Tampilkan postingan dengan label Hari Kesehatan Mental Dunia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hari Kesehatan Mental Dunia. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Oktober 2023

Strategi QIKI Agar Pikiran Jernih dan Tercegah dari Bunuh Diri



Oleh Tauhid Nur Azhar

Kerap dalam hidup kita terjebak dalam pusar keluh kesah yang menyedot kita ke dalam umbalan kekecewaan tak berujung.

Rasa tak puas, cemas, khawatir terhadap masa depan, berkelindan dengan kekesalan akan pengalaman yang telah dijalankan. Semua berkemuncak dalam sebait kemarahan yang dilisankan, ataupun meletup dalam letusan vulkanis yang masif dan emosional, hingga meninggalkan lubang kaldera yang teramat besar di hati dan jiwa kita.


Hati dan jiwa yang terluka, akan menjadi danau penampung air mata sebagaimana danau Toba menampung jutaan metrik ton air di bekas letusan kawah purbanya.

Dapat pula lelehan magma kecewa itu mengalir secara efusif dan keluar dalam bentuk tekanan solfatara. Merembes dan merasuki begitu banyak aspek kehidupan dan menggerus rasa syukur secara terstruktur, meski kita tak dapat mengidentifikasi dan mengukur dampak yang terjadi.


Tapi tentulah apapun jenis letusan dan letupan perasaan yang kita analogikan dengan erupsi gunung api; bisa meledak hebat seperti tipe letusan Plinian, ataupun yang mengeluarkan materi piroklastik seperti ada tipe Hawaiian, tetap saja rasa marah dan kecewa itu pada mulanya akan menghanguskan.

Meski pada tahap berikutnya jadilah ia pupuk yang menumbuhkan benih-benih pembelajaran yang akan berakar kokoh untuk menopang pokok-pokok pengetahuan agar mampu menghasilkan tajuk-tajuk makrifat kesadaran.

Dan apabila tajuk kesadaran itu merindang, maka kesejukan pikir pun akan datang. Berdendang riang, berbagi suara dengan lantun zikir yang membulir dalam sebentuk embun bening peradaban yang dibangun dari pemahaman akan hakikat keberadaan dan esensi kehadiran (presensi).

Dalam hening jiwa yang berkesadaran, kesiur lirih, tipis, dan subtil dari setiap helai kebahagiaan, telah mampu membangkitkan generator rasa syukur yang dikonstruksi oleh mekanisme tafakur dalam perjalanan hidup yang semangat bertadabbur.

Pada saat kita gagal menata hati dan terjerembab dalam jurang merutuki yang menggelincirkan kita dalam pusaran keluh kesah tadi, maka situasi hati akan terus terdistorsi, dan bahkan terdestruksi. Keluh kesah, kecewa, dan rasa kufur akan bersama mengubur rasa syukur dan menimbuninya dengan torehan kepedihan yang amat menyakitkan.

Hidup tak lagi indah, putus asa dan rasa lelah lahir bathin akan melanda, bahkan di penghujung hari kadang terbersit keinginan untuk bunuh diri. 

Bukankah hasrat dan syahwat untuk mengejar nikmat secara terkendali adalah fitrah bagi kita yang hidup untuk berkompetisi dan berprestasi? Fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam menimba kebajikan dari sumur pengalaman yang dipenuhi dengan air pelajaran, untuk menghasilkan bertangkup-tangkup kebaikan.

Ketika gairah hidup surut, dan segenap semangat untuk mengaktualisasi diri bermuara pada apatisme dan rasa sepi, maka dalam panduan diagnosis ICD-10, ada kemungkinan kita telah memasuki fase depresi. Adapun depresi itu sendiri terdiri dari beberapa kategori, sebagaimana penjelasan berikut ini;

1. Depresi Mayor

Depresi ini diartikan sebagai jenis depresi yang membuat penderitanya merasa sedih dan putus asa sepanjang waktu. Gejala bisa berlangsung berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Terlepas dari berapa lama gejala berlangsung, depresi berat dapat mengganggu aktivitas dan kualitas hidup penderitanya. berikut ini gejala dari depresi mayor:

• Suasana hati yang murung dan suram
• Kehilangan minat terhadap hobi atau aktivitas lain yang sebelumnya disukai
• Perubahan berat badan
• Gangguan tidur
• Sering merasa lelah dan kurang berenergi
• Selalu merasa bersalah dan tidak berguna
• Sulit berkonsentrasi
• Kecenderungan untuk bunuh diri

2. Depresi Persisten

Depresi persisten atau distimia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi depresi yang bersifat kronis. Gejala yang ditimbulkan sama dengan depresi pada umumnya, namun depresi jenis ini berlangsung lama bahkan hingga bertahun-tahun. Seseorang dapat disebut menderita depresi persisten apabila ia merasakan gejala depresi yang menetap selama setidaknya 2 bulan secara terus menerus dan hilang timbul dalam waktu 2 tahun.

3. Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat drastis. Seseorang yang memiliki gangguan bipolar bisa merasa sangat senang dan berenergi di suatu waktu, namun tiba-tiba menjadi sedih dan depresi. Pada saat berada dalam fase senang dan berenergi (mania atau hipomania), penderita bipolar akan mengalami beberapa gejala berikut ini:

• Optimis dan tidak bisa diam
• Sangat berenergi dan lebih bersemangat
• Percaya diri yang berlebihan
• Susah tidur atau merasa tidak perlu tidur
• Nafsu makan meningkat
• Banyak pikiran

Setelah berada dalam fase mania atau hipomania untuk beberapa waktu, orang yang memiliki gangguan bipolar biasanya akan masuk ke fase mood yang normal, lalu kemudian masuk ke fase depresi. Perubahan mood ini bisa terjadi dalam waktu hitungan jam, hari, atau berminggu-minggu.

4. Depresi Psikotik

Depresi psikotik ditandai dengan gejala depresi berat yang disertai adanya halusinasi atau gangguan psikotik. Penderita depresi jenis ini akan mengalami gejala depresi dan halusinasi, yaitu melihat atau mendengar sesuatu yang sebetulnya tidak nyata.

Tipe depresi ini lebih banyak terjadi pada orang tua. Meski begitu, orang yang masih muda pun bisa saja mengalaminya. Selain usia lanjut, riwayat trauma psikologis yang berat di masa kecil juga dikatakan dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami depresi psikotik.

Pada wanita sebagai makhluk Tuhan yang hebat dan unik, kondisi overthinking yang terjadi menjadi lebih kompleks dengan kehadiran sistem hormonal yang spesial, hingga dikenal pula kasus-kasus depresi pasca persalinan atau postpartum depression dan premenstrual dysphoric disorder (PMDD) dimana keduanya maujud dalam berbagai bentuk perubahan perilaku temporer yang dapat berdampak signifikan pada yang bersangkutan.

Faktor pemantik terjadinya depresi sebenarnya cukup beragam, mulai dari adanya pengaruh dari aspek genetik, seperti adanya dinamika ekspresi dari gen MTHFR, pola pengasuhan, pajanan budaya, juga pengembangan kapasitas resiliensi yang amat banyak dipengaruhi oleh pola pendidikan dan model interaksi di keluarga dan masyarakat.

Tetapi intinya, depresi dapat terjadi pada siapa saja yang mendapat tekanan multi dimensi hingga mengalami kondisi kronis kejiwaan yang tak sepenuhnya tertangani. Kesadaran akan peran tempat bersandar yang melabuh segenap nalar memberikan kita peluang untuk merasakan aliran energi tak berkadar yang dapat menebar dan menyebar hingga menumbuhkan pondasi kekuatan iman yang berakar.

Maka primary skill untuk menata rasa syukur dan mengelola potensi kufur akan bermuara pada pembeda nikmat dan azab yang akan mewarnai perjalanan kita sebagai manusia (QS Ibrahim ayat 7)

Akankah kita terbenam semakin dalam di dunia yang perlahan mengelam? Ataukah kita akan menjelma menjadi si penyelam yang menyelami samudera masalah dengan menikmati, bahkan menemukan banyak mutiara hikmah yang kelak menjadi aset kekayaan jiwa dan hati di kemudian hari?

Barangkali secara teori, mereka yang selalu mengkomparasi diri dengan lian akan menghasilkan semangat berkompetisi untuk meningkatkan raihan prestasi yang berkorelasi dengan terjadinya peningkatan kompetensi. 

Di sisi lain, dapat terjadi disrupsi yang menghadirkan kegalauan dan kekecewaan berkepanjangan. Misal dengan menyesali bentuk tubuh yang telah dikaruniakan, keluarga yang telah diberikan, ataupun berbagai kondisi yang masuk dalam circle of concern-nya Stephen Covey, terjadi di luar kuasa diri untuk mengendali. 

Kita marah karena mampu mengidentifikasi hal yang tak semestinya terjadi, dan semakin marah atau kecewa karena tak mampu dan kuasa mengubahnya sesuai dengan keinginan diri. Kita seolah dipaksa untuk menerima kondisi karena keterbatasan daya kendali.

Maka mungkin formula QIKI dapat kita coba hayati, dan jika memungkinkan kita terapkan dalam keseharian. Adapun QIKI adalah Qana'ah, Ikhlas, Kanyaah, dan Istiqomah.

Qana'ah secara definisi adalah sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Orang yang memiliki sifat qana'ah memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang melekat pada dirinya adalah kehendak Allah SWT.

Jika dilambari dengan keikhlasan dan kanyaah yang dalam bahasa Sundanya memiliki makna yang amat mendalam; cinta yang merawat dan memelihara. Cinta yang menumbuhkan sebagaimana kasih sayang seorang Ibu pada anaknya. Cinta seperti matahari yang senantiasa sabar menyinari tanpa pernah berharap kembali. Cinta yang menautkan hati dalam getar frekuensi yang memudahkan kita untuk saling berbagi secara konsisten atau istiqomah, karena semua yang melekat hidup dan diri ini semata adalah amanah yang dititipkan Allah.

Maka layaknya sebuah pendakian menuju Puncak Indrapasta yang membutuhkan bekal perjalanan, QIKI merupakan sarana yang dapat dilatih oleh manusia dalam mengarungi kehidupan ini agar senantiasa sehat secara mental dan juga hati. Bukankah saat ini kesehatan mental adalah universal human right?

Sumber gambar:

Senin, 05 Oktober 2020

Kesehatan Jiwa untuk Semua: Sebuah Monolog



Oleh Duddy Fachrudin & Nita Fahri Fitria 

Rapuh, jatuh, meluruh. Hidupku tiada bedanya dengan pohon yang nyaris runtuh.

Aku selalu terburu-buru. Meski tak jelas apa yang diburu. Yang kudapatkan justru cemas, sedih, dan gaduh. Jiwaku bergejolak tak menentu.

Dalam rasa yang mengharu biru, kusadari ada yang salah dengan langkahku.

Ternyata ada yang lebih penting dari sekedar memburu keinginan-keinginan. 

Ketenangan... kedamaian pikiran... kemampuan mengelola perasaan... Itu yang aku butuhkan.

Menjalani momen demi momen dengan penuh kesadaran, penerimaan, dan kebersyukuran. Melepaskan diri dari jerat ilusi pikiran yang tidak memberdayakan. Memaafkan masa lalu, dan tak lagi mengkhawatirkan masa depan.

Hening, mengalir, selaras... hadir sepenuhnya. Mengisi ruang dan waktu dengan penuh makna dan keikhlasan.

Hidup dalam kesederhanaan, tanpa penghakiman.

Ah... Dipikir-pikir, perjalanan hidup itu menyenangkan. Seperti ketika kita memandang cahaya secara perlahan-lahan. Indah bukan? Maka bahagia itu nyata... ketika aku peduli pada kesehatan jiwaku.

Melalui hidup berkesadaran, tak lagi terdistraksi pada ambisi semu. Yang ada adalah tumbuh menjadi pribadi seimbang, kokoh, dan utuh.

Kini, dalam ketidakpastian, mencoba untuk tidak mengendalikan. Berfokus saja menebar cinta dan kebaikan.

Segala peristiwa yang hadir di esok hari adalah tamu yang perlu aku sambut dengan riang gembira. Mereka merupakan guru yang merawat serta memandu perjalanan rindu.

Kesehatan jiwa untukku dan untukmu.

Kesehatan jiwa untuk semua.
 

 
Sumber gambar:
http://www.mindfulnesia.id/2020/03/mengatasi-overthinking-dengan-mbct.html

Rabu, 10 Oktober 2018

Bunuh Dirilah Sehingga Kau Bercahaya


Oleh Duddy Fachrudin

"Terserah, apakah ini dosa, heroisme, atau justru pengecut. Bahwa saya mau bunuh diri! Karena saya tidak mau membunuh orang lain, seberapa sakitpun hati saya oleh pengkhianatan dan penghinaan manusia. Tapi yang saya bolehkan untuk dibunuh hanyalah diri saya sendiri. 

Saya bersyukur perjalanan saya untuk bunuh diri sudah selesai dan tuntas.

Beberapa lama saya mencampakkan om-om dan mas-mas semua ke dalam kegelapan. Karena saya memang gelap. Hati saya gelap, pikiran saya gelap.., kehidupan saya di sini dan di belakang saya juga gelap.

Dan puncak kegelapan saya adalah semua orang seantero negeri ini menyebarkan fitnah bahwa Rayya adalah bintang yang gemerlap dan bercahaya..."

Monolog sunyi nan inspiratif menghentak kesadaran ini di ucapkan dengan lembut oleh Rayya, seorang bintang, artis terkenal yang kemudian mengalami transformasi jiwa.

Ia, dengan segala kemegahannya tak terima ketika dicampakkan oleh seorang laki-laki yang nyatanya telah beristri. Egonya tersakiti, berontak menolak kalah dari derita.

Egonya yang tinggi termelekati dengan rupa-rupa duniawi. Maka sakitlah ia, saat pikiran dan rasa tak kunjung menerima. 

Aku seorang artis besar, bahkan aku dapat membeli laki-laki yang diinginkanku.. Begitulah Rayya.

Untungnya, Arya, seorang biasa nan bijaksana datang menjadi cermin baginya.

Rayya yang mengalami gejolak jiwa ingin bunuh diri. Dan Arya membantunya... menolongnya untuk benar-benar membunuh dirinya--menghancurkan egonya.

Film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya bukan hanya menyuguhkan keindahan alam di sepanjang perjalanan mereka berdua, bertukar kata dari ujung barat Jawa hingga Bali.

Film ini mengajak kita untuk melakukan perjalanan jiwa, mencari jati diri, dan kemudian menemukan mutiara terindah yang bersemayam dalam diri manusia.

Kelak, mereka yang telah menemukannya, hatinya bercahaya.

Arya, bersama orang-orang sederhana telah memantulkan cahaya kepada Rayya, sehingga "dirinya" telah hancur berkeping-keping.

Kemudian Rayya melanjutkan monolognya:

"Budhe pengasuh anak-anak Salam. Tua, tuli, mengabdi kepada pendidikan kemanusiaan di pelosok kesunyian. Di hadapan beliau, Rayya hanya perawan kencur yang kolokan.

Ibu-ibu yang berjualan di pasar. Dengan ringan meletakkan dunia ini di telapak tangannya dan menertawakan Rayya yang menyangka bahwa menjadi bintang adalah segala-galanya.

Si Slamet di perempatan jalan. Menari-nari gembira, menjogetkan rasa syukur yang tanpa batas dan tanpa syarat.

Nenek penjual karak. Aku pikir yang ia junjung di atas kepalanya itu adalah wadah makanan jualannya. Ternyata yang ia junjung adalah martabat.

Ibu-ibu dan anak-anak pekerja pemecah batu. Yang berkantor di gedung terik matahari. Telah menipu saya mentah-mentah. Karena di balik tangan dan jari jemari mereka yang lemah tersembunyi jiwa yang agung dan mental yang tangguh.

Merekalah cahaya yang sesungguhnya. Merekalah cahaya di atas cahaya. Sekarang, sejalan kita berjuang menaklukkan kegelapan. Bersama kita belajar memantulkan cahaya di atas cahaya."

Inilah Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, a road movie bertema mindfulness terbaik versi mindfulnesia.id, yang mengajak kita "membunuh diri" kita, melepaskan kelekatan dunia, menjadi manusia bahagia yang bercahaya.

Menuju Cahaya - Hari Kesehatan Mental Sedunia, 10 Oktober 2018


Sumber gambar:
http://videoezyindonesia.blogspot.com/2014/03/new-release-vei-rayya-cahaya-di-atas.html

Rabu, 03 Oktober 2018

Mindful Parenting: Ayah Bunda, Temani Aku Bertualang!


Oleh Duddy Fachrudin

Michael Resnick Ph.D, dkk, menyatakan remaja yang merasa dicintai dan terhubung dengan orangtua mereka lebih jarang hamil di luar nikah (atau MBA), memakai narkoba, bertindak agresif dan destruktif, serta bunuh diri.

Kok bisa? Tentu saja bisa, karena orangtua sibuk bekerja dan memiliki waktu yang sangat sedikit sekali untuk berinteraksi bersama anaknya. Ketika sang anak berusia remaja, rata-rata orangtua berusia 35-45 tahun di mana mereka sedang berada pada level top di tempat kerja atau bisnisnya.

Kita bisa menengok sejenak beberapa kasus-kasus seperti itu di mana orangtua memiliki waktu dengan anaknya hanya pada hari minggu. Suatu hal yang wajar jika sang anak stres dan mengalihkan masalahnya ke hal-hal negatif.

Pada situasi seperti ini bukan jalan-jalan ke Bali atau Singapura yang dibutuhkan anak. Namun attachment yang sehat serta penuh kasih sayang dan cinta yang diharapkan diberikan ayah-bundanya. Ia rindu akan oksitosin, atau hormon cinta yang dikeluarkan sang bunda saat dirinya lahir ke dunia. Ia pun rindu akan cinta sang ayah yang dibalut dengan pesona diamnya, seperti ayah Ikal—ayah juara satu sedunia.

Maka jika orangtua sibuk, siapa yang kelak melantunkan ayat-ayat-Nya serta mendongengkan kisah-kisah para nabi dan sahabat Rasululullah?

Ya, melayani. Sebagai orangtua, kita perlu melayani anak-anak kita dengan cinta. Menjadi teman serta pemandu perjalanan. 

Dan melayani dapat meningkatkan rasa cinta, benarkah?

Masih berkisah tentang keluarga. Mengapa keluarga? Karena keluarga merupakan sistem interaksi dan pendidikan awal manusia. Hasil pembelajaran yang didapat di keluarga akan menentukan kehidupan anak di masa depan.

Suatu hari aku bertualang meniti bebatuan dalam eloknya riak sungai. Menaiki jembatan bambu yang bergoyang menggerus keseimbangan. Suara alam, jangkrik, atau burung begitu terdengar merdu. Sementara cahaya matahari yang menyembul malu-malu dari balik pohon-pohon rimba.

Sampainya di tujuan setelah menempuh perjalanan panjang, terlihat sebuah keluarga: Ayah, Bunda, dan 2 buah hatinya. Yang satu sekitar 7 tahun, satunya lagi yang dalam dekapan hangat Bundanya, masih sekitar 2 tahun.

Mereka menapaki jalur naik-turun yang sama denganku! Mereka tersenyum bahagia, dan mungkin juga sesekali bertahmid memuji keagungan karya cipta-Nya. Ketika meniti jembatan bergoyang itu, terpancar sinergi dan kolaborasi cinta agar tidak terjatuh. 

Memang benar dalam Islam, bahwa salah satu memperkuat ikatan dan rasa cinta adalah dengan berjalan jauh bersama. Ketika rihlah penuh cinta, momen-momen indah akan bersemayam di hipokampusnya masing-masing. Emosi bahagia tumpah ruah ke sekujur tubuh yang lelah. 

Aku belajar dari keluarga itu, keluarga yang terlihat sederhana. Saat keluarga lain menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, mereka dengan senyum dan tawa melakukan petualangan.

Rasa cinta kepada pasangan atau anak-anak akan semakin meningkat. Ayah dengan Bunda, Ayah Bunda dengan anak-anaknya, serta sebaliknya. Kelak suatu hari di masa depan, sang anak akan bertutur kisah bahagia saat mereka mendaki rimba dengan Ayah Bundanya tercinta. "Inilah perjalanan kita, perjalanan cinta," begitu mereka mengakhiri kisahnya.

*Sebuah refleksi Hari Kesehatan Mental Dunia setiap 10 Oktober. Mari peduli dan sadar akan pentingnya mental health anak-anak kita.

Sumber gambar:
https://www.outsideonline.com/2099776/why-you-should-hike-your-baby-and-how-do-it