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk mereorganisasi dirinya dengan membentuk koneksi saraf baru. Setiap kali kita mencoba menavigasi jalan baru, memahami bahasa asing, atau mencicipi makanan yang berbeda, kita secara harfiah sedang membangun jalur-jalur baru di otak kita. Proses ini meningkatkan fungsi kognitif, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah.

Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa berjalan-jalan di alam, seperti di hutan atau di tepi pantai, juga naik gunung seperti Teh Dira, dapat menurunkan aktivitas di korteks prefrontal subgenual. Area otak ini sering kali sangat aktif ketika kita merasa sedih atau terus-menerus memikirkan hal-hal negatif (ruminasi). Dengan "menenangkan" area ini, berwisata di alam secara efektif mengurangi gejala stres dan depresi.

Di sisi lain, reward system di otak sangat bergantung pada neurotransmiter bernama dopamin. Proses merencanakan liburan, antisipasi menjelang keberangkatan, dan pengalaman menyenangkan saat berwisata itu sendiri memicu pelepasan dopamin. Inilah yang membuat kita merasa termotivasi, bersemangat, dan bahagia.

Sementara rutinitas keseharian kita dengan berbagai dinamika dan problematika klasik yang repetitif seperti kemacetan di jalan, tekanan pekerjaan, dan juga interaksi toksik kita dengan berbagai kondisi yang tidak ideal, akan terakumulasi sebagai tekanan jiwa yang berlebihan. Saat berada di bawah tekanan, kelenjar adrenal akan melepaskan kortisol.

Dalam jangka panjang, kadar kortisol yang tinggi dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk penambahan berat badan, tekanan darah tinggi/hipertensi, dan gangguan tidur. Berwisata, terutama ke lingkungan yang tenang dan alami, secara signifikan terbukti menurunkan kadar kortisol dalam darah. Menjauhkan diri secara fisik dari sumber stres (pekerjaan, rutinitas rumah) memberikan sinyal pada tubuh untuk berhenti memproduksi kortisol secara berlebihan.

Aktivitas fisik yang sering dilakukan saat berwisata, seperti berjalan kaki, mendaki, atau berenang, akan merangsang produksi endorfin. Hormon ini dikenal sebagai pereda nyeri alami dan peningkat suasana hati. Selain itu, paparan sinar matahari yang lebih banyak saat beraktivitas di luar ruangan membantu tubuh mengatur produksi serotonin, neurotransmiter yang krusial untuk perasaan sejahtera dan bahagia, serta melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur.

Tentu juga produksi vitamin D akan semakin baik lewat jalan-jalan dan pajanan sinar matahari ini ya. Vitamin D sendiri selain berperan penting dalam kesehatan tulang, juga dapat mempengaruhi kinerja sistem imun, karena vitamin D penting dalam proses mengaktifkan sel-sel imunitas seperti sel T, yang bertugas mengidentifikasi dan menyerang patogen penyebab penyakit.

Tak hanya itu saja, ternyata, kesehatan mental dan hormonal yang kita dapatkan dari berwisata memiliki dampak langsung pada kekuatan sistem imun kita. Seperti yang telah disebutkan, stres kronis dapat meningkatkan kadar kortisol. Salah satu efek negatif kortisol adalah kemampuannya untuk menekan efektivitas sistem imun. Dengan menurunkan kadar kortisol, berwisata secara tidak langsung "melepaskan rem" dari sistem kekebalan tubuh, memungkinkannya berfungsi lebih optimal untuk melawan infeksi dan peradangan.

Bepergian ke lingkungan yang berbeda, terutama lingkungan alami, membuat tubuh kita terpapar pada beragam jenis mikroorganisme (bakteri, jamur) yang baru. Paparan terhadap mikroba "baik"ini dapat membantu "melatih" dan mendiversifikasi mikrobioma usus dan kulit kita. Keanekaragaman mikrobioma yang lebih tinggi sering dikaitkan dengan sistem imun yang lebih kuat dan tangguh.

Bahkan aktivitas berinteraksi dengan alam ini, secara serius telah dikembangkan menjadi suatu metoda terapi di Jepang yang dikenal sebagai Shinrin Yoku. Dimana Shinrin-yoku, atau yang dikenal juga dengan istilah "forest bathing" adalah praktik terapi tradisional Jepang yang melibatkan interaksi penuh dengan alam, khususnya hutan, untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Istilah ini secara harfiah berarti "berendam dalam suasana hutan" atau "menyerap atmosfer hutan".

Praktik Shinrin Yoku ini melibatkan penggunaan seluruh panca indera untuk merasakan keindahan dan ketenangan hutan, seperti melihat pepohonan, mendengar suara burung, merasakan aroma tanah, dan menyentuh kulit kayu.

Shinrin-yoku sendiri pertama kali dicetuskan pada tahun 1982 oleh Tomohide Akiyama, direktur Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, sebagai upaya untuk mendorong masyarakat Jepang terhubung kembali dengan alam dan menjaga kelestarian hutan.

Karena Shinrin-yoku dipercaya dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi stres, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, memperbaiki suasana hati, dan memberikan efek positif pada kesehatan mental secara keseluruhan.

Hal yang tak kalah pentingnya dari berwisata dan jalan-jalan, khususnya adalah proses jalan kaki nya. Terlebih setelah paradigma lama bahwa otak adalah organ yang tak dapat beregenerasi mulai runtuh pada tahun 1960-an berkat karya perintis Joseph Altman dan Gopal Das. Menggunakan teknik autoradiografi dengan timidina berlabel tritium untuk menandai sel-sel yang membelah, mereka memberikan bukti pertama yang meyakinkan tentang adanya neurogenesis pasca-kelahiran, berupa pembentukan neuron baru di hipokampus dan bulbus olfaktorius otak tikus dewasa. Dan neurogenesis ini dipengaruhi oleh jalan kaki, olahraga aerobik, aktivitas luar ruang, wisata alam, dan juga asupan makanan.

Meskipun penemuan ini sangat revolusioner, penemuan tersebut sebagian besar diabaikan selama beberapa dekade karena keterbatasan teknis dan skeptisisme yang mendalam dari komunitas ilmiah. Baru pada akhir 1990-an atau awal 2000-an, dengan munculnya teknik pelabelan yang lebih canggih seperti penggunaan analog timidin bromodeoxyuridine (BrdU) yang dikombinasikan dengan penanda protein spesifik sel, keberadaan Neurogenesis Hipokampus Dewasa (AHN) mulai dikenal secara luas.

Puncaknya adalah studi tahun 1998 oleh Peter Eriksson dan rekan-rekannya, yang untuk pertama kalinya memberikan bukti langsung neurogenesis di hipokampus manusia dewasa, menggunakan sampel otak post-mortem dari pasien kanker yang telah menerima infus BrdU.

Hipokampus adalah komponen integral dari sirkuit otak yang mengatur respons fisiologis dan perilaku terhadap stres. Salah satu fungsi utamanya adalah memberikan umpan balik negatif yang menghambat aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA), sistem neuroendokrin utama tubuh untuk respons stres.

Ketika dihadapkan pada stresor, hipotalamus akan melepaskan corticotropin-releasing factor (CRF), yang memicu kelenjar pituitari untuk melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Selanjutnya ACTH akan merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan glukokortikoid (kortisol pada manusia, kortikosteron pada hewan pengerat). Hipokampus, yang padat dengan reseptor glukokortikoid, mendeteksi peningkatan kadar hormon ini dan mengirimkan sinyal penghambatan kembali ke hipotalamus, sehingga mengurangi respon stres dan mengembalikan homeostasis.

Neurogenesis hipokampus dewasa (AHN) bukanlah proses yang statis; sebaliknya, ia sangat plastis dan responsif terhadap berbagai faktor endogen dan eksogen. Tingkat di mana neuron baru diproduksi dan bertahan hidup dapat dimodulasi secara dramatis oleh pengalaman, perilaku, dan keadaan fisiologis individu. Faktor-faktor ini dapat secara luas dikategorikan sebagai yang meningkatkan (up-regulasi) atau menurunkan (down-regulasi) AHN, menyoroti peran sentralnya sebagai integrator kesehatan otak dan tubuh secara keseluruhan.

Secara umum, AHN/adult hippocampus neurogenesis sangat penting untuk beberapa bentuk pembelajaran dan pembentukan memori yang bergantung pada hipokampus. Fungsi-fungsi ini termasuk memori spasial jangka panjang, memori episodik, dan pembelajaran asosiatif seperti pengkondisian ketakutan kontekstual. Mekanisme yang mendasari kontribusi ini terletak pada sifat unik dari neuron yang baru lahir. Selama beberapa minggu pertama setelah kelahirannya, neuron-neuron imatur ini melewati periode kritis plastisitas yang meningkat, yang sering disebut sebagai hyperexcitability.

Mereka memiliki resistansi membran yang lebih tinggi dan ambang batas yang lebih rendah untuk menginduksi potensiasi jangka panjang (LTP/long-term potentiation), sebuah mekanisme seluler yang mendasari pembelajaran dan memori.

Karakteristik ini membuat mereka lebih mungkin untuk diaktifkan oleh input baru yang masuk dari korteks entorhinal dan, akibatnya, lebih mungkin untuk direkrut dan diintegrasikan ke dalam jejak memori (engram) yang baru terbentuk.

Hubungannya dengan wisata dan olahraga apa ya? Kegiatan wisata, aktivitas luar ruang, dan olahraga (aerobik dan jalan kaki) telah terbukti dapat meningkatkan setiap tahap proses neurogenik, mulai dari proliferasi sel progenitor hingga kelangsungan hidup dan diferensiasi neuron baru. Mekanisme yang mendasari efek ini bersifat multifaset. Salah satu mediator utama adalah peningkatan ekspresi faktor pertumbuhan di hipokampus, terutama brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF).

Wisata dan olahraga juga dapat meningkatkan aliran darah serebral (CBF/cerebral blood flow) dan volume darah serebral (CBV/cerebral blood volume) ke hipokampus, yang meningkatkan pengiriman oksigen dan nutrisi ke niche neurogenik (tempat sel punca dan astrosit).

Selain itu, wisata dan olahraga juga melepaskan molekul pensinyalan dari otot (myokines) dan jaringan lain (exerkines) yang dapat melintasi sawar darah-otak dan mendorong plastisitas otak.

Dengan kata lain, wisata, aktivitas luar ruang, dan olahraga aerobik dapat mendorong terjadinya neurogenesis atau pembentukan sel-sel syaraf/neuron di area hipokampus kita yang pada gilirannya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas; dapat mereduksi atau mengurangi dampak stres, meningkatkan kapasitas belajar dan daya ingat, serta mencegah catastropic interference, dimana memori baru dapat mengeliminir memori lama. Karena mekanisme ini pula saat kita terus belajar, ilmu yang kita dapatkan akan terus bertambah secara akumulatif.

Terlebih jika pada saat kita berwisata lintas alam ke curug tersembunyi (hidden gem) atau naik turun gunung Lawu seperti yang dilakukan adik bungsu saya serta Terh Dira. Kita juga botram, alias piknik dengan membawa dan menikmati hidangan dengan dominasi muatan lokal yang sarat dengan kearifan geologis.

Makanan yang kaya akan polifenol, seperti flavonoid yang ditemukan dalam terong-terongan, teh hijau, dan coklat atau kopi, memiliki efek pro-neurogenik. Flavonoid ini dapat memodulasi jalur pensinyalan seluler (termasuk jalur BDNF) dan memberikan efek antioksidan dan anti-inflamasi yang melindungi niche neurogenik. Asam lemak omega-3, yang ditemukan pada ikan berlemak, juga mendukung AHN. Maka kalau berwisata nya ke pesisir jangan lupa bakar ikan Katombo atau Kembung, Bandeng yang kaya Omega-3, dan keluarga ikan karang seperti kerapu dan Kakatua.

Belum lagi jika lalapan yang dimakan selain mengandung prebiotik yang tepat, juga kaya akan probiotik seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium yang dapat membantu proses neurogenesis di otak, khususnya di hipokampus, hingga dapat meningkatkan cognitive reserve (kapasitas cadangan memori), dan pattern separation yang membuat kita dapat melakukan pengelolaan pengalaman dan membandingkan pelajaran dari berbagai kasus dalam kehidupan.

Intinya, petualangan ala Dugong adik bungsu saya, ataupun naik turun gunung ala Mbak Dira, bahkan jalan kaki 30-40 menit sehari itu banyak sekali manfaatnya. Otak jadi makin kinclong, metabolisme dan sistem sirkulasi jantung dan pembuluh darah baik, imunitas meningkat, dan stresspun menjauh.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Kamis, 18 September 2025

Thawaf Suci



Oleh Duddy Fachrudin 

Apakah yang paling dibenci oleh manusia?

Pertanyaan itu kemudian direspon dengan jawaban: keinginannya tidak tercapai.

Memang tidak semua menjawab dengan hal tersebut. Tapi selalu ada orang yang menjawab seperti itu.

Terjadi kesenjangan ataupun gap yang kerap kemudian menggerus keseimbangan jiwa. Mode anak dalam tubuh dewasa manusia meronta berharap ia bisa mendapatkan apa yang dipinta. Namun apa daya, realita tak seindah harapnya.

Sebelas tahun lalu saya berada di Lawang, Malang. Bukan untuk mendaki Gunung Arjuno-Welirang, melainkan belajar pada mereka yang jiwanya gersang.

RSJ Radjiman Wediodiningrat pagi itu seperti biasa ramai. Salah satu bangsal yang saya jumpai pun menampakkan keceriaan. Penghuninya menyapa kami, beberapa melemparkan canda.

Ada seorang pasien, usianya masih sangat muda. Ia bercerita tentang mimpi dan cita-citanya. Sayangnya, itu hanya ada dalam angannya. Entah persisnya peristiwa seperti apa yang terjadi, namun dukungan keluarga tentang cita-citanya seolah tak ada.

Ketidakmampuan dalam menerima realita yang membawanya kemudian "menggelandang" di jalanan sampai akhirnya "tinggal sejenak" di rumah sakit itu. Sebagai sesama "gelandangan", saya sangat memahami perasannya. Kecewa pasti, kesal iya. Segala rasa berkecamuk mencambuk hati hingga terluka.

Namun ini hanya akan terus menambah derita ketika kita larut dan termelekati serta tidak belajar untuk ikhlas menerima. Tuhan kuatkan aku untuk mengubah hal-hal yang dapat aku ubah, ikhlaskan aku untuk menerima yang tidak dapat aku ubah.

Menerima bukan berarti pasrah dengan keadaan begitu saja. Melainkan dengan kesadaran mengijinkan segala rasa itu hadir, tanpa penolakan apalagi penghakiman. Di sinilah kejernihan hati dan pikiran dibutuhkan. Dan jernihkan pikiran serta hatiku untuk dapat membedakan keduanya.

Maka kita perlu belajar pada mereka yang thawaf saat berhaji. Berjalan mengelilingi ka'bah sebanyak tujuh kali yang esensinya ialah memusatkan diri pada kesejatian. Mengapa? Karena acapkali hidup yang dijalani hanya berfokus pada diri saja. Manusia sebagai pusatnya. Sehingga ketika kebutuhan diri tak terpenuhi yang ada adalah emosi tak terkendali.
 

Meletakkan segala ingin, dan mengijinkan diri untuk ridha dengan segala kehendak-Nya ternyata kunci untuk bisa bertumbuh sebagai manusia. Pada akhirnya manusia itu kelak memiliki jiwa sindara (sindoro: suci).

Lalu hatipun bertanya: bagaimana caranya? Bagaimana saya bisa meletakkan dan bisa menjadi manusia yang ridha?

Sumber video:

Minggu, 18 Mei 2025

Wellness Trip: Merajut Makna di Rute Rahasia


Oleh Duddy Fachrudin 

"Life was like a box of chocolates. You never know what you're gonna get." (Forrest Gump)

Apa jadinya jika kita sudah mengetahui apa yang akan hadir dalam kehidupan kita, seperti halnya rezeki, jodoh, dan segala takdir? 

Monkey D. Luffy akan berhenti berlayar mengarungi lautan jika ia mengetahui seperti apa wujud dari One Piece, harta karun berharga dambaan semua bajak laut. "Aku akan berhenti menjadi bajak laut! Aku tidak ingin melakukan petualangan yang membosankan seperti itu!" kata Luffy.

Hidup menjadi menarik saat segalanya masih menjadi misteri. Dan karena itu pula manusia diperjalankan oleh Tuhan untuk menyibak rahasia demi rahasia yang telah disiapkan oleh-Nya.

Dan untuk melakukan perjalanan itu diperlukan sumberdaya sehingga manusia mampu menempuhnya sengan riang dan suka cita. Segala potensi berupa penglihatan, pendengaran, serta hati ibarat air telaga yang kemudian dibawa dalam perjalanan hidup manusia. Pun potensi kebaikan atau senantiasa berada di jalan yang lurus (hanif) merupakan karakter default yang sudah ditanamkan oleh Sang Pencipta.

Inilah modal utama manusia untuk mengarungi kehidupan yang serba tidak pasti. Apalagi perjalanan mengharuskan kita melewati rimba yang asing dan menyusuri goa yang gelap. Kemampuan untuk senantiasa sadar amat sangat diperlukan. Di sinilah kita perlu hati-hati dan selalu wawas akan diri.

Mengawasi dan mengamati segala lintasan pikiran yang bisa mendistraksi dari tujuan utama kita menyibak misteri dan rahasia. Ketidakmampuan kita dalam niteni dapat menggoyahkan keseimbangan yang mengakibatkan kita tergelincir dan jatuh ke lorong vertikal goa. Sampai akhirnya manusia sadar bahwa ternyata waktu hidup di dunianya telah habis dan belum menemukan tujuan yang sesungguhnya.

Begitulah perjalanan dengan segala tantantangannya. Bahkan setelah kita berhasil melewati goa dan kembali mendapatkan sapa dari cahaya matahari, kita beranggapan perjalanan kita sudah usai. Padahal "One Piece" nya belum ditemukan.

Lalu sebenarnya dimana lokasi harta karun itu?

Sang Maulana bertutur:
Ayat-ayat Tuhan itu tersimpan di hati langit yang paling rahasia.

Batin mengatakan:
Rasanya tidak mungkin kita mengjangkaunya. Adalah kemustahilan untuk meneruskan perjalanan ini. Apalagi disorientasi kemudian hadir mengaburkan visi.

Maka memeluk diri kemudian bersandar pada pinus yang kaya akan fitonsida merupakan jeda untuk mengisi kembali energi yang terkuras. Tak ketinggalan pula untuk bercerita dalam kata di selembar surat cinta tentang segala yang telah dijalani:

"Hai kamu... Terima kasih sudah menjadi manusia. Apapun yang telah dilalui itu membuatmu semakin menjadi manusia. Dan perjalanan ini... masih berlanjut, kita akan melangkah bersama di kehidupan yang penuh rahasia dan menawarkan berbagai kejutan."

Perjalanan pun dilanjutkan untuk menemukan rahasia demi rahasia kehidupan. Dan seperti kata Forrest Gump, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita dapatkan. Asyik, bukan?

Sistem navigasi pelayaran niscaya dan perlu ada agar di setiap langkah perjalanan berujung berkah. Di persimpangan manusia mampu untuk mengambil keputusan yang tepat sehingga meminimalisir tersesat. Meletakkan ego dan meminta bantuan kepada orang lain atau masyarakat bukan berarti menurunkan derajat.

Manusia sejatinya adalah arkeolog yang melakukan ekskavasi untuk mengetahui sejarah dan budaya peradaban serta harta karun tersembunyi. Maka menyusuri rimba dan goa merupakan bentuk syukur dan cinta kepada Sang Maha.

Dikisahkan terdapat sebuah peninggalan peninggalan kerajaan di masa lalu. Warisan tersebut adalah harta karun yang paling berharga. Para arkeolog di seluruh dunia mencarinya karena mendengar kabar bahwa dengan memiliki harta karun itu akan membuatnya bahagia .

Sampai akhirnya, seorang arkeolog bersama-sama berhasil menemukannya di kedalaman 100 meter dari permukaan bumi di dekat istana kerajaan.

Harta karun itu disimpan dalam sebuah kotak yang digembok dengan sangat kuatnya. Perlu satu hari sang arkeolog serta bekerja untuk membuka kotak itu.

Akhirnya kotak itu terbuka... dan isinya adalah... bukan emas, bukan perak, bukan pula permata kerajaan, melainkan sebuah batu pipih yang lebar berwarna putih yang ditulis dengan huruf Cina kuno.

Tulisan tersebut ternyata berupa 3 pertanyaan kaisar. Berikut pertanyaannya:
1. Kapan saat-saat paling penting dalam hidupku?
2. Siapakah orang yang paling penting dalam kehidupan?
3. Pekerjaan apa yang paling penting di dunia ini?


Arkeolog dengan dibantu seorang ahli bahasa menyelesaikan membaca ketiga pertanyaan itu. Ia tampak bingung dan berkata dalam hati, 'Apa maksud dari pertanyaan-pertanyaan ini?'

Karena bingung ia meletakkan kembali batu itu ke dalam kotak. Saat ia mengembalikan batu ke dalam kotak, ia melihat rangkaian kalimat yang ditulis sangat kecil. Secara langsung saja, ia memberi tahu ahli bahasa dan meminta untuk membacakan kalimat-kalimat itu.

Secara hati-hati, dengan menggunakan kaca pembesar ia mengucapkan kata demi kata:
1. Saat-saat terindah dalam hidupku adalah saat ini
2. Orang yang paling penting dalam hidupku adalah siapa pun orang yang bersamaku saat ini
3. Pekerjaan yang paling penting di dunia adalah melayani


Tak terasa kita sampai di penghujung kisah. Air terjun kehidupan yang tersembunyi di sudut pegunungan telah kita temukan. Dan kelak suatu saat kita akan bercerita kepada mereka tentang perjalanan rute rahasia.

Sumber gambar:
Wellness Trip Batch 7: Jelajah Rute Rahasia, Dokumentasi pribadi

Rabu, 22 Januari 2025

Menyelami Sejenak Ruang Bernama Kehidupan #bagian 1

Oleh Duddy Fachrudin 

Di akhir tahun saya mendapat tawaran mengajar psikologi untuk korporasi di empat daerah negeri ini. Dua diantaranya di luar pulau Jawa. Alhamdulillah, dari keempatnya terealisasi satu saja.

Jika keempatnya terlaksana tentu sangat senang sekali. Apalagi psikologi sebagai fondasi dalam menjalani kehidupan ini diperlukan setiap orang di jaman yang serba tak pasti. Namun karena ketidakpastian pula, ketiganya urung terjadi.

Dalam kondisi seperti ini yang bisa dilakukan hanya menerima, bahwa segalanya tidak sesuai rencana, sambil kemudian terus menata, memperbaiki diri dari ke hari sehingga siap untuk menyambut mentari.

Meski, setiap hari bisa saja yang datang tak hanya mentari. Mungkin ia yang hadir adalah kecewa dan rasa frustasi. Atau cemas serta depresi. Kata Rumi, mereka semua merupakan tamu yang perlu disambut dengan hangat dan riang gembira. Memeluk derita sama halnya merangkul bahagia.

Namun, bagaimana mungkin orang biasa seperti Judin paham mengenai konsep itu. Laki-laki yang hanya berpenghasilan 30 ribu per harinya itu harus menghadapi kenyataan yang menyayat sendinya. Hutang yang menumpuk diwariskan oleh orangtuanya. Sejak ayahnya meninggal, ia mengambil alih nahkoda rumah tangga yang oleng bagaikan Titanic setelah menabrak gunung es di lautan luas itu.

Sore itu ditemani Juwita, Judin mengungkapkan gelisahnya. “Sebenarnya kalau mau kita bertiga, ya kakak dan adikku berjuang bersama melunasi hutang-hutang itu.”

“Mbok sendiri bagaimana?” tanya Juwita.

Dalam duduknya Judin mengehela nafas teringat keinginan kuliahnya dicegah oleh ibunya sendiri. Kedua tangannya menyangga tubuhnya yang ringkih. “Andai saja aku kuliah Wit! Setidaknya aku bisa memperbaiki keadaan sekarang.”

Berkali-kali Judin menilai dirinya bodoh dan tak bisa apa-apa. Namun dibalik itu ia yang menanggung segalanya.

Kehidupan itu… sebenarnya apa? Tanya Judin dalam relung hatinya. Sementara senja mulai menyapa dirinya serta Juwita.

Pun tanya itu pula yang kemudian direnungkan oleh para pembelajar dari berbagai generasi di sebuah korporasi, suatu hari akhir tahun itu.

“Perjalanan!” seru seorang anak muda. Di satu sisi, seorang laki-laki berusia 50an, berkata bahwa hidup ialah kebersyukuran.

“Hidup itu stres ya Wit,” Judin kembali mengungkapkan keluhnya.

Bersambung…

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Sabtu, 28 Desember 2024

Kekuatan Afirmasi


Oleh Duddy Fachrudin & Mindfulnesia Walking Group 

Dalam memotivasi diri serta orang lain, kata-kata menjadi sarana yang bisa menjadi catudaya penggerak mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Buku “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” memberikan banyak contoh bagaimana afirmasi melalui kata-kata sangat dianjurkan untuk diucapkan. Seperti kisah One Piece, dimana Luffy seringkali berkata “Aku akan menjadi Raja Bajak Laut!”. Meski kemudian diremehkan dan ditertawakan, nyatanya sugesti tersebut menjadi bagian pelayaran serta petualangan yang tidak mudah dan penuh dengan tantangan.

Contoh lainnya yang dituliskan dalam buku tersebut ialah afirmasi yang selalu diucapkan oleh Mohammad Ali saat bertanding melawan George Foreman. Pertandingan itu ibarat David versus Goliath, karena Big Foreman sepertinya akan mudah meng-KO Ali yang “kecil”. Namun rupanya Ali memiliki strategi yang tiada lain mengucapkan kata-kata penuh energi. “Ayo, mana pukulanmu!”, “Pukulanmu tidak menyakitiku!”, Ali mengatakannya sembari memamerkan moncongnya di depan Foreman. Prediksi KO memang benar terjadi. Tapi berlaku untuk Foreman. Ali berhasil memukul telak lawannya di ronde ke-8, setelah sebelumnya “hanya” menghindar dari hantaman Foreman[1].

Sebagai pendaki gunung jelata yang gear pendakiannya apa adanya, afirmasi ke diri juga sangat mempengaruhi. Contoh saja begini: “Puncak memang bukan tujuan, tapi tidak sampai puncak keterlaluan”. Atau saat lelah melanda hati ini kemudian berkata, “Sedikit lagi!”. Dan benar saja saat energi sepertinya sudah habis, tiba-tiba tubuh kemudian bangkit dan melangkah lagi.

Dan sekali lagi, kekuatan kata-kata digunakan dalam pendakian kali ini. Pendakian yang dibilang tidak sulit karena gunung yang didaki bukan gunung yang berketinggian 3000 mdpl. Bukan juga 1000 hingga 2000-an mdpl dengan jalur yang “pedas”. Gunung ini, atau lebih layak disebut bukit berketinggian 451 mdpl. Jajar Sinapeul namanya.

Pendakian kali ini bertajuk “Mindfulnesia Trail Walk”, tujuannya untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental. Karena jalan kaki sendiri memang salah satu aktivitas fisik yang mudah dan murah, serta memiliki manfaat yang bagus sekali dalam meregulasi emosi. Bahkan berjalan kaki selama 10 menit saja dapat meningkatkan energi serta kualitas suasana hati[2].

Puncak Gunung Sinapeul. Itulah tujuan kami. Lokasinya tepat di atas Desa Ujungberung Blok Sinapeul. Terdapat dua cara menujunya dari rumah. Pertama ialah menggunakan kendaraan selama 20 menit dan menitipkannya di salah satu rumah warga. Kedua melalui berjalan kaki selama 2 jam menyusuri kampung, sawah, kebun, bukit kuda, hingga akhirnya tiba di blok Sinapeul. Kami memutuskan untuk menggunakan cara kedua.

Setelah hampir 10 km berjalan kaki, kami tiba di lokasi. Suatu kawasan wisata durian yang terkenal di Kabupaten Majalengka. Sebelum melanjutkan perjalanan menuju Puncak Jajar Sinapeul, kami beristirahat ditemani serabi hangat yang begitu lezat. Sekitar pukul 10.15 kami berjalan kembali dimulai dengan menyusuri kebun durian. Beberapa petani durian dijumpai, salah satunya yang kemudian bertanya tentang perjalanan kami. “Mau ke puncak Pak,” ujar kami. Dengan wajah ceria dan semangat, bapak itu membalas, “Bala…!”.

Bala. Terheran-heranlah Azru, Reno, dan Tamami. Ketiga anak muda yang berapi-api itu lantas bertanya kepada saya makna kata “bala”. Karena bapak tersebut mengucapkannya dengan wajah yang sumringah, maka saya mengira-ngira saja maknanya. “Artinya hebat, keren!” ujar saya.

Hebat. Pendakian yang keren, karena tidak ada orang lain yang mendaki saat itu. Hanya kami berempat. Kata “hebat” menjadi afirmasi sepanjang perjalanan pendakian. Sehingga segala rintangan yang menghadang, baik itu rasa lelah, medan yang curam, serbuan nyamuk, serta keinginan untuk berhenti dari mendaki bisa teratasi. Afirmasi “hebat dan keren” benar-benar ampuh menjadi catudaya “menaklukan” Gunung Jajar Sinapeul.

Gunung ini sunyi dan sepi. Sudah tidak banyak yang mendaki karena tidak ada lagi yang mengelola. Gunung ini ramai dikunjungi 4 hingga 2 tahun lalu di era pandemi. Penduduk lokal membuat jalur pendakian dan menatanya. Beberapa video pendakian Gunung Jajar Sinapeul bisa dilihat di Youtube dimana jalur pendakian jelas dan tertata rapih. Di Puncak Jajar Sinapeul, atap Jawa Barat Gunung Ciremai terlihat begitu gagah dan megah. Sementara jajaran gunung di perbatasan Cirebon Barat-Majalengka amat menawan, bagaikan Raja Ampat.

Bala. Kata itu kembali terngiang selama turun dari puncak. Langit mulai gelap yang membuat kami perlu bergegas. Namun sayangnya yang dihadapi ialah turunan curam penuh dengan dedaunan berserakan. Salah melangkah, tubuh bisa hilang keseimbangan lalu terperosok ke bawah. Meski ingin bergerak cepat, kenyataannya justru melambat.

Bala. Benarkah artinya keren atau hebat?

Hujan akhirnya mengguyur bumi. Untungnya kami sudah melalui turunan curam berduri itu. “Kita benar-benar bala! Hebat!” Apalagi Tamami dan Azru baru pertama kali naik gunung. Sementara Reno tidak menyangka medan Gunung Sinapeul diluar perkirannya. Dikiranya Sanghyangdora yang asyik dan ramah.

Bala. Akhirnya saya mencari tahu maknanya.

Bala seringkali digunakan pada kalimat “bala tantara…”, maka artinya bisa “pasukan”. Tapi sepertinya makna ini tidak sesuai dengan konteks pendakian. Sementara, bala dalam bahasa Sunda memiliki arti “berantakan”. Dalam kamus bahasa Sunda, bala memiliki arti: penuh rumput atau sampah serta bahaya.

Jadi… makna bala sejatinya suatu kondisi yang berantakan, awut-awutan, tidak tertata, tidak rapih seperti halnya gorengan bala-bala yang dibuat tanpa cetakan.

Selama perjalanan sendiri kami menjumpai jalur yang amat rimbun. Tumbuhan liar menutupi jalur pendakian. Daun-daun berserakan menutupi tanjakan/ turunan curam yang membahayakan. Sementara di jalur puncak yang menyerupai punggungan naga, ilalang menjulang setinggi badan sehingga menyulitkan pergerakan.

Ternyata… benar yang dikatakan bapak petani durian yang kami jumpai di awal pendakian. Bala pisan!
 
Referensi:
[1] Fachrudin, D. 10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia. Solo: Metagraf 2011.
[2] https://www.mentalhealth.org.uk/explore-mental-health/publications/how-look-after-your-mental-health-using-exercise#paragraph-18511

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/