Tampilkan postingan dengan label Cyberspace. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cyberspace. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Agustus 2018

Ruang Antara The Age of Reason dan The Web of Significance (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Alam saiber yang sesungguhnya tanpa ruang ini juga melucuti dan menanggalkan segenap identitas dan karakter yang kita sematkan pada peran yang kita jalani dalam proses interaksi di dimensi materi. Anonimitas menjadi ciri pribadi virtual. Transparan sekaligus getas. Fleksibel sekaligus dapat mengeras.

Makhluk-makhluk di dunia daring bersifat invisible, alias tidak terlihat yang berkorelasi dengan hilangnya ketakutan untuk bertanggungjawab. Kejahatan lintas dimensi menjadi kehilangan aturan dan alat bukti. Semua ini pada gilirannya akan diikuti oleh terjadinya banjir bit yang terangkai sebagai informasi. Di tengah banjir informasi yang menyebabkan cognitive exhausted ini, ada beberapa informasi yang dapat "singgah" bahkan menetap di benak kita.

Priming. Tim dari Stanford memberi contoh kongkrit betapa otak manusia bekerja berdasarkan asumsi yang berbasis dari pengalaman dan informasi yang diterima sebelumnya.

Tim ini meminta kita untuk menatap sebuah gambar berupa bercak-bercak tinta di bidang putih dan entah apa yang terlintas di sistem asosiasi visual kita tentang bentuk apa yang tergambar di sana. Tapi sebuah petunjuk kecil yang menunjukkan adanya seekor anjing Dalmatian sedang merunduk dan minum akan membuat kita takkan pernah lagi lupa gambar apa itu sesungguhnya setiap kali gambar itu ditunjukkan pada kita.

Daerah visual primer yang telah mendapat asupan data dari beberapa area fungsi luhur (higher function) dan sistem memori akan selalu menampilkan interpretasi terhadap citra berdasar pengetahuan yang telah diinstalkan. Selain itu hasil riset menunjukkan bahwa karakter info yang bersifat trailer vision atau info yang bersifat suspense/ drama serta penuh kejutan disukai oleh otak kita.

Mengapa? Karena kita lelah dengan banjir data yang tak "menarik" untuk dianalisa. Kita perlu drama, kita perlu misteri, kita perlu kondisi "uncertainty". Karena kita berharap bahwa kejutan dapat menjadikan lini masa kehidupan kita akan dipenuhi letupan-letupan kecil kebahagiaan yang menjanjikan serangkaian kenikmatan.

Maka kita pun mengenal konsep loss aversion, rasa kehilangan pada "sesuatu" yang menurut kita "semestinya" menjadi milik kita. Maka sebagian dari kita menisbatkan ritual agama dan pengalaman spiritualitas adalah fragmen-fragmen kenikmatan yang dapat terus memberikan harapan dan menumbuhkan motivasi untuk terus dapat merasakan sensasinya.

Terdengar seperti seks dan judi ya? Atau kuliner dan petualangan ekstrem? Demikianlah kira-kira.

Penelitian di School of Medicine-nya University of Utah menunjukkan bahwa pengalaman spiritual terkait dengan simbol dan prosesi keagamaan pada probandus di sana mengaktivasi pusat reward yang bernama nukleus akumben dan daerah ventro medial prefrontal cortex (vmPFC) yang berfungsi sebagai pusat pemilahan, pembobotan, dan penilaian berkonotasi moral. Serta menyita perhatian karena teraktivasinya area focused attention yang secara anatomi dikenal sebagai inferior frontal junction. Konstruksi persepsi dari sensasi ini terbentuk antara lain karena konstruksi simbol (semiotika).

Menurut Edelman (1964) dalam proses transmisi pesan melalui simbol semiotika, dikenal dua kategori simbol yaitu referential dan condensation symbol. Ada peristiwa atau fenomena yang menjadi rujukan dan jika terjadi secara serial maupun paralel akan terkonsentrasi sebagai suatu kebenaran, kita menyebutnya sebagai fakta.

Apakah semua fakta selalu benar? Kembali pada konsep referensi dan kondensasi serta priming. Sebuah fakta akan melahirkan banyak kebenaran. Dan kebenaran akan selalu memerlukan alasan.

Tibalah kita di abad alasannya Sartre, hingga jika ada fakta yang ingin kita benarkan, kita pun akan membuat alasannya. Sekaligus kita terjebak dalam jejaring pemaknaan (signifikansi), apakah kebenaran itu penting untuk kita carikan alasan?

Maka ujung pencarian sebenarnya sederhana saja, menemukan sebuah kebenaran yang tak lagi memerlukan alasan dan sederet teori tentang kebermaknaan. Kebenaran di seberang alasan dan makna.

Halaman Sebelumnya <<<

Referensi:
Edelman, M. J. (1964). The symbolic uses of politics. Urbana: University of Illinois Press.

Sumber gambar:
https://www.videoblocks.com/video/digital-cyber-world-04-rwmwkbfugiypv2q8x

Ruang Antara The Age of Reason dan The Web of Significance (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Kita hidup di sebuah dunia yang terbukti semakin paralel meski belum lintas dimensi. Alam virtual yang semula hanya tersedia sebagai peluang dan potensi, kini maujud nyata melalui perkembangan teknologi dan sistem komputasi. Ada ruang hidup baru yang berwujud semesta sebagaimana bagian barat Amerika sebelum datangnya para petualang Eropa.

Maka judul di atas adalah diskursus antara Sartre dan Clifford Geertz yang lebih dikenal dengan idiom santri-abangannya.

Abad kecerdasan ditandai dengan terelaborasinya data menjadi pengetahuan dan terkonvergensinya pengetahuan menjadi sains yang memerlukan metodologi dan alasan. Perspektif berikutnya tentulah iman dan kebijaksanaan (wisdom). Alam daring dengan ciri kemudahan komunikasi akan melahirkan peradaban saling mengunci dan terkoneksi (connected). Untuk selanjutnya tentulah akan lahir kerjasama dan kolaborasi yang menghadirkan produk serta tatanan.

Pro kreasi.

Inilah keistimewaan manusia yang punya daya cipta dan sistematika berpikir adi daya. Kita membangun, menciptakan, dan disadari ataupun tidak, juga menghancurkan. Bahkan bukan cuma menghancurkan, melainkan meluluhlantakkan. Katastropik.

Bukankah dengan logika sederhana dan premis-premis bersahaja saja sudah langsung terlihat kasat mata, bahwa manusia mengkreasikan bencana dan berperan sebagai korban di dalamnya.

Alam hanya menjalankan peran dan ketetapannya, tapi manusia punya kesempatan. Punya pilihan. Punya daya nalar. Punya daya kreasi dan kemampuan untuk menyelaraskan antara gagasan dan aksi. 

Lalu alam baru yang dinamai dunia saiber mulai menggeser batasan ruang dan waktu. Bahkan manusia telah menciptakan mesin-mesin peradabannya yang mengadopsi nyaris sempurna kemampuan istimewa otak manusia.

Big data, data mining, AI, DL dan knowledge growing system-nya Mas Arwin Sumari telah melahirkan dunia autonomous dimana manusia perlahan tapi pasti mulai kehilangan kendali terhadap nilai-nilai kemanusiaannya.

Mari kita simak lahir dan bergulirnya mesin pencari dan berbagai aplikasi perpanjangan inderawi; peta, layanan daring multiguna, sampai habitat baru yang dibangun lewat media sosial. Mesin yang semakin cerdas mulai membangun lapis perasaan dan kesadaran. 

Sadarkah kita jika setiap jejak digital kita dapat memberikan engine gambaran tentang siapa kita?

Preferensi kita, dinamika emosi kita, psikografik, bahkan prediksi jalan hidup kita yang bahkan kita sendiri belum yakin akannya.

Ada konsep filter bubble yg menghasilkan algorithmic enclave (Lim, 2017) di mana pola dan kebiasaan yang tercermin dalam aktivitas di alam saiber akan memerangkap kita dalam jebakan infrastruktur manufaktur jiwa.

Apa itu manufaktur jiwa? Kita akan masuk ke dalam balon-balon preferensi yang mengepung kita dengan data dan fakta yang dipakaikan sesuai dengan pola yang kita tampilkan. Dengan kata lain, kita menciptakan posibilitas lahirnya dunia kita sendiri, dan itu dirancang dengan cerdasnya oleh mesin dan sistem yang kita buat sendiri. 

Kita terkepung dengan data yang kita sukai dan kita rasa sesuai dengan kebutuhan kita. Mesin menawarkan efek psikadelik halusinogenik yang tak kalah trengginas dengan Meskalin dan senyawa sejenisnya seperti Psylocibin dari jamur tahi sapi.

Lalu bukan hanya preferensi suka dan kegembiraan saja yang direkonstruksi oleh engine yang dibangun oleh para engineer yang ahli dalam perkara engineering. Perkara reka dan merekayasa. 

Maka kebencian, kemarahan, dan variabel penderitaan juga direkayasa hingga kita terekadaya. Sebagaimana yang oleh Daniel Keats Citron (2014) lebih ditekankan pada proses pelabelan negatif yang destruktif pada seseorang atau sesuatu hal hingga patut untuk dibenci dan disakiti. 

>>> Halaman Berikutnya

Referensi:
Citron, DK. (2014). Hate crimes in cyberspace. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. 

Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3): 411-427

Sumber gambar:
https://www.videoblocks.com/video/digital-cyber-world-04-rwmwkbfugiypv2q8x