“Saya kecewa pada orangtua saya… karena mereka melahirkan saya.”
Bayangkan jika anak Anda berkata seperti itu, bagaimana reaksi Anda sebagai orangtua? Kesal, kecewa, marah, bingung, atau merasa bersalah?
Tapi nyatanya, kata-kata tersebut diucapkan seorang anak dengan kesungguhan hati dan kemantapan rasa.
Ialah Zain yang bertutur dengan jujur bagaimana kecewanya dirinya memiliki orangtua yang jauh dari cinta dan kasih sayang. Yang didapatkan dari orangtuanya adalah realita bahwa adiknya dijual oleh orangtuanya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Pikiran dan perasaanya berkecamuk. Mengamuk tiada henti menuntut tanggung jawab ayah ibunya yang semestinya hadir secara sadar sebagai orangtua yang ringan peluk.
Dengan usia masih 12 tahun, Zain meninggalkan rumah, kedua orangtuanya dan juga saudara-saudaranya, lalu menyambung hidup di jalanan.
Kisah Zain dalam Film Capernaum yang memenangkan berbagai ajang festival film internasional dan menjadi nominasi OSCAR tersebut suatu bentuk ketidaksiapan, kelalaian, hingga kekerasan orangtua terhadap anak.
World Health Organization (WHO) sendiri memaparkan bentuk kekerasan pada anak tidak hanya fisik, tapi juga seksual, emosional, eksploitasi, serta penelantaran. Sementara pelaku kekerasan paling banyak justru dilakukan oleh orangtua atau pengasuh anak (caregiver).
Kekerasan berdampak pada cedera fisik, trauma psikologis, kerusakan sistem saraf, kemampuan individu dalam mengatasi sebuah masalah, munculnya perilaku-perilaku yang tidak sehat, hingga tentu saja kematian.
Masih terngiang peristiwa pembacokan seorang anak SD di Depok oleh ayahnya di suatu pagi. Berawal dari cekcok dengan istrinya terkait pelunasan hutang dan keinginan sang istri untuk bercerai, kekerasan itu terjadi. Bukan hanya kepada istrinya, tapi juga anaknya yang mengakibatkan meninggalnya sang anak. Pagi yang semestinya ceria berubah menjadi kelabu.
Kekerasan, disfungsi keluarga, perceraian, dan perselingkuhan merupakan permasalahan yang kerapkali hadir pada individu dan kelompok dalam suatu naungan bernama keluarga atau pasangan yang telah menikah.
Kok bisa? Bukankah pernikahan adalah jalan menuju sakinah? Bahkan setiap ada yang menikah, orang-orang berdoa:
“Semoga Sakinah, Mawaddah, Warahmah.”
Nyatanya, tidak semua pernikahan maujud sesuai harapan yang telah dihaturkan.
Maka di sinilah kita perlu tafakkur sekaligus tadabbur mengenai Ar-Rum ayat 21:
Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untuk mu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (warahmah). Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.
Mawaddah dan Warahmah sebenarnya bekal yang sudah Allah siapkan menuju Sakinah. Artinya, Sakinah, ketenangan atau ketenteraman perlu diupayakan oleh manusianya sendiri melalui Mawaddah dan Warrahmah yang sudah ada dan disadari oleh manusia.
Maka doa semestinya:
“Melalui Mawaddah dan Warahmah, semoga engkau berdua menjadi dan istiqomah mewujudkan Sakinah.”
Sayangnya, acapkali manusila lupa atau alpa tidak menyadari hadirnya kasih sayang dan cinta yang senantiasa dihadirkan Allah Swt. Sehingga yang memenuhi ruang hatinya adalah rasa kecewa, kesal, dan amarah dalam menjalani biduk keluarga.
“Agar Layangan Tak Jadi Putus” mengajak agar setiap individu yang ada dalam keluarga, khususnya ayah dan bunda atau siapapun yang akan menikah untuk kembali ke “rumah” menyadari dan menerima Mawaddah dan Warahmah.
Saat kita menyadari keberadannya (cinta), maka berikutnya adalah mengelola dan menghadirkannya (kembali) dalam bentuk niat, pikiran, perasaan, hingga perilaku. Pada akhirnya, dengan rahmat, keberadaan kita dalam keluarga menjadi manfaat. Khoirunnas anfauhum linnas.
Melalui cinta pula, kita ikhlas menanam atau menandur untuk hari esok, Wal tandhur nafsum maa qaddamat ligad.
Suatu saat orangtua yang “menandur” kebaikan-kebaikan dan cinta melalui interaksi dan pengasuhan di dalam keluarga akan memanen hasilnya. Kapan? Entah. Tapi kelak, itu akan terjadi, seizin Allah Swt. tentunya.
Buku sederhana ini tidak membahas teori-teori. Buku ini hanyalah kumpulan hikmah-hikmah dari mindful couple dan mindful parenting yang mungkin genting untuk dipraktikkan sedikit demi sedikit agar pelayaran kehidupan pernikahan dan keluarga menjadi tidak mudah terombang-ambing apalagi terpelanting akan ganasnya badai. Dan yang juga tak kalah penting, supaya kita semua dapat berlabuh di Laguna Sakinah.
Ar-rahmaan, ‘allamal qur’aan.
Download Buku Mindfulness: Agar Layangan Tak Jadi Putus di sini