Kamis, 18 September 2025

Thawaf Suci



Oleh Duddy Fachrudin 

Apakah yang paling dibenci oleh manusia?

Pertanyaan itu kemudian direspon dengan jawaban: keinginannya tidak tercapai.

Memang tidak semua menjawab dengan hal tersebut. Tapi selalu ada orang yang menjawab seperti itu.

Terjadi kesenjangan ataupun gap yang kerap kemudian menggerus keseimbangan jiwa. Mode anak dalam tubuh dewasa manusia meronta berharap ia bisa mendapatkan apa yang dipinta. Namun apa daya, realita tak seindah harapnya.

Sebelas tahun lalu saya berada di Lawang, Malang. Bukan untuk mendaki Gunung Arjuno-Welirang, melainkan belajar pada mereka yang jiwanya gersang.

RSJ Radjiman Wediodiningrat pagi itu seperti biasa ramai. Salah satu bangsal yang saya jumpai pun menampakkan keceriaan. Penghuninya menyapa kami, beberapa melemparkan canda.

Ada seorang pasien, usianya masih sangat muda. Ia bercerita tentang mimpi dan cita-citanya. Sayangnya, itu hanya ada dalam angannya. Entah persisnya peristiwa seperti apa yang terjadi, namun dukungan keluarga tentang cita-citanya seolah tak ada.

Ketidakmampuan dalam menerima realita yang membawanya kemudian "menggelandang" di jalanan sampai akhirnya "tinggal sejenak" di rumah sakit itu. Sebagai sesama "gelandangan", saya sangat memahami perasannya. Kecewa pasti, kesal iya. Segala rasa berkecamuk mencambuk hati hingga terluka.

Namun ini hanya akan terus menambah derita ketika kita larut dan termelekati serta tidak belajar untuk ikhlas menerima. Tuhan kuatkan aku untuk mengubah hal-hal yang dapat aku ubah, ikhlaskan aku untuk menerima yang tidak dapat aku ubah.

Menerima bukan berarti pasrah dengan keadaan begitu saja. Melainkan dengan kesadaran mengijinkan segala rasa itu hadir, tanpa penolakan apalagi penghakiman. Di sinilah kejernihan hati dan pikiran dibutuhkan. Dan jernihkan pikiran serta hatiku untuk dapat membedakan keduanya.

Maka kita perlu belajar pada mereka yang thawaf saat berhaji. Berjalan mengelilingi ka'bah sebanyak tujuh kali yang esensinya ialah memusatkan diri pada kesejatian. Mengapa? Karena acapkali hidup yang dijalani hanya berfokus pada diri saja. Manusia sebagai pusatnya. Sehingga ketika kebutuhan diri tak terpenuhi yang ada adalah emosi tak terkendali.
 

Meletakkan segala ingin, dan mengijinkan diri untuk ridha dengan segala kehendak-Nya ternyata kunci untuk bisa bertumbuh sebagai manusia. Pada akhirnya manusia itu kelak memiliki jiwa sindara (sindoro: suci).

Lalu hatipun bertanya: bagaimana caranya? Bagaimana saya bisa meletakkan dan bisa menjadi manusia yang ridha?

Sumber video:

Share:

0 komentar:

Posting Komentar