Sabtu, 17 Agustus 2024

Bula Buli dan Teori Imitasi



Oleh Duddy Fachrudin 

“Bula buli bula buli… muak kali aku dengernya… nggak kuat sekolah ya nggak usah daftar…” begitu kata seorang Internis, merespon berita dan fenomena mengenai bullying dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Komentar di story instagramnya itu pun viral dan kalau dipikir-pikir kalimat tersebut termasuk bullying kategori verbal… Mungkin, ya. Atau mungkin, bukan.

Ingatan saya melintas ke masa lalu. Saat masih duduk (dan juga pastinya berdiri) di bangku Sekolah Dasar. Kami saling bersaut memanggil nama satu sama lain dengan nama orangtua kami. Tidak setiap kali, tapi ya kadang-kadang… apakah itu juga termasuk bully?

Jadi apa sebenarnya bullying atau dalam bahasa Indonesia disebut perundungan?

Kamus Cambridge menyatakan perundungan adalah the behavior of person who hurts or frightens someone smaller or less powerful, often forcing that person to do something they do not want to do. Sementara American Psychological Association Association menyatakan perundungan sebagai a form of aggressive behavior in which someone intentionally and repeatedly causes another person injury or discomfort

Dari dua definisi ini setidaknya ada beberapa kata kunci mengenai bullying, yaitu perilaku yang menyakiti/ mengancam atau agresif, ditujukan kepada orang orang yang “less powerful” atau bahasa lain kurang memiliki kuasa/junior/lemah atau dilakukan oleh orang yang punya “power”, dan menghasilkan cedera atau ketidaknyamanan pada orang yang dilakukan perundungan. Perundungan sendiri bentuknya bisa berupa kekerasan fisik, emosional, seksual, verbal, dan pengabaian.

Maka kembali lagi pada kalimat “Bula buli bula buli… muak kali aku dengernya… nggak kuat sekolah ya nggak usah daftar…”, apakah itu termasuk:

Perilaku menyakiti atau agresif: ya. Karena kalimat tersebut diungkapkan di saat momen seorang residen PPDS meninggal dikarenakan faktor (salah satunya) tekanan dan perundungan saat menjalani program pendidikan.

Ditujukan kepada orang yang “less powerful”: secara umum ditujukan kepada netizen, dimana dilakukan oleh seorang yang memiliki gelar tinggi. Bisa ya.

Menghasilkan ketidaknyamanan: ya bagi sebagian besar netizen yang membacanya.

Kesimpulannya, kalimat “Bula buli bula buli… muak kali aku dengernya… nggak kuat sekolah ya nggak usah daftar…” termasuk perilaku perundungan. Bentuknya verbal.

Bagaimana kalimat “Bula buli bula buli…” bisa muncul. Mari kita sedikit belajar pada seorang jenius yang mengembangkan Social Learning Theory (SLT). Orang tersebut bernama Albert Bandura.

Pada SLT, perilaku individu tidak semena-mena hadir begitu saja, melainkan dipelajari dari orang lain. Teori ini berkembang dari eksperimen “Bobo Doll”, dimana seorang anak diberikan tayangan mengenai orang dewasa yang sedang memukul “bobo doll”. Setelah melihat video itu, sang anak diminta masuk ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya terdapat boneka bobo. Apa yang kemudian terjadi? Sang anak melakukan aktivitas persis yang dilakukan orang dewasa, yaitu memukul “bobo doll”.

Social Learning Theory disebut juga teori Modeling atau Imitating, karena orang lebih mudah belajar dengan meniru atau mengamati orang lain. Konsep ini dinamakan vicarious learning. Terdapat interaksi antara individu, perilaku, dan lingkungan, membentuk resiprokal triadik dalam sistem sosial. Manusia yang menciptakan sistem tersebut sekaligus produk darinya. Dan itu semua terjadi karena adanya model atau subjek yang ditiru.

Perundungan sistemik yang kronis, misal dalam suatu program pendidikan sulit dihilangkan karena hal itu berhubungan dengan kultur atau budaya pada sistem pendidikan tersebut. Maka narasi “harus kuat” dan “tahan banting” karena pekerjaanya nanti berat dan penuh tekanan seolah menjadi suatu kewajaran. Belum lagi bumbu-bumbu melakukan “pekerjaan ekstra” yang dianggap latihan supaya menjadi pribadi yang lebih kuat. Padahal mungkin pekerjaan "ekstra" itu tidak ada sangkut pautnya dengan perkuliahan yang sedang ditempuh. Dan semua ini diulang-ulang, berpuluh-puluh tahun. Ingat dalam SLT, manusia pencipta sekaligus produk dari sistem sosial.

Maka, Solusi dari masalah ini jika dikembalikan menurut konsep Bandura, ialah menciptakan sistem sosial baru. Diawali dengan seorang figur yang memberikan keteladanan, bagaimana mendidik secara humanis, mengembangkan kompetensi komunikasi yang empatis, dan menjalani profesi mulia seperti halnya dokter dengan tulus ikhlas layaknya filantropis. Para residen yang belajar kepadanya melalui observational learning kelak akan memproses pengalaman serta interaksi selama pembelajaran dalam aspek kognitifnya.

Bahkan mereka yang mencontoh model tersebut tidak hanya dapat mempelajari dan mengembangkan perilaku persis seperti figur yang dicontoh, melainkan pula menyelesaikan beragam masalah psikologis yang sebelumnya sudah dimilikinya, seperti kecemasan, kebingungan (krisis) akan kehidupan, dan ketidakmatangan dalam berpikir serta bertindak.

Pada akhirnya tulisan bula buli ini menghantarkan pada ayat Al-Qur’an yang berbunyi: Laqad kāna lakum fī rasụlillāhi uswatun ḥasanatul limang kāna yarjullāha wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā. (Al-Ahzab: 21)

Dan tentu saja: Iqra` (bacalah, simaklah, lihatlah, perhatikanlah, pelajarilah) bismi rabbikallażī khalaq. (Al-‘Alaq)

Sumber gambar: https://dads4kids.org.au/imitating-dad/

Share:

1 komentar: