Tampilkan postingan dengan label Welas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Welas. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 Agustus 2021

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 3, Habis)




Oleh Duddy Fachrudin 

Waras adalah maturitas yang meretas dari rahim keheningan.

Itulah mengapa Nabi bermeditasi di Gua Hiro lalu diperintahkan padanya untuk “membaca” atau iqro. Iqro... apa yang perlu dibaca? Perintah ini tentu tidak hanya tertuju padanya, melainkan kita semua umat manusia.

Melalui sunyi pula, Raden Mas Said bertransformasi menjadi Sunan Kalijaga yang bijaksana, yang mengajarkan kepada kita untuk waskita di jaman kalatidha melalui kidung wahyu kalasebo, syair cinta yang sarat akan hikmah.

Hening, mentafakkuri dan mentadabburi diri adalah saat-saat yang tepat untuk kembali ke “rumah”. Di kala hiruk pikuk gempita dunia, menyelami diri adalah ekstase menyejukkan yang mengobati derita.

Masa-masa di rumah saja selama pandemi corona seharusnya menjadi momen peningkatan kualitas kewarasan diri. Namun bagi sebagian orang, menyepi dalam sunyi adalah aktivitas yang membosankan. Wajar, karena manusia jaman sekarang begitu mengagungkan materialisme. Mereka tidak menyadari sumber atau awal petaka kehancuran diri dan umat manusia adalah buta akan alam ruhaninya dan terpedaya dengan hedonisme.

Mereka yang waras juga bertindak dan berperilaku menahan diri, berempati, dan mencegah transmisi selama pandemi. Keengganan untuk peduli merupakan wujud dari patologi dalam diri yang kemudian menyebar lebih luas ke ranah sosial.

Maka waras adalah soal regulasi diri, tentang mempuasai hasrat yang dapat menimbulkan gawat. Manusia waras bertindak dan hidup dengan seimbang, proporsional, tidak berlebihan, selaras, dan harmonis.

Kolaborasi dikedepankan, eksploitasi demi kepentingan pribadi disingkirkan. Thus, kualitas waras memproduksi welas (asih).

Welas adalah cinta dan kelembutan, yang berfokus pada aktivitas memberikan kebermanfaatan bagi sesama dan semesta. Jika tahapan manusia di level waras sebagai seorang hamba, maka pada tingkatan ini (welas) adalah khalifah.

Manusia yang khalifah memiliki makna sebagai wakil mandatori Tuhan untuk mengelola wilayah bernama bumi seisinya dengan segenap cinta.

Selama proses tersebut (mengelola), terdapat kecenderungan pada diri manusia untuk berbuat destruktif. Manusia mengikuti hawa nafsunya dan kembali lupa (baca: kembali tidak waras) bahwa dirinya manusia.

Maka, terdapat peringatan dalam bentuk ujian, musibah, bencana, atau wabah seperti corona yang diberikan Tuhan kepada manusia saat lalai menjalankah misinya dengan baik.

Di saat itulah, proses wawas-waskita-waras-welas menjadi daur yang perlu ditempuh (kembali) oleh manusia.

Ingat bahwa sesungguhnya kita ini bukan stasi. Kita, manusia yang memegang janji-janji, terikat waktu dan ruang, yang mendamba tenang, dan merindu untuk pulang.

Sumber gambar:

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 2)




Oleh Duddy Fachrudin 

Pengamatan yang baik menghasilkan kejernihan (clarity), yang kemudian disebut waskita. Ibarat air yang tak lagi bergelombang menampilkan riak, pikiran yang waskita begitu tenang, bening, dan indah. Maka tak heran jika keputusan atau apapun yang diproduksi pikiran ialah kebijaksanaan.

Kebijaksanaan melampaui kecerdasan. Orang yang bijaksana sangat jarang dijumpai karena mereka pun tersembunyi dan kadang enggan menampilkan diri. Namun, tentu ada juga yang memang sengaja “ditampilkan” oleh Tuhan dengan tujuan sebagai teladan.

Dunia dan Michael Hart mencatat manusia paling berpengaruh sekaligus bijaksana adalah Muhammad Saw. Saat berhijrah ke Madinah, beliau menawarkan solusi dan kolaborasi demi kesejahteraan bersama alih-alih eksploitasi.

Eksploitasi? Di dunia yang katanya modern, justru eksplorasi berlebihan atas pemenuhan kebutuhan ini yang kemudian dikedepankan. Neokapitalisme menggerus keseimbangan sosial. Jurang perbedaan semakin membentang. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin jatuh miskin.

Lalu, dimanakah letak kebijaksanaan? 

Padahal orang-orang cerdas sangat banyak jumlahnya di dunia ini. Bukankah ini menjadi ironi tersendiri?

Artinya, nirkebijaksanaan atau nirkewaskitaan memicu ketidakwarasan komunal. Sebaliknya, jika kewaskitaan dikembangkan dan pelihara, maka bukan hanya individu tersebut yang “waras”, melainkan lingkungan sekelilingnya.

Kondisi waras atau sehat dimaknai sebagi suatu kondisi yang sejahtera, merdeka atau bebas dari penyakit secara biopsikososiospiritual.

Menjadi manusia yang manusia atau waras berarti bertumbuh dan berkembang secara adaptif sesuai potensi luhur yang disematkan pada diri manusia. Sebaliknya ketidakwarasan ditunjukkan dari suatu respon maladaptif akibat “kegagalan” individu tersebut memahami fungsi dan peran dirinya di dunia.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 1)




Oleh Duddy Fachrudin 

Das Leben der Anderen atau The Lives of Others memenangkan Academy Award (OSCAR) tahun 2007 untuk nominasi Best Foreign Films. Situs Rottentomatoes memberikan skor 93%, sementara IMDB merating 8,4 sudah cukup membuktikan bahwa film berasal dari Jerman ini memiliki kualitas cerita yang tidak biasa.

Sebelum tembok Berlin runtuh, Jerman Timur atau Republik Demokratik Jerman (RDJ) dikuasai oleh Uni Soviet. Stasi yang merupakan Intelijen dan Polisi Rahasia bertebaran di masyarakat dan memata-matai siapapun yang dianggap mencurigakan sebagai pembelot atau pengkhianat.

Das Leben der Anderen berkisah tentang seorang Stasi berwatak dingin namun kesepian yang mengawasi seorang penulis drama teater. Rumah sang penulis disadap dan segala gerak geriknya diikuti.

Selama proses mengintai banyak hal yang dijumpai olehnya. Drama kisah cinta penulis dengan kekasihnya, pergolakan hidupnya, hingga fakta alasan dibalik penugasan spionase yang diberikan atasannya. Ia juga mendengarkan alunan sonata for a good man melalui piano yang dimainkan oleh sang penulis.

Pengamatan yang dilakukannya menimbulkan pergolakan batin. Ia menyadari bahwa sang penulis memang melakukan hal yang tidak semestinya, yaitu menulis suatu hal yang menjadi rahasia negara dan diterbitkan di sebuah majalah di wilayah Jerman Barat. Namun tulisan itu mengandung kebenaran dan memang layak diketahui oleh orang lain di seluruh dunia. Ia pun memahami alasan dibalik penugasan spionase yang diberikan atasannya, yaitu demi kepentingan naik jabatan dan mengambil teman wanita sang penulis dengan cara yang picik.

Proses niteni secara objektif perlahan mulai mengikis sisi gelapnya, dinginnya, kakunya pribadi dirinya sebagai seorang stasi. Perlahan ia bertransformasi menjadi seorang manusia yang memiliki skala prioritas mengedepankan hati nurani dan menjunjung kebenaran dan kejujuran.

The Lives of Others memang berkisah tentang menjadi manusia. Melepaskan topeng diri memerlukan prasyarat laku bernama pengamatan. Dalam bahasa Jawa, mengamati atau mengawasi disebut wawas. Banyak manusia yang “lupa” bahwa dirinya adalah manusia yang memiliki potensi hanif (lurus) dan penuh dengan kasih sayang. 

Mereka senantiasa dibutakan oleh kebahagiaan semu yang melekat di dunia. Bahkan untuk sekedar jeda, mengamati diri dan situasi adalah bagian dari ibadah terpuji.

Bukankah Allah Swt., berkata, wa fii anfusikum afalaa tubsiruun (QS. Adz-Dzariyat: 21), wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad (QS. Al Hasyr: 18), dan berkali-kali berpesan kepada manusia untuk memperhatikan tanda-tanda serta penciptaan langit dan bumi.

Dalam kaidah mindfulnes, melakukan pengamatan adalah langkah pertama yang perlu dilakukan seorang individu. Proses ini dilatih setiap hari dalam berbagai kondisi, baik saat duduk, berdiri (bergerak), maupun berbaring.

Dengan wawas secara intensif, ia mempelajari, menelaah, kemudian menyadari seutuhnya pikirannya, perasaannya, gerak-gerik niatnya, sensasi tubuhnya, perilakunya, hingga kebiasaan-kebiasannya. Ia menyadari sekelilingnya, dunia makro yang beraneka ragam, penuh dengan pilihan yang dapat menjerumuskan, menyesatkan, atau meningkatkan derajat ketaqwaannya sebagai manusia. 


Sumber gambar: