Tampilkan postingan dengan label Ronggowarsito. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ronggowarsito. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 September 2024

Mindful Journey: Bertumbuh di Puncak Merbabu



Oleh Duddy Fachrudin 

Waktu tercepat untuk mendaki keempat belas puncak 8000 meter adalah tujuh tahun. Jika bisa bertahan, aku bisa melakukannya dalam tujuh bulan. (Nims Purja) 

Nims dan tim yang semuanya berasal dari Nepal itu akhirnya menaklukkan keempat belas puncak tertinggi di dunia—Sishapangma, Gasherburm I, Gasherburm II, Broad Peak, Annapurna, Nanga Parbat, Manaslu, Dhaulagiri, Cho Oyu, Makalu, Lhotse, Kangchenjunga, K2, dan Chomolungma atau yang terkenal dengan Everest di tahun 2019. Melalui “Project Possible”, hal yang tidak mungkin bisa terwujud dalam enam bulan enam hari. Perjalanan itu kemudian ditayangkan dalam film dokumenter “14 Peaks: Nothing Is Impossible”.

Menariknya, rekor yang terlihat sangat mustahil untuk dipecahkan itu kemudian patah. Adalah Kristin Harila dan Tenjen Sherpa yang melakukannya. Mereka mendaki dan berada di empat belas titik tertinggi di dunia hanya dalam kurun waktu 92 hari pada tahun 2023.

Setahun sebelum peristiwa itu, saya mendaki Gunung Merbabu, setelah 15 tahun tidak melakukan aktivitas hiking. Saat berjalan menuju pos 3, tubuh saya terbanting ke tanah. Betis kaki kiri mengalami kram yang luar biasa yang membuat saya meragu untuk melanjutkan perjalanan. Namun akhirnya setelah dipapah dan mengambil jeda, saya melanjutkan pendakian ke pos Sabana. Keesokan harinya, dengan kekuatan tekad dan Rahmat Allah Swt., dua puncak Merbabu, yaitu Kentengsongo dan Triangulasi berhasil didaki.

Ada sensasi yang luar biasa, kepuasan yang tak terkira mendaki sekaligus menziarahi awindya hingga berada di puncaknya. Mungkin Nims Purja dan Kristin Harila juga merasakan hal yang serupa. Dalam psikologi, hal ini termasuk dalam psychological well-being (kesejahteraan psikologis) dengan secara khusus pada aspek personal growth (pertumbuhan pribadi).

Gunung Merbabu

Pertumbuhan pribadi menekankan pada terbuka dengan pengalaman baru, perkembangan yang berkelanjutan, hingga bertumbuh dan terus berkembang sebagai manusia. Inilah mengapa dalam psikologi ada tugas atau tantangan perkembangan. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai lansia, terdapat tugas psikologi yang perlu dipenuhi agar siap dan adaptif menuju fase perkembangan selanjutnya.

Misalnya saja pada usia remaja ditekankan untuk mengenal dirinya, potensinya, kelemahannya, lintasan rasa dan pikirannya yang sering muncul, hingga tujuan penciptaan dirinya di dunia. Pemahaman akan diri jika sudah terpenuhi akan membawa pribadi yang matang saat menghadapi fase dewasa. Jadi, tidak ada lagi narasi dalam diri yang mengatakan “takut tambah dewasa, takut aku kecewa, dan takut tak seindah dan sekuat yang kukira…”, apalagi manusia sejatinya diberi potensi, yaitu penglihatan, pendengaran, serta hati.

Hidup memang suatu dialektika. Ada masalah, juga hal-hal indah. Keduanya silih berganti mengisi jiwa manusia. Derita bukan berarti malapetaka, karena Sang Arif Bijaksana, Ibnu Athaillah berkata:

“Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid”, dan “Bisa jadi, kegelapan datang menyergapmu untuk mengingatkan anugerah Allah atas dirimu”.

Jalaludin Rumi menambahkan:

“Be grateful for whatever comes, because each has been sent as a guide from beyond”.

Ketidaknyamanan seperti saat pendakian sebuah gunung itu suatu hal yang memang perlu dijalani agar kelak manusia mekar dan tumbuh. Sabar dan syukur serta kemampuan untuk merancang solusi mewujud pada aksi ialah niscaya. Di sini, di titik jeda, di saat lelah melanda adalah masa terbaik untuk membaca dan memohon petunjuk kepada Sang Maha.

Saya jadi teringat dengan kata-kata Sir Edmund Hillary, satu dari dua orang yang berada di Puncak Gunung Everest pertama kali, “It’s not the mountain we conquer, but ourself”. Pertumbuhan pribadi itu ternyata menaklukkan diri kita sendiri, khususnya diri yang membawa kepada keburukan.

Wa mā ubarri`u nafsī, innan-nafsa la`ammāratum bis-sū`i illā mā raḥima rabbī, inna rabbī gafụrur raḥīm. (QS. Yusuf: 53)

Paparan kenikmatan dan penderitaan yang hadir selama menjalani kehidupan di dunia seringkali mengalihkan dari pemenuhan tugas perkembangan. Menurut Mbah Erik Erikson, psikolog yang mengembangkan konsep perkembangan dari perspektif psikososial, bahwa level tertinggi manusia ialah pencapaian kebijaksanaan. Menjadi manusia yang waskita dengan metakognitifnya seperti pendaki yang bertengger di Puncak Sagarmatha. Dan ciri manusia waskita pitutur Ronggowarsito, yaitu memahami “rahasia selamat” dan menjalaninya, ibarat ngelmu iku kalakone kanthi laku.

Dalam keheningan di Puncak Merbabu, hati ini bertanya, apakah “rahasia selamat” itu?

Sumber gambar:

Jumat, 28 Juni 2019

Kedai Kopi & Menjadi Manusia (Bagian 2, Habis)


Oleh Hamzah Abdurahman & Duddy Fachrudin

Hanya saja sebagai Homo Sapiens, kecerdasannya sering terlena karena tipu daya yang datang dari berbagai arah. Karena itu pula, Homo Sapiens yang juga Homo Socius berubah menjadi serakah, ambisi, penuh amarah, dan menumpahkan darah.

Jika di Amerika kita mengenal pertempuran Gettysburg (1-3 Juli 1863), perang saudara antara kubu Utara dan Selatan yang begitu brutal, maka di Indonesia kecamuk itu berlangsung ratusan tahun.

Setidaknya hampir 500 tahun konflik di tanah tersubur di negeri ini (bahkan dunia) berlangsung. Leluhur kita selama periode 1200-an hingga 1700-an saling menyakiti dirinya. Mereka tidak melawan penjajah Belanda, yang saat itu hanyalah serikat dagang atau VOC. Mereka melawan saudaranya sendiri.

Manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya, atau Homo Homini Lupus.

Setelah perang saudara di tanah Jawa, VOC mulai "bertingkah" dengan menetapkan pajak yang mengusik warga pribumi. Bisa dikatakan, saat itu pula Belanda mulai menjajah Nusantara.

Bahkan Para Londo ini mulai membuat sekat antara si kaya dan si miskin. Kota Lama Semarang dan Jembatang Mberok atau Gouvernementsburg yang dibangun 1705 menjadi saksi bahwa seolah-olah orang Eropa lebih tinggi kedudukannya dengan warga pribumi yang terdiri dari orang-orang Jawa, Cina, Melayu, dan Arab.

Ketidakadilan memunculkan perlawanan demi perlawanan demi mencapai kemerdekaan. Proses menuju ke arah sana penuh tantangan yang justru datangnya dari pihak sendiri. Epidemi inferioritas, mudahnya diadu domba, serta, mudah tertipu oleh kilauan tawaran jabatan yang diberikan penjajah dengan iming-iming gulden membuat orang-orang takluk sekaligus mendem.

Nirmawas dan kurangnya kewaskitaan diri terbingkai menjadi unconscious collective yang sampai saat ini terasa. Bahkan oleh Ronggowarsito, kekacauan yang disebabkan oleh hal ini memproduksi zaman kalatidha, zaman edan, penuh tipu daya, nirkewaskitaan.

Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada.

Maka pesannya jelas, kunci hidup di zaman kalatidha adalah mawas diri (mindful), belajar niteni pikiran, perasaan, niat, sekaligus syahwat.

Karena proses ini yang kemudian membuat manusia bertransformasi dari manusia yang menjadi masalah bagi manusia (termasuk alam semesta) menjadi manusia cerdas (Homo Sapiens) dan Homo Deus.

Homo Deus, adalah manusia tanpa sekat yang bergerak bebas berjalan dengan satu tujuan dan penuh cinta yaitu sebagai pemantul cahaya keagungan dan keindahan Tuhan.

Maka, belajar dan mengambil hikmah dari kedai kopi dan Jembatan Mberok adalah keniscayaan. Membebaskan diri dari label duniawi dengan memegang ilmu serta cinta kasih dan mawas diri adalah bekal Homo Deus menapaki misi penciptaan dirinya.

Maka dunia yang penuh derita telah berganti menjadi cantik seperti Bukit Brintik yang penuh warna warni. Tugas manusia adalah merawat kecantikannya dengan memperindah perilakunya.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/