Tampilkan postingan dengan label Mindfulness Untuk Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindfulness Untuk Anak. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Mei 2017

Mindful Parenting: Mengajarkan Jeda Pada Anak Sehingga… (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Bagi orangtua yang memiliki anak usia pra-sekolah yang perilakunya cenderung impulsif jangan menghakimi atau menilainya dengan label negatif seperti “anak nakal”.

Cobalah untuk memberikan pendampingan melibatkan emosi positif. Perlu diingat bahwa bahasa non verbal seperti ekspresi, intonasi dan gerak tubuh itu justru 70% lebih masuk ke dalam memori anak dibanding bahasa verbal.

Jadi perlu diperhatikan saat kita berkata, "Sabar, Nak", pastikan kita mengatakannya dengan intonasi dan eskpresi yang lembut agar memorinya menangkap secara utuh apa itu sikap sabar.

Saat kita sedang mengantri di kasir, pastikan untuk menggenggam erat tangannya sambil kita tetap dalam barisan antri.

Pada momen inilah amat jitu bagi kita untuk mengajarkan apa itu sabar dan sikap toleran pada orang lain. Sabar berarti mengajarkan perlunya jeda sejenak pada orangtua dan anak-anak. 


Selain perlunya mengantri dengan sabar, aktivitas saling berbagi juga dapat diupayakan orangtua agar anak-anak mengurangi impulsifnya.

Anak dapat diajarkan berbagi makanan untuk diberikan kepada temannya, atau saudara-saudaranya. Khusus yang terakhir, aktivitas berbagi dapat menjadi upaya preventif dari munculnya sibling rivalry pada anak.

Belajar untuk jeda juga bisa dilakukan dengan menyenangkan seperti melibatkan anak pada suatu proses aktivitas, misalnya memasak di rumah.

Anak yang terbiasa mengikuti proses seperti memasak dia akan belajar memberi jeda antara keinginan yang belum terpuaskan dengan proses.

Begitu juga dengan mengijinkan dan mengajarkan anak mengurus dan menata barang-barangnya sendiri. Anak mulai belajar bertanggung jawab sepenuhnya melakukan hal tersebut. 

Lalu, apalagi materi pelajaran jeda pada anak? Jalan kaki, iya jalan kaki. Sederhana, bukan? 

Berjalan membuat anak terlibat secara aktif dalam sebuah perjalanan dan memberikan anak kesempatan untuk menikmati suasana di sekitar dengan lebih lambat dan detil.

Berbeda dengan saat di dalam motor atau mobil. Maka ajaklah anak Anda berjalan kaki sesering mungkin.

Seorang murid penulis yang tadinya terkendala soal kesabaran ini kemudian rutin diajak berjalan kaki oleh ibunya, setelah hampir satu semester anak ini kemudian secara ajaib mulai pandai membaca.

Kok bisa? Iya karena selain secara kebutuhan biologis bahwa bergerak aktif berpengaruh positif pada otak, kegiatan berjalan mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan kesiapan untuk berada dalam proses.

Sehingga saat anak mulai belajar huruf di mana ia butuh berkonsentrasi dan berada dalam proses panjang maka sikap ini sudah terbentuk sehingga dia siap untuk belajar. 

Last but not least, saat anak sedang situasi menunggu giliran, ajak anak untuk berhitung pelan-pelan untuk membuatnya tetap "awas" saat menunggu.

Pola menjaga kesadaran ini penting agar anak tahu apa arti dari menunggu. Jika dalam kegiatan bercerita dengan teman atau saudaranya, coba mengajak anak untuk tertib dengan mengacungkan tangan sebelum bicara.

Ini sederhana, tapi efeknya luar biasa dan sudah diuji coba. Hal tersebut bisa mengajarkan anak untuk menghargai orang lain dan memberi jeda pada dirinya sendiri sebelum berbicara. 

Jadi, apa yang mungkin terjadi jika orangtua mulai mengajarkan jeda pada anak? Mungkinkah jika anak tersebut kelak akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang positif dan berkata-kata dengan santun dan lemah lembut? Semoga.

Sebelumnya 1

Sumber gambar:
https://www.opencollege.info/how-to-stop-child-temper-tantrums/

Mindful Parenting: Mengajarkan Jeda Pada Anak Sehingga… (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Apa yang mungkin terjadi jika Anda menyalakan keran air sepanjang hari? Maka tentu saja, air akan meluap dan memenuhi kamar mandi bahkan ruangan-ruangan lain di rumah Anda. Dengan kata lain dapat terjadi banjir di rumah Anda.

Banjir itu pula yang nampak pada banyaknya komentar pada sebuah postingan foto selebritis yang terkena skandal atau berita politik yang penuh pro dan kontra.

Komentar-komentar yang mengalir tanpa jeda, melelebar ke mana saja, memasuki setiap celah, menggenangi hampir semua permukaan. Komentar yang kadang tanpa pertimbangan rasa bahkan moral. 

Inilah realita dunia sekarang.

Dunia yang penuh dengan informasi, tanpa sekat, tanpa batas, dan setiap orang dapat mengaksesnya. Dunia yang banjir informasi, termasuk banjir komentar, baik yang positif maupun negatif.

Sayangnya manusia lebih suka memberikan penilaian secara negatif, baik itu kata-kata yang menyerang, memaki, menyindir, dan menghakimi.

Mengomentari dengan kalimat yang destruktif memiliki pola yang khas, yakni tiba-tiba, tanpa perencanaan, tanpa pertimbangan, reaksi yang terlalu spontan dan biasanya disertai dorongan yang menggebu-gebu atau impulsif. 

Reaktif dan impulsif tidak sepenuhnya buruk karena bayi hingga usia pra-sekolah sering melakukannya.

Hal ini masih wajar karena mereka berada pada periode yang belum bisa meregulasi emosi dengan baik.

Jadi jika anak-anak di Taman Kanak-kanak masih sulit untuk fokus pada hal yang butuh konsentrasi lama, atau tiba-tiba bicara sebelum lawan bicaranya selesai bicara, serta tindakan lain yang bersifat spontan tanpa pertimbangan, maka hal ini masih tergolong wajar.

Itulah kenapa, di sekolah sangat penting anak diajarkan mengantri, memakai mainan bersama teman atau saling berbagi, diajak sering-sering mendengarkan cerita, tidak lain adalah agar anak belajar mengelola dorongan dalam dirinya untuk tidak bersikap impulsif. 




Jika pada masa anak pemberian stimulasi ini gagal maka bisa jadi perilaku tersebut terbawa sampai dewasa.

Perilaku impulsif ringan pada orang dewasa misalnya berbelanja di luar rencana karena dorongan diskon.

Perilaku impulsif yang lebih serius bisa nampak pada perilaku yang dibahas pada awal tulisan ini, yaitu bertindak atau berkata-kata yang bersifat menyerang pada orang lain, tanpa mempertimbangan rasa, nilai-nilai moral, dan agama.

Terjadi kehilangan kontrol dan seperti air yang mengalir tanpa jeda. Jika perilaku ini tidak ditangani serius bisa mengarah pada permasalahan yang lebih besar. 

Berikutnya 1 2

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
https://www.opencollege.info/how-to-stop-child-temper-tantrums/