Senin, 25 Oktober 2021

Ikan Asin Laut Mati (Bagian 2)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Lalu pertanyaan berikutnya, kemana perginya air yang memasuki Laut Mati? 

Ada teori bahwa keberadaan air dengan volume tertentu di Laut Mati terjadi karena adanya evaporasi atau penguapan yang masif. Kondisi ini juga tentu mempengaruhi tingkat kepekatan atau molaritas dari air yang terkumpul. Ada kemungkinan air permukaan di Laut Mati merembes masuk menjadi air tanah. Karena secara geologis memang terletak di jalur patahan Laut Merah dan Great Rift Valley.

Secara geologis Laut Mati diduga terbentuk di masa akhir Pliosene dan awal Plestosen sekitar 3,7 juta tahun lalu. Semula berhubungan dengan laut dan dikenal sebagai Laguna Purba Sedom. Aliran air yang bersumber dari sungai Mujib dan Jordan mengalir ke laut melalui lembah Jerzeel. Tetapi ketika blok Korazim secara evolutif terangkat, maka terjebaklah beberapa danau seperti Amora dan Lisan di masa Pliosen dan menjadi cikal bakal terbentuknya Laut Mati atau Birket Lut (Yam Hamelah) dengan kadar salinitas mencapai 342g/kg dan densitas air yang mencapai 1,24 kg/L.

Tingginya deposit kadar garam yang tertimbun selama jutaan tahun juga tergambarkan melalui terbentuknya beberapa formasi gunung garam di sekitar Laut Mati, salah satunya adalah gunung garam Sodom.

Meski bersalinitas sangat tinggi, tetapi ternyata masih ada organisme biologi yang dapat hidup dalam kondisi ekstrem tersebut. Beberapa bakteri, arkea, dan alga seperti Dunaliella mampu beradaptasi dengan kondisi hipersalinitas tersebut.

Bahkan di beberapa lokus tertentu ada spesies ikan yang mampu bertahan hidup di salinitas yang hampir 10x lipat konsentrasi garam di laut. Ikan itu adalah Aphanius dispar richardsoni. Spesies ikan ini berwarna perak. Untuk dewasa, ukuran panjangnya hanya sekitar 4-5 sentimeter. Spesies ini telah masuk daftar merah dalam organisasi Persatuan Internasional bagi Konservasi Alam atau International Union for Conservation of Nature (IUCN) sejak 2014. Populasi nya terus merosot seiring dengan menyusutnya volume air Laut Mati yang tentu berakibat antara lain pada peningkatan salinitasnya.

Jika dipikir pikir ajaib bukan? 

Ada ikan yang mampu bertahan hidup dalam kondisi seekstrem Laut Mati ini. Dari sini kita dapat mengambil hikmah, bahwa sesulit apapun kondisi yang kita hadapi, akan selalu ada jalan untuk menyikapinya hingga kita dapat beradaptasi, bahkan menikmati. 

Mengapa? 

Karena tercipta habitat atau lingkungan eksklusif, dimana hanya yang dapat beradaptasi dan mampu mensyukuri segenap potensilah yang akan berhasil mengonstruksi sinergi yang menghasilkan solusi. Esensinya adalah observasi, adaptasi, identifikasi potensi, sinergi, dan jangan pernah berhenti mensyukuri.

Maka Aphanius tak menjadi ikan asin di Laut Mati, karena spesies ini mampu meregulasi osmosis dan menyeleksi ion sehingga dapat menjaga molaritas cairan tubuhnya agar tidak terpengaruh oleh dinamika konsentrasi cairan eksternal. Menyaring dan menjaga keseimbangan adalah kata kuncinya. 

Kita dapat meneladani Aphanius yang mensyukuri semua potensi yang telah dikaruniakan melalui kekhasan sistem saluran cernanya (gut system) dan desain insang nya yang khas. Artinya setiap kita sebenarnya memiliki potensi untuk beradaptasi dan itu dapat dioptimasi jika kita sepenuhnya menyadari dan ikhlas menerimanya sebagai sebuah konsekuensi dari hadir dan menjalani takdir bukan?


Sumber gambar:
http://awesomeocean.com/guest-columns/visit-dead-sea-bucket-list/ 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar