Tampilkan postingan dengan label Sesi Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sesi Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Juli 2020

Metafora: Keluarga



Oleh Duddy Fachrudin 

Laki-laki berusia 45 tahun itu berjalan gontai. Wajahnya kuyu, namun tetap berusaha memperlihatkan senyumnya kepada saya. 

Senyumnya layu. 

Tampak bibir dan gigi-giginya menghitam akibat tar yang ia nikmati dalam belasan puntung rokok setiap harinya. Ia duduk di sebelah saya. 

Tangan kanannya diangkat dan diusapkan ke wajah tirus dan kepalanya yang beruban. Nafasnya begitu berat. 

Lalu, tak lama kemudian ia berucap, “Apa yang terjadi pada saya? Kenapa saya begini?” 

Sejak 3 hari bertemu dengannya, hanya kalimat itu yang ia lontarkan dari mulutnya. 

Hiburan satu-satunya di bangsal hanya sebuah televisi. 

Sore itu, sebelum mentari tenggelam dan adzan berkumandang kami menonton tv. Tidak ada acara yang menarik, hanya berita biasa seputar artis yang mempertontonkan gaya hidupnya yang berkecukupan. 

Tiba-tiba laki-laki itu berkata, “Dulu saya begitu, tapi sekarang...”, lagi-lagi tangan kanannya diangkat dan jemarinya mengusap wajah dan kepalanya. “Kenapa saya sakit seperti ini?” lirih laki-laki itu lagi.

Dua tahun yang lalu, tubuhnya masih tegak dan berjalan dengan penuh semangat. Ia masih bekerja di sebuah pabrik gula di sebuah kota di Jawa Timur. Namun dua kecelakaan motor dan peristiwa keracunan pestisida membuat hidupnya berubah. 

Kinerja fisiknya menurun. Tangannya kaku dan sering bergetar. Penglihatannya kabur dan tubuhnya lemas. Kondisi fisik mempengaruhi kinerjanya di pabrik. Dan ia pun di PHK oleh perusahaan.

Sebelum kejadian-kejadian itu hidupnya bahagia, berkecukupan, dan senantiasa berinteraksi secara sosial dengan keluarga dan tetangganya. 

Saat ini jiwanya begitu rapuh, depresif, dan hampa. Semuanya tampak hancur baginya. Satu-satunya yang ingin dilakukannya adalah bertemu dengan istri dan anak-anaknya.

Saya bertemu dengannya selama kurang lebih 3 minggu, menemaninya dan mengajaknya berbincang-bincang layaknya seorang kawan. 

Di sela-sela itu, saya menyempatkan diri untuk menemui keluarganya—istri dan ketiga anaknya serta saudara-saudaranya. Tak lupa saya meminta ijin untuk mengambil foto mereka.

Di akhir pertemuan dengannya, saya memberikan foto istri dan anak-anaknya. Tampak wajahnya tersenyum dan rona bahagia memancar di wajahnya. 

Ia lalu bercerita bahwa ia sudah boleh pulang dengan syarat mengurangi frekuensi merokoknya. Laki-laki itu menceritakan rencana-rencana yang akan dilakukannya setelah kembali ke keluarga. Saya senang dengan perkembangan ini.

Saya mohon pamit kepadanya karena memang waktu praktek telah usai. Kami berpisah dengan masing-masing mengucapkan terima kasih. 

Satu hal yang tak terduga adalah ketika ia mengatakan, “Salam untuk keluarga” kepada saya. 

Sumber gambar: 

Rabu, 20 Maret 2019

Pikiran Saya Doing or Being Mode Ya? (MBCT Workshop Batch 3)



Oleh Duddy Fachrudin

Seorang kolega, sahabat, sekaligus guru bercerita tentang pengalamannya mendapatkan klien yang "aneh" menurutnya. Penasaran dengan kata "aneh" tersebut saya membuka kedua telinga menyimak sebaik mungkin.

"Klien tersebut seorang pengusaha, datang dengan mobil bagus, lalu menemui saya..." ujar kolega saya. "Lalu ia berkata, 'Saya takut miskin'..."

Mendengar cerita tersebut saya terperangah, how come? Bagaimana mungkin ia mengatakan hal yang realitanya adalah sebaliknya?

Namun hal itu sangat mungkin karena ia berada pada doing mode.

Doing mode merujuk pada cara kerja pikiran yang serba otomatis, berfokus pada masa lalu dan masa depan, menghindari ketidaknyamanan, dan pikiran tersebut seolah-olah realita yang sebenarnya.

Doing mode kadang bermanfaat dalam kehidupan individu, tapi seringnya ia menggangu karena menjadi penjara yang membelenggu. Doing mode berpotensi berulang yang kemudian menjadi ruminasi (rumination thought).

Kebalikan doing mode adalah being mode. Cara kerja pikiran ini lebih terjaga, tertata, dan tidak terburu-buru. Pikiran hanyalah sebuah bentuk imaji mental, bukan sebuah kenyataan. Individu yang mengembangkan being mode lebih menyadari pikiran yang datang dan mengolahnya menjadi sebuah keputusan yang tepat.

Memunculkan being mode dalam keseharian seolah mudah, namun nyatanya butuh latihan, apalagi bagi mereka yang memiliki gangguan, seperti depresi dan kecemasan.

Itulah mengapa doing vs being mode menjadi satu sesi yang amat penting dalam Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT). Di sesi ini, klien diajarkan untuk mengenali dan menyadari pikirannya, apakah itu termasuk dalam doing mode atau being mode. Setelah berkenalan dengan pikirannya sendiri (yang kenyataannya lebih banyak doing mode), tahap selanjutnya adalah berlatih mindfulness.

Banyak jenis latihan mindfulness yang bisa dilakukan, seperti breathing, body scan, dan walking. latihan-latihan tersebut bukan hanya dilakukan selama sesi bersama terapis, namun juga di rumah. Sampai akhirnya, klien dapat mengevaluasi sendiri, "Pikiran saya masih sering berada pada mode doing atau sudah being ya?"

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>