Tampilkan postingan dengan label Kawruh Jiwo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kawruh Jiwo. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Mei 2020

Pendidikan, Bajak Laut, dan Peradaban "New Normal"



Oleh Duddy Fachrudin 

"Tidak semua dukun itu jahat. Tidak semua dokter itu baik." 

Dokter senior dan terhormat di salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta yang bilang begitu dalam pengantar di buku "Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib" yang ditulis dr. Ade Hashman. 

Dulu ada buku yang berjudul "Jangan ke Dokter Lagi". Yang nulisnya padahal dokter. 

Mungkin suatu saat ada buku beredar dengan judul di sampul depannya bertuliskan "Jangan ke Psikolog Lagi". Yang nulisnya seorang psikolog. 

Mbah Jon Kabat-Zinn bercerita: 
Ketika saya mulai bekerja di pusat kesehatan, saya diberi tiga jas panjang berwarna putih yang di sakunya bersulamkan tulisan "Dr. Kabat-Zinn/ Departement of Medicine". Semuanya tergantung di balik pintu ruangan saya selama 15 tahun, tanpa terpakai. 

Baginya, memakai jas putih/ malaikat itu bukanlah esensi dari eksistensi. Yang sejati ialah saat mampu berinteraksi dengan perhatian penuh (mindful) dengan siapapun yang ada di hadapannya. Wherever you go, there you are

Di dunia yang serba mengagungkan materi, manusia acapkali mengejar eksistensi. 

Manusia berlomba-lomba dalam penampilan, citra diri (melalui pencitraan), kekayaan, dan kekuasaan. 

"Le, segala yang nampak itu palsu," Simbah memulai wejangannya. 

"Ojo gampang ditipu," katanya lagi. 

### 

UU Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara gamblang menegaskan bahwa fungsi Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: 

1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
2. berakhlak mulia; 
3. sehat; 
4. berilmu; 
5. cakap; 
6. kreatif; 
7. mandiri; 
8. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Kata kunci dalam pendidikan adalah ilmu. Dalam Al Qur'an kata tersebut dan kata jadiannya disebutkan hingga 780 kali. Prinsip dalam berilmu dan mencari ilmu sendiri tidak lain adalah aktivitas berpikir (afalaa ta'qilun, afalaa yatadabbarun, afalaa tatafakkaruun). 

Jika kita mengoptimalkan fungsi nalar sebaik mungkin dalam proses pendidikan atau mencari ilmu, maka karakter, watak, hingga akhlak mulia dapat maujud dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang mendapat amanat sebagai mandat-Nya di bumi. 

Namun distraksi kemelekatan materialis dan pola pikir kapitalis, serta kesombongan manusia telah mengikis serta mengkhianati potensi agung yang telah dianugerahkan Tuhan padanya. 

Al-Ghazali berpesan, "Ketahuilah wahai kekasih, manusia tidaklah diciptakan dengan main-main, ataupun secara serampangan, namun diciptakan secara mengagumkan untuk sebuah tujuan yang mulia." 

Kehidupan "New Normal" setelah pandemi bukan hanya terkait cara-cara baru dalam berinteraksi, bekerja, bepergian, dan menjalani aktivitas sehari-hari. 

Era baru ini adalah masa bajak laut sepeninggal Gold D. Roger. Yaitu jaman bajak laut yang humanis dan menjalani pelayaran dengan penuh kesadaran.  Bajak laut tanpa eksploitasi dan eksplorasi pemenuhan kebutuhan alias nirketamakan. Perompak yang justru tidak memfokuskan diri pada untung rugi serta dunia materi. 

Seperti halnya Luffy berkata, "Aku tak peduli di mana harta itu berada! Aku juga tak peduli apa One Piece benar ada atau tidak. Semua orang mempertaruhkan nyawa demi mencari jawabannya. Kalau semua rahasia itu dibuka sekarang... aku sebaiknya berhenti jadi bajak laut! Aku tidak suka melakukan petualangan yang membosankan!" 

Monkey D. Luffy, karakter yang diciptakan Sensei Oda dalam serial One Piece adalah representasi dari manusia "New Normal". 

Bertualang menikmati hidup dengan penuh kebersyukuran adalah esensi dibandingkan pencarian harta karun. Dalam pelayarannya ia merajut silaturahmi pada kawan maupun lawan. Penampilan dan gayanya yang sederhana (minimalis) justru menjadi sumber kekuatannya. Kalau dalam filosofi Jawa, "Sugih tanpo bondo". Kaya tanpa benda atau materi. 

Luffy memperjuangkan keadilan sosial berbasis gotong royong, meskipun tidak jarang ia mengalami banyak luka derita. Sebagai pemimpin Bajak Laut Topi Jerami ia menerapkan unboss dengan menghilangkan hirarki dan nirpencitraan sama sekali. 

###

Jepang bangkit pasca peristiwa bom Hiroshima-Nagasaki. Jerman menjadi salah satu negara yang disegani di Eropa dan Dunia setelah robohnya sekat Berlin pada 9 November 1989. 

Bagaimana dengan Indonesia? 

Peradaban "SDM Maju Indonesia Unggul" harus diawali dengan tercapainya tujuan pendidikan, terciptanya manusia-manusia yang senantiasa berpikir berdzikir menggunakan nalar dan menjalani hidup sesuai kadar. Manusia kadar yang tahu batas, yang bisa "puasa" dalam gempita dan gemerlap dunia.

"Dan sing paling penting jadi manusia yang bisa sadar darimana dirinya, siapa dirinya, dan mau kemana dirinya. Itulah peradaban manusia modern, opo iku sebutane? Nu normal? Kalo ndak gitu, ya bukan namanya canggih atau modern, tapi kembali primitif. " Dhawuh Simbah padaku malam kemarin. 

Maka kembali pada persoalan: 
"Tidak semua dukun itu jahat. Tidak semua dokter itu baik." 

Corona yang bertamu mengetuk hati manusia ini bukan berarti jahat ataupun baik. Saatnya manusia belajar untuk tidak menilai dan menghakimi (non-judgement). 

Cukup memperhatikan tanda ataupun pesan yang dibawanya. Yang mengajak manusia membaca dan berpikir, lalu membangun peradaban "New Normal" sesuai yang dikehendaki-Nya.  

Iqra' bismi rabbilladzii khalaq 
Khalaqal in-saana min 'alaq 
Iqra' wa rabbukal-akram 
Alladzii 'allama bil-qalam 
'Allamal-insaana maa lam ya'lam 
  
Sumber gambar: 

Selasa, 13 Agustus 2019

Dialog Imajiner Den Mas Yudho


Oleh Tauhid Nur Azhar

Seperti kayu yang mengikhlaskan dirinya menjadi abu ketika api perlu urup untuk menguripi.

Pengorbanan bukanlah kesia-sian, melainkan kesadaran tertinggi untuk memahami arti "hadir" dan mencintai.

Ada, Berada, dan Tiada semua hanyalah makna yang dibingkai kata-kata. Direnda menjadi rajutan perca dalam teater kala yang tepinya disulami bordir sementara.

Maka apa salahnya menjadi abu?

Apa salahnya mencintai api yang lalu melumat aku?

Karena aku, sang kayu, tahu. Tanpa aku tak ada kamu (api), dan tak ada panas yang lahir dari rahim ikhlas.

Bukankah semesta fana ini semata hanyalah lingkaran panas (baca tenaga) yang membangkitkan raga (baca; makhluk)?

Dan tak ada yang kuasa mencegah apapun yang telah menjadi kehendak-Nya.

Maka kayu, api, abu, dan kamu.. ya kamu.. yang tetap ada, karena ada yang rela tiada, hanyalah semata wayang berjiwa yang jumawa seolah digdaya dalam menguntai rasa menjadi cerita.

Meski punya nalar, kita kerap tak sadar bahwa semua cerita ditulis sekehendak penulisnya. Dan Sang Penulis adalah Qulillâ humma mâlikal mulki.

Wa tukhrijul hayya minal mayyiti wa ma tukhrijul mayyita minal hayya... Ada yang pergi dan mati untuk lahir dan hadirnya kehidupan, demikian pula sebaliknya. 

Dan pada gilirannya semua hanyalah sebaris ingatan tanpa penubuhan. Menjadi ada karena tiada, dan sementara menjadi tanda bahwa setiap ada akan menjadi tiada kecuali yang Satu jua...

Sumber gambar: 
Dokumen pribadi

Rabu, 15 Agustus 2018

Kongres HIMPSI 2018: Inspirasi dari Psikologi


Oleh Duddy Fachrudin

Kalau kata Alm. Kang Agus Sofyandi Kahfi (Dosen Psikologi Unisba), belajar di psikologi itu enak, bisa menertawakan diri sendiri...

Sejenak kata-kata beliau mirip sekali dengan yang diungkapkan oleh salah satu sahabat Ki Hajar Dewantara. Ia juga merupakan seorang yang pernah memberikan nasihat kepada Presiden Soekarno. Siapa lagi jika bukan Ki Ageng Suryomentaram. Sosok cerdas yang "kabur" dari Keraton Yogyakarta untuk nggolek i yang namanya menungso.

Sampai suatu ketika setelah bangun tidur Suryomentaram berkata kepada istrinya, "Mbok.. mbok aku wis nemu wong..."

"Sopo," kata istrinya.

"Orang itu yang nggak pernah puas... "

"Sopo," ujar istrinya lagi.

"Ya aku iki, Si Suryomentaram," jawab Ki Ageng dengan wajah sumringahnya.

Manusia itu ya aku. Si nggak pernah puas, si kecewa, si pemarah, si iri, si dengki, si sombong, si pemaaf, si penerima, si penyayang, si penolong, dan lain-lain.

Maka, kemudian Suryomentaram yang tidak pernah kuliah psikologi ini mengajar psikologi kebahagiaan "Kawruh Jiwo" jauh-jauh hari sebelum Martin Seligman melakukannya.

Uniknya Kawruh Jiwo ini mengajarkan kita untuk meruhi awakipun piyambak alias mengenal dan memahami diri secara tepat. Inilah awal kunci hidup bahagia.

Maka, bahagia itu adanya di dalam diri, tidak perlu dicari di luar diri. Search inside yourself, merujuk para pengajar mindfulness di Google University.

Inspirasi ini yang perlu ditularkan oleh siapapun yang berkecimpung dalam dunia psikologi, terlebih para Psikolog, Sarjana Psikologi, maupun Civitas Akademik di Fakultas atau Prodi Psikologi se-Indonesia. Dan Kongres HIMPSI tanggal 6-8 September 2018 merupakan langkah awal kita untuk memberikan sumbangsih bagi bangsa ini.

Sebuah karya nyata mengajak setiap elemen masyarakat untuk bebas dari penjara pikiran yang menghimpit. Merdeka dari belenggu rasa yang mengganggu. Menemukan Centhini, kekasih yang tersembunyi. Lalu hidup sepenuhnya di setiap momen tanpa keluh kesah, amarah, serta wiwaha yuda naraga. Kemudian menikmati pengembaraan dalam ruang kehidupan dengan penuh kebersyukuran dan cinta kasih.

Semoga.

Sumber gambar:
http://kongres2018.himpsi.or.id/