Tampilkan postingan dengan label Laut Mati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Laut Mati. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Oktober 2021

Ikan Asin Laut Mati (Bagian 3, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Ini seolah mengingatkan kita terkait situasi yang kerap kita hadapi ya? 

Jika kita hidup di tengah karut marut dinamika sosial yang secara moral mungkin bertentangan dengan hati nurani kita, apakah kita akan larut dan hanyut serta terdilusi dalam kondisi hiper konsentrasi yang membuat kita menjadi "ikan asin". 

Ataukah kita tetap menjalani fitrah dan fungsi kita, bahkan mendapatkan limpahan kesyukuran karena mampu menjadi spesies eksklusif yang tidak dipusingkan karena keterbatasan sumber daya dan perebutan support system karena keterbatasan telah kita ubah menjadi keberlimpahan melalui sikap berterimakasih atas semua yang telah dikaruniakan?

Tak heran ya jika lembah Jordan, Laut Mati, dan kawasan segitiga yang dibentuk oleh ujung 3 benua ini menjadi tempat lahirnya peradaban. Banyak hikmah dan nilai intrinsik kemanusiaan yang dapat dipetik dari interaksi manusia dan alam yang menjadi media dan platform hidupnya.

Maka di seputaran Laut Mati pula ditemukan manuskrip penting yang kini dikenal sebagai Dead Sea Scroll. Sebuah manuskrip Alkitab Ibrani tertua yang diprakirakan berasal dari abad ke-3 sebelum masehi sampai abad pertama Masehi, dengan jumlah gulungan 900, manuskrip kuno itu ditemukan antara tahun 1947 dan 1956 di gua Qumran.

Uniknya ini manuskrip berupa naskah multi lingual. Manuskrip ini tidak hanya ditulis dalam bahasa Ibrani saja, melainkan juga berisi tulisan Yunani dan Aramaic, termasuk beberapa teks awal yang berasal dari dari Alkitab. Misalnya, salinan kuno Sepuluh Perintah Allah (Ten Commandments).

Sungguh suatu fakta yang tak dapat dipungkiri, bahwa peradaban senantiasa lahir dan tumbuh dimana alam terkembang menjadi guru. Dimana alam menjadi tempat belajar untuk membangun sadar melalui tanda berkadar yang dapat dicerna nalar secara tertakar. Dan pada akhirnya akan lahir pengetahuan, ilmu, dan iman yang mengakar.

Belajar dari Laut Mati dan juga ikan Aphanius, bersisa sepotong pertanyaan: apakah kita mau menjadi ikan asin atau ikan yang hidup bahagia di air asin?

Sumber gambar:
http://awesomeocean.com/guest-columns/visit-dead-sea-bucket-list/

Ikan Asin Laut Mati (Bagian 2)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Lalu pertanyaan berikutnya, kemana perginya air yang memasuki Laut Mati? 

Ada teori bahwa keberadaan air dengan volume tertentu di Laut Mati terjadi karena adanya evaporasi atau penguapan yang masif. Kondisi ini juga tentu mempengaruhi tingkat kepekatan atau molaritas dari air yang terkumpul. Ada kemungkinan air permukaan di Laut Mati merembes masuk menjadi air tanah. Karena secara geologis memang terletak di jalur patahan Laut Merah dan Great Rift Valley.

Secara geologis Laut Mati diduga terbentuk di masa akhir Pliosene dan awal Plestosen sekitar 3,7 juta tahun lalu. Semula berhubungan dengan laut dan dikenal sebagai Laguna Purba Sedom. Aliran air yang bersumber dari sungai Mujib dan Jordan mengalir ke laut melalui lembah Jerzeel. Tetapi ketika blok Korazim secara evolutif terangkat, maka terjebaklah beberapa danau seperti Amora dan Lisan di masa Pliosen dan menjadi cikal bakal terbentuknya Laut Mati atau Birket Lut (Yam Hamelah) dengan kadar salinitas mencapai 342g/kg dan densitas air yang mencapai 1,24 kg/L.

Tingginya deposit kadar garam yang tertimbun selama jutaan tahun juga tergambarkan melalui terbentuknya beberapa formasi gunung garam di sekitar Laut Mati, salah satunya adalah gunung garam Sodom.

Meski bersalinitas sangat tinggi, tetapi ternyata masih ada organisme biologi yang dapat hidup dalam kondisi ekstrem tersebut. Beberapa bakteri, arkea, dan alga seperti Dunaliella mampu beradaptasi dengan kondisi hipersalinitas tersebut.

Bahkan di beberapa lokus tertentu ada spesies ikan yang mampu bertahan hidup di salinitas yang hampir 10x lipat konsentrasi garam di laut. Ikan itu adalah Aphanius dispar richardsoni. Spesies ikan ini berwarna perak. Untuk dewasa, ukuran panjangnya hanya sekitar 4-5 sentimeter. Spesies ini telah masuk daftar merah dalam organisasi Persatuan Internasional bagi Konservasi Alam atau International Union for Conservation of Nature (IUCN) sejak 2014. Populasi nya terus merosot seiring dengan menyusutnya volume air Laut Mati yang tentu berakibat antara lain pada peningkatan salinitasnya.

Jika dipikir pikir ajaib bukan? 

Ada ikan yang mampu bertahan hidup dalam kondisi seekstrem Laut Mati ini. Dari sini kita dapat mengambil hikmah, bahwa sesulit apapun kondisi yang kita hadapi, akan selalu ada jalan untuk menyikapinya hingga kita dapat beradaptasi, bahkan menikmati. 

Mengapa? 

Karena tercipta habitat atau lingkungan eksklusif, dimana hanya yang dapat beradaptasi dan mampu mensyukuri segenap potensilah yang akan berhasil mengonstruksi sinergi yang menghasilkan solusi. Esensinya adalah observasi, adaptasi, identifikasi potensi, sinergi, dan jangan pernah berhenti mensyukuri.

Maka Aphanius tak menjadi ikan asin di Laut Mati, karena spesies ini mampu meregulasi osmosis dan menyeleksi ion sehingga dapat menjaga molaritas cairan tubuhnya agar tidak terpengaruh oleh dinamika konsentrasi cairan eksternal. Menyaring dan menjaga keseimbangan adalah kata kuncinya. 

Kita dapat meneladani Aphanius yang mensyukuri semua potensi yang telah dikaruniakan melalui kekhasan sistem saluran cernanya (gut system) dan desain insang nya yang khas. Artinya setiap kita sebenarnya memiliki potensi untuk beradaptasi dan itu dapat dioptimasi jika kita sepenuhnya menyadari dan ikhlas menerimanya sebagai sebuah konsekuensi dari hadir dan menjalani takdir bukan?


Sumber gambar:
http://awesomeocean.com/guest-columns/visit-dead-sea-bucket-list/ 

Ikan Asin Laut Mati (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Saat berkesempatan menjelajahi Yordania, Palestina, dan sebagian wilayah Israel, banyak hal berkesan di dalam pikiran saya. Bayangkan kita berjalan di atas lahan yang sama di kawasan yang pada masanya dijelajahi para Nabi.

Seolah terputar kembali di dalam benak cerita yang disampaikan dalam berbagai kitab yang mengisahkan dialektika, suasana bathin, dan dinamika sosial yang tercipta dalam suatu model interaksi pada zamannya. Betapa alam dan bentang kawasan ini telah menjadi saksi dari kiprah Nabi Idris, Luth, Nuh, Syuaib, Musa, Harun, Yaqub, Ishaq, Ibrahim, Ismail, Zakaria, Yahya, dan Isa pernah menapaki tanah ini dan setiap bulir molekulnya pernah berinteraksi di sini.

Kota kota tua di seputar Al Qadisiyah atau Al Quds yang dikenal sebagai Yerusalem seperti Hebron, Haifa, Betlehem, Jericho, Nablus, Nazaret, Khan Yunis dan banyak situs bersejarah lainnya telah menorehkan berbagai kisah untuk kita generasi yang datang kemudian.

Dan salah satu keajaiban geologi yang mungkin tak ada orang yang tak mengenalnya di muka bumi ini adalah Laut Mati. Saat mengunjungi keajaiban geologi berupa danau laut mati yang memiliki kadar garam berkonsentrasi sangat tinggi itu sayapun terkagum kagum dan merasa takjub menyaksikan fenomena alam dimana berat jenis cairan atau air laut mati itu tinggi sekali, dan kita dapat mengapung di atasnya tanpa perlu pelampung ataupun gerakan gerakan renang.

Kondisi kandungan kadar garam tinggi ini dapat terjadi karena adanya fenomena geologi yang unik di kawasan terkait, dimana air sungai Jordan yang mengalir dari danau Galilea terhenti di Laut Mati sehingga terjadi konsentrasi dari kandungan mineral, termasuk garam tentunya. Hingga Laut Mati disebut juga kawasan hipersalinitas karena konsentrasi garamnya mencapai 35%.

Laut Mati disebut Laut Mati sejak Era Romawi oleh orang-orang Yudea. Karena saat itu air Laut Mati diasumsikan tidak memungkinkan semua bentuk kehidupan, baik vegetasi ataupun fauna.

Di masa lalu, ketika Sungai Jordan mengalir ke selatan dari Danau Galilea di musim hujan, tumbuhan air dan ikan terbawa oleh aliran sungai ke Laut Mati yang airnya sangat asin.

Ikan maupun ganggang tidak dapat bertahan hidup di air yang hampir 10 kali lebih asin daripada kebanyakan samudera. Dengan kata lain, Laut Mati seperti jebakan maut bagi makhluk hidup.


Sumber gambar: