Jumat, 19 September 2025

Mindful Journey: Kelana Berujung Otak Sehat dan Kinclong



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Adik bungsu saya itu salah satu contoh pribadi yang agak sulit diam. Selalu suka bepergian dan mencoba hal-hal yang baru. Jika di kota kami ada tempat makan atau ngopi yang sedang happening maka ia akan selalu berada di barisan kaum FOMO (fear of missing out) yang rela ngantri demi mendapatkan momen sebagai bagian dari kelompok masyarakat urban yang tercatat sudah pernah ke tempat itu.

Hal ini semacam aktualisasi diri sih kalau piturut Abraham Maslow. Suatu kebanggaan yang menandai eksistensi melalui representasi kehadiran di ruang publik dan media sosial yang menegasi kealpaan atau ketidakberadaan.

Maka bagi adik bungsu saya itu, penting sekali berfoto di tempat yang tengah menjadi buah bibir publik, dan mengunggahnya ke dunia maya, sekedar agar orang tahu bahwa ia masih ada.

Tak hanya tempat makan sih sebenarnya, totem itu bisa jadi adalah mall yang sedang viral, destinasi wisata yang trending topic, atau bahkan moda transportasi yang sedang jadi pusat atensi publik, contoh kereta cepat, LRT Jabodebek, atau MRT Jakarta. Kadang dalam konteks lebih makro, kawasan yang sedang hype seperti Blok M saat ini, menjadi tolok ukur seberapa eksis pribadi yang bersangkutan.

Tapi khusus kasus adik bungsu saya sebenarnya sih menurut saya masih relatif aman ya. Bagus malah. Karena dia tak begitu suka tempat-tempat yang glamor dan mewah, jadi fokusnya banyak ke alam dan suasana perdesaan, juga pantai dan pegunungan. Kalau di kota, paling senangnya di kedai kopi yang baru buka dan sedang menjadi percakapan karena diendorse oleh para influencer yang terdiri dari para TikToker, selebgram, sampai food vlogger di YouTube.

Tapi riset neurosains terkini menunjukkan bahwa hobi adek bungsu saya yang kalau nemu curug atau sungai yang jernih itu langsung masuk ke dugong mode, alias suka langsung nyemplung dan rendeman persis dugong, ternyata sangat baik untuk kesehatan dan kebugaran.

Apalagi kalau ke curugnya itu berjalan kaki lebih dari 5 km sambil melihat pemandangan yang indah di sepanjang jalurnya. Hal ini yang baru saja dialami oleh adik sepupu saya yang dekat sekali dengan saya hingga sudah seperti adik adopsi. Namanya Dira Sugandi, ia diva jazz Indonesia, dan ia baru saja mendaki gunung untuk pertama kalinya.

Dira sang Diva mendaki gunung Lawu lewat jalur Cetho, lumayan loh itu. Secara Candi Cetho sebagai titik awal pendakian itu berada di ketinggian 1496 mdpl, sedangkan Hargo Dumilah di puncak Lawu itu elevasinya adalah 3265 mdpl. Ada elevation gain setinggi 1769 meter yang Teh Dira harus perjuangkan dengan segenap daya tahan yang dimiliki untuk mengatasi rasa lelah dan juga kedinginan di hampir sepanjang perjalanan.

Tapi sekali lagi, jalan kaki, lari, dan mendatangi tempat baru yang penuh dengan misteri adalah hal-hal yang menyehatkan. Saat kita mengunjungi tempat baru, otak dibanjiri oleh pemandangan, suara, bau, dan pengalaman yang tidak biasa. Stimulasi ini mendorong neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk mereorganisasi dirinya dengan membentuk koneksi saraf baru. Setiap kali kita mencoba menavigasi jalan baru, memahami bahasa asing, atau mencicipi makanan yang berbeda, kita secara harfiah sedang membangun jalur-jalur baru di otak kita. Proses ini meningkatkan fungsi kognitif, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah.

Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa berjalan-jalan di alam, seperti di hutan atau di tepi pantai, juga naik gunung seperti Teh Dira, dapat menurunkan aktivitas di korteks prefrontal subgenual. Area otak ini sering kali sangat aktif ketika kita merasa sedih atau terus-menerus memikirkan hal-hal negatif (ruminasi). Dengan "menenangkan" area ini, berwisata di alam secara efektif mengurangi gejala stres dan depresi.

Di sisi lain, reward system di otak sangat bergantung pada neurotransmiter bernama dopamin. Proses merencanakan liburan, antisipasi menjelang keberangkatan, dan pengalaman menyenangkan saat berwisata itu sendiri memicu pelepasan dopamin. Inilah yang membuat kita merasa termotivasi, bersemangat, dan bahagia.

Sementara rutinitas keseharian kita dengan berbagai dinamika dan problematika klasik yang repetitif seperti kemacetan di jalan, tekanan pekerjaan, dan juga interaksi toksik kita dengan berbagai kondisi yang tidak ideal, akan terakumulasi sebagai tekanan jiwa yang berlebihan. Saat berada di bawah tekanan, kelenjar adrenal akan melepaskan kortisol.

Dalam jangka panjang, kadar kortisol yang tinggi dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk penambahan berat badan, tekanan darah tinggi/hipertensi, dan gangguan tidur. Berwisata, terutama ke lingkungan yang tenang dan alami, secara signifikan terbukti menurunkan kadar kortisol dalam darah. Menjauhkan diri secara fisik dari sumber stres (pekerjaan, rutinitas rumah) memberikan sinyal pada tubuh untuk berhenti memproduksi kortisol secara berlebihan.

Aktivitas fisik yang sering dilakukan saat berwisata, seperti berjalan kaki, mendaki, atau berenang, akan merangsang produksi endorfin. Hormon ini dikenal sebagai pereda nyeri alami dan peningkat suasana hati. Selain itu, paparan sinar matahari yang lebih banyak saat beraktivitas di luar ruangan membantu tubuh mengatur produksi serotonin, neurotransmiter yang krusial untuk perasaan sejahtera dan bahagia, serta melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur.

Tentu juga produksi vitamin D akan semakin baik lewat jalan-jalan dan pajanan sinar matahari ini ya. Vitamin D sendiri selain berperan penting dalam kesehatan tulang, juga dapat mempengaruhi kinerja sistem imun, karena vitamin D penting dalam proses mengaktifkan sel-sel imunitas seperti sel T, yang bertugas mengidentifikasi dan menyerang patogen penyebab penyakit.

Tak hanya itu saja, ternyata, kesehatan mental dan hormonal yang kita dapatkan dari berwisata memiliki dampak langsung pada kekuatan sistem imun kita. Seperti yang telah disebutkan, stres kronis dapat meningkatkan kadar kortisol. Salah satu efek negatif kortisol adalah kemampuannya untuk menekan efektivitas sistem imun. Dengan menurunkan kadar kortisol, berwisata secara tidak langsung "melepaskan rem" dari sistem kekebalan tubuh, memungkinkannya berfungsi lebih optimal untuk melawan infeksi dan peradangan.

Bepergian ke lingkungan yang berbeda, terutama lingkungan alami, membuat tubuh kita terpapar pada beragam jenis mikroorganisme (bakteri, jamur) yang baru. Paparan terhadap mikroba "baik"ini dapat membantu "melatih" dan mendiversifikasi mikrobioma usus dan kulit kita. Keanekaragaman mikrobioma yang lebih tinggi sering dikaitkan dengan sistem imun yang lebih kuat dan tangguh.

Bahkan aktivitas berinteraksi dengan alam ini, secara serius telah dikembangkan menjadi suatu metoda terapi di Jepang yang dikenal sebagai Shinrin Yoku. Dimana Shinrin-yoku, atau yang dikenal juga dengan istilah "forest bathing" adalah praktik terapi tradisional Jepang yang melibatkan interaksi penuh dengan alam, khususnya hutan, untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Istilah ini secara harfiah berarti "berendam dalam suasana hutan" atau "menyerap atmosfer hutan".

Praktik Shinrin Yoku ini melibatkan penggunaan seluruh panca indera untuk merasakan keindahan dan ketenangan hutan, seperti melihat pepohonan, mendengar suara burung, merasakan aroma tanah, dan menyentuh kulit kayu.

Shinrin-yoku sendiri pertama kali dicetuskan pada tahun 1982 oleh Tomohide Akiyama, direktur Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, sebagai upaya untuk mendorong masyarakat Jepang terhubung kembali dengan alam dan menjaga kelestarian hutan.

Karena Shinrin-yoku dipercaya dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi stres, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, memperbaiki suasana hati, dan memberikan efek positif pada kesehatan mental secara keseluruhan.

Hal yang tak kalah pentingnya dari berwisata dan jalan-jalan, khususnya adalah proses jalan kaki nya. Terlebih setelah paradigma lama bahwa otak adalah organ yang tak dapat beregenerasi mulai runtuh pada tahun 1960-an berkat karya perintis Joseph Altman dan Gopal Das. Menggunakan teknik autoradiografi dengan timidina berlabel tritium untuk menandai sel-sel yang membelah, mereka memberikan bukti pertama yang meyakinkan tentang adanya neurogenesis pasca-kelahiran, berupa pembentukan neuron baru di hipokampus dan bulbus olfaktorius otak tikus dewasa. Dan neurogenesis ini dipengaruhi oleh jalan kaki, olahraga aerobik, aktivitas luar ruang, wisata alam, dan juga asupan makanan.

Meskipun penemuan ini sangat revolusioner, penemuan tersebut sebagian besar diabaikan selama beberapa dekade karena keterbatasan teknis dan skeptisisme yang mendalam dari komunitas ilmiah. Baru pada akhir 1990-an atau awal 2000-an, dengan munculnya teknik pelabelan yang lebih canggih seperti penggunaan analog timidin bromodeoxyuridine (BrdU) yang dikombinasikan dengan penanda protein spesifik sel, keberadaan Neurogenesis Hipokampus Dewasa (AHN) mulai dikenal secara luas.

Puncaknya adalah studi tahun 1998 oleh Peter Eriksson dan rekan-rekannya, yang untuk pertama kalinya memberikan bukti langsung neurogenesis di hipokampus manusia dewasa, menggunakan sampel otak post-mortem dari pasien kanker yang telah menerima infus BrdU.

Hipokampus adalah komponen integral dari sirkuit otak yang mengatur respons fisiologis dan perilaku terhadap stres. Salah satu fungsi utamanya adalah memberikan umpan balik negatif yang menghambat aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA), sistem neuroendokrin utama tubuh untuk respons stres.

Ketika dihadapkan pada stresor, hipotalamus akan melepaskan corticotropin-releasing factor (CRF), yang memicu kelenjar pituitari untuk melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Selanjutnya ACTH akan merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan glukokortikoid (kortisol pada manusia, kortikosteron pada hewan pengerat). Hipokampus, yang padat dengan reseptor glukokortikoid, mendeteksi peningkatan kadar hormon ini dan mengirimkan sinyal penghambatan kembali ke hipotalamus, sehingga mengurangi respon stres dan mengembalikan homeostasis.

Neurogenesis hipokampus dewasa (AHN) bukanlah proses yang statis; sebaliknya, ia sangat plastis dan responsif terhadap berbagai faktor endogen dan eksogen. Tingkat di mana neuron baru diproduksi dan bertahan hidup dapat dimodulasi secara dramatis oleh pengalaman, perilaku, dan keadaan fisiologis individu. Faktor-faktor ini dapat secara luas dikategorikan sebagai yang meningkatkan (up-regulasi) atau menurunkan (down-regulasi) AHN, menyoroti peran sentralnya sebagai integrator kesehatan otak dan tubuh secara keseluruhan.

Secara umum, AHN/adult hippocampus neurogenesis sangat penting untuk beberapa bentuk pembelajaran dan pembentukan memori yang bergantung pada hipokampus. Fungsi-fungsi ini termasuk memori spasial jangka panjang, memori episodik, dan pembelajaran asosiatif seperti pengkondisian ketakutan kontekstual. Mekanisme yang mendasari kontribusi ini terletak pada sifat unik dari neuron yang baru lahir. Selama beberapa minggu pertama setelah kelahirannya, neuron-neuron imatur ini melewati periode kritis plastisitas yang meningkat, yang sering disebut sebagai hyperexcitability.

Mereka memiliki resistansi membran yang lebih tinggi dan ambang batas yang lebih rendah untuk menginduksi potensiasi jangka panjang (LTP/long-term potentiation), sebuah mekanisme seluler yang mendasari pembelajaran dan memori.

Karakteristik ini membuat mereka lebih mungkin untuk diaktifkan oleh input baru yang masuk dari korteks entorhinal dan, akibatnya, lebih mungkin untuk direkrut dan diintegrasikan ke dalam jejak memori (engram) yang baru terbentuk.

Hubungannya dengan wisata dan olahraga apa ya? Kegiatan wisata, aktivitas luar ruang, dan olahraga (aerobik dan jalan kaki) telah terbukti dapat meningkatkan setiap tahap proses neurogenik, mulai dari proliferasi sel progenitor hingga kelangsungan hidup dan diferensiasi neuron baru. Mekanisme yang mendasari efek ini bersifat multifaset. Salah satu mediator utama adalah peningkatan ekspresi faktor pertumbuhan di hipokampus, terutama brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF).

Wisata dan olahraga juga dapat meningkatkan aliran darah serebral (CBF/cerebral blood flow) dan volume darah serebral (CBV/cerebral blood volume) ke hipokampus, yang meningkatkan pengiriman oksigen dan nutrisi ke niche neurogenik (tempat sel punca dan astrosit).

Selain itu, wisata dan olahraga juga melepaskan molekul pensinyalan dari otot (myokines) dan jaringan lain (exerkines) yang dapat melintasi sawar darah-otak dan mendorong plastisitas otak.

Dengan kata lain, wisata, aktivitas luar ruang, dan olahraga aerobik dapat mendorong terjadinya neurogenesis atau pembentukan sel-sel syaraf/neuron di area hipokampus kita yang pada gilirannya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas; dapat mereduksi atau mengurangi dampak stres, meningkatkan kapasitas belajar dan daya ingat, serta mencegah catastropic interference, dimana memori baru dapat mengeliminir memori lama. Karena mekanisme ini pula saat kita terus belajar, ilmu yang kita dapatkan akan terus bertambah secara akumulatif.

Terlebih jika pada saat kita berwisata lintas alam ke curug tersembunyi (hidden gem) atau naik turun gunung Lawu seperti yang dilakukan adik bungsu saya serta Terh Dira. Kita juga botram, alias piknik dengan membawa dan menikmati hidangan dengan dominasi muatan lokal yang sarat dengan kearifan geologis.

Makanan yang kaya akan polifenol, seperti flavonoid yang ditemukan dalam terong-terongan, teh hijau, dan coklat atau kopi, memiliki efek pro-neurogenik. Flavonoid ini dapat memodulasi jalur pensinyalan seluler (termasuk jalur BDNF) dan memberikan efek antioksidan dan anti-inflamasi yang melindungi niche neurogenik. Asam lemak omega-3, yang ditemukan pada ikan berlemak, juga mendukung AHN. Maka kalau berwisata nya ke pesisir jangan lupa bakar ikan Katombo atau Kembung, Bandeng yang kaya Omega-3, dan keluarga ikan karang seperti kerapu dan Kakatua.

Belum lagi jika lalapan yang dimakan selain mengandung prebiotik yang tepat, juga kaya akan probiotik seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium yang dapat membantu proses neurogenesis di otak, khususnya di hipokampus, hingga dapat meningkatkan cognitive reserve (kapasitas cadangan memori), dan pattern separation yang membuat kita dapat melakukan pengelolaan pengalaman dan membandingkan pelajaran dari berbagai kasus dalam kehidupan.

Intinya, petualangan ala Dugong adik bungsu saya, ataupun naik turun gunung ala Mbak Dira, bahkan jalan kaki 30-40 menit sehari itu banyak sekali manfaatnya. Otak jadi makin kinclong, metabolisme dan sistem sirkulasi jantung dan pembuluh darah baik, imunitas meningkat, dan stresspun menjauh.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/
Share:

0 komentar:

Posting Komentar