Kamis, 17 Mei 2018

Melakukan Dengan Rasa, Bukan Karena Tuntutan (Pengalaman Berlatih Mindfulness)

Melakukan dengan Rasa

Oleh Sinka Mutasia

Saya tidak menyangka akan mendapatkan suatu sensasi, pengalaman, serta pembelajaran yang berharga ketika mengikuti pelatihan mindfulness ini.

Awalnya, saya hanya meniatkan diri untuk belajar mindfulness karena kepentingan tesis saya. Namun, ternyata, i really need it for my personal development, lebih dari sekedar tesis.

Sebagai gambaran saya termasuk orang yang memiliki energi besar, emosi yang cenderung mudah meledak, serta memiliki target dan ambisi yang tinggi. Saya juga berusaha mengontrol atau mengendalikan kehidupan saya.

Tapi, selama ini ternyata yang saya sebut-sebut mengontrol, pada kenyataannya adalah “menekan” bagian lain dari diri saya tersebut.

Maka tak heran, jika di satu waktu ia meledak. Keluar bagaikan monster. Dan saya menjadi seseorang yang seringkali menakutkan bahkan menyebalkan.

Dengan alasan idealis dan kebaikan, saya memaksakan kehendak saya untuk orang lain. Lalu saya suka menuntut diri sendiri mencapai target yang tinggi. Namun saya sendiri tidak siap menerima kegagalan ketika ambisi itu tidak tercapai.

Tuntutan bukan hanya datang dari diri sendiri, Tuntutan dari lingkungan pun seringkali mengganggu apa yang sedang saya lakukan.

Hasilnya: pikiran saya mengembara kemana-mana, saya tidak mendapatkan apa-apa, yang saya lakukan tidak selesai, waktu untuk keluarga kurang berkualitas. Yang saya rasakan hanya lelah.

Akhirnya saya menjadi orang yang frustasi, malas menetapkan target, menjalani hidup apa adanya tanpa tujuan. Lalu seringkali menilai tentang salah benar dan berhasil atau gagal sebelum melakukan sesuatu.

Dalam mindfulness sendiri menetapkan target itu tidak salah, hidup dengan tujuan itu perlu, tapi dibalik itu kita juga sudah menyiapkan penerimaan terhadap kemungkinan adanya kegagalan atau hal di luar ekspektasi kita. Itu dia yang tidak saya lakukan—penerimaan, yang sebelumnya hanya diucapkan di bibir, tapi tidak di hati dan pikiran saya.

Disinilah saya mulai belajar menyadari sebuah proses perjalanan hidup dan menata langkah dengan lebih mindful dengan penuh rasa yang lembut, tidak terburu-buru, dan penerimaan. Dan saya mulai belajar menikmati perjalanan ini.

Ketika mulai berlatih mindfulness, semuanya diajarkan untuk disadari, dan benar-benar merasakan apa yang kita lakukan sekarang.

Saya baru benar-benar merasakan kaki saya berpijak pada bumi, benar-benar berpijak, merasakan sejuknya tanah, menggelitiknya rumput, ranting-ranting dan buah pinus yang berjatuhan.

Dengan fokus pada apa yang saya dengar, saya menerima pikiran-pikiran yang datang, menaruhnya sejenak dan kembali pada apa yang saya kerjakan.

Lalu mendengar (kembali) sekeliling saya, mengatur nafas, merasakan udara yang saya hirup bersamaan dengan semilir angin juga suara-suara.

Kemudian benar-benar merasakan asamnya kismis dan tomat yang ternyata tidak seasam yang saya bayangkan.

Mengembangkan hidup yang mindful sungguh indah. Dan saya benar-benar bersyukur bisa mempelajari hal ini.

Hal terindah lainnya, yaitu dengan saya menerima permasalahan saya, maka itu terasa menjadi lebih ringan di pundak. Pikiran saya tidak semerawut seperti benang-benang kusut. Dan sekarang saya lebih mudah menelusurinya.

Kini, saya memperbaiki niat saya kembali ketika melakukan sesuatu. Berusaha untuk melakukannya dengan segenap perasaan saya dan menikmati tiap prosesnya. Berhenti sejenak jika ada pikiran bahkan penilaian yang mengganggu. Memberinya ruang untuk dipahami dan mengerti, kemudian biarkan ia menunggu sejenak disana. Dan saya kembali mengerjakan dan fokus apa yang sedang saya jalani sekarang.

Menikmati setiap jengkal proses perjalanan ini, menyadari dan menerima setiap permasalahan yang ada. Semua ini membuat hidup saya lebih bermakna, lebih bisa menjalani dan menikmati waktu serta peran dalam keluarga.

Pada akhir pelatihan, fasilitator yang mengajarkan kami mindfulness berpesan, “Lakukanlah, selesaikanlah... karena memang kita ingin menyelesaikan dengan seluruh perasaan kita, bukan karena tuntutan.”

Sumber gambar:
http://www.newsweek.com/2015/05/08/prosthetics-can-feel-thanks-science-touch-325752.html

Share:

0 komentar:

Posting Komentar