Tampilkan postingan dengan label Masalah Percintaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masalah Percintaan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Juni 2019

Mindful Couple: Cinta Saja Tak Cukup... ?


Oleh Duddy Fachrudin

All you need is love, kata the Beatles. Namun nyatanya, cinta saja tak cukup membuat Song Couple melanjutkan perjalanan cintanya. John Lennon, Paul McCartney, Ringo Starr, dan George Harrison kalau begitu penipu dong?

Mengelola sebuah penikahan tak semudah jatuh cinta lalu mengatakan i love you semata. Meskipun ada beberapa kesamaan, pernikahan sejatinya adalah manajemen ketidakcocokan antara dua insan yang berbeda.

Karakter, kepribadian, suku, bangsa, hingga agama serta keyakinan dapat menjadi faktor protektif sekaligus resiko dalam sebuah pernikahan. Ada yang dapat bertahan dan ada pula yang memilih jalan perpisahan karenanya.

Maka, Tuhan yang menciptakan perbedaan ini juga sekaligus menganugerahkan seperangkat alat dan sarana bagi manusia untuk belajar serta mengembangkan kecerdasan berbasis kesadaran (mindful).

Maka cinta sesungguhnya rasa yang tak lagi berpusat dan bermuara pada reward dan punishment. Ia hadir juga bukan karena kemolekan fisik atau materi.

Cinta ada karena humanisme jiwa yang tertempa oleh segala derita dan terpapar oleh cahaya semesta berisi oksitosin yang melimpah ruah.

Maka cinta adalah rasa yang jatuh berulang-ulang karena ia selalu takjub akan keindahan yang tersembunyi di lorong-lorong langit dan bumi.

Bernyanyilah, menarilah.

Merayakan cinta. Menyibukkan diri dengan cinta.

Mungkin cinta saja sudah cukup, jika kita memahami betapa indahnya cinta itu.

Sumber gambar:
https://www.bolasport.com/read/311767581/song-joong-ki-dan-song-hye-kyo-seharusnya-bisa-jadi-atlet-dan-tampil-pada-olimpiade

Jumat, 04 Mei 2018

Mindful Couple: Dapatkah Mindfulness Mencegah Perceraian?

Growing Old Together

Oleh Duddy Fachrudin

9000 kasus perceraian.

Jumlah itu menempatkan Kabupaten Cirebon menduduki peringkat tiga mengenai tingkat perceraian tertinggi selama tahun 2017. Juara satu dan dua "dimenangkan" oleh Kabupaten Indramayu dan Kota Cimahi. Begitulah berita yang tersaji di jabar.tribunnews.com pada tanggal 22 Maret 2018.

Dalih cerai sebagian besar karena faktor kemiskinan.

Terasa janggal jika kemiskinan dijadikan kambing hitam penyebab perceraian. Karena "iltamisur rizqa bin nikaah," ujar Sang Nabi, Muhammad Saw.

Dalam hadis ini kita diminta mencari rezeki melalui jalan pernikahan. Jadi, pernikahan sesungguhnya tidak akan pernah membuat pelakunya miskin.

Ada variabel yang belum diteliti atau ditemukan yang menjadi penyebab perceraian.

Namun, kita boleh belajar pada John Gottman (2015), seorang Guru Besar bidang Psikologi dari Universitas Washington yang selama lebih dari 40 tahun memfokuskan diri mengkaji relasi pasangan suami istri. Berdasarkan penelitiannya, ada 4 hal yang dapat menjadi prediktor perceraian.

Pertama: CRITICISM
Kritik adalah ketidaksetujuan yang dibangun atas sebuah persepsi. "Kamu egois", "Kamu tidak bisa diandalkan dan selalu sibuk", "Kamu selama ini tidak peduli sama aku". "Kamu... kamu... dan kamu..."

Kehidupan pernikahan dipenuhi dengan saling mengkritik dan menilai pasangan.

Kedua: DEFENSIVENESS
Kebalikan dari kritik, defensiveness adalah sikap bertahan, membela diri, dan tidak menerima kritikan pasangan. "Nggak kok, aku nggak egois", "Aku sibuk karena diminta bosku, jadi ini bukan salahku, kan?", "Aku sudah memberikan apa yang kamu inginkan!".

Defensiveness pada akhirnya bertujuan "menyerang" balik atas ungkapan yang dirasa memojokkan salah satu pasangan.

Ketiga: CONTEMPT
Serang-menyerang yang berkelanjutan menghasilkan perang. Penghinaan bernada sarkas dapat muncul keluar begitu saja tanpa kendali. Inilah contempt. Menyakitkan rasanya mendengarkan kalimat sarkastik, apalagi itu berasal dari pasangannya sendiri. Contoh interaksi sarkastik dari film Ada Apa Dengan Cinta:

Cinta: Sejak gue ketemu elo, gue berubah jadi orang yang beda (nada tinggi). Orang yang nggak bener.

Rangga: Gini ya Ta, salah satu diantara kita, itu pasti lebih punya hati, atau punya otak. Tapi kamu kayaknya nggak punya kedua-duanya deh.

Jlebb.

Keempat: STONEWALLING
Setelah "perang" berkepanjangan, masing-masing pasangan kemudian berpikir, lalu self-talk, "Saya lebih baik diam, tidak usah menanggapi, karena percuma menanggapi." Suasana panas membara yang membakar fondasi keluarga akhirnya berubah dingin membeku dan membatu meninggalkan sembilu.

Ibarat makan sayur tanpa garam. Hambar.

Kalaupun salah seorang menanggapi ucapan pasangannya, ia berkata dengan sangat irit, "Oh.." atau "Mmm..." atau tanpa suara dan hanya gerakan non-verbal tanpa rasa yang semakin membuat suhu udara rumah tangga semakin minus dibawah nol derajat.

Berdasarkan pemaparan Gottman tersebut, maka sumber malapetaka pernikahan sesungguhnya adalah permasalahan komunikasi. Ketidakmampuan mendengarkan dan menerima satu sama lain akibat keangkuhan yang melekat merupakan awal dari bencana yang bernama perceraian.

Maka apakah dengan mengembangkan sikap mindful, seperti memberikan perhatian penuh dan tidak reaktif saat pasangan berbicara dapat mencegah perceraian, dan bahkan sekaligus menambah keintiman relasi suami-istri?

Referensi:
Gottman, J.M. (2015). Principa amoris: The new science of love. Routledge: New York.

Sumber gambar:
https://www.pinterest.com/bratandpunk/growing-old-together/

Kamis, 07 September 2017

Mindful Couple: 5 Langkah Agar Mudah Move On dari Masalah Percintaan


Oleh Duddy Fachrudin

Suatu ketika ada seorang perempuan muda menceritakan masalahnya kepada saya. Inti dari masalahnya adalah pasangannya sudah meyakinkan dirinya bahwa ia akan menikahinya. Tentu saja perempuan muda tersebut merasa senang dan mempersiapkan diri untuk menjadi pendamping hidup yang terbaik.

Namun, ternyata belum ada langkah konkrit yang dilakukan pasangannya untuk menikahinya. Perempuan muda ini terjebak dalam perasaan galau, gelisah, dan gundah gulana. Ia bingung apa yang harus dilakukannya? Apakah ia harus meninggalkan pasangannya dan mencari laki-laki lain yang siap menjadi suaminya atau tetap menunggu pasangannya melamar dirinya di hadapan orang tuanya.

Tentu saja kasus sulit move on tidak hanya terjadi pada masalah percintaan. Saya pernah menangani mahasiswa yang stuck pada kuliahnya di tingkat pertama di sebuah universitas ternama di Indonesia. Nilai-nilainya sangat rendah sehingga ia harus mengulang beberapa mata kuliah pada tahun berikutnya. Pada saat itu kondisi keluarganya juga sedang tidak harmonis. Hal tersebut yang semakin membuat mahasiswa ini kehilangan fokus pada kuliahnya.

Permasalahan sulit move on yang paling buruk adalah ketika kita tidak hidup di masa ini. Pikiran kita mengembara ke masa lalu, entah pada kekecewaan, kemarahan, dendam, perasaan sakit hati, sampai rasa bersalah yang tinggi. Orang yang hidup pada bayang-bayang masa lalu hidupnya tidak akan bahagia. Ia seperti berjalan menuju masa depan sambil membawa beban yang sangat berat di pundaknya.




Move on pada intinya adalah terlepas dan berpindah. Orang yang sulit move on berarti pikirannya masih melekat pada suatu hal yang ada di masa lalu. Maka apa yang perlu dilakukan untuk move on? Cukup dengan melepaskan atau membebaskan pikiran yang terpenjara. Berikut langkah-langkahnya (dengan ilustrasi kasus percintaan):

Pertama, jika ada pikiran yang mengganggu, cukup amati, misalnya muncul perasaan kecewa, cukup amati perasaan kecewa itu tanpa berkomentar. Cara mengamati yang baik adalah diam sejenak.

Kedua, deskripsikan perasaan kecewa tersebut, misalnya, “Oh saya kecewa karena pasangan saya mengkhianati saya.”

Ketiga, terima perasaan kecewa tersebut, misalnya, “Saya mengijinkan diri saya menerima perasaan kecewa ini...Terima kasih tubuh, jiwa dan pikiran yang telah mencintainya. Dengan begitu saya menyadari sekali bahwa saya mencintainya. Namun ternyata apa yang telah direncanakan dan diusahakan tidak berjalan lancar. Maafkan saya wahai tubuh, pikiran, dan jiwa, karena kalian semua tersakiti. Saya sekarang mulai belajar untuk ikhlas... ikhlas melepaskan semuanya. Terima kasih sekali lagi, dan maafkan saya."

Keempat, berpikir secara matang untuk mengambil keputusan move on. Dengan berpikir matang maka keputusan yang diambil akan lebih bijaksana.

Kelima, hiduplah untuk saat ini, yaitu dengan menikmati hari ini dengan bahagia. Kadang kita tidak di masa lalu dan masa depan. Pikiran kita mengembara ke masa lalu atau kita terlalu mengkhawatirkan hal yang belum terjadi di masa depan.

Dengan move on dari masalah dan masa lalu kita itu berarti kita mengijinkan diri kita terbebas dari belenggu pikiran yang mengganggu. Kita juga telah mengijinkan diri kita untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Dan terakhir, kita mengijinkan diri kita untuk menerima segala keberkahan dan keberlimpahan dari Tuhan.

Sumber gambar:
https://www.merdeka.com/gaya/5-alasan-move-on-adalah-hal-tersulit-tetapi-tetap-harus-dilakukan.html