Tampilkan postingan dengan label Neuroleadership. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Neuroleadership. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Juni 2020

Dilema WBP dan Neurobiologi Mindfulness



Oleh Duddy Fachrudin

Terbersit wajah garang namun ringkih dan penuh dengan kecemasan itu. Beberapa kata yang keluar dari mulutnya menyiratkan bahwa dirinya akan berubah. Meski kemudian ada ragu yang mengayun di sela-sela rongga dadanya.

Suatu waktu, saya berkesempatan memberikan intervensi psikologi berbasis logoterapi dan mindfulness kepada calon Warga Binaan Permasyarakatan (WBP) yang sebentar lagi bebas di salah satu lembaga permasyarakatan (lapas) di Yogyakarta. Mengajak mereka untuk menemukan makna dan belajar melepas masa lalu tidaklah mudah. Sesulit membantu mereka untuk berhenti menghakimi dan mensyukuri makanan yang selalu hadir di setiap pagi meski hanya nasi dan sebuah tempe mayit.

Di ruangan yang panas itu kami menjalankan sesi demi sesi. Mencoba beradaptasi lalu bermeditasi. Segala kecamuk rasa berkelindan bertautan menghasilkan resultan yang hanya mereka dan Tuhan tahu.

Satu yang pasti dan ditakuti serta dikhawatiri: Aku cemas mas, takut kalau tidak ada yang menerimaku lagi. Takut juga kalau aku kembali ke lingkungan yg nggak bener lagi.

Yang bilang itu ya pencuri, pembunuh, pemerkosa. Yang bukan hanya sekali masuk penjara.

Bahkan ada seorang WBP banjir air mata karena berlebihnya rasa bersalah. Perasaan berdosa membuncah hingga menyasar sisi terdalam sukma seiring berharap dalam seuntai tanya: Apakah untukku tersedia maaf?

Dinamika dan pergolakan jiwa orang yang melakukan kesalahan seperti halnya WBP, yang benar-benar merasa bersalah serupa hutan rimba yang belum terjamah oleh manusia. Sulit bisa menaksir dari pengamatan sesaat perubahan yang terjadi setelah menjalani masa "jeda" di balik jeruji penjara.

Saat diwawancarai Bang Andy Noya, kita bisa melihat sepintas dari raut wajah John Kei, bahwa penyesalan dan perubahan itu nyata. Namun pemberitaan belakangan ini membuat orang-orang kembali mempertanyakan sekaligus meragukannya.

Dalam kajian neurosains, salah satu bagian otak yg mempengaruhi dalam hal bertindak baik, benar, sesuai moral dan etika adalah Anterior Cortical Cortex (ACC).

Bagian otak ini menjadi selebritis yang manis dan selalu menjadi perhatian para saintis saat meneliti meditator yang sedang atau seusai bermeditasi. Saat dilakukan pemindaian dengan alat pemindai otak, kita bisa melihat sejauhmana aktivitas pada area tersebut.

Umumnya, hasil pemindaian menunjukkan warna yang menyala tanda rewire atau peningkatan aktivitas. Hasil ini juga ditunjukkan pada area otak lainnya, seperti PFC, dlPFC, insula, dan hippocampal.

Pengukuran brain marker bisa diintegrasikan dengan biomarker lainnya, seperti telomer, keadaan tekanan darah pada jantung, kualitas mitokondria yang berada dalam sel, hingga kadar hormon kortisol dan adrenalin.

Idealnya kuantifikasi yang telah diperoleh dilanjutkan dalam pengamatan secara kualitatif sehingga mix methode ini bisa menghasilkan data yang valid, terukur, dan benar adanya.

Ternyata perubahan itu memang tidak instan layaknya mie. Perubahan sejalan dengan perkembangan hidup manusia (life-span development) yang sejatinya terus ada hingga individu itu tiada.

Dan manusia sejatinya memang terus menjadi baru, baik itu pikiran, rasa, hingga, perilaku. Baru memperbarui kualitas sesuai Key Performance Indicator (KPI) manusia.

By the way, KPI nya manusia memangnya apa saja?

Sumber gambar:

Kamis, 21 November 2019

Kepemimpinan ala Orbital Intelligence


Oleh Tauhid Nur Azhar

Pemimpin itu harus mampu membangun pola pikir waskita yang dapat mengintegrasikan 4 sumbu sekaligus dan dapat pula membangun konstruksi sistem pengelolaan pengetahuan secara berkesinambungan.

Adapun ke-4 sumbu yang dimaksud adalah sumbu vertikal yang berarti seorang pemimpin harus berpikir menyintas waktu dengan selalu mengacu kepada nilai rujukan yang semata berlandas pada kebenaran (Haq). 

Pemimpin yang mampu memutar dan memusar segenap potensi pemangku kepentingan sehingga menghasilkan efek sentripetal yang mendekati titik pusat (Ahad). 

Di satu sumbu vertikal vektorial, selain ada arah terdapat pula waktu, yang meski selalu maju tetapi juga mengekalkan masa lalu sebagai kenangan yang kita kenal sebagai pengalaman serta dapat pula kita artikan sebagai pelajaran. 

Untuk itu seorang pemimpin harus mampu membangun fondasi integritas yang dapat menghasilkan sifat ikhlas sebagai compliance terhadap ketetapan dimensi ruang-waktu. 

Ilmu menjadi kata kunci, gaya sentripetal yang bersifat kinetik harus dicatudaya oleh energi potensial yang ditambang dari perut bumi kearifan yang kaya akan data dan informasi termaknai yang menjadi bagian dari konstruksi pengetahuan yang berperadaban. Knowledge based management atau Iqra adalah suatu keniscayaan dalam hal ini. 

Dua sumbu lain terletak pada bidang horisontal dan oblique atau menyilang alias menembus serta terletak di antara absis dan ordinat. Gaya sentripetal yang menarik semua energi ke satu titik disertai dengan eksitasi yang menghasilkan radiasi sirkuler yang memberikan dampak sebidang. 

Kemaslahatan harus dapat diradiasikan seluas mungkin. Sebagaimana paket quanta yang dapat mengelana di media semesta, berbagi secara adil tanpa subjektifitas preferensi (Rahmatan lil alamin). 

Pada akhirnya keempat sumbu di bidang horisontal dan vertikal-sagital akan dihubungkan oleh ruang maya dimensi berbentuk bola. Tak bersudut dan menyediakan lapang pandang multi perspektif dengan persepsi yang relatif akan lebih utuh. Satu cara pandang baru yang dapat mengakomodir kebutuhan holistik dalam memaknai sebuah fenomena di suatu titik di koordinat ruang, waktu, dan juga hubungan atau korelasi asosiasinya dengan berbagai titik lain di dalam bola yang terpisah ordinat waktu ataupun absis lokasi. 

Ball Vision bahkan dapat menjadi salah satu cara pandang yang dapat mengoptimasi konsep mobilisasi dan orkestrasi yang diinisiasi oleh Prof. Rhenald Kasali. Karena setiap elemen dapat kita identifikasi karakter berikut pola-pola interaksinya secara berkesinambungan dan dinamis dalam konteks ruang dan waktu. 

Kemampuan membangun cara pandang inilah yang pada gilirannya akan menginisiasi terpantiknya satu genre derivatif dari kecerdasan waskita, Orbital Intelligence alias OI

Suatu kecerdasan yang dapat mengakomodir perbedaan sudut pandang dan "membaca" berbagai percabangan algoritma dalam sebuah reaktor "chain reaction" yang membutuhkan kapasitas prediktif yang juga dikenal sebagai foresight ability

Dalam konteks iman, mungkin konsep ini adalah gambaran paling sederhana dari kompleksitas Lauh Mahfudz yang sedemikian canggih dan agung. Melihat dan meraba rencana yang Maha Merencanakan dalam sebuah peta algoritma berbentuk bola. 

Maka dengan Ball Vision yang mengakses data secara mengorbit, kita dapat mengoptimasi waktu dan mereduksi jarak karena kita kanalisasi dalam resultante non vektorial dari cara pandang tak bersudut (bola). 

Kita dapat menjadi satelit yang "melihat" dan melaju (bahkan tanpa energi), lalu memantulkan atau memancar ulangkan respon terukur dan teraugmentasi (diperkaya) berdasar stimulus yang diterima secara sangat proporsional. 

Khalifah yang terus belajar (melihat dan mendengar dengan karunia sistem sensoris; sam'a, abshor, dan fuad ) hingga mampu menjadi katalis (enzimatik) yang setiap pikiran, perkataan, dan perbuatannya senantiasa menghasilkan rahmat bagi semesta sekalian alam. 

Fungsi fuad sebagai regulator dan transformator dari ranah gagasan menjadi rencana aksi yang dieksekusi antara lain tentu melibatkan berbagai fungsi sistem limbik dan memori, reward system, dan tentu saja area fungsi eksekutif di korteks prefrontal yang dilandasi konstruksi kesadaran yang antara lain diperankan oleh Insula, dkk. 

Demikianlah bola-bola sederhana nan bersahaja dari pikiran cupu dan tak punya maksud suatu apa ini, siapa tahu dapat menjadi alternatif untuk bersama mengoptimasi potensi diri.

Sumber gambar:

Kamis, 12 September 2019

Spiderman dan Neuroleadership


Oleh Duddy Fachrudin

Jauh-jauh hari sebelum Spiderman berguru pada Tony Stark alias Iron Man dan bertransformasi menjadi lebih futuristik, ia adalah remaja biasa yang senang belajar, pengantar pizza, dan pengagum setia Marry Jane Watson, yang berharap dapat bermalam minggu berdua bersama.

Namun kekuatan yang diperolehnya menuntutnya untuk bertanggung jawab. The great power comes great responsibility. Teringat ia dengan pesan Uncle Ben tercintanya. Maka hari-hari yang dilaluinya adalah pengambilan keputusan: menjadi Peter Parker atau beraksi menumpas kejahatan dengan kostum laba-labanya?

Nyatanya proses pengambil keputusan sangatlah kompleks. Beberapa bagian otak berperan di dalamnya, seperti dorsolateral prefrontal cortex (dlPfc), orbitofrontal cortex (oFc), ventromedial prefrontal cortex (vmPfc), dan anterior cingulate cortex (ACC). Belum lagi nucleus accumbens (NAcc), amygdala, ventral tegmental area (VTA), serta insular dan somatosensory cortex.

Bayangkan saat Mary Jane sudah mengiyakan ajakan nonton, tiba-tiba sensor laba-laba Peter Parker berbunyi. Sudah asyik mau nge-date dengan doi, eh ada cecunguk (penjahat) yang mengganggu.

Susah loh jadi Peter Parker. Maka Peter Parker di dunia nyata maujud dalam profesi-profesi sosial yang senantiasa dibutuhkan orang lain. Atau ia juga merupakan pemimpin yang selalu dinanti keputusannya.

Pengelolaan aktivitas pada bagian otak menjadi kunci dari pengambilan keputusan yang waskita. Change your brain change your life atau sebaliknya mengubah kehidupan (perilaku) mengubah otak kita. Ini karena otak bersifat plastis.

Maka keputusan waskita nan bijaksana merupakan keputusan berbasis nilai dan visi, terkontrol oleh norma, tidak tergesa-gesa, dan pastinya tidak menghasilkan kesenangan semu atau sesaat.

Whatever comes our way, whatever battle we have raging inside us, we always have a choice. Bukan hanya Spiderman dan para pemimpin kali ya. Ini kan tentang kita, manusia dengan segenap potensinya.

Eh tapi, bagaimana caranya mengelola dorsolateral dan kawan-kawannya itu sehingga kita bisa menghasilkan keputusan yang bijaksana?

Sumber gambar:
Dokumentasi pribadi