Tampilkan postingan dengan label Well-being. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Well-being. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Oktober 2020

Belajar Mengajar dan Health Promoting University




Oleh Duddy Fachrudin 

Dua hari itu di sudut Bandung nan dingin, kami--saya dan senior saya dan juga psikolog di salah satu fakultas di UGM, Mba Dina Wahida--bersua sekaligus ngobrol-ngobrol sedikit tentang Health Promoting University (HPU). 

Kebijakan mempromosikan kesehatan dalam ruang lingkup sivitas akademika merupakan suatu upaya yang tepat di kala individu menghadapi ragam varian stressor dan juga potensi penyakit yang dapat menghambat tujuan pendidikan.

Ini bukan hanya soal kampus bebas rokok, penyediaan fasilitas olahraga, dan menciptakan ekosistem hijau yang sehat, melainkan juga mengembangkan kebiasaan hidup sehat. Selain itu, menempatkan psikolog di fakultas atau universitas juga menjadi hal yang esensial untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental. 

Sembari diskusi, pikiran saya melayang jauh ke masa lalu, melintasi waktu. Teringat pada sosok yang secara tidak langsung ikut mempromosikan kesehatan di sela-sela aktivitas belajar mengajar...

###

“Bukan tujuanlah esensi dari sebuah perjalanan, melainkan ‘berlayar’ dan ‘berpetualang’-lah nilai terpenting dari kehidupan.” (Tauhid Nur Azhar)

Apa yang Anda pikirkan ketika melihat seorang dosen masuk ke dalam kelas mengajar tanpa membawa buku teks, malah membawa komik, memakai jins belel, dan kemeja yang tampak lusuh. 

Mungkin sebagian dari Anda akan mempertanyakan kualitas keilmuannya, atau Anda kemudian berkata, “Kok ada ya dosen seperti ini?”

Pada kenyataannya memang ada dosen seperti itu, salah satunya Tauhid Nur Azhar atau Kang Tauhid—biasa kami memanggilnya. 

Beliau mengajar mata kuliah Biopsikologi dan Psikologi Faal pada semester satu dan dua. 

Aneh bin ajaibnya kami sekelas begitu nyaman dengan Kang Tauhid, bukan hanya karena penampilannya yang berbeda daripada dosen-dosen yang lain, namun pembawaannya yang lembut, dan cara mengajar yang menyenangkan. Kehadirannya pun ditunggu-tunggu oleh para mahasiswanya.

Kang Tauhid tentu memiliki alasan mengapa beliau berpenampilan tidak seperti dosen pada umumnya. Bukankah membawa komik ke kampus, memakai jins belel, dan kemeja lusuh adalah cerminan seorang mahasiswa pada umumnya? 

Kang Tauhid memposisikan dirinya sebagai seorang mahasiswa. Maka tentu saja tidak ada sekat antara seorang mahasiswa dengan mahasiswa yang lainnya. 

Karena penampilannya tersebut, Kang Tauhid bahkan pernah dianggap seorang mahasiswa senior yang sedang mengulang mata kuliah oleh mahasiswanya.

Satu hal lagi mengapa kami mehasiswanya begitu nyaman saat diajar oleh Kang Tauhid adalah beliau tidak menekankan hasil dalam bentuk angka, namun esensi kuliah atau belajar adalah menikmati prosesnya. “Bukan tujuanlah esensi dari sebuah perjalanan, melainkan ‘berlayar’ dan ‘berpetualang’-lah nilai terpenting dari kehidupan,” begitu kata beliau.

Sehingga saat berlayar, atau bertualang, kita akan menemukan berbagai hal yang tak terduga. Kita takjub dan terperangah saat memandang keindahan lautan. Pada kesempatan yang lain mungkin kita terdampar di sebuah pulau tak bertuan. Dan dengan segala upaya, ikhtiar, dan do’a kita berjuang menaklukan badai lautan, hingga pada saatnya kapal yang kita nahkodai bermuara pada pelabuhan bernama kebersyukuran. 

### 

Maka pleasure experience itu seyogyanya hadir tidak hanya ketika menikmati es krim, tapi juga belajar. Ketika proses belajar dan mengajar adalah kebahagiaan, setiap tekanan yang menimbulkan stres berlebihan dan menggerus keseimbangan dapat terkelola dengan baik. 

Pada akhirnya, strategi ini dapat berperan sebagai meningkatkan kualitas kesehatan mental as part of kesehatan holistik bagi seluruh sivitas akademika di lingkungan universitas. 

Sumber gambar: 

Senin, 21 September 2020

Kebahagiaan yang Tidak Disangka-sangka




Oleh Duddy Fachrudin & Tauhid Nur Azhar

Kadang kita bingung, takut dan khawatir dalam mengambil keputusan mengenai hidup kita, karena keputusan tersebut bukan hanya berhubungan dengan diri sendiri tapi juga orang-orang terdekat. 

Atau keputusan hidup kita bertentangan dengan harapan yang dimiliki orang tua dan keluarga terhadap kita. Misalnya saja seorang perempuan yang ingin menikah dengan laki-laki pujaannya, namun ternyata orang tuanya meminta agar ia mencari laki-laki yang lebih sederajat dengan keluarganya. 

Atau seorang siswa SMA telah memilih jurusan yang ia ambil di Perguruan Tinggi, namun ayahnya menghendakinya menjadi dokter karena ayahnya seorang dokter.

Saya beberapa kali menjumpai permasalahan tersebut pada klien-klien yang datang pada saya. Mereka terlihat bingung apa yang harus dilakukannya. Karena suatu keputusan, mereka dapat mengecewakan orang terdekatnya atau justru mengecewakan dirinya sendiri. 

Pada kondisi seperti ini, sebelum mengambil keputusan kita perlu melihat segalanya secara ekologis. Tentu saja kita juga perlu meminta bantuan Tuhan lewat do’a maupun shalat istikharah agar diberikan yang terbaik. 

Dan keputusan dibuat dengan menggunakan nalar secara dengan sadar, bukan emosi sesaat.

Kang Tauhid, seorang dosen, guru, dan sahabat kehidupan menceritakan bahwa ia juga pernah mengalami konflik antara mengikuti keinginannya atau mewujudkan harapan orang tuanya. Dalam sebuah pengantar di buku saya beliau menulis:

“Saya mengambil program penerimaan mahasiswa berdasar potensi bakat di IPB, dan diterima bukan karena berminat melainkan lebih karena “malas” mengikuti seleksi perguruan tinggi negeri. 

Seluruh keluarga tidak setuju dengan apa yang saya mau, lalu saya masuk Fakultas Kedokteran Negeri. 

Lucunya saya tidak jadi dokter yang berpraktek sesuai disiplin ilmu. 

Modal kedokteran justru dipakai di pengajian. Saya masuk S-2 berlatar bioteknologi dan ilmunya saya pakai menulis buku. 

Saya mendapat beasiswa Bank Dunia untuk program S-3 di bidang Imunologi dan berakhir sebagai bahan ajar di Fakultas Psikologi!”

Kang Tauhid memang tidak berpraktek sebagai dokter dengan jubah putihnya, namun orang-orang memanggilnya dokter karena beliau banyak memberi, berbagi, dan melayani layaknya dokter. 

Bahkan beliau bukan hanya dokter dalam disiplin ilmu kesehatan medis, tapi juga dokter dalam berbagai bidang, mulai dari farmasi, biologi, psikologi, pendidikan anak, parenting, transportasi, kulinari, sejarah peradaban, geografi, spiritual, sampai ICT (Information and Communication Technology) hingga kecerdasan artifisial.

Bagi kebanyakan orang, menempuh studi kedokteran namun tidak berpraktek menjadi dokter sangat disayangkan. 

Kang Tauhid pun bercerita kembali:

“Sebagai bajak laut tua, saya akui sextan dan peta laut saya salah semua. Saya kandas di pulau-pulau yang tak jelas. 

Tapi Subhanallah... pulau-pulau tempat saya karam itu indah semua! 

Jadi rupanya sistem navigasi bajak laut itu memang sangat rahasia. Meski kita menggunakan peta, selalu saja kita akan tiba di tujuan yang berbeda. 

Itulah indahnya hidup yang direncanakan Allah, “Grand Line”-nya nggak ketebak! Sehingga setiap hari kita akan selalu tersenyum, kejutan demi kejutan manis akan senantiasa datang menghampiri.”

Bagi Kang Tauhid, setelah kita mengambil keputusan—apapun itu, kita harus menjalaninya dengan tanpa penyesalan, ikhlas, sabar, dan tentu perlu disyukuri. Lalu menjalani keputusan itu dengan hati yang riang gembira dan penuh cinta sambil berserah diri kepada Yang Maha Pembuat Rencana. 

Saat itulah kita akan selalu menemui kebahagiaan yang tidak disangka-sangka.

Sumber gambar:

Kamis, 16 Januari 2020

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Dan dendam melahirkan kecemasan kronis. Kata "kronis" tersebut sejatinya diambil dari nama Kronos. 

Sakit hati yang berkronologis. Kronos yang menikahi Rea dihantui kecemasan bahwa keturunannya juga akan mengkhianati dirinya. Ia memakan semua anaknya, kecuali Zeus yang disembunyikan Rea dan ditukar batu. 

Maka hanya batu dan Zeus yang tak lekang oleh siklus dendam berkesinambungan. 

Lalu mengapa manusia terlahir dengan luka yang siap untuk menganga karena pusaran dosa? 

Bukankah kita suci dan terlahir dalam kondisi nan fitri, tapi mengapa kita begitu terpesona pada daya tarik yang kekuatannya akan membuka kembali luka lewat jalan duka. 

Kehilangan karena mencari yang telah dimiliki. Kelelahan karena mengejar pada yang berlari sejengkal saja di belakang kita: masalah. 

Sebenarnya apapun itu nama sandingannya secara metonimia, masalah adalah masalah. Ia selalu akan membersamai kita saat ini dan sesaat kemudian segera bermetamorfosa menjadi masa lalu, bukan?

Maka masalah yang tersisa pastilah sejengkal di belakang, dan ia akan terus ikut berlari selama kita terus berlari. 

Bahkan maslah takkan pernah menjauh sedikitpun, kecuali kita berhenti dan berbalik untuk menghadapi. 

Sayangnya bagi sebagian besar dari kita, konsep itu masih terus betah menjadi sekedar wacana yang terangkum dalam kalimat inspiratif nan kontemplatif dari para "coach" kehidupan. 

Sejujurnya sayapun masuk kategori kelompok pelari, yang sesekali mencoba berani untuk berhenti, belajar menghadapi, dan... pada akhirnya memilih untuk melanjutkan balap lari dengan masalah yang kalau demikian tentu tidak akan pernah kalah, meski juga tak punya peluang untuk menang. 

Kondisi semacam ini tak perlu terlalu berimajinasi tinggi untuk mengetahui hasil akhirnya. Sudah jelas kita akan terkapar kelelahan dan ditimbuni masalah yang telah menyertai kita di sepanjang "pelarian"...


Sumber gambar:

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Sejarah peradaban manusia terlahir dari luka. Tentang khianat pada realita. Tentang ketakutan Kronos akan arti niscaya hingga ia ingin menciptakan keadaan nirkala.

Timeless... tanpa waktu. 

Dan Kronos pun rela memakan semua anaknya dari Rea karena tersandera dalam kutukan masa lalu. 

Masa lalu yang tak terbunuh oleh waktu. Malah masa lalu itu bertumbuh seiring dengan semesta yang menua. Semesta dan sejarah dari segalanya. 

Dalam karyanya Theogonia. Asal usul segala sesuatu diceritakan oleh Hesiodos. 

Dia mulai dengan Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan misterius. Dari Khaos ini muncullah Gaia atau Gê (Dewi Bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah Eros (Cinta), Tartaros (Perut Bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks (Malam). 

Niks bercinta dengan Erebos dan melahirkan Aither (Langit Atas) dan Hemera (Siang). Tanpa pasangan pria (partenogenesis), Gaia melahirkan Uranus (Dewa Langit) dan Pontos (Dewa Laut). 

Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka, terlahirlah para Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria, yaitu Koios, Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan Okeanos, serta enam Titan wanita, yaitu Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dan Tethis. 

Karena satu dan lain hal Gaia berselisih pandang dengan Uranus yang mengisolasi anak-anak mereka yang buruk rupa (Cyclops, raksasa bermata satu). Gaia murka dan meminta Kronos menyiksa ayahnya yang "kabur" dari kenyataan dan tak ingin terperangkap oleh keadaan. Karena Uranus dianggap Kronos--anaknya sendiri, sebagai pengecut, maka Kronos memotong penis Uranus. 

Maka setiap kisah mitos pastilah mencemari Daidalos... beratnya menanggung derita dunia yang menua dengan begitu banyak noda nista dan begitu banyak semburan ludah berbisa dari kata-kata beracun yang mematikan.

Sumber gambar:

Minggu, 08 Oktober 2017

Let’s Talk Well-Being in The Workplace


Oleh Duddy Fachrudin

Let's talk well-being-Hari Kesehatan Mental Sedunia

Parjo : Min aku wis ora kuat nyambut gawe

Dalimin : Ono opo toh Jo?
Parjo : Aku kesel iki... diparingi kerjaan sing ora cocok karo jobdesku
Dalimin : Oalah...

Mari sedikit membicarakan well-being di tempat kerja.

Well-being sendiri dapat diartikan suatu kondisi kesejahteraan individu. Bukan kesejahteraan secara materi, melainkan lebih ke arah psikologis yang domainnya lebih ke arah afeksi dan kognisi. Perasaan bahagia, stres, serta puas dan tidaknya Anda pada pimpinan merupakan bagian dari well-being, khususnya di tempat kerja. Dalam dialog Parjo dan Dalimin, kita bisa menangkap curhatan Parjo kepada Dalimin yang merasa lelah karena di tempat kerjanya disuruh mengerjakan tugas-tugas yang tidak sesuai dengan jobdesknya. Ini suatu kondisi yang tidak nyaman yang dialami Parjo, dan realitanya kasus-kasus serupa banyak terjadi di berbagai lingkungan kerja.

Maka, kajian-kajian well-being mulai diperhatikan oleh organisasi, baik level pemerintah maupun swasta. Psikolog-psikolog klinis mulai dilibatkan untuk menangani stres kerja, burnout, dan ketidakbahagiaan yang muncul selama individu bekerja. Program-program stress reduction, happiness at work, dan work engagement frekuensinya diperbanyak dibandingkan dengan program-program lain. Hal tersebut menjadi sebuah investasi penting bagi perusahaan untuk meningkatkan produktivitas dan motivasi kerja sumber daya manusianya. Bahkan demi hal itu, organisasi mulai berani menerapkan suatu hal yang tidak biasa, yaitu memangkas jam kerja dari biasanya 8 jam ke 6 jam saja setiap harinya. Atau tetap bekerja selama 8 jam, namun 20% dari jam kerja tersebut boleh digunakan untuk mengerjakan hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Ya, itu terjadi di Google, salah satu perusahaan terbaik dunia.

Saat ini bukan banyaknya waktu yang mempengaruhi kinerja dan produktivitas seseorang, melainkan kemampuan menggunakan energi secara efektif yang menjadi pembeda antara yang produktif dan tidak produktif. Antara yang stres dan flow saat bekerja.

Terlalu banyak bekerja akan menggerus keseimbangan pada aspek fisik tubuh kita. Masih ingat dengan seorang copywriter yang meninggal setelah 30 jam bekerja? Atau berita mengenai dua orang karyawan Jepang yang lembur lebih dari 100 jam kemudian meninggal: yang satu karena serangan jantung, satunya lagi bunuh diri.

Mari bicarakan kesejahteraan di tempat kerja kita. Semoga Hari Kesehatan Mental Sedunia, 10 Oktober 2017 ini menjadi momen untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan (well-being) sumber daya manusia di organisasi kita.

Sumber gambar:
http://himpsi.or.id/31-semua-kategori/menu/publikasi/106-let-s-talk-wellbeing-program-himpsi-dalam-rangka-hari-kesehatan-mental-sedunia-10-oktober-2017

Selasa, 23 Mei 2017

Melihat ke dalam Kebahagiaan [Bahagia itu Proses]


Oleh Kadek Widya Gunawan




Pembicaraan tentang kebahagiaan telah di mulai sejak begitu lama, kembali ke zaman Yunani kuno, dimulai oleh seorang filsuf ternama, yaitu Aristoteles, murid dari Plato dan guru dari “The Great Alexander.”

Pembicaraan awal tentang kebahagiaan oleh Aristoteles menyebutkan bahwa kebahagiaan terdiri dari 2 (dua) aspek yaitu hedonia dan eudaimonia.

Kedua aspek tersebut dalam psikologi kontemporel lebih dikenal sebagai pleasure atau kepuasan dan meaning atau makna.

Jadi mudahnya, hedonia adalah aspek kebahagiaan terkait dengan kepuasan, dan kepuasan bisa didapat melalui sesuatu di luar diri manusia seperti benda-benda material, hiburan, jabatan, karier, status sosial, dan sebagainya.

Sedangkan eudaimonia adalah aspek kebahagiaan terkait dengan pandangan tentang kehidupan yang bermakna serta bagaimana menjalani hidup dengan baik.

Aspek eudaimonia juga terkait dengan menggali kebahagiaan yang ada di dalam diri manusia melalui kegiatan kerohanian, spiritual, ataupun berbagai kegiatan sosial dengan tujuan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Mungkin, dari hal yang dikemukakan oleh Aristoteles tentang hedonia dan eudaimonia, akan muncul pertanyaan seperti, “Diantara hedonia dan eudaimonia, jika ingin bahagia, maka sebaiknya kita memilih aspek yang mana?”

Pertanyaan tersebut pun pernah muncul di benak Daniel Kahneman, seorang psikolog yang menerima pengghargaan nobel di bidang ekonomi. Kahneman berusaha mengivestigasi hedonia dan eudaimonia dalam studinya tentang objective happiness (1999).

Hasil dari studi yang dilakukan oleh Kahneman (1999) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok pada konsep kebahagiaan baik itu dilihat dari aspek kepuasan (hedonia) ataupun makna dalam hidup (eudaimonia).

Kedua aspek tersebut ditemukan konsisten pada orang yang bahagia. Dengan kata lain seseorang akan bahagia jika mampu memaknai setiap hal yang dicapainya dalam hidup, entah itu karier, status sosial, ataupun tujuan lain yang ingin dicapai dalam kehidupan.

Lalu, beralih ke periode perkembangan selanjutnya dari pembahasan tentang kebahagiaan yaitu ketika aliran psikologi positif mulai berkembang dengan pesat.

Konstribusi psikologi positif dalam kajian tentang kebahagiaan adalah memunculkan sudut pandang modern tentang kebahagiaan dengan menambahkan aspek ketiga, yaitu engagement.

Engagement dalam konteks kebahagiaan bisa diartikan sebagai komitmen dan partisipasi aktif individu dalam menjalani kehidupannya (Seligman et al, 2005).

Konsep engagement ini dalam kajian mindfulness mengarah pada konsep living in the moment (fokus pada hal yang ada/ hal yang dilakukan sekarang dan saat ini-meskipun konsep ini masih dalam perdebatan).

Sedangkan dalam dunia industri dan organisasi konsep engagement berhubungan erat dengan konsep autonomy atau kebebasan yang dimiliki individu dalam mengembangkan diri terkait pekerjaannya.

Saat ini pun, sudah muncul banyak kajian tentang menemukan kebahagiaan melalui mindfulness maupun studi tentang konsep autonomy untuk meningkatkan kebahagiaan di tempat kerja.

Kembali ke pembahasan awal tentang kebahagiaan. Masih tersisa satu pertanyaan mendasar, “Sebenarnya apakah kebahagiaan itu?”

Aristoteles pernah mengungkapkan bahwa kebahagiaan bukanlah suatu kondisi, melainkan kebahagiaan adalah sebuah aktivitas.

Hal ini dipertegas oleh Rubin Khoddam (2015) yang juga menyebutkan bahwa Aristoteles telah memberikan sudut pandang yang krusial tentang definisi kebahagiaan, yaitu untuk bahagia, manusia harus tetap beraktivitas atau dengan kata lain 'berproses'.

Lebih jauh lagi, Khoddam juga menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan kemampuan manusia untuk mampu menerima situasi yang dialami dalam hidupnya, baik itu situasi yang amat tidak biasa sekali pun (situasi depresi atau kesedihan yang sangat mendalam) sebagai bagian alami dari kehidupan.

Berdasarkan hal yang disampaikan oleh Aristoteles maupun Khoddam, maka dapat kita pahami bahwa sejatinya kebahagiaan merupakan suatu tindakan, proses untuk mampu menerima dan menjalani kehidupan apa adanya, yang oleh seorang senior saya di lobimesen.com disebut sebagai suatu keikhlasan dalam menerima segala takdir yang diberikan oleh Yang Maha Pencipta.

# Terinspirasi dari 'Mas Burhan' dalam artikel “Kamu Bahagia?” dari http://www.lobimesen.com/2017/05/kamu-bahagia.html

Referensi:
Kahneman, D. (1999). Objective happiness. Well-Being: The Foundation of Hedonic Psychology. Eds. D. Kahneman, E. Diener, and N. Schwartz. Russell Sage Foundation, 3-25.

Khodam, R. (2015). What’s your definition of happiness? Didapat dari https://www.psychologytoday.com/blog/the-addiction-connection/201506/whats-your-definition-happiness.

Kringelbach, M. L. & Berridge, K. C. (2010). The neuroscience of happiness and pleasure. Social Research, 77(2), 659-678.

Seligman, M. E., et al. (2005). Positive psychology progress: Empirical validation of interventions. American Psychologist, 60(5), 410-21.

Sumber Gambar:
http://womaura.com/where-is-happiness/