Tampilkan postingan dengan label Al Quran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Al Quran. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Juni 2020

Virus Berdamai dengan Manusia



Oleh Duddy Fachrudin 

Melawan atau berdamai? 

Kemarin-kemarin manusia berperang #melawancorona. Saat ini beralih menyatakan damai saja. 

Manusia sudah kalah? Mungkin. 

Kalah karena belum bisa mengelola diri, sementara corona masih bergentayangan untuk menyambangi. 

Ia akan selalu ada di antara kehidupan manusia. Menjadi entitas penyeimbang dari keserakahan dan kerusakan yang dibuat manusia. 

Dengan adanya corona, harusnya terjadi akselerasi akhlak manusia dalam tatanan kehidupan "new normal". Karena corona menghentak kesadaran jiwa-jiwa yang selama ini terpedaya dan tepenjara dalam ilusi serta delusi berkepanjangan. 

Kehadiran corona yang terus bermutasi sekaligus beradaptasi pada kondisi tubuh inangnya ini tanda bahwa ia mahluk yang amat cerdas. 

Namun bukankah mutasinya melemah? Dan akhirnya virus tak lagi ganas menginfeksi tubuh manusia. 

Itu artinya memang virus tak ingin buru-buru mati. Kalau inangnya wafat bukankah ia juga game over lebih cepat? 

Corona ingin terus membersamai manusia selama hidupnya. 

"Aku hanya ingin hidup  lebih lama, seperti halnya manusia dengan segala upayanya saat ini menginginkan hal itu juga." 

Corona seolah berkata, "Silahkan manusia membuat vaksinnya..." 

Virus berdamai dengan manusia. 

Simbah bilang, "Virus, bakteri, mahluk yang kecil-kecil itu kakak kandungnya manusia. Ora usah berantem, apalagi musuhan sama kakak sendiri." 

Benahi saja dirimu. Ojo adigang adigung adiguna. 

Wasi'a kursiyyuhus-samaawati wal-ard. 

Simbah melanjutkan meditasinya. Aku mengikutinya. 

Sumber gambar: 

Senin, 18 Mei 2020

Ketidakpastian dan Makhluk Qubit Bernama Manusia



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Dalam mengarungi masa-masa pandemi corona ini, mari sejenak merenung mengenai konsep "ketidakpastian" atau bahasa londonya uncertainty. Hal ini dikaji dalam ilmu fisika secara khusus dalam prinsip Heisenberg. 

{∆x.∆p> h/2} (bisa dilihat di gambar di bawah ya). 

Dimana "ketidakpastian" ini maujud dalam pernyataan terkait posibilitas dan probabilitas. 

Seberapa besar kemungkinan sesuatu itu terjadi ? 

Keterangan gambar (searah jarum jam): 
Prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam gelombang, dapat disimak pula pola double slit dari Thomas Young. Anotasi Dirac yang dapat diaplikasikan dalam konsep super posisi dan quantum states. Bloch Sphere dengan konsep qubit dan formulasi quantum states

Jika mendapat pertanyaan seperti itu biasanya kita akan memutar otak lalu mulai mengidentifikasi faktor-faktor apa sajakah gerangan yang turut menentukan tingkat posibilitas suatu keadaan.

Dan mungkin saja faktor-faktor yang teman-teman identifikasi sama dengan yang teridentifikasi oleh saya, yaitu: adanya pengetahuan, pengalaman, kemampuan (terlatih), derajat niat dan usaha, kondisi yang mendukung, serta mungkin ada yang memasukkan faktor "keberuntungan" (opportunity) atau nasib.

Semua benar tentu saja, sekaligus semua juga belum tentu benar dalam memastikan kemungkinan untuk menjadi 100% mungkin. 

Mengapa? Karena masih ada faktor probabilitas tentu saja. 

Bukankah jika semua syarat untuk mencapai keberhasilan terpenuhi maka probabilitasnya juga mendekati 100%?

Contoh jika kita sudah mengikuti dan menjalankan safety procedure, maka hampir dapat dipastikan kita akan selamat dalam perjalanan atau penerbangan misalnya. 

Apakah anda yakin? Kan dalam kalimat itu saja masih ada kata "hampir". Artinya tidak ada sesuatu hal pun di semesta ini yang bersifat deterministik alias pasti selama terkait dengan konsep probabilitas alias kemungkinan. 

Sementara bagi manusia hal yang telah dapat dipastikan sebagai konsekuensi rasional dari kelahiran adalah kematian. Kepastian ini pun dijamin dengan perubahan waktu ∆t (delta t) yang tak dapat diubah dengan perubahan posisi dan kecepatan (∆s dan ∆v). 

Maka saya sering menyampaikan premis (premis: kalimat atau proposisi yang dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dalam logika) tentang perjalanan adalah bukan persoalan menempuhi jarak, melainkan waktu. 

Sehingga dalam premis minornya, ruang adalah konsekuensi dari kehadiran waktu.

Kembali ke probabilitas. Maka pada hakikatnya manusia sebagai makhluk unik yang dikaruniai kemampuan analitik yang mampu melahirkan gagasan, imajinasi, dan kreasi punya keterikatan secara probabilistik justru di rasio yang deterministik, 50%. 

Semua kemampuan super kognitif manusia yang tercipta karena adanya pengintegrasian fungsi-fungsi seperti memori, asosiasi, korelasi, interpretasi, dan kemampuan sintesis, akan bermuara pada limit probabilitas 50%.

Kepastian di ketidakpastian 50% membawa kita pada irisan dengan pendekatan di domain quantum

Manusia dengan pilihan algoritmik yang melekat padanya dan ketidak kuasaannya untuk mengendalikan hasil akhir dari setiap tahapan proses/ reaksi, dapat digambarkan berada di posisi quantum state (QS).

Dimana QS menurut definisi GK Tong adalah an entangled quantum state is made of two or more particles held in a multitude of undecided outcomes.

Kondisi dan posisi "undecided" ini mengikuti konsep binari dengan tingkatan fasenya (lihat gambar di atas). Sehingga setiap pilihan selalu menyediakan pasangan kemungkinan. 

Dalam filosofi akidah ini dapat menggambarkan posisi makhluk yg selalu berada dalam status relatif, karena yang absolut, satu, dan tidak berpasangan adalah Allah (Qur'an Surat Al-Ikhlas).

Sehingga dalam perjalanan hidup ini kita juga dapat digambarkan tengah berada dalam kondisi "super posisi". 

Dimana menurut Delfosse, super posisi, entanglement, dan tunneling adalah "dunia qubit" yang membuat kita saat ini sudah berada dalam berbagai posisi secara paralel, sekaligus belum berada di sana.

The qubit is the basis of quantum computing due to their quantum mechanical properties: superposition, entanglement, and quantum tunneling. Qubits can be in a state of a 0, 1, and also in a state where they are 0 and 1 at the same time — this is called superposition. 

(Silahkan simak di anotasi Dirac yang ada di gambar ya).

Bahkan jika kita mempelajari cara kerja otak kita dalam membangun kesadaran, beberapa teori yang sepertinya baru sampai pada tingkatan analogi, ternyata sudah mulai banyak diteliti lebih mendalam. 

Sebagai contoh pendekatan Quantum Brain Dynamics yang digagas Harald Atmanspacher. Framework otak yang bersifat spektral saat membangun kesadaran dari komposisi berbagai fungsi di otak hanya akan ideal jika didekati dengan teori quantum field, dan akan sulit diurai jika menggunakan pendekatan biokimiawi linier yang bertumpu pada fungsi neurotransmiter. 

Bahkan Roger Penrose dan Stuart Hameroff sudah lebih detil berfokus pada mikrotubul yang terlibat dalam proses sinaptik dan neurotransmisi sebagai salah satu elemen dari mekanisme quantum yang bekerja di otak. 

Penrose dan Hameroff menggulirkan gagasan dalam bentuk postulasi Orchestrated Objective Reduction (OOR). Konsep ini jika boleh saya tambahkan, hanya akan dapat bekerja jika prinsip-prinsip dasar quantum state dengan dunia qubitnya bisa diterapkan. 

Hubungan antara aspek biologi dan karakter fisikanya sebenarnya sudah terepresentasi dalam level quasi partikel yang terdiri dari phonon yang berasal dari eksitasi atom padat yang mengalami vibrasi, dan plasmon yang berasal dari osilasi plasma. 

Dalam hal ini kita dapat asumsikan bahwa seluruh sel-sel otak, bahkan mungkin tubuh dan juga semesta, semuanya berada dalam fase quantum state atau super posisi yang memiliki semua potensi probabilitas. 

Kondisi entanglement yang akan menghasilkan spektrum fungsi karena dapat menjalankan program "meta" dalam ranah kognisi hingga muncul pola interaksi real time yang membangun konstruksi qualia, atau bangunan kesadaran lintas dimensi.

Maka jika kita cermati berbagai premis di atas, tampak ada suatu korelasi yang kuat antara berbagai fenomena di setiap lapis dan dimensi kehidupan, yang menyiratkan adanya suatu kompleksitas terencana. 

Menghablurnya aspek filosofis dalam dimensi materi di level quantum menghantarkan kita pada kesadaran baru tentang esensi dari eksistensi yang terintegrasi dalam distribusi fungsi. 

Sumber gambar:
WAG Rumah Peradaban

Jumat, 08 Mei 2020

Pendidikan, Bajak Laut, dan Peradaban "New Normal"



Oleh Duddy Fachrudin 

"Tidak semua dukun itu jahat. Tidak semua dokter itu baik." 

Dokter senior dan terhormat di salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta yang bilang begitu dalam pengantar di buku "Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib" yang ditulis dr. Ade Hashman. 

Dulu ada buku yang berjudul "Jangan ke Dokter Lagi". Yang nulisnya padahal dokter. 

Mungkin suatu saat ada buku beredar dengan judul di sampul depannya bertuliskan "Jangan ke Psikolog Lagi". Yang nulisnya seorang psikolog. 

Mbah Jon Kabat-Zinn bercerita: 
Ketika saya mulai bekerja di pusat kesehatan, saya diberi tiga jas panjang berwarna putih yang di sakunya bersulamkan tulisan "Dr. Kabat-Zinn/ Departement of Medicine". Semuanya tergantung di balik pintu ruangan saya selama 15 tahun, tanpa terpakai. 

Baginya, memakai jas putih/ malaikat itu bukanlah esensi dari eksistensi. Yang sejati ialah saat mampu berinteraksi dengan perhatian penuh (mindful) dengan siapapun yang ada di hadapannya. Wherever you go, there you are

Di dunia yang serba mengagungkan materi, manusia acapkali mengejar eksistensi. 

Manusia berlomba-lomba dalam penampilan, citra diri (melalui pencitraan), kekayaan, dan kekuasaan. 

"Le, segala yang nampak itu palsu," Simbah memulai wejangannya. 

"Ojo gampang ditipu," katanya lagi. 

### 

UU Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara gamblang menegaskan bahwa fungsi Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: 

1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
2. berakhlak mulia; 
3. sehat; 
4. berilmu; 
5. cakap; 
6. kreatif; 
7. mandiri; 
8. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Kata kunci dalam pendidikan adalah ilmu. Dalam Al Qur'an kata tersebut dan kata jadiannya disebutkan hingga 780 kali. Prinsip dalam berilmu dan mencari ilmu sendiri tidak lain adalah aktivitas berpikir (afalaa ta'qilun, afalaa yatadabbarun, afalaa tatafakkaruun). 

Jika kita mengoptimalkan fungsi nalar sebaik mungkin dalam proses pendidikan atau mencari ilmu, maka karakter, watak, hingga akhlak mulia dapat maujud dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang mendapat amanat sebagai mandat-Nya di bumi. 

Namun distraksi kemelekatan materialis dan pola pikir kapitalis, serta kesombongan manusia telah mengikis serta mengkhianati potensi agung yang telah dianugerahkan Tuhan padanya. 

Al-Ghazali berpesan, "Ketahuilah wahai kekasih, manusia tidaklah diciptakan dengan main-main, ataupun secara serampangan, namun diciptakan secara mengagumkan untuk sebuah tujuan yang mulia." 

Kehidupan "New Normal" setelah pandemi bukan hanya terkait cara-cara baru dalam berinteraksi, bekerja, bepergian, dan menjalani aktivitas sehari-hari. 

Era baru ini adalah masa bajak laut sepeninggal Gold D. Roger. Yaitu jaman bajak laut yang humanis dan menjalani pelayaran dengan penuh kesadaran.  Bajak laut tanpa eksploitasi dan eksplorasi pemenuhan kebutuhan alias nirketamakan. Perompak yang justru tidak memfokuskan diri pada untung rugi serta dunia materi. 

Seperti halnya Luffy berkata, "Aku tak peduli di mana harta itu berada! Aku juga tak peduli apa One Piece benar ada atau tidak. Semua orang mempertaruhkan nyawa demi mencari jawabannya. Kalau semua rahasia itu dibuka sekarang... aku sebaiknya berhenti jadi bajak laut! Aku tidak suka melakukan petualangan yang membosankan!" 

Monkey D. Luffy, karakter yang diciptakan Sensei Oda dalam serial One Piece adalah representasi dari manusia "New Normal". 

Bertualang menikmati hidup dengan penuh kebersyukuran adalah esensi dibandingkan pencarian harta karun. Dalam pelayarannya ia merajut silaturahmi pada kawan maupun lawan. Penampilan dan gayanya yang sederhana (minimalis) justru menjadi sumber kekuatannya. Kalau dalam filosofi Jawa, "Sugih tanpo bondo". Kaya tanpa benda atau materi. 

Luffy memperjuangkan keadilan sosial berbasis gotong royong, meskipun tidak jarang ia mengalami banyak luka derita. Sebagai pemimpin Bajak Laut Topi Jerami ia menerapkan unboss dengan menghilangkan hirarki dan nirpencitraan sama sekali. 

###

Jepang bangkit pasca peristiwa bom Hiroshima-Nagasaki. Jerman menjadi salah satu negara yang disegani di Eropa dan Dunia setelah robohnya sekat Berlin pada 9 November 1989. 

Bagaimana dengan Indonesia? 

Peradaban "SDM Maju Indonesia Unggul" harus diawali dengan tercapainya tujuan pendidikan, terciptanya manusia-manusia yang senantiasa berpikir berdzikir menggunakan nalar dan menjalani hidup sesuai kadar. Manusia kadar yang tahu batas, yang bisa "puasa" dalam gempita dan gemerlap dunia.

"Dan sing paling penting jadi manusia yang bisa sadar darimana dirinya, siapa dirinya, dan mau kemana dirinya. Itulah peradaban manusia modern, opo iku sebutane? Nu normal? Kalo ndak gitu, ya bukan namanya canggih atau modern, tapi kembali primitif. " Dhawuh Simbah padaku malam kemarin. 

Maka kembali pada persoalan: 
"Tidak semua dukun itu jahat. Tidak semua dokter itu baik." 

Corona yang bertamu mengetuk hati manusia ini bukan berarti jahat ataupun baik. Saatnya manusia belajar untuk tidak menilai dan menghakimi (non-judgement). 

Cukup memperhatikan tanda ataupun pesan yang dibawanya. Yang mengajak manusia membaca dan berpikir, lalu membangun peradaban "New Normal" sesuai yang dikehendaki-Nya.  

Iqra' bismi rabbilladzii khalaq 
Khalaqal in-saana min 'alaq 
Iqra' wa rabbukal-akram 
Alladzii 'allama bil-qalam 
'Allamal-insaana maa lam ya'lam 
  
Sumber gambar: 

Minggu, 03 Mei 2020

Dialektika Dalgona Corona



Oleh Duddy Fachrudin 

Andaikan corona itu senikmat kopi dalgona, akankah engkau akan mereguknya dan membagi-bagikannya? 

Sayangnya corona bukanlah kopi dalgona. Ia penebar rasa takut akan keberlangsungan eksistensi manusia. 

Berita tentang corona disebarluaskan agar manusia memperhatikan dan waspada terhadap ancaman nyata di depan mata. 

Manusia lebih awas dan was-was:
-yang batuk, corona 
-yang bersin, corona 
-yang demam, corona 
-yang tiba-tiba tergeletak pingsan, corona 
-yang blablabla, corona 

Berstatus sebagai pembawa kepanikan, penyebab kematian, dalangnya PHK, aktor dari resesi ekonomi, popularitas corona saat ini nomor satu di dunia. Corona menjadi perbincangan setiap hari. 

Corona dimusuhi dan disumpahserapahi. 

Corona diteliti, ditelusuri secara ilmu bumi. 

Corona juga dikagumi karena berhasil membuat langit bersih dari polusi. 

Corona benar-benar menjadi selebriti. Apalagi pemerintah menyiarkannya saban hari. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai perkembangan terkini. 

Tapi... 

Bagaimana jika corona itu adalah sesuatu yang baik, nikmat, dan bikin selamat dunia akhirat. Apakah orang-oarang akan mendatanginya dan menyiarkannya? Apakah kemudian pimpinan negara dan bangsa akan mewartakannya setiap 24 jam kepada rakyatnya? 

"Opo sing enak karo gawe slamet Mbah, " tanyaku pada Simbah sore itu. 

Simbah menimpai, "Lalalah, kamu itu manusia berpendidikan. Kuliah sampai es es es san takon sama Simbahmu yang cuma kutangan." 

Simbah cengar cengir menatap wajahku yang kebingungan. Tapi senyum itu setidaknya bukan cengengesannya para manusia takabur saat awal corona menyapa negeri manusia. 

Sejurus kemudian Simbah bilang lagi, "Kurang ajar betul kalau setelah corona pulang manusia-manusia ini tidak berubah. Kapitalisme yang memuja eksplorasi dan eksploitasi tanpa batas saat ini ketar ketir dihantam corona. Tobat... tobat. Globalisasi materialisme sudah tak berarti lagi. Corona telah menelanjangi kebobrokan ahlak dan gaya hidup manusia." 

Sejenak Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Artinya kapitalisme dan materialisme sekaligus hedonisme iku ojo dijadikan peganganmu urip nang dunyo iki, anakku... Tak perlu bermegah-megahan, apalagi sikut-sikutan meraih pucuk kepemimpinan. Coba ndelok corona, tak kasat mata. Ora perlu eksistensi untuk menjadi hebat." 

Simbahku menatap wajahku yang dungu dengan teguh. 

"Le, hidup nikmat lan slamet iku ya sumeleh... Meleleh dalam tresno Gusti Allah. Ndak penting kamu jadi apa, pake baju keren atau kutangan gini. Sing penting kamu rela, ridho, ikhlas menjalani semuanya. Untuk bisa ke arah sana gunakan ilmumu untuk mencinta Tuhanmu, mencinta Muhammad Nabimu... 

Kalau kamu cinta, itu seperti meleburnya susu putih sama kopi kentel di dalgonamu itu. Gimana rasakne?" 

Aku cuma bisa mengangguk. "Nggeh Mbah." 

Lagi-lagi Simbah nyerocos kayak sepur malam, "Kamu itu mandat-Nya, diciptakan dengan tujuan mulia, menanam benih manfaat buat generasi selanjutnya. Nandur. Iku sing arane menungso." 

Aku lagi-lagi mengangguk kayak wayang yang sedang dimainkan dalang. 

Dalam diam aku termangu, lalu kuberanikan menyampaikan seuntai tanya kepadanya. 

"Kalau corona itu baik dan membaikkan, nikmat bin membuat selamat dan itu bernama sumeleh, mencintai-Nya dan utusan-Nya, tidak bermegah-megahan, tidak materialis dan tidak kapitalis... Apakah pemimpin akan memberitakan sekaligus mengingatkan warganya untuk berlaku demikian?" 

Senja sore itu mulai tenggelam.

"Pemimpin itu kan ndak harus presiden dan menteri toh. Pemimpin itu ya semua orang. Ketoke kamu sudah mulai waras dadi menungso... 

Jadilah bergerak tanpa terlihat, lalu membelah diri hingga dua, empat, delapan hingga tak berhingga... Jadilah cinta, jadilah dalgona. Tapi untuk itu kamu akan melewati fase kepahitan seperti kopi yang diminum olehku... Sampai kamu merdeka dan memiliki kedaulatan. Dan tetaplah setia dengannya. 

Berjalanlah... berjalanlah." 

Simbah menyeruput sisa terakhir kopi pahitnya. 

Senja akhirnya benar-benar tenggelam. 

Dalam hati aku bergumam, "Membelah diri?" 

Sumber gambar: 

Rabu, 15 April 2020

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Belum lama ini sehubungan dengan perkembangan wabah atau pageblug yang diperantarai virus SarsCoV-2, Sultan HB X menyampaikan petuah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang sangat relevan dalam memaknai kondisi yang terjadi saat ini; Mangasah Mangising Budi, Memasuh Malaking Bumi

Maknanya adalah; mengasah ketajaman akal-budi, membasuh malapetaka bumi. Ini sejalan dengan dalil: 

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Ruum: 41) 

Pageblug ini adalah sebuah peringatan, sekaligus sebuah proses pembelajaran komprehensif yang menempatkan manusia di posisi untuk melakukan proses kontemplasi dan secara paralel "dipaksa" untuk berpikir sistematik dalam menemukan solusi yang bersifat sistemik. 

Ketidak berimbangan pada proses eksploitasi dalam rangka mengakomodir pemenuhan kebutuhan akan rasa aman yang berlebihan, telah menempatkan manusia dalam posisi gagal mensyukuri dan menahan diri dalam mengambil manfaat di semesta sebagaimana yang telah dijanjikan. 

Padahal segenap potensi alam yang telah diciptakan Allah Swt., tak lain dan tak bukan dimaksudkan untuk diolah hingga memiliki nilai tambah serta dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari berkah. 

Kajian tafsir, baik tafsir bil ma'sur maupun tafsir birra'yi dari berbagai ayat Allah tentang potensi sumber daya alam, menunjukkan bahwa memang semestinya manusia dapat mengolah dan mengambil manfaat dari semua yang telah diciptakan Allah hingga dapat menghadirkan banyak hal yang bersifat maslahat. 

Tetapi sekali lagi, jika saya boleh menyitir nasehat Sultan HB X, masalah kita terkait naluri impulsi serakah tak terlepas dari karakter 3G berikut: golek menange dewe (mencari menangnya sendiri), golek butuhe dewe (mencari kebutuhan sendiri), dan golek benere dewe (mencari benarnya sendiri). 

Karena teknologi teleko sudah berkembang, izin saya menambahi menjadi 5G ya: golek senenge dewe, dan golek slamete dewe

Egosentrisme yang lahir dari kinerja survival tools di otak manusia. Ketika spektrum naluri limbikiyah telah memancarkan sinar yang berintensitas tinggi, maka spektrum waskita perlahan berpendar menuju pudar karena terinferensi gelombang yang didominasi kecemasan yang berenergi reduksi yang condong mengeliminasi. 


Rabu, 01 April 2020

Teater Corona, Aku, dan Afalaa Ta'qiluun


Oleh Duddy Fachrudin 

Teater corona terus berlanjut 
Akankah manusia kembali benjut

Aku siap benjut hingga hanya memakai cangcut 
Toh hidup ini hanya ketelingsut 

Mau melawan juga pakai apa? 
Wong aku ora duwe apa-apa 

Cuma bisa puasa tanpa sahur dan berbuka seadanya 
Kalau perlu mutih 40 hari 100 hari sekaligus bertapa dari segalanya 

### 

Aku hanya ingin Tuhan tidak murka 
Ini kehendak-Nya, 
bukan kehendakku 

Aku bukanlah aku 
Aku sudah tiada sejak dulu 

Meski yang dulu-dulu suka menyapa dalam mimpi 
Meminta untuk dikasihani 

### 

Aku hanyalah atom berongga 
Ruang hampa, gelap, dan tak bercahaya 

Hologram membisu, juga merindu 

### 

Aku cuma lempung kampung yang bebas ditelikung maupun diserimpung 
Aku fana fatamorgana yang sudah sejak dulu kala menderita 

### 

Aku materi berfrekuensi yang siap meluruh menjadi energi 
Terbebas dari labirin yang menghimpit penuh ilusi halusinasi 

### 

Corona akan terus bertamu 

Tak ingin menyuruh-nyuruh: 
"Tuhan, lenyapkan corona itu" 

Malu nyuruh-nyuruh Al-Hayyu Al Mumiitu 
Siapa aku nyuruh-nyuruh 

### 

Aku kulit yang mengelupas terkena panas 
Melepuh dan melepas 

Berduyun-duyun sel-sel mengayun tunduk memohon agar bisa ilaihi roji'uun 

### 

Aku, 
si dungu letih ringkih yang hanya bisa bersembunyi dalam kelambu 

Kelambu kasih sayang tempatku bersembahyang 
Menyanyikan stanza cinta bergelombang 

### 

Tak ikut-ikut lagi menanam buah khuldi 
Seperti yang mereka lakukan setiap hari 

Memanen, menikmati, menanam lagi dan lagi 
Terus berulang-ulang kali 

Tak pernah puas dan tak menyadari, 
misi penciptaan diri 

### 

Biarlah aku di sini, 
mati, 
membunuh diri 

Tak terbuai lagi dengan khuldi khuldi 

### 

Corona terus bergentayangan 
Yang ini datang berbulan-bulan 

Yang lain (mungkin) bertahun-tahun 
Menggembalakan racun agar manusia kembali membaca afalaa ta'qiluun 

### 

Bagi para pecinta, 
racun tha'un itu adalah kritik mesra dan pesona kasih-Nya tak terkira 

Sumber gambar: 

Rabu, 01 Januari 2020

Demi Waktu (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Lantas, apa yang harus dilakukan? Waktu jualah yang akan menjawab. Oh bahkan untuk tahu apa yang harus aku lakukan akupun masih harus menunggu? 

Ya, karena terkadang waktu adalah guru terbaik yang akan membimbing kita untuk menemukan sebuah jawaban kiranya apa hal terbaik yang bisa kita lakukan sembari menanti buah perjuangan kita selama ini.

Alkisah ada seorang ibu yang memiliki seorang anak yang dianggap tidak cakap belajar dan juga sering menimbulkan masalah di sekolah. Entah berapa orang temannya yang dibuat cedera oleh anak tersebut. 

Sang ibu bingung dan nyaris kehilangan arah, harus ke mana, harus bagaimana, dan harus meminta tolong kepada siapa. Tentu saja segala upaya dikerahkan, mulai dari berkonsultasi dengan psikolog, memanggil guru les, bersedekah, menyantuni anak yatim, pokoknya segalanya telah dicoba. 

Tapi laporan dari guru tentang perangai buruk sang anak tetap berdatangan setiap harinya. Ia cemas, takut bukan main, bagaimana nasib anaknya kelak? Akankah sang anak bisa bertahan menjalani kehidupan setelah ia tiada? 

Segala tanya bercampur rasa sedih yang tak terbendung lagi hingga rasanya tak ada lagi tempat untuk sesuatu yang bernama harapan.

Setiap hari sang ibu terbangun, ia mengawali harinya dengan do’a agar anaknya bisa menjalani kehidupan dengan baik. Ia juga tidak pernah membiarkan satu hari pun berlalu kecuali ia sudah memeluk dan mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih. 

Ibu itu benar-benar sudah berada pada puncak kepasrahan terhadap apapun yang digariskan untuk anaknya.

Angka pada penunjuk tahun berubah, ibu dengan anak yang sudah ia pasrahkan terhadap takdir tadi, akhirnya mengalami momen puncak penantian yang indah. Atas ijin Allah, sang anak tumbuh menjadi pria dewasa yang mandiri dan menjalani kehidupannya dengan sangat baik, persis seperti yang sering diucapkan dalam do’a ibunya.

Apakah kisah ini nyata? Ya... dalam kenyataannya, ada jutaan manusia bergelut dengan waktu, menanti keajaiban, dan terus melakukan segala hal yang diajarkan waktu untuk terus berupaya dan berpasrah akan apa yang digariskan takdir. Karena pada waktu yang dijanjikan, segala yang kita cemaskan hari ini akan bertemu dengan penawarnya.

Maka, mari menjalani waktu di saat ini meski dengan segala tanya, kita jalani saja. Karena Allah telah menetapkan waktu untuk masing-masing yang kita perjuangkan.

Selamat menanti dan menikmati waktu.


Sumber gambar:

Demi Waktu (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Tersebut dalam Al-Qur’an pada sebuah surat yang mungkin paling sering kita baca dalam shalat, sesuatu yang sangat akrab dengan kita sejak hari pertama menjadi penghuni bumi, yakni waktu.

Sangat penting dan perlu mendapat perhatian utama soal bagaimana kita menjalani waktu yang Allah berikan dengan gratis sepanjang usia. Konsekuensinya tidak main-main, berada dalam kerugian yang amat besar jika lalai akannya.

Waktu bukan hanya sekedar menjalani pergantian detik menjadi menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Waktu mengandung makna besar tentang perjalanan hidup. Kita tentu menyaksikan bagaimana orang-orang mencapai titik yang diidamkan sejak lama setelah berhasil menjalani waktu penantian yang tidak sebentar.

Kata "akhirnya" yang diucapkan dengan wajah sumringah, mata berbinar, dan suara yang penuh dengan nada kegembiraan bercampur lega tak terkira oleh orang-orang yang berhasil “menaklukan” waktu, selalu berhasil membuat darah berdesir turut merasa haru. 

Mereka yang mengucapkan akhirnya dengan dramatis itulah pejuang sejati yang berhasil menjalani waktu yang penuh dengan peluh, tangis tak terputus, hingga jutaan luka yang membuat malam dan siang terasa dikuadratkan. Dan mereka berhasil sampai pada waktu yang memang telah ditetapkan untuk melenyapkan putus asa yang nyaris singgah di setiap kesempatan.

Akhirnya lulus juga! Akhirnya menikah juga! Akhirnya hamil juga! Akhirnya dapat pekerjaan! Akhirnya sembuh! Akhirnya punya rumah sendiri! Akhirnya anakku berubah! Akhirnya suamiku sadar! Akhirnya istriku memahami mauku! Akhirnya...

Dan waktu yang harus kita jalani untuk sampai pada akhirnya itu adalah misteri yang tersimpan dengan sangat rapi dalam perencanaan-Nya. 

Kita mungkin akan tergoda untuk bertanya, berapa lama lagi? Harus menunggu sampai kapan?, karena merasa entah berapa kali 24 jam yang telah dilewati dengan teka-teki. 

Tapi bukankah semakin kita tidak tahu batasnya, maka perjalanan menanti ini semakin seru? 


Sumber gambar: