Senin, 02 Agustus 2021

Mindfulness ala Psikologi Jawa (Bagian 2)




Oleh Duddy Fachrudin 

Pengamatan yang baik menghasilkan kejernihan (clarity), yang kemudian disebut waskita. Ibarat air yang tak lagi bergelombang menampilkan riak, pikiran yang waskita begitu tenang, bening, dan indah. Maka tak heran jika keputusan atau apapun yang diproduksi pikiran ialah kebijaksanaan.

Kebijaksanaan melampaui kecerdasan. Orang yang bijaksana sangat jarang dijumpai karena mereka pun tersembunyi dan kadang enggan menampilkan diri. Namun, tentu ada juga yang memang sengaja “ditampilkan” oleh Tuhan dengan tujuan sebagai teladan.

Dunia dan Michael Hart mencatat manusia paling berpengaruh sekaligus bijaksana adalah Muhammad Saw. Saat berhijrah ke Madinah, beliau menawarkan solusi dan kolaborasi demi kesejahteraan bersama alih-alih eksploitasi.

Eksploitasi? Di dunia yang katanya modern, justru eksplorasi berlebihan atas pemenuhan kebutuhan ini yang kemudian dikedepankan. Neokapitalisme menggerus keseimbangan sosial. Jurang perbedaan semakin membentang. Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin jatuh miskin.

Lalu, dimanakah letak kebijaksanaan? 

Padahal orang-orang cerdas sangat banyak jumlahnya di dunia ini. Bukankah ini menjadi ironi tersendiri?

Artinya, nirkebijaksanaan atau nirkewaskitaan memicu ketidakwarasan komunal. Sebaliknya, jika kewaskitaan dikembangkan dan pelihara, maka bukan hanya individu tersebut yang “waras”, melainkan lingkungan sekelilingnya.

Kondisi waras atau sehat dimaknai sebagi suatu kondisi yang sejahtera, merdeka atau bebas dari penyakit secara biopsikososiospiritual.

Menjadi manusia yang manusia atau waras berarti bertumbuh dan berkembang secara adaptif sesuai potensi luhur yang disematkan pada diri manusia. Sebaliknya ketidakwarasan ditunjukkan dari suatu respon maladaptif akibat “kegagalan” individu tersebut memahami fungsi dan peran dirinya di dunia.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:

Share:

0 komentar:

Posting Komentar