Senin, 02 Agustus 2021

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 1)




Oleh Duddy Fachrudin 

Das Leben der Anderen atau The Lives of Others memenangkan Academy Award (OSCAR) tahun 2007 untuk nominasi Best Foreign Films. Situs Rottentomatoes memberikan skor 93%, sementara IMDB merating 8,4 sudah cukup membuktikan bahwa film berasal dari Jerman ini memiliki kualitas cerita yang tidak biasa.

Sebelum tembok Berlin runtuh, Jerman Timur atau Republik Demokratik Jerman (RDJ) dikuasai oleh Uni Soviet. Stasi yang merupakan Intelijen dan Polisi Rahasia bertebaran di masyarakat dan memata-matai siapapun yang dianggap mencurigakan sebagai pembelot atau pengkhianat.

Das Leben der Anderen berkisah tentang seorang Stasi berwatak dingin namun kesepian yang mengawasi seorang penulis drama teater. Rumah sang penulis disadap dan segala gerak geriknya diikuti.

Selama proses mengintai banyak hal yang dijumpai olehnya. Drama kisah cinta penulis dengan kekasihnya, pergolakan hidupnya, hingga fakta alasan dibalik penugasan spionase yang diberikan atasannya. Ia juga mendengarkan alunan sonata for a good man melalui piano yang dimainkan oleh sang penulis.

Pengamatan yang dilakukannya menimbulkan pergolakan batin. Ia menyadari bahwa sang penulis memang melakukan hal yang tidak semestinya, yaitu menulis suatu hal yang menjadi rahasia negara dan diterbitkan di sebuah majalah di wilayah Jerman Barat. Namun tulisan itu mengandung kebenaran dan memang layak diketahui oleh orang lain di seluruh dunia. Ia pun memahami alasan dibalik penugasan spionase yang diberikan atasannya, yaitu demi kepentingan naik jabatan dan mengambil teman wanita sang penulis dengan cara yang picik.

Proses niteni secara objektif perlahan mulai mengikis sisi gelapnya, dinginnya, kakunya pribadi dirinya sebagai seorang stasi. Perlahan ia bertransformasi menjadi seorang manusia yang memiliki skala prioritas mengedepankan hati nurani dan menjunjung kebenaran dan kejujuran.

The Lives of Others memang berkisah tentang menjadi manusia. Melepaskan topeng diri memerlukan prasyarat laku bernama pengamatan. Dalam bahasa Jawa, mengamati atau mengawasi disebut wawas. Banyak manusia yang “lupa” bahwa dirinya adalah manusia yang memiliki potensi hanif (lurus) dan penuh dengan kasih sayang. 

Mereka senantiasa dibutakan oleh kebahagiaan semu yang melekat di dunia. Bahkan untuk sekedar jeda, mengamati diri dan situasi adalah bagian dari ibadah terpuji.

Bukankah Allah Swt., berkata, wa fii anfusikum afalaa tubsiruun (QS. Adz-Dzariyat: 21), wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad (QS. Al Hasyr: 18), dan berkali-kali berpesan kepada manusia untuk memperhatikan tanda-tanda serta penciptaan langit dan bumi.

Dalam kaidah mindfulnes, melakukan pengamatan adalah langkah pertama yang perlu dilakukan seorang individu. Proses ini dilatih setiap hari dalam berbagai kondisi, baik saat duduk, berdiri (bergerak), maupun berbaring.

Dengan wawas secara intensif, ia mempelajari, menelaah, kemudian menyadari seutuhnya pikirannya, perasaannya, gerak-gerik niatnya, sensasi tubuhnya, perilakunya, hingga kebiasaan-kebiasannya. Ia menyadari sekelilingnya, dunia makro yang beraneka ragam, penuh dengan pilihan yang dapat menjerumuskan, menyesatkan, atau meningkatkan derajat ketaqwaannya sebagai manusia. 


Sumber gambar:

Share:

0 komentar:

Posting Komentar