Tampilkan postingan dengan label Hari Ayah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hari Ayah. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 November 2018

Mindful Parenting: [Refleksi Hari Ayah] Bapak Juara Satu Sedunia (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Terlalu banyak kebaikan beliau yang bisa saya ceritakan, tapi saya hanya ingin memberikan gambaran, kira-kira sedalam apa perasaan saya kepada beliau melalui kisah singkat berikut:

Alkisah di penghujung 70'an saya terbaring sakit berminggu-minggu. Tak ada dokter yang dapat menyembuhkan, termasuk Kakek dan Nenek saya yang seorang dokter dan juga guru besar.

Saat itu Bapak tengah menempuh program Masternya di IHE Delft. Pada akhirnya para dokter bersimpulan bahwa apa yang saya derita adalah manifestasi psikosomatis yang terjadi karena saya menahan rindu kepadanya.

Maka berangkatlah anak kecil ini ke negeri Holland. Belasan jam penerbangan dan beberapa kota dilintasi. Ajaib, setelah bertemu dengan Bapak di bandara Schiphol seolah semua penyakit mendadak sirna!

Tentu semua kita memiliki kenangan berbeda dengan Ayahanda. Tapi susah-senang dan apapun yang beliau lakukan pada kita, marilah kita belajar untuk percaya, bahwa apapun sikap dan perlakuan orangtua, hampir dapat dipastikan bahwa niatnya adalah untuk kebaikan anak dan keluarga.

Saya pernah menulis ini dalam sebuah buku bergenre sastra, tentang seorang Ibu yang dianggap tak beradab karena meninggalkan anaknya di pintu depan pintu asuhan. Tapi ternyata di balik keputusan besar itu sang Ibu terluka dan menjerit dalam hatinya, tak kuat menghadapi perpisahan dengan anaknya. Ia meyakini bahwa dengan segala keadaan yang dihadapi, menitipkan anak bukanlah karena ia ingin lepas dari tanggungjawab, melainkan dengan dititipkanlah maka masa depan anak masih ada peluang untuk terjaga.

Berat baginya, karena merindu. Berat baginya karena tak lama lagi hujan hujat akan membantainya dan memberinya identitas baru sebagai orangtua yang tak tahu malu. Memang demikianlah orangtua, demi anak apapun dilakukannya. Tak malu lagi saat berutang demi membelikan buku pelajaran anaknya. Tak jeri lagi saat di malam buta berlari kian kemari mencari dokter dan obat bagi anak-anaknya.

Jutaan peluh dan airmata telah membasahi tubuh renta mereka. Maka kini saatnya kita yang muda dan rindu Bapak, mulai belajar bagaimana cara menjadi manusia yang seutuhnya, yang mau menerima sekaligus tergerak untuk selalu menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan.

Love U Bapak, dari kami anak-anakmu yang merindu...

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:
https://isha.sadhguru.org/in/en/wisdom/article/fathers-sons-karan-johar-conversation-sadhguru

Mindful Parenting: [Refleksi Hari Ayah] Bapak Juara Satu Sedunia (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Semalam teman saya yang gagah, yang pernah mengabdi sebagai tentara infanteri dan tentu tangguh sekali, berkata bahwa ia rindu Ayahnya.

Banyak hal yang hanya dapat dikenangnya. Banyak hal yang hanya bisa dibaginya dengan sang Ayah; suka, duka, derita, juga gembira. Demikianlah adanya. 

Ternyata saya pun mengalami hal serupa. Saya memang anak Bapak dalam artian harfiah. Anak yang menempel pada Bapaknya. Anak yang beruntung karena memiliki idola yang bisa dibanggakan bukan karena harta, jabatan, ataupun sekedar kerupawanan. 

Bapak yang justru sederhana, bersahaja, dan apa adanya. Pejuang diam yang tak pandai merangkai kata. Yang menunjukkan kasih sayang dengan menggendong sepanjang jalan saat lutut saya terluka kena knalpot motor yang membara. Atau hanya duduk diam melihat saya berenang di sungai Toraut di tengah hutan Dumoga. 

Bapak yang hanya berbinar saat anaknya menjadi murid teladan kabupaten dan pada akhirnya propinsi. Bapak yang duduk tenang saat anaknya diwisuda sebagai lulusan terbaik sekaligus generasi pertama program Pascasarjana disiplin ilmu yang baru ada di Indonesia. 

Tidak banyak bicara tapi jujur dalam laku dan lurus dalam perbuatan. Kadang itu semua melebihi ribuan kata manis berbunga-bunga yang lebih tepat menghiasi halaman-halaman buku cerita. 

Bapak tidak pernah menasehati soal kejujuran dan integritas, namun dibawanya saya ke tempat kerja dan melihat bahwa beliau membongkar semua konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang direncanakan. 

Beliau tidak pernah mengumbar janji dan jargon manis dalam bentuk orasi, tidak, tapi setiap kali berpindah tempat tugas banyak orang melepas kami sekeluarga dengan linangan air mata. 

Dan sampai saat ini setelah Bapak tiada, kemana pun saya pergi di Indonesia selalu ada sahabat-sahabat dan anak didik Bapak yang dengan tulus hati menyambut saya dengan tangan terbuka. Terkadang melebihi saudara. Satu kalimat pendek yang sudah saya hafal karena selalu diulang oleh para rekan Bapak: "...saya banyak belajar dari Pak Sus." Itulah nama panggilan Bapak saya. 

Bagi saya itu hal yang aneh. Bapak saya jarang bicara panjang lebar, hanya senyum dan mendengarkan lalu sesekali melontarkan pandangan dan rencana yang detil. Hemat dalam kata berlimpah dalam karya. 

Usai gempa besar melanda Sulawesi Tengah, beberapa sahabat keluarga mengirimkan foto-foto dari karya konstruksi Bapak berupa rumah panggung yang utuh tidak kurang suatu apa. 

Dan Bapak pun tidak banyak bertanya saat saya mohon izin untuk menikah di usia yang amat muda. Hanya senyum dan mendoakan pilihan saya adalah yang terbaik. 

Bahkan Bapak sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan saat saya memilih untuk menekuni aktivitas yang bersifat akademis tinimbang menjadi orang klinis yang hidupnya bisa dijamin kinyis-kinyis. 


Sumber gambar:
https://isha.sadhguru.org/in/en/wisdom/article/fathers-sons-karan-johar-conversation-sadhguru