Tampilkan postingan dengan label Inner Peace. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inner Peace. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Agustus 2020

Ubah Dunia dengan Mendengar



Oleh Duddy Fachrudin 

“Dulu gue tuh, berdoa, memohon, meminta, berharap dari mulai yang aneh-aneh sampai yang paling sederhana. 

Meminta hanya untuk sehat aja kok... tapi kenyataannya yang dihadapi sekarang adalah penyakit kanker. Hodgkin’s lymphoma... sejak itu nggak lagi mau meminta. 

Do’a sekarang untuk mendengar dan merasakan energi Yang Maha Kuasa... Hanya keheningan yang membuat kita mendengar sebenarnya...”

Sebuah monolog yang menyentuh dari seorang karakter bernama Meimei yang diperankan Cut Mini dalam ending film Arisan 2. 

Bagi saya, monolog ini sangat menohok kesadaran sekaligus melucuti ego saya yang sering kali meminta ini itu kepada Tuhan.

Berdo’a memang harus, bahkan Allah Swt. meminta kita untuk berdo’a kepada-Nya. Dengan begitu kita sebagai hamba-Nya ini senantiasa merapat dan mendekat kepada-Nya. 

Namun kadang selama berdo’a kita lupa untuk berdialog, mendengar, dan merasakan kehadiran-Nya. 

Kita berdo’a hanya karena memang minta ini itu berupa kebutuhan duniawi.

Aktivitas dunia yang serba sibuk, padat, dan ramai semakin membuat kita lupa akan mendengar, termasuk mendengar tubuh kita sendiri. 

Tubuh berkata “Sudah cukup, aku butuh istirahat. Aku tidak kuat lagi digunakan untuk bekerja. Aku benar-benar butuh istirahat.” 

Sayang orang yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya tidak mendengar jeritan tubuhnya. Kesehatan diabaikan dan akhirnya sakit bahkan tidak jarang meninggal.

Maka kita perlu merenungkan kembali kata-kata Dalai Lama yang menganggap manusia adalah hal yang membingungkannya. 

Mengapa? 

Beliau menjawab, “Karena manusia mengorbankan kesehatannya demi uang. Lalu ia mengorbankan uangnya demi kesehatan. Manusia sangat khawatir dengan masa depannya sampai-sampai tidak menikmati saat ini.”

Sumber gambar:

Selasa, 13 Agustus 2019

Dialog Imajiner Den Mas Yudho


Oleh Tauhid Nur Azhar

Seperti kayu yang mengikhlaskan dirinya menjadi abu ketika api perlu urup untuk menguripi.

Pengorbanan bukanlah kesia-sian, melainkan kesadaran tertinggi untuk memahami arti "hadir" dan mencintai.

Ada, Berada, dan Tiada semua hanyalah makna yang dibingkai kata-kata. Direnda menjadi rajutan perca dalam teater kala yang tepinya disulami bordir sementara.

Maka apa salahnya menjadi abu?

Apa salahnya mencintai api yang lalu melumat aku?

Karena aku, sang kayu, tahu. Tanpa aku tak ada kamu (api), dan tak ada panas yang lahir dari rahim ikhlas.

Bukankah semesta fana ini semata hanyalah lingkaran panas (baca tenaga) yang membangkitkan raga (baca; makhluk)?

Dan tak ada yang kuasa mencegah apapun yang telah menjadi kehendak-Nya.

Maka kayu, api, abu, dan kamu.. ya kamu.. yang tetap ada, karena ada yang rela tiada, hanyalah semata wayang berjiwa yang jumawa seolah digdaya dalam menguntai rasa menjadi cerita.

Meski punya nalar, kita kerap tak sadar bahwa semua cerita ditulis sekehendak penulisnya. Dan Sang Penulis adalah Qulillâ humma mâlikal mulki.

Wa tukhrijul hayya minal mayyiti wa ma tukhrijul mayyita minal hayya... Ada yang pergi dan mati untuk lahir dan hadirnya kehidupan, demikian pula sebaliknya. 

Dan pada gilirannya semua hanyalah sebaris ingatan tanpa penubuhan. Menjadi ada karena tiada, dan sementara menjadi tanda bahwa setiap ada akan menjadi tiada kecuali yang Satu jua...

Sumber gambar: 
Dokumen pribadi

Rabu, 05 Desember 2018

Melepas Mindfulness [Agar Hidup Semakin Mindful]


Oleh Duddy Fachrudin

Biasanya seorang praktisi psikologi atau psikolog memiliki teknik atau metode tertentu yang selalu ia pakai dalam menangani seorang klien.

Psikolog A memakai pendekatan CBT. Psikolog B konseling berbasis client-centered. Dan Psikolog C menggunakan terapi EFT.

Saya sendiri biasanya mengajak klien untuk melakukan latihan-latihan mindfulness.

Namun dengan seiring berjalannya waktu, saya tidak lagi menggunakan satu pendekatan, yaitu mindfulness.

Saya "melepas" mindfulness, dan tidak terikat dengannya.

Karena tidak ada satu teknik atau metode terbaik, bukan?

Maka kita perlu bejalar pada Master Shifu yang tidak pernah meminta Po untuk bermeditasi untuk mengembangkan inner piece.

Dan dengan melepas hal itu, Po akhirnya menguasai inner piece.

Sumber gambar:
http://kungfupanda.wikia.com/wiki/Shifu

Minggu, 12 November 2017

Buku Mindfulness: Unduh Buku Gratis


Oleh Duddy Fachrudin

“Begitu nikmatnya saat melepas diri yang penuh nafsu dan diri yang gaduh gelisah. Dalam diri yang tenang dan damai, maka akan mudah tercipta cahaya yang indah. Cahaya yang yang sinarnya siap menerangi berbagai sudut semesta.”




Untaian kata itu hanya bagian kecil dari keseluruhan kata dalam buku “Inner Peace, Hidup Bahagia Mati Lebih Bahagia”, sebuah buku yang bertemakan psikologi dan spiritual yang dikemas dengan bahasa sederhana.

Buku ini dapat Anda baca dengan mengunduhnya terlebih dahulu di laman Buku Gratis.

Selamat membaca dan semoga mendapatkan manfaat dari buku ini.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Senin, 18 September 2017

Mindful Lansia: Bidadari Surga


Oleh Duddy Fachrudin


Dikisahkan dalam Kungfu Panda, Po Sang Dragon Warrior dan teman-teman seperjuangannya harus menghadapi suatu senjata yang dapat menghancurkan masa depan kung fu. Po yang polos dan baru saja belajar kung fu bingung kemudian bertanya kepada gurunya, Shifu, “Bagaimana caranya (kung fu) menghentikan sesuatu yang ia sendiri dapat menghancurkan kung fu?”

Lalu Shifu menjawabnya dengan, “Segalanya mungkin jika kau memiliki inner peace.”

Dalam dunia yang semakin sibuk ini, setiap orang saling mengejar ambisi. Dan karena arus informasi yang tiada henti melalui berbagai media, kita sulit menjumpai hingga memiliki inner peace (kedamaian jiwa).

Setelah kekisruhan ekonomi melanda Eropa dan Amerika, orang-orang dari Barat kini gemar mencari serta menemukan ketenangan dan kedamaian jiwa di Timur. Tibet, Thailand, Myanmar, dan Indonesia dengan Bali-nya konon menjadi destinasi mereka untuk menemukan kedamaian jiwa.

Kini orang-orang mencarinya. Namun perlu diketahui bahwa kedamaian jiwa tidak akan pernah menghampiri kita saat diri kita sibuk dengan ambisi dunia, menjadi sempurna, terus mengejar dan menumpuk materi, serta haus akan pujian. 

Ia juga tidak akan pernah menyapa hati saat kita dilanda ketakutan, kekhawatiran akan masa depan, memiliki kemarahan dan kekecewaan di masa lalu, iri dan dengki terhadap orang lain, sombong dan membanggakan diri, serta masih melekati diri dengan dunia.

Ijinkan saya bercerita dengan seorang lansia di Panti Werdha. Usianya sudah 81 tahun. Meskipun jalannya sudah bongkok, ia masih dapat bercerita dengan runtut mengenai berbagai peristiwa di masa lalunya. Ia adalah seorang kakak dari keempat adiknya dan selalu amanah terhadap pesan orang tuanya untuk selalu menjaga adik-adiknya.

Sang Lansia memenuhi harapan orang tuanya. Ia bukan hanya menjaga adik-adiknya, tapi juga menemani orang tuanya saat mereka pulang kembali kepada-Nya. Ketika hal itu terjadi ia berusia 34 dan 36 tahun atau tepatnya pada tahun 1967 dan 1969. Setelah bakti pada orang tuanya, ia masih menjadi kakak tercinta dengan merawat keponakan-keponakannya sambil merangkai dan menjual bunga.

Ketika saya menanyakan mengenai keluarganya (suami atau anak-anaknya), ia mengatakan, “Saya nggak punya keluarga Nak. Paling adik-adik atau keponakan kalau datang ke sini 4 bulan sekali.” Saya tidak melanjutkan bertanya mengenai hal itu, karena kemudian ia memberikan pelajaran berharga bagi saya, “Yang penting kita dekat dengan Allah. Saya nggak punya keinginan apa-apa.”

Hati Sang Nenek begitu tenang dan jiwanya diliputi awan kedamaian. Pada tahun 1996 ia masuk ke Panti Werdha atas keinginannya sendiri. Lantas tubuhnya tak berdiam diri dengan meringkuk di kursi. Namun ia merangkai bunga, mencuci pakaian teman-temannya, menyapu halaman, berbagi rasa dengan para pengunjung panti dan melakukan aktivitas lainnya yang penuh makna.

Sebelum adzan menyahut merdu, ia meminta ijin untuk kembali ke kamarnya yang sederhana untuk memanaskan air, dan shalat duhur. Setelah beberapa lama berselang saya menghampiri kamarnya dengan maksud pamit pula, namun ia terlihat masih khusyuk berdo’a di atas kasurnya dengan mukena masih melekat di wajahnya.

Kedamaian jiwa saya jumpai di sebuah Panti Werdha, pada hati seorang lansia yang kelak menjadi bidadari surga yang penuh cahaya.

Sumber gambar:
http://mozaik.inilah.com/read/detail/2331426/kenapa-suamiku-di-dunia-direbut-bidadari-surga