Senin, 21 September 2020

Kebahagiaan yang Tidak Disangka-sangka




Oleh Duddy Fachrudin 

Kadang kita bingung, takut dan khawatir dalam mengambil keputusan mengenai hidup kita, karena keputusan tersebut bukan hanya berhubungan dengan diri sendiri tapi juga orang-orang terdekat. 

Atau keputusan hidup kita bertentangan dengan harapan yang dimiliki orang tua dan keluarga terhadap kita. Misalnya saja seorang perempuan yang ingin menikah dengan laki-laki pujaannya, namun ternyata orang tuanya meminta agar ia mencari laki-laki yang lebih sederajat dengan keluarganya. 

Atau seorang siswa SMA telah memilih jurusan yang ia ambil di Perguruan Tinggi, namun ayahnya menghendakinya menjadi dokter karena ayahnya seorang dokter.

Saya beberapa kali menjumpai permasalahan tersebut pada klien-klien yang datang pada saya. Mereka terlihat bingung apa yang harus dilakukannya. Karena suatu keputusan, mereka dapat mengecewakan orang terdekatnya atau justru mengecewakan dirinya sendiri. 

Pada kondisi seperti ini, sebelum mengambil keputusan kita perlu melihat segalanya secara ekologis. Tentu saja kita juga perlu meminta bantuan Tuhan lewat do’a maupun shalat istikharah agar diberikan yang terbaik. 

Dan keputusan dibuat dengan menggunakan nalar secara dengan sadar, bukan emosi sesaat.

Kang Tauhid, seorang dosen, guru, dan sahabat kehidupan menceritakan bahwa ia juga pernah mengalami konflik antara mengikuti keinginannya atau mewujudkan harapan orang tuanya. Dalam sebuah pengantar di buku saya beliau menulis:

“Saya mengambil program penerimaan mahasiswa berdasar potensi bakat di IPB, dan diterima bukan karena berminat melainkan lebih karena “malas” mengikuti seleksi perguruan tinggi negeri. 

Seluruh keluarga tidak setuju dengan apa yang saya mau, lalu saya masuk Fakultas Kedokteran Negeri. 

Lucunya saya tidak jadi dokter yang berpraktek sesuai disiplin ilmu. 

Modal kedokteran justru dipakai di pengajian. Saya masuk S-2 berlatar bioteknologi dan ilmunya saya pakai menulis buku. 

Saya mendapat beasiswa Bank Dunia untuk program S-3 di bidang Imunologi dan berakhir sebagai bahan ajar di Fakultas Psikologi!”

Kang Tauhid memang tidak berpraktek sebagai dokter dengan jubah putihnya, namun orang-orang memanggilnya dokter karena beliau banyak memberi, berbagi, dan melayani layaknya dokter. 

Bahkan beliau bukan hanya dokter dalam disiplin ilmu kesehatan medis, tapi juga dokter dalam berbagai bidang, mulai dari farmasi, biologi, psikologi, pendidikan anak, parenting, transportasi, kulinari, sejarah peradaban, geografi, spiritual, sampai ICT (Information and Communication Technology) hingga kecerdasan artifisial.

Bagi kebanyakan orang, menempuh studi kedokteran namun tidak berpraktek menjadi dokter sangat disayangkan. 

Kang Tauhid pun bercerita kembali:

“Sebagai bajak laut tua, saya akui sextan dan peta laut saya salah semua. Saya kandas di pulau-pulau yang tak jelas. 

Tapi Subhanallah... pulau-pulau tempat saya karam itu indah semua! 

Jadi rupanya sistem navigasi bajak laut itu memang sangat rahasia. Meski kita menggunakan peta, selalu saja kita akan tiba di tujuan yang berbeda. 

Itulah indahnya hidup yang direncanakan Allah, “Grand Line”-nya nggak ketebak! Sehingga setiap hari kita akan selalu tersenyum, kejutan demi kejutan manis akan senantiasa datang menghampiri.”

Bagi Kang Tauhid, setelah kita mengambil keputusan—apapun itu, kita harus menjalaninya dengan tanpa penyesalan, ikhlas, sabar, dan tentu perlu disyukuri. Lalu menjalani keputusan itu dengan hati yang riang gembira dan penuh cinta sambil berserah diri kepada Yang Maha Pembuat Rencana. 

Saat itulah kita akan selalu menemui kebahagiaan yang tidak disangka-sangka.

Sumber gambar:
Share:

0 komentar:

Posting Komentar