Tampilkan postingan dengan label Mindful Leadership. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindful Leadership. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 November 2024

Inilah Keterampilan Psikologis yang Perlu Diasah Gen-Z untuk Sukses di Tempat Kerja



Oleh Duddy Fachrudin 

Sore hari, setelah kuliah berakhir, Ainu, mahasiswa dari Bumiayu itu sejenak mampir di sebuah kafe bernama Kopi Mangkir. Setelah memesan manual brew kesukannnya, ia duduk dan mengambil ponselnya. Dibukanya untuk mencari inspirasi dan mendapatkan edukasi terkini. Ainu yang seorang Gen-Z merasa perlu banyak belajar. Bukan hanya di perkuliahan, tapi juga di ruang-ruang digital.

“Pesanan Mas Ainu, manual brew arabika gayo ya?” seorang waitress berwajah ayu menghampiri Ainu dan meletakkan kopi itu.

Ainu mengangguk, lalu berucap, “Terima kasih,”. Diambilnya kopi itu lalu didekatkan ke hidungnya. Matanya sedikit terpejam. Seluruh tubuh dan pikirannya hadir bersama kopi arabika gayo yang ada di depan hidungnya.

Setelah melakukan ritual tersebut, Ainu kembali kepada gawainya. Pikirannya terfokus pada isu-isu terkini mengenai Gen-Z. Sampailah ia pada berita mengenai sulitnya Gen-Z mencari kerja. Dengan sigap, ia mencari literatur ilmiah yang mendukung serta diskusi podcast terkait dengannya.

“Ah, ini dia…” ujar Ainu kemudian mengambil kopi dan menikmatinya. Secara perlahan pemuda yang terbilang pendiam itu menyimak informasi dan berusaha mengelaborasikannya dengan materi kuliah tentang soft skills yang baru didapatnya tadi.

Sekilas Gen-Z

Generasi Z yang lahir pada rentang tahun 1997 (ada juga yang mengatakan 1995) hingga 2012 bisa dikatakan generasi yang paling terbuka dengan beragam persoalan. Mengapa? Karena mereka sudah terbiasa terpapar dengan jamak informasi dan “kemudahan hidup” yang diterima serta diakses dari gawainya. Semuanya sudah tersedia, mau mendengarkan lagu, menonton film, menikmati makanan, dan memesan “supir pribadi” untuk diantar ke tempat yang dituju.

Perkembangan internet yang canggih dan cepat membuat Gen-Z memiliki identitas “komunitas digital” yang kreatif, inovatif, dan pastinya rasa ingin tahu yang tinggi. Di dunia maya Gen-Z bebas mengemukakan pendapat dan sangat menjunjung keberagaman. Berbeda itu hal yang wajar bagi Gen-Z, termasuk dalam bekerja dan berkomunikasi dengan rekan kerjannya.

Dibalik kemudahan hidup serta kebebasan dalam beropini, terdapat sisi negatif jika keduanya tidak dikelola dengan baik. Ibarat mengendarai mobil, ngegas terus akan berakibat fatal tanpa dibarengi ngerem.

Tantangan Gen-Z di Dunia Kerja

Pertama gaya hidup serba instan dan selalu ingin terpenuhi kebutuhannya menjadi masalah yang menjangkiti Gen-Z. Hal ini dimediasi oelh perilaku impulsif serta kompulsif karena mudah terdistraksi dari beragam informasi yang masuk ke dalam diri. Ya, Gen-Z memiliki ciri khas kesulitan untuk berada pada fokus yang lama. Maka, di lingkungan kerja, problem utama Gen-Z, yaitu terlihat tidak engage dengan pekerjaannya. Apa yang ada di pikirannya saat bekerja? Healing akhir pekan? Hobi yang ingin dijalani? Atau masalah kesehatan mental karena lingkungan kerja yang menurutnya toxic?

Work engagement yang rendah merupakan ciri tidak hadirnya individu pada pekerjaan tersebut, atau bahasa kerennya ngga mindful. Tentu bukan hanya karena diri individunya itu sendiri, melainkan bisa akibat dari lingkungan kerja dan dinamika di dalamnya. Pekerjaan yang tidak bermakna, kultur organisasi yang buruk, serta atasan yang tidak menghargai merupakan variabel eksternal yang mempengaruhi.

Kedua, kebebasan beropini di ruang maya dapat terbawa ke ruang kerja yang pada akhirnya membuat Gen-Z dinilai niretika. Bebas tanpa batas berujung pada bablas. Padahal mungkin maksudnya baik, namun dipersepsi berbeda oleh rekan kerja atau atasan. Keterampilan sosial menjadi kunci bagi Gen-Z agar bisa berproses dan bertumbuh di tempat kerja. Perusahaan pun perlu memiliki figur seorang leader yang dapat memberikan contoh dalam berkomunikasi kepada Gen-Z. Karena Gen-Z sangat menyunjung kesetaraan maka hilangkan sekat serta hirarki saat berdiskusi dengannya.

Penutup

Tak terasa satu jam Ainu menghabiskan sore itu dengan pembelajaran baru. Ia menuliskan hal-hal penting, khususnya keterampilan psikologis yang perlu diasah dan dikembangkannya sebagai seorang Gen-Z, agar nanti saat bekerja bisa beradaptasi dengan pekerjaan dan menujukkan performansi yang bagus sesuai indikator. Ainu meminum tegukan kopi terakhirnya lalu melangkah keluar kafe untuk hadir bersama senja yang cantik itu.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Kamis, 21 November 2019

Kepemimpinan ala Orbital Intelligence


Oleh Tauhid Nur Azhar

Pemimpin itu harus mampu membangun pola pikir waskita yang dapat mengintegrasikan 4 sumbu sekaligus dan dapat pula membangun konstruksi sistem pengelolaan pengetahuan secara berkesinambungan.

Adapun ke-4 sumbu yang dimaksud adalah sumbu vertikal yang berarti seorang pemimpin harus berpikir menyintas waktu dengan selalu mengacu kepada nilai rujukan yang semata berlandas pada kebenaran (Haq). 

Pemimpin yang mampu memutar dan memusar segenap potensi pemangku kepentingan sehingga menghasilkan efek sentripetal yang mendekati titik pusat (Ahad). 

Di satu sumbu vertikal vektorial, selain ada arah terdapat pula waktu, yang meski selalu maju tetapi juga mengekalkan masa lalu sebagai kenangan yang kita kenal sebagai pengalaman serta dapat pula kita artikan sebagai pelajaran. 

Untuk itu seorang pemimpin harus mampu membangun fondasi integritas yang dapat menghasilkan sifat ikhlas sebagai compliance terhadap ketetapan dimensi ruang-waktu. 

Ilmu menjadi kata kunci, gaya sentripetal yang bersifat kinetik harus dicatudaya oleh energi potensial yang ditambang dari perut bumi kearifan yang kaya akan data dan informasi termaknai yang menjadi bagian dari konstruksi pengetahuan yang berperadaban. Knowledge based management atau Iqra adalah suatu keniscayaan dalam hal ini. 

Dua sumbu lain terletak pada bidang horisontal dan oblique atau menyilang alias menembus serta terletak di antara absis dan ordinat. Gaya sentripetal yang menarik semua energi ke satu titik disertai dengan eksitasi yang menghasilkan radiasi sirkuler yang memberikan dampak sebidang. 

Kemaslahatan harus dapat diradiasikan seluas mungkin. Sebagaimana paket quanta yang dapat mengelana di media semesta, berbagi secara adil tanpa subjektifitas preferensi (Rahmatan lil alamin). 

Pada akhirnya keempat sumbu di bidang horisontal dan vertikal-sagital akan dihubungkan oleh ruang maya dimensi berbentuk bola. Tak bersudut dan menyediakan lapang pandang multi perspektif dengan persepsi yang relatif akan lebih utuh. Satu cara pandang baru yang dapat mengakomodir kebutuhan holistik dalam memaknai sebuah fenomena di suatu titik di koordinat ruang, waktu, dan juga hubungan atau korelasi asosiasinya dengan berbagai titik lain di dalam bola yang terpisah ordinat waktu ataupun absis lokasi. 

Ball Vision bahkan dapat menjadi salah satu cara pandang yang dapat mengoptimasi konsep mobilisasi dan orkestrasi yang diinisiasi oleh Prof. Rhenald Kasali. Karena setiap elemen dapat kita identifikasi karakter berikut pola-pola interaksinya secara berkesinambungan dan dinamis dalam konteks ruang dan waktu. 

Kemampuan membangun cara pandang inilah yang pada gilirannya akan menginisiasi terpantiknya satu genre derivatif dari kecerdasan waskita, Orbital Intelligence alias OI

Suatu kecerdasan yang dapat mengakomodir perbedaan sudut pandang dan "membaca" berbagai percabangan algoritma dalam sebuah reaktor "chain reaction" yang membutuhkan kapasitas prediktif yang juga dikenal sebagai foresight ability

Dalam konteks iman, mungkin konsep ini adalah gambaran paling sederhana dari kompleksitas Lauh Mahfudz yang sedemikian canggih dan agung. Melihat dan meraba rencana yang Maha Merencanakan dalam sebuah peta algoritma berbentuk bola. 

Maka dengan Ball Vision yang mengakses data secara mengorbit, kita dapat mengoptimasi waktu dan mereduksi jarak karena kita kanalisasi dalam resultante non vektorial dari cara pandang tak bersudut (bola). 

Kita dapat menjadi satelit yang "melihat" dan melaju (bahkan tanpa energi), lalu memantulkan atau memancar ulangkan respon terukur dan teraugmentasi (diperkaya) berdasar stimulus yang diterima secara sangat proporsional. 

Khalifah yang terus belajar (melihat dan mendengar dengan karunia sistem sensoris; sam'a, abshor, dan fuad ) hingga mampu menjadi katalis (enzimatik) yang setiap pikiran, perkataan, dan perbuatannya senantiasa menghasilkan rahmat bagi semesta sekalian alam. 

Fungsi fuad sebagai regulator dan transformator dari ranah gagasan menjadi rencana aksi yang dieksekusi antara lain tentu melibatkan berbagai fungsi sistem limbik dan memori, reward system, dan tentu saja area fungsi eksekutif di korteks prefrontal yang dilandasi konstruksi kesadaran yang antara lain diperankan oleh Insula, dkk. 

Demikianlah bola-bola sederhana nan bersahaja dari pikiran cupu dan tak punya maksud suatu apa ini, siapa tahu dapat menjadi alternatif untuk bersama mengoptimasi potensi diri.

Sumber gambar:

Kamis, 03 Oktober 2019

Mindful Leadership: Kualitas Pemimpin yang Mindful


Oleh Duddy Fachrudin

Hening, mengalir, mengamati, membaca tanda, di sini, saat ini.

Bendera itu berkibar.

Bukan bendera, melainkan angin yang bergerak.

Bukan bendera dan angin, sesungguhnya pikiran yang bergerak.

Setiap orang adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin perlu memimpin dirinya sendiri. Memimpin pikirannya. Dengan begitu memperbaiki dirinya.

Syahdan seorang pengembara bercerita, "Ketika aku masih muda, aku bersemangat.. aku berdoa kepada Tuhan agar memberiku kekuatan untuk mengubah dunia. Ketika sudah separuh baya, aku menyadari setengah dari hidupku sudah berlalu dan aku tak mengubah seorang pun. Maka aku berdoa untuk mengubah mereka yang dekat di sekitarku. Sekarang, aku sudah tua dan doaku lebih sederhana, memohon Tuhan memberikan kekuatan untuk mengubah diriku sendiri.

Lewat kesadaran, memperbaiki diri sendiri.

Pemimpin yang berkesadaran versi Rasmus Hougaard dicirikan 3 hal:

1. Mindfulness
Keterampilan dalam memberikan perhatian penuh terhadap apapun. Inilah kualitas awal yang membuat pemimpin berselancar dalam ombak (mengarungi kehidupan yang tidak pasti). Keputusannya matang dan bijaksana. Pikirannya tidak terperangkap dengan kepentingan tertentu.

2. Selflessness
Pemimpin bukan tentang dirinya, melainkan apa yang dipimpinnya. Mengutamakan orang lain, termasuk kebaikan lingkungan adalah prioritas utama. Leadership dalam konteks ini adalah friendship. Persahabatan yang terlepas dari keinginan untung rugi. Persahabatan yang jujur yang pada akhirnya mengembangkan rasa percaya (trust).

3. Compassionate
Menebarkan manfaat adalah esensi kehidupan. Pemimpin yang berkesadaran akan menghadirkan kenyamanan dan rasa tenang. Bukan karena dibentengi pasukan tentara, tapi karena adanya hati yang lembut yang memancarkan cahaya.

Semua kualitas ini muncul saat pemimpin secara berkesinambungan memperbaiki dan menjernihkan dirinya.

"Tuhan kuatkan aku untuk mengubah hal-hal yang dapat aku ubah, ikhlaskan aku untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah, dan jernihkan pikiran serta hatiku untuk dapat membedakan keduanya."


Sumber gambar:

Kamis, 12 September 2019

Spiderman dan Neuroleadership


Oleh Duddy Fachrudin

Jauh-jauh hari sebelum Spiderman berguru pada Tony Stark alias Iron Man dan bertransformasi menjadi lebih futuristik, ia adalah remaja biasa yang senang belajar, pengantar pizza, dan pengagum setia Marry Jane Watson, yang berharap dapat bermalam minggu berdua bersama.

Namun kekuatan yang diperolehnya menuntutnya untuk bertanggung jawab. The great power comes great responsibility. Teringat ia dengan pesan Uncle Ben tercintanya. Maka hari-hari yang dilaluinya adalah pengambilan keputusan: menjadi Peter Parker atau beraksi menumpas kejahatan dengan kostum laba-labanya?

Nyatanya proses pengambil keputusan sangatlah kompleks. Beberapa bagian otak berperan di dalamnya, seperti dorsolateral prefrontal cortex (dlPfc), orbitofrontal cortex (oFc), ventromedial prefrontal cortex (vmPfc), dan anterior cingulate cortex (ACC). Belum lagi nucleus accumbens (NAcc), amygdala, ventral tegmental area (VTA), serta insular dan somatosensory cortex.

Bayangkan saat Mary Jane sudah mengiyakan ajakan nonton, tiba-tiba sensor laba-laba Peter Parker berbunyi. Sudah asyik mau nge-date dengan doi, eh ada cecunguk (penjahat) yang mengganggu.

Susah loh jadi Peter Parker. Maka Peter Parker di dunia nyata maujud dalam profesi-profesi sosial yang senantiasa dibutuhkan orang lain. Atau ia juga merupakan pemimpin yang selalu dinanti keputusannya.

Pengelolaan aktivitas pada bagian otak menjadi kunci dari pengambilan keputusan yang waskita. Change your brain change your life atau sebaliknya mengubah kehidupan (perilaku) mengubah otak kita. Ini karena otak bersifat plastis.

Maka keputusan waskita nan bijaksana merupakan keputusan berbasis nilai dan visi, terkontrol oleh norma, tidak tergesa-gesa, dan pastinya tidak menghasilkan kesenangan semu atau sesaat.

Whatever comes our way, whatever battle we have raging inside us, we always have a choice. Bukan hanya Spiderman dan para pemimpin kali ya. Ini kan tentang kita, manusia dengan segenap potensinya.

Eh tapi, bagaimana caranya mengelola dorsolateral dan kawan-kawannya itu sehingga kita bisa menghasilkan keputusan yang bijaksana?

Sumber gambar:
Dokumentasi pribadi