Ruang Antara The Age of Reason dan The Web of Significance (Bagian 2, Habis)
Oleh Tauhid Nur Azhar
Alam saiber yang sesungguhnya tanpa ruang ini juga melucuti dan menanggalkan segenap identitas dan karakter yang kita sematkan pada peran yang kita jalani dalam proses interaksi di dimensi materi. Anonimitas menjadi ciri pribadi virtual. Transparan sekaligus getas. Fleksibel sekaligus dapat mengeras.
Makhluk-makhluk di dunia daring bersifat invisible, alias tidak terlihat yang berkorelasi dengan hilangnya ketakutan untuk bertanggungjawab. Kejahatan lintas dimensi menjadi kehilangan aturan dan alat bukti. Semua ini pada gilirannya akan diikuti oleh terjadinya banjir bit yang terangkai sebagai informasi. Di tengah banjir informasi yang menyebabkan cognitive exhausted ini, ada beberapa informasi yang dapat "singgah" bahkan menetap di benak kita.
Priming. Tim dari Stanford memberi contoh kongkrit betapa otak manusia bekerja berdasarkan asumsi yang berbasis dari pengalaman dan informasi yang diterima sebelumnya.
Tim ini meminta kita untuk menatap sebuah gambar berupa bercak-bercak tinta di bidang putih dan entah apa yang terlintas di sistem asosiasi visual kita tentang bentuk apa yang tergambar di sana. Tapi sebuah petunjuk kecil yang menunjukkan adanya seekor anjing Dalmatian sedang merunduk dan minum akan membuat kita takkan pernah lagi lupa gambar apa itu sesungguhnya setiap kali gambar itu ditunjukkan pada kita.
Daerah visual primer yang telah mendapat asupan data dari beberapa area fungsi luhur (higher function) dan sistem memori akan selalu menampilkan interpretasi terhadap citra berdasar pengetahuan yang telah diinstalkan. Selain itu hasil riset menunjukkan bahwa karakter info yang bersifat trailer vision atau info yang bersifat suspense/ drama serta penuh kejutan disukai oleh otak kita.
Mengapa? Karena kita lelah dengan banjir data yang tak "menarik" untuk dianalisa. Kita perlu drama, kita perlu misteri, kita perlu kondisi "uncertainty". Karena kita berharap bahwa kejutan dapat menjadikan lini masa kehidupan kita akan dipenuhi letupan-letupan kecil kebahagiaan yang menjanjikan serangkaian kenikmatan.
Maka kita pun mengenal konsep loss aversion, rasa kehilangan pada "sesuatu" yang menurut kita "semestinya" menjadi milik kita. Maka sebagian dari kita menisbatkan ritual agama dan pengalaman spiritualitas adalah fragmen-fragmen kenikmatan yang dapat terus memberikan harapan dan menumbuhkan motivasi untuk terus dapat merasakan sensasinya.
Terdengar seperti seks dan judi ya? Atau kuliner dan petualangan ekstrem? Demikianlah kira-kira.
Penelitian di School of Medicine-nya University of Utah menunjukkan bahwa pengalaman spiritual terkait dengan simbol dan prosesi keagamaan pada probandus di sana mengaktivasi pusat reward yang bernama nukleus akumben dan daerah ventro medial prefrontal cortex (vmPFC) yang berfungsi sebagai pusat pemilahan, pembobotan, dan penilaian berkonotasi moral. Serta menyita perhatian karena teraktivasinya area focused attention yang secara anatomi dikenal sebagai inferior frontal junction. Konstruksi persepsi dari sensasi ini terbentuk antara lain karena konstruksi simbol (semiotika).
Menurut Edelman (1964) dalam proses transmisi pesan melalui simbol semiotika, dikenal dua kategori simbol yaitu referential dan condensation symbol. Ada peristiwa atau fenomena yang menjadi rujukan dan jika terjadi secara serial maupun paralel akan terkonsentrasi sebagai suatu kebenaran, kita menyebutnya sebagai fakta.
Apakah semua fakta selalu benar? Kembali pada konsep referensi dan kondensasi serta priming. Sebuah fakta akan melahirkan banyak kebenaran. Dan kebenaran akan selalu memerlukan alasan.
Tibalah kita di abad alasannya Sartre, hingga jika ada fakta yang ingin kita benarkan, kita pun akan membuat alasannya. Sekaligus kita terjebak dalam jejaring pemaknaan (signifikansi), apakah kebenaran itu penting untuk kita carikan alasan?
Maka ujung pencarian sebenarnya sederhana saja, menemukan sebuah kebenaran yang tak lagi memerlukan alasan dan sederet teori tentang kebermaknaan. Kebenaran di seberang alasan dan makna.
Halaman Sebelumnya <<<
Referensi:
Edelman, M. J. (1964). The symbolic uses of politics. Urbana: University of Illinois Press.
Sumber gambar:
https://www.videoblocks.com/video/digital-cyber-world-04-rwmwkbfugiypv2q8x
0 komentar:
Posting Komentar